Rabu, 28 Januari 2015

Yusrizal KW, Satu Tubuh dengan Banyak Tangan


OLEH Deddy Arsya
Sastrawan
Yusrizal KW
Yusrizal KW adalah seorang pelintas batas. Dia satu tubuh dengan banyak tangan, tangan yang terus bergerak, menjangkau, dan menggapai impiannya. Dia cerpenis, penyair; dia juga perupa, kritikus seni; dia pengusaha, kelas kaum saudagar; dia wartawan dan redaktur surat kabar sekaligus; dia guru tanpa SK juga aktivis sosial di saat yang bersamaan. Orang-orang akan sulit mengkategorikannya, kepada keranjang mana dia harus ditempatkan. Tapi tidak apa, toh, KW juga seorang yang menolak kategorisasi-kategorisasi.

Pada awalnya, orang-orang mungkin mengenalnya sebagai cerpenis. Penulis cerita dengan narasi-narasi tentang ironi keluarga-keluarga miskin pinggiran kota. Bacalah misalnya kumpulan cerita pendeknya, Kembali ke Pangkal Jalan, yang diterbitkan Buku Kompas, yang berisi cerpen-cerpen satir tentang masyarakat kota negeri ketiga. “Keluarga Marano”, misalnya, adalah kisah Si Liyan yang terdepak dan terdesak arus pembangunan dengan segala kekompleksitasan persoalannya.  
KW memang datang dari sebuah daerah di pinggiran Kota Padang yang penuh satir. Kampung halamannya adalah sebuah kelurahan dengan nama Cengkeh. Nama yang harum memang. Nama-nama serupa itu telah lama terdesak oleh nama-nama tokoh dan pahlawan, seperti Jalan Gajah Mada misalnya. Dan Cengkeh—yang mungkin dulu adalah sebuah nagari, sebelum Orde Baru mendesakkan kelurahan dan desa—sebagaimana namanya, juga terdesak. Kalau Cengkeh kini dikunjungi, sulit untuk membayangkan, kalau daerah itu dulu adalah gambaran sebuah kampung-pedesaan yang dibicarakan KW.
“Ada sawah-sawah yang luas terbentang dengan iring-iringan petani yang baru pulang ketika senja hari, sungai jernih tempat kami bermandi-mandi, masjid nagari tempat mengaji dan gelanggang bermain bagi anak-anak ketika malam, ada warung tempat orang-orang kampung berkumpul sambil membual,” kata KW.
Tetapi jangan dibayangkan bahwa gambaran itu begitu bersahaja, sebagaimana misalnya, jika Anda datang ke desa-desa di pusat pedalaman Minangkabau pada umumnya. Bahasa orang Cengkeh, sebagaimana nagari-nagari di pinggiran Padang lainnya, menyakitkan. Bahasa masyarakat di tubir pantai barat yang panas berdengkang. Bahasa masyarakat di luar pusat Minangkabau, di tepi luhak, yang ‘tak beradat’. Kalimat-kalimat berbau garam yang pahit. Satir. Dengan cemoohan-cemoohan yang tajam. Sesatir kehidupan orang-orangnya, yang terbungkuk-bungkuk dalam kemiskinan.
Sejarah Kota Padang, sebagaimana sejarah kota pada umumnya, adalah juga sejarah pemukim awal yang terus terdesak. Mereka menjual tanah kepada pengembang, kehilangan surau nagari, kehilangan rumah kaum, kehilangan rasa bersama sebagai sebuah puak. Orang-orang berdatangan, menghungi komplek-komplek baru, memukimi kos-kosan dan kontrakan, membangun rumah sendiri, dan di antara mereka adalah pekerja yang berhasil makmur.
Sementara ‘penduduk asli’—uh, betapa tidak enak menuliskan terminologi ini—dengan kebodohan mereka, tetap tinggal dalam rumah-rumah yang jelek, dan terkadang melayani para pendatang sebagai pekerja kasar mengurus got, mengumpulkan barang pecah belah yang sudah tidak terpakai, atau tukang bersih rumput. Atau larat dalam perantauan yang tak kenal pulang. KW kehilangan hampir seluruh masa silamnya atas negeri asal; kawan-kawan sepermainan, misalnya, juga kesadaran berpuak yang terkikis habis dari masyarakat tempat di mana dia berasal.
Orang-orang yang terdesak arus urban, wilayah pedesaan yang terurbankan, akan kemudian ditemukan dalam sajak-sajak KW. Kumpulan sajaknya, Interior Hujan, akan menyumbulkan narasi-narasi seperti itu. “Payung-payung dan Stanza”, misalnya, adalah gambaran tentang pasar-kota tempat di mana orang-orang dari pinggiran tercengang-cengang menyaksikan keramaian itu, keramaian yang penuh warna, tetapi sekaligus menyilaukan mata. Keramaian yang mendesak kedirian mereka ke pinggir.   
Lalu orang-orang di periode kemudian mengenal KW sebagai pengusaha, kaum saudagar yang bertarung dalam gelombang laba dan rugi. Dia kini hampir tiap hari tampak di Jalan Gajah Mada. Jalan ini beberapa tahun belakangan menjadi kian ramai. Toko-toko, pusat kebugaran, gemerlap pasar yang tercipta sendiri oleh kejeniusan kaki lima, pusat-pusat kuliner, juga univesitas-universitas baru tegak di sana. Dia mengurus sebuah toko baju, sebuah percetakan, dan agak ke belakang jalan ini membawahi sebuah media online.
Orang-orang telah dapat mencatatnya sebagai penguasa yang mumpuni untuk kelas Sumatera Barat, terutama dalam usaha percetakan, dia dianggap perintis awal pada dua dekade abad ini. Dia kini, telah jadi bagian dari arus kota yang telah mendepak puaknya. Dia mungkin di antara yang sedikit yang berhasil keluar dari shock akibat merebaknya gelombang urban memasuki kampung-kampung pinggiran kota. 
Tetapi tulisan ini akan berhenti sampai di sini membicarakan KW dalam konteks di atas. Tulisan ini akan berbicara tentang hal lain. Tentang Yusrizal KW sebagai redaktur sastra dan penggerak komunitas sastra—tangan lain dari begitu banyak tangan KW, yang juga tidak pernah diam.
***
Saya mengenalnya dengan lebih dekat tidak sampai dua tahun yang silam. KW mengajak saya untuk ikut serta dan bergabung dalam sebuah gerakan donasi buku, Komunitas Padang Membaca. “Sastrawan harus turun, ikut serta dalam gerakan nyata untuk memfamiliarkan kesastraan, jangan hanya memprotes ketidak-pedulian masyarakat terhadap karya sastra!” katanya pada saya ketika itu, mencoba meyakinkan saya agar ikut bergabung. Dan saya, setuju, untuk terlibat.
“Sastrawan yang hanya diam di kamar sunyinya, sesungguhnya tidak melakukan apa-apa!” kata KW, saya mulai sedikit-sedikit paham, dia tengah menyindir perilaku yang mainstream dari suatu kalangan. Memang telah menjadi umum di antara para sastrawan, bahwa  dunianya lebih mirip dunia pertapaan, ketimbang dunia orang ramai yang riuh. Sehingga tidak jarang, para pengarang adalah orang-orang yang asosial, terkurung dalam bilik sunyi yang dianggapnya sebagai ruang kreasi.
Maka seolah-olah tugas pengarang hanya mencipta, setelah selesai sebuah karya diciptakan, tugasnya kepada masyarakatnya selesai.
“Mereka ciptakan karya-karya, ketika karya yang dihasilkannya itu kemudian tidak diapresiasi dengan baik oleh orang banyak, mereka kutuki orang banyak itu. Orang banyak itu mereka anggap tidak berabab, masyarakat primitif tak berbudaya, buta, buta, berselera rendah!” kata KW menggambarkan tabiat kebanyakan para pengarang di negeri ini.
“Kita harus membangun fondasinya dulu, yaitu membuat masyarakat suka membaca, untuk sampai kepada—nantinya—suka pada karya sastra. Tidak hanya mengutuk!” kata KW pula. Dan saya, yang baru meraba-raba ke mana arah gerakan dan pikiran KW ini, mengangguk.
Mungkin bersebab itulah, KW sudah lama terlibat dalam menggerakkan berbagai komunitas. Basisnya adalah anak-anak usia remaja. “Di atas itu, sulit, mereka sudah keras kepala, tidak mau lagi menerima kebenaran, sebab kebenaran mereka sendirilah yang mereka anggap benar!” kata KW.
Sanggar Pelangi, sebuah sanggar sastra remaja, sering dihubung-hubungkan dengan namanya. Anak-anak muda, remaja, mengenalnya sebagai guru menulis. Dia bertahun-tahun mengelola sanggar menulis itu. Alumni sanggar itu banyak, setengahnya berhasil menjadi penulis, setengah yang lain tidak.
Lalu komunitas-komunitas lain yang berbasis pada remaja berlahiran dari tangannya. Komunitas untuk Indonesia, pernah dia bentuk untuk mengakomodir pikiran-pikiran bebas pada pelajar yang tidak mampu diakomodasi sekolah mereka masing-masing. Mengakomodir pikiran-pikiran cerdas mereka tentang Indonesia. Mencoba membangkitkan semangat kebangsaan di tengah para siswa yang dianggap kian jauh dari semangat itu. “Orang-orang banyak mengkritik, bahwa para pelajar sekarang sudah tidak lagi patriotis, semangat kebangsaan mereka terus-menerus tergerus dan pudar,” kata KW suatu kali, “tetapi mereka hanya pandai mengkritik, tetapi tidak mau melakukan apa-apa untuk memperbaiki!”.
Untuk mengakomodir pecinta film, KW juga pernah mendirikan sebuah komunitas yang kemudian disebutnya sebagai Komunitas Puta Film. Acara rutinnya adalah nonton bareng film-film terbaru. Film-film tersebut kemudian didiskusikan. Para siswa juga diperkenalkan kepada film, terutama film-film yang berorientasi pada edukasi.   
Komunitas harus diciptakan, sekalipun akan muncul dan kelak tenggelam.
***
Di tahun 1990-an, KW akan sering tampak di kantor Haluan. Sebuah koran terbesar masa itu di Padang. Dia redaktur sastra tamu untuk halaman sastra dan budaya koran tersebut. Halaman yang prestisius, karena dari sana lahir nama-nama besar sastrawan Indonesia kemudian. Para pengarang-pengarang nasional banyak yang bermula menulis dari sana. Di masanya, halaman sastra Haluan menjadi tolak-ukur perkembangan sastra di daerah.
Penjaga utamanya adalah Rusli Marzuki Saria, ‘Papa’ para penyair yang lahir belakangan, termasuk ‘Papa’ bagi generasi KW. KW mendapatkan nilai-nilai penting selama menjadi redaktur tamu di sana. Dia banyak belajar pada penyair Rusli, tentang bagaimana seorang redaktur sastra, khususnya redaktus sastra koran daerah, layaknya bersikap.
Lalu ketika reformasi bergulir, KW menggawangi halaman sastra dan budaya Padang Ekspres, halaman yang dinamakannya sebagai Halaman Budaya Stres, yang dirintisnya bersama Wisran Hadi. Halaman yang juga memberi ruang pada parodi dan humor berbahasa Minang. Halaman ini kemudian menjadi tolak-ukur perkembangan sastra dan budaya di daerah Sumatera Barat.
Saya, yang mulai belajar menulis, juga mengirimkan tulisan-tulisan ke sana. Sedikit di antaranya dimuat halaman itu. Tetapi lebih sering tidak.  
Sekali, saya pernah bertemu KW pada sebuah pementasan tari. Dia memanggil saya, dia kenal saya, yang baru menulis beberapa kali. Katanya, tulisan saya tidak dimuatnya karena tulisan saya tidak kuat. Ada banyak kelemahan di sana-sini. Ditunjukkannya mana yang harus diperbaiki, mana yang harus direvisi.
Redaktur sastra daerah mungkin berbeda dengan redaktur sastra koran-koran besar. Seorang redaktur sastra daerah harus mampu menciptakan bibit-bibit pengarang handal dari daerahnya sendiri, demikian dikatakan KW kemudian. Untuk itu, dia harus memberi ruang yang lebih kepada pengarang lokalnya.
“Jika seorang pengarang pemula menunjukkan ketekunannya dalam mengembangkan kepandaian mengarangnya, walaupun kemudian tulisannya tidak bagus-bagus betul, tetapi dia rajin menulis, saya akan memuatnya—memuat di antara yang paling bagus,” kata KW.
Tetapi kalau di antara tulisan yang banyak itu memang tidak ada satu pun yang bagus dan layak untuk diterbitkan, dia akan memanggil sang pengarang, mengajaknya berdiskusi, mendiskusikan karya pengarang tersebut. 
Metode serupa ini, bagi KW, bertujuan untuk memotivasi pengarang pemula. Selain itu, ada juga pengarang pemula yang tulisannya bagus, tetapi KW tidak mau memuatnya di halaman yang diasuhnya. Dia juga akan menghubungi si penulisnya. Mengatakan padanya bahwa tulisannya sebaiknya dicoba dikirim ke koran nasional, karena bagi KW tulisan tersebut berkemungkinan sudah layak untuk dikirim ke sana. 
Sekalipun lebih menekankan pada pengarang lokal dan pemula, tidak serta-merta dia mengabaikan pengarang dari luar daerah dan pengarang yang lebih senior. “Pengarang dari luar daerah tetap harus diakomodasi, begitu pun pengarang yang lebih senior, sebab dengan begitu mereka akan menjadi kompetitor bagi pengarang pemula,” kata KW pula.  
Sekalipun tujuan utamanya adalah untuk melahirkan generasi baru pengarang daerah, namun halaman yang diasuhnya tetap prestisius secara kualitas kesastraan. Banyak pengarang senior yang mengirimkan tulisan ke Padang Ekspres. Pengarang dari berbagai daerah memburu halaman ini. “Dalam seminggu, ada ribuan tulisan yang masuk ke email saya, dari berbagai daerah. Pengirimnya beragam, mulai dari yang terkenal sampai pemula,” kata KW pula.
Dia cerpenis yang tidak saja pandai menulis cerpen, tetapi juga tahu dengan cerpen. Bertahun-tahun dia menjadi pengajar sastra, bertahun-tahun pula dia menjadi juri. Bertahun-tahun pula dia terlatih menjadi redaktur sejak masih menjadi redaktur tamu di koran Haluan. “Orang-orang mungkin tidak melihat pada korannya, tetapi pada redakturnya,” kata KW.

“Impian saya, orang-orang bangga menulis di halaman ini, sekalipun honornya kecil.” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...