OLEH Yusriwal
Peneliti di
Fakultas Sastra Unand
Di
Pariaman—karena dulunya merupakan salah satu pusat pengembangan Islam di
Minangkabau—ditemukan banyak kesenian yang berkaitan dengan Islam atau
bercirikan Islam (islami). Salah satu kesenian yang bercirikan Islam adalah dikia.
Pertunjukan dikia disebut badikia.
Menurut masyarakat Pariaman, kesenian dikia pertama kali diperkenalkan
oleh Syekh Burhanuddin Ulakan. Badikia biasa dilaksanakan di masjid atau
surau.
Pariaman
yang terletak di pantai Barat Sumatra mempunyai peranan penting dalam
pengembangan agama Islam di Minangkabau. Islam pertama kali masuk ke daerah ini
dibawa oleh pedagang seperti Aceh, Parsi, dan India, kemudian menyebar ke
daerah pedalaman. Pepatah Minangkabau menyatakan, syarak mandaki, adat
manurun. Artinya, agama Islam datang dari daerah pesisir (salah satunya
Pariaman) menyebar ke daerah pedalaman, sedangkan adat Minangkabau berasal dari
daerah pedalaman, kemudian menyebar ke daerah pesisir. Dikatakan demikian
karena daerah pesisir secara geografis lebih rendah dibanding daerah pedalaman.
Oleh
sebab itu, tidaklah mengherankan bila di Pariaman berkembang kesenian lainnya
yang bercirikan Islam. Kesenian tersebut antara lain indang, yaitu sejenis
nyanyian disertai tarian yang dimainkan sekitar lima belas orang berisi petuah
agama dengan iringan rapai (rebana kecil); barzanji, nyanyian
berupa pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad dengan iringan adok (rebana
besar); dan dikia, yaitu nyanyian yang mengisahkan kelahiran Nabi
Muhammad.
Badikia merupakan salah satu mata acara penting
dalam rangkaian acara memperingati maulid Nabi Muhammad. Besar atau kecilnya
peringatan maulid tersebut tergantung pada lamanya acara badikia.
Masyarakat Pariaman mengenal dua jenis maulid, yaitu maulid besar dan maulid
kecil. Pada maulid besar badikia dimulai setelah salat Isya dan selesai
pada sore hari berikutnya. Sedangkan pada maulid kecil, badikia dimulai
setelah salat Isya berakhir ketika waktu salat Subuh datang.
Secara
etimologis, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, badikia terdiri atas
awalan ba dan kata dasar dikia. Kata dikia sendiri berasal
dari bahasa arab /zikir/ yang berarti doa atau puji-pujian berlagu (dilakukan
pada perayaan Maulid Nabi). Awalan ba berarti melakukan pekerjaan. Jadi badikia
berarti melakukan doa atau puji-pujian dengan lagu.
Di
Pariaman, perayaan maulid tidak hanya dilaksanakan pada 12 Rabiulawal atau
bertepatan dengan tanggal kelahiran Nabi Muhammad, tetapi tergantung pada jenis
perayaan tersebut. Maulid basar, perayaannya berlangsung selama tiga bulan: dimulai
dari sebulan sebelum bulan Rabiulawal (bulan Syafar) dan berakhir sebulan
setelah bulan Rabiulawal (bulan Rabiulakhir). Maulid kecil hanya berlangsung
selama bulan Rabiulawal.
Berdasarkan
waktu pelaksanaannya, perayaan maulid dibedakan: perayaan maulid yang
dilaksanakan pada penggal pertama disebut manyongsong, penggal kedua
disebut manduobaleh, dan penggal ketiga disebut maanta. Pada
maulid besar, manyongsong dilaksanakan pada bulan Syafar, manduobaleh
pada bulan Rabilulawal, dan maanta pada bulan Rabilulakhir. Pada maulid
kecil, manyongsong dilaksanakan pada minggu pertama Rabilulawal, manduobaleh
pada minggu kedua atau bertepatan dengan tanggal 12 Rabululawal, dan maanta
pada minggu ketiga atau sesudahnya. Perayaan maulid biasa dilakukan sekali
saja, misalnya manyongsong, manduobaleh, atau maanta.
Materi acaranya sama, perbedaan sebutan semata karena perbedaan waktu
pelaksanaannya.
Sebelum
badikia dimulai, janang (pimpinan acara) terlebih dahulu mengatur
tempat duduk tukang dikia dan perangkatnya. Penampil
kesenian di Minangkabau disebut anak atau
tukang. Disebut anak apabila penampilnya lebih dari dua
orang seperti anak indang dan anak randai, sedangkan yang anggotanya
hanya terdiri atas satu atau dua orang disebut tukang misalnya tukang
salawat atau tukang saluang, walaupun
dikia dimainkan lebih dari dua
orang, akan tetapi mereka terdiri dari beberapa grup yang anggota tiap grup
hanya dua orang. Karena itu penampil dikia
disebut tukang dikia.
Selain tukang dikia ada orang lain yang
terlibat, yaitu pangka tuo dan basa nagari. Mereka ikut badika bahkan bertanggung jawab terhadap penampilan, tetapi
mereka bukan tukang dikia. Oleh karena itu, mereka disebut saja dengan istilah perangkat dikia.
Penentuan
tempat duduk tersebut sepenuhnya kekuasaan janang dan tidak boleh diubah
sampai badikia selesai. Posisi tempat duduk tukang dikia beserta
perangkatnya dapat dilihat pada skema berikut.
Keterangan:
·
Nomor
1, 2, dan 3 disebut pangka tuo (imam dikia). Mereka adalah orang
yang benar-benar mengetahui tata cara badikia dan memperhatikan dengan
cermat jalannya badikia. Jika tukang dikia salah, merekalah yang
berhak menegur dan membetulkannya. Teristimewa untuk pangka tuo yang
duduk di tengah (1) ia harus putra daerah tempat badikia dilaksanakan,
tetapi menetap di tempat lain
·
Nomor
4 disebut labai nagari. Ia boleh saja tidak paham dengan tatacara badikia
tetapi harus orang yang dihormati dan dituakan di daerah tersebut.
·
Nomor
4-14 adalah tukang dikia. Mereka sebenarnya berpasangan: 5 dan 6, 7 dan
8, 9, dan 10, 11 dan 12, dan 13 dan 14. Nomor 13 dan 14 adalah tukang dikia
yang berasal dari daerah tempat badikia dilaksanakan yang disebut sipangka
·
Semua
perangkat dikia duduk di atas kasur
Badikia diawali dengan prosesi: janang
membakar kemenyan yang ditaruh di atas dulang bersama segelas air putih,
kemudian disodorkan kepada pangka tuo. Hal itu berarti janang
meminta kepada pangka tuo agar badikia dimulai. Setelah
menyodorkan dulang, janang menyampaikan permintaannya kepada pangka
tuo dengan pasambahan (pidato adat). Jika pangka tuo bersedia
memulai dikia, ia akan meminum air yang disodorkan janang.
Setelah
minum air putih, pangka tuo memulai dikia diikuti oleh anggota
lain secara serentak. Pada nyanyian tertentu, pangka tuo berhenti, dikia
dilanjutkan bergantian oleh masing-masing grup. Grup yang pertama mulai adalah
pasangan 5 dan 6, dilanjutkan pasangan 7 dan 8, dan seterusnya sampai pasangan
13 dan 14. Ini disebut satu legaran. Badikia istirahat setelah tiga
legaran atau masing-masing grup mendapat tiga kali kesempatan.
Pada
saat dikia menyebut tentang kelahiran Nabi Muhammad, semua orang yang
berada di dalam masjid atau surau—yang tertidur akan dibangunkan—harus berdiri.
Pada saat yang sama, yang merokok harus mematikan rokok, yang sedang minum atau
makan harus berhenti, dan salah seorang pangka tuo memerciki semua orang
yang hadir dengan parfum.
Badikia istirahat kembali karena waktu salat Subuh
datang. Setelah salat Subuh perangkat dikia kembali menempati posisi
mereka semula. Dikia tidak dilanjutkan. Mereka boleh istirahat atau tidur
sambil duduk, boleh merebahkan badan, tetapi tidak boleh beranjak dari kasur
yang ditentukan janang sebelumnya.
Sekitar
pukul sembilan pagi, semua perangkat dikia menyelesaikan istirahatnya
untuk pergi mandi atau sekadar mencuci muka, kemudian makan pagi bersama.
Badikia untuk hari itu akan dimulai setelah
makan pagi sampai datang waktu salat Lohor. Selesai salat, istirahat sebentar, badikia
dilanjutkan sampai kira-kira pukul 15.00. Dengan demikian, badikia
selesai.
Setelah
makan siang, menerima honorarium ditambah beberapa batang lamang, tukang
dikia dan perangkat meninggalkan masjid atau surau. Mereka kembali ke
desa atau rumah masing-masing.
Dimensi
Sosial
Dari
deskripsi di atas dengan jelas dapat dilihat adanya hal lain yang menyertai badikia.
Selain memiliki dimensi religius, yang tentu saja merupakan hal pokok dan
penting, badikia dapat pula dilihat dari sisi yang lain, yaitu dimensi
sosial. Dengan begitu akan terlihat pula peran masyarakat tersebut dalam memerankan
fungsinya sebagai makhluk sosial, tidak hanya sebagai makhluk religius.
Dimensi
sosial badikia wujud dalam tiga hal. Pertama, terlihat adanya
keterkaitan antara adat dengan agama Islam. Hal itu dapat dilihat dalam
beberapa tindak kegiatan:
1.
Adanya perhelatan sebelum badikia
Pertama
kali datang di masjid atau surau, yang terlihat adalah suasana perhelatan,
seperti perhelatan perkawinan. Suasana itu tidak menggiring orang untuk
berpikir bahwa di sana akan dilaksanakan perhelatan keagamaan, jika tidak tahu
bahwa masjid atau surau adalah institusi keagamaan. Perlakuan terhadap tamu
yang datang dibuat seperti perhelatan umumnya. Pada langit-langit dan dinding masjid
atau surau bagian dalam dipasang tirai yang biasa digunakan dalam perhelatan
perkawinan. Bahkan kalau pemasangan tirai tidak sesuai menurut aturan
pemasangan tirai dalam perhelatan umum, maka badikia dianggap mempunyai
cacat.
2.
Digunakannya pasambahan
Dalam
upacara adat, pasambahan mempunyai arti penting. Pasambahan
adalah permintaan, permohonan, atau pengharapan kepada seseorang atau kelompok
orang dengan menggunakan kata dan kalimat metafor yang disebut kieh.
Bila pembicaraan tidak dimulai dengan
pasambahan dikatakan tidak beradat.
3.
Difungsikannya fungsionaris adat
Labai
nagari adalah orang yang
dihormati dan ditinggikan kedudukannya dalam masyarakat. Dengan fungsi yang
sama pula ia ditempatkan dalam perangkat dikia. Ia ditempatkan sejajar
dengan pangka tuo yang merupakan
imam dikia. Walaupun sama sekali tidak tahu dengan tata cara badikia,
penempatan tersebut semata-mata penghargaan terhadapnya.
Sehari-hari
(tidak dalam badikia), janang adalah orang yang mengatur tata cara
upacara adat. Ia dapat dikatakan
pimpinan protokoler adat. Dalam badikia janang memiliki peran
yang sama seperti dalam upacara adat. Kelancaran acara secara keseluruhan sepenuhnya tergantung pada janang.
Bahkan dalam menentukan dan mengatur tempat duduk tukang dikia,
perangkat dikia, dan menunjuk labai nagari adalah otoritas janang.
Fungsi janang dalam badikia sama dengan fungsinya dalam upacara
adat.
Kedua, adanya keinginan menonjolkan diri.
Kecenderungan tersebut dapat dilihat
pada penulisan nama pada juadah yang diantar ke surau atau masjid yang
dimaksudkan untuk dimakan selama badikia. Setiap juadah diberi nama
sesuai dengan nama pemiliknya. Dengan demikian pemilik juadah berusaha agar
juadahnya tampak lebih menarik dibanding juadah lainnya. Namun yang lebih
menarik lagi adalah isi juadah—biasanya terdiri atas penganan dan nasi beserta
lauknya. Penganan berupa kue dibuat semenarik dan seindah mungkin, tidak jarang
dilengkapi dengan hiasan bunga dari kertas dan warna-warna yang menyolok.
Sedangkan lauknya diusahakan yang besar. Jika lauknya adalah ikan, diusahakan
ikan yang paling besar dan jika daging, diusahakan pula potongan dagingnya yang
besar.
Badikia biasa pula disertai dengan pengumpulan
dana untuk pembangunan masjid atau surau. Nama penyumbang dan jumlah sumbangan
diumumkan lewat pengeras suara: “Ajo Kirun limo puluah ribu”. Oleh sebab
itu, penyumbang berusaha melebihi penyumbang lainnya.
Kecenderungan
seperti itu merupakan manifestasi dari apa yang disebut Adriyetti Amir dalam
makalahnya berjudul “Interaction Among the Audiences During
Oral Literature Performance” dengan
budaya malu. Ia mengatakan, pertunjukan kesenian di Minangkabau erat
kaitannya dengan budaya malu. Misalnya, masyarakat
datang ke tempat pertunjukan bukan karena ingin menonton pertunjukannya,
melainkan karena malu untuk tidak datang. Mereka
akan merasa malu kalau tidak dapat berbuat—kalau tidak lebih—sekurangnya sama
dengan orang lain. Pentingnya menutup malu tersebut, sehingga segala usaha
harus dilakukan untuk itu. Bahkan di Minangkabau sendiri harta pusaka pun dapat
digadaikan untuk itu.
Kesuksesan
dan kesemarakan badikia dipengaruhi oleh budaya malu juga. Masyarakat
merasa malu untuk tidak datang melihat badikia. Masyarakat akan memberi
cap negatif kepada orang yang tidak hadir: “Alah sarik bana hiduik indak
tacaliak nan rami lai doh”.
Ketiga, adalah praktisisasi nilai. Untuk
meminta sumbangan langsung kepada masyarakat secara langsung biasanya cukup
sulit. Untuk itu, dimanfaatkan kecenderungan masyarakat yang suka dengan
kompetisi tersebut. Pada suatu peristiwa badikia di Kampuang Paneh,
Tandikek-Pariaman, sebelum badikia dimulai sudah terkumpul uang sekitar
Rp 5.000.000 (lima juta rupiah). Pengumpulan dana akan berjalan terus sampai badikia
selesai. Mengingat Dusun Kampuang Paneh tidak begitu besar dan tidak tergolong
kaya, pengumpulan uang sejumlah di atas merupakan prestasi luar biasa. Dalam
peristiwa tersebut telah terjadi praktisisasi nilai, suatu nilai dimanfaatkan
untuk kepentingan praktis.
Jadi,
dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa suatu peristiwa tidak memiliki dimensi
tunggal. Acara keagamaan tidak hanya memiliki dimensi religius, tetapi pada
saat yang sama juga memiliki dimensi sosial. Penonton yang datang ke tempat
pertunjukan tidak hanya ingin melihat pertunjukan, tetapi ada hal di luar
pertunjukan yang ingin mereka kejar. Kesenian bagi mereka tidak semata
kesenian, tetapi sekaligus sebagai ajang unjuk diri. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar