OLEH Deddy
Arsya
Sastrawan
Yusrizal KW |
Yusrizal KW adalah seorang pelintas
batas. Dia satu tubuh dengan banyak tangan, tangan yang terus bergerak,
menjangkau, dan menggapai impiannya. Dia cerpenis, penyair; dia juga perupa,
kritikus seni; dia pengusaha, kelas kaum saudagar; dia wartawan dan redaktur
surat kabar sekaligus; dia guru tanpa SK juga aktivis sosial di saat yang
bersamaan. Orang-orang akan sulit mengkategorikannya, kepada keranjang mana dia
harus ditempatkan. Tapi tidak apa, toh, KW juga seorang yang menolak
kategorisasi-kategorisasi.
Pada awalnya, orang-orang mungkin
mengenalnya sebagai cerpenis. Penulis cerita dengan narasi-narasi tentang ironi
keluarga-keluarga miskin pinggiran kota. Bacalah misalnya kumpulan cerita pendeknya, Kembali ke Pangkal Jalan, yang
diterbitkan Buku Kompas, yang berisi cerpen-cerpen satir tentang masyarakat
kota negeri ketiga. “Keluarga Marano”, misalnya, adalah kisah Si Liyan yang
terdepak dan terdesak arus pembangunan dengan segala kekompleksitasan persoalannya.
KW memang datang dari sebuah daerah di
pinggiran Kota Padang yang penuh satir. Kampung halamannya adalah sebuah
kelurahan dengan nama Cengkeh. Nama yang harum memang. Nama-nama serupa itu
telah lama terdesak oleh nama-nama tokoh dan pahlawan, seperti Jalan Gajah Mada
misalnya. Dan Cengkeh—yang mungkin dulu adalah sebuah nagari, sebelum Orde Baru mendesakkan kelurahan dan
desa—sebagaimana namanya, juga terdesak. Kalau Cengkeh kini dikunjungi, sulit
untuk membayangkan, kalau daerah itu dulu adalah gambaran sebuah kampung-pedesaan
yang dibicarakan KW.
“Ada sawah-sawah yang luas terbentang
dengan iring-iringan petani yang baru pulang ketika senja hari, sungai jernih
tempat kami bermandi-mandi, masjid nagari tempat mengaji dan gelanggang bermain
bagi anak-anak ketika malam, ada warung tempat orang-orang kampung berkumpul
sambil membual,” kata KW.
Tetapi jangan dibayangkan bahwa gambaran
itu begitu bersahaja, sebagaimana misalnya, jika Anda datang ke desa-desa di
pusat pedalaman Minangkabau pada umumnya. Bahasa orang Cengkeh, sebagaimana
nagari-nagari di pinggiran Padang lainnya, menyakitkan. Bahasa masyarakat di
tubir pantai barat yang panas berdengkang. Bahasa masyarakat di luar pusat
Minangkabau, di tepi luhak, yang ‘tak beradat’. Kalimat-kalimat berbau garam
yang pahit. Satir. Dengan cemoohan-cemoohan yang tajam. Sesatir kehidupan
orang-orangnya, yang terbungkuk-bungkuk dalam kemiskinan.
Sejarah Kota Padang, sebagaimana sejarah
kota pada umumnya, adalah juga sejarah pemukim awal yang terus terdesak. Mereka
menjual tanah kepada pengembang, kehilangan surau nagari, kehilangan rumah
kaum, kehilangan rasa bersama sebagai sebuah puak. Orang-orang berdatangan,
menghungi komplek-komplek baru, memukimi kos-kosan dan kontrakan, membangun
rumah sendiri, dan di antara mereka adalah pekerja yang berhasil makmur.
Sementara ‘penduduk asli’—uh, betapa
tidak enak menuliskan terminologi ini—dengan kebodohan mereka, tetap tinggal
dalam rumah-rumah yang jelek, dan terkadang melayani para pendatang sebagai
pekerja kasar mengurus got, mengumpulkan barang pecah belah yang sudah tidak
terpakai, atau tukang bersih rumput. Atau larat dalam perantauan yang tak kenal
pulang. KW kehilangan hampir seluruh masa silamnya atas negeri asal;
kawan-kawan sepermainan, misalnya, juga kesadaran berpuak yang terkikis habis
dari masyarakat tempat di mana dia berasal.
Orang-orang yang terdesak arus urban,
wilayah pedesaan yang terurbankan, akan kemudian ditemukan dalam sajak-sajak
KW. Kumpulan sajaknya, Interior Hujan,
akan menyumbulkan narasi-narasi seperti itu. “Payung-payung dan Stanza”, misalnya,
adalah gambaran tentang pasar-kota tempat di mana orang-orang dari pinggiran
tercengang-cengang menyaksikan keramaian itu, keramaian yang penuh warna,
tetapi sekaligus menyilaukan mata. Keramaian yang mendesak kedirian mereka ke
pinggir.
Lalu orang-orang di periode kemudian
mengenal KW sebagai pengusaha, kaum saudagar yang bertarung dalam gelombang
laba dan rugi. Dia kini hampir tiap hari tampak di Jalan Gajah Mada. Jalan ini
beberapa tahun belakangan menjadi kian ramai. Toko-toko, pusat kebugaran, gemerlap
pasar yang tercipta sendiri oleh kejeniusan kaki lima, pusat-pusat kuliner,
juga univesitas-universitas baru tegak di sana. Dia mengurus sebuah toko baju,
sebuah percetakan, dan agak ke belakang jalan ini membawahi sebuah media
online.
Orang-orang telah dapat mencatatnya
sebagai penguasa yang mumpuni untuk kelas Sumatera Barat, terutama dalam usaha
percetakan, dia dianggap perintis awal pada dua dekade abad ini. Dia kini,
telah jadi bagian dari arus kota yang telah mendepak puaknya. Dia mungkin di antara
yang sedikit yang berhasil keluar dari shock
akibat merebaknya gelombang urban memasuki kampung-kampung pinggiran kota.
Tetapi tulisan ini akan berhenti sampai
di sini membicarakan KW dalam konteks di atas. Tulisan ini akan berbicara
tentang hal lain. Tentang Yusrizal KW sebagai redaktur sastra dan penggerak
komunitas sastra—tangan lain dari begitu banyak tangan KW, yang juga tidak
pernah diam.
***
Saya mengenalnya dengan lebih dekat tidak
sampai dua tahun yang silam. KW mengajak saya untuk ikut serta dan bergabung
dalam sebuah gerakan donasi buku,
Komunitas Padang Membaca. “Sastrawan harus turun, ikut serta dalam gerakan
nyata untuk memfamiliarkan kesastraan, jangan hanya memprotes ketidak-pedulian
masyarakat terhadap karya sastra!” katanya pada saya ketika itu, mencoba
meyakinkan saya agar ikut bergabung. Dan saya, setuju, untuk terlibat.
“Sastrawan yang hanya diam di kamar
sunyinya, sesungguhnya tidak melakukan apa-apa!” kata KW, saya mulai
sedikit-sedikit paham, dia tengah menyindir perilaku yang mainstream dari suatu
kalangan. Memang telah menjadi umum di antara para sastrawan, bahwa dunianya lebih mirip dunia pertapaan,
ketimbang dunia orang ramai yang riuh. Sehingga tidak jarang, para pengarang
adalah orang-orang yang asosial, terkurung dalam bilik sunyi yang dianggapnya
sebagai ruang kreasi.
Maka seolah-olah tugas pengarang hanya
mencipta, setelah selesai sebuah karya diciptakan, tugasnya kepada
masyarakatnya selesai.
“Mereka ciptakan karya-karya, ketika
karya yang dihasilkannya itu kemudian tidak diapresiasi dengan baik oleh orang
banyak, mereka kutuki orang banyak itu. Orang banyak itu mereka anggap tidak
berabab, masyarakat primitif tak berbudaya, buta, buta, berselera rendah!” kata
KW menggambarkan tabiat kebanyakan para pengarang di negeri ini.
“Kita harus membangun fondasinya dulu,
yaitu membuat masyarakat suka membaca, untuk sampai kepada—nantinya—suka pada
karya sastra. Tidak hanya mengutuk!” kata KW pula. Dan saya, yang baru
meraba-raba ke mana arah gerakan dan pikiran KW ini, mengangguk.
Mungkin bersebab itulah, KW sudah lama
terlibat dalam menggerakkan berbagai komunitas. Basisnya adalah anak-anak usia
remaja. “Di atas itu, sulit, mereka sudah keras kepala, tidak mau lagi menerima
kebenaran, sebab kebenaran mereka sendirilah yang mereka anggap benar!” kata
KW.
Sanggar
Pelangi,
sebuah sanggar sastra remaja, sering dihubung-hubungkan dengan namanya. Anak-anak
muda, remaja, mengenalnya sebagai guru menulis. Dia bertahun-tahun mengelola
sanggar menulis itu. Alumni sanggar itu banyak, setengahnya berhasil menjadi
penulis, setengah yang lain tidak.
Lalu komunitas-komunitas lain yang
berbasis pada remaja berlahiran dari tangannya. Komunitas untuk Indonesia, pernah dia bentuk untuk mengakomodir
pikiran-pikiran bebas pada pelajar yang tidak mampu diakomodasi sekolah mereka
masing-masing. Mengakomodir pikiran-pikiran cerdas mereka tentang Indonesia.
Mencoba membangkitkan semangat kebangsaan di tengah para siswa yang dianggap
kian jauh dari semangat itu. “Orang-orang banyak mengkritik, bahwa para pelajar
sekarang sudah tidak lagi patriotis, semangat kebangsaan mereka terus-menerus
tergerus dan pudar,” kata KW suatu kali, “tetapi mereka hanya pandai
mengkritik, tetapi tidak mau melakukan apa-apa untuk memperbaiki!”.
Untuk mengakomodir pecinta film, KW juga
pernah mendirikan sebuah komunitas yang kemudian disebutnya sebagai Komunitas Puta Film. Acara rutinnya
adalah nonton bareng film-film terbaru. Film-film tersebut kemudian
didiskusikan. Para siswa juga diperkenalkan kepada film, terutama film-film
yang berorientasi pada edukasi.
Komunitas harus diciptakan, sekalipun
akan muncul dan kelak tenggelam.
***
Di tahun 1990-an, KW akan sering tampak
di kantor Haluan. Sebuah koran
terbesar masa itu di Padang. Dia redaktur sastra tamu untuk halaman sastra dan
budaya koran tersebut. Halaman yang prestisius, karena dari sana lahir
nama-nama besar sastrawan Indonesia kemudian. Para pengarang-pengarang nasional
banyak yang bermula menulis dari sana. Di masanya, halaman sastra Haluan menjadi tolak-ukur perkembangan
sastra di daerah.
Penjaga utamanya adalah Rusli Marzuki
Saria, ‘Papa’ para penyair yang lahir belakangan, termasuk ‘Papa’ bagi generasi
KW. KW mendapatkan nilai-nilai penting selama menjadi redaktur tamu di sana.
Dia banyak belajar pada penyair Rusli, tentang bagaimana seorang redaktur
sastra, khususnya redaktus sastra koran daerah, layaknya bersikap.
Lalu ketika reformasi bergulir, KW
menggawangi halaman sastra dan budaya
Padang Ekspres, halaman yang dinamakannya sebagai Halaman Budaya Stres, yang dirintisnya bersama Wisran Hadi. Halaman
yang juga memberi ruang pada parodi dan humor berbahasa Minang. Halaman ini
kemudian menjadi tolak-ukur perkembangan sastra dan budaya di daerah Sumatera
Barat.
Saya, yang mulai belajar menulis, juga
mengirimkan tulisan-tulisan ke sana. Sedikit di antaranya dimuat halaman itu.
Tetapi lebih sering tidak.
Sekali, saya pernah bertemu KW pada
sebuah pementasan tari. Dia memanggil saya, dia kenal saya, yang baru menulis
beberapa kali. Katanya, tulisan saya tidak dimuatnya karena tulisan saya tidak
kuat. Ada banyak kelemahan di sana-sini. Ditunjukkannya mana yang harus
diperbaiki, mana yang harus direvisi.
Redaktur sastra daerah mungkin berbeda
dengan redaktur sastra koran-koran besar. Seorang redaktur sastra daerah harus
mampu menciptakan bibit-bibit pengarang handal dari daerahnya sendiri, demikian
dikatakan KW kemudian. Untuk itu, dia harus memberi ruang yang lebih kepada
pengarang lokalnya.
“Jika seorang pengarang pemula
menunjukkan ketekunannya dalam mengembangkan kepandaian mengarangnya, walaupun
kemudian tulisannya tidak bagus-bagus betul, tetapi dia rajin menulis, saya
akan memuatnya—memuat di antara yang paling bagus,” kata KW.
Tetapi kalau di antara tulisan yang
banyak itu memang tidak ada satu pun yang bagus dan layak untuk diterbitkan,
dia akan memanggil sang pengarang, mengajaknya berdiskusi, mendiskusikan karya
pengarang tersebut.
Metode serupa ini, bagi KW, bertujuan
untuk memotivasi pengarang pemula. Selain itu, ada juga pengarang pemula yang
tulisannya bagus, tetapi KW tidak mau memuatnya di halaman yang diasuhnya. Dia
juga akan menghubungi si penulisnya. Mengatakan padanya bahwa tulisannya
sebaiknya dicoba dikirim ke koran nasional, karena bagi KW tulisan tersebut
berkemungkinan sudah layak untuk dikirim ke sana.
Sekalipun lebih menekankan pada pengarang
lokal dan pemula, tidak serta-merta dia mengabaikan pengarang dari luar daerah
dan pengarang yang lebih senior. “Pengarang dari luar daerah tetap harus
diakomodasi, begitu pun pengarang yang lebih senior, sebab dengan begitu mereka
akan menjadi kompetitor bagi pengarang pemula,” kata KW pula.
Sekalipun tujuan utamanya adalah untuk
melahirkan generasi baru pengarang daerah, namun halaman yang diasuhnya tetap
prestisius secara kualitas kesastraan. Banyak pengarang senior yang mengirimkan
tulisan ke Padang Ekspres. Pengarang
dari berbagai daerah memburu halaman ini. “Dalam seminggu, ada ribuan tulisan
yang masuk ke email saya, dari berbagai daerah. Pengirimnya beragam, mulai dari
yang terkenal sampai pemula,” kata KW pula.
Dia cerpenis yang tidak saja pandai
menulis cerpen, tetapi juga tahu dengan cerpen. Bertahun-tahun dia menjadi
pengajar sastra, bertahun-tahun pula dia menjadi juri. Bertahun-tahun pula dia
terlatih menjadi redaktur sejak masih menjadi redaktur tamu di koran Haluan. “Orang-orang mungkin tidak
melihat pada korannya, tetapi pada redakturnya,” kata KW.
“Impian saya, orang-orang bangga menulis
di halaman ini, sekalipun honornya kecil.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar