Rabu, 28 Januari 2015

Tamasya si Upiek Siti di Padang Kota Tua

OLEH Deddy Arsya
Sastrawan
Dalam novel Sitti Nurbaja, misalnya, kehidupan sehari-hari warga kota Padang di peralihan abad ke-19 menuju abad ke-20 dapat kita baca dengan proporsi yang besar. Lewat novel itu, tulisan ini akan melihat bagaimana masyarakat Kota Padang di masa lalu berrekreasi atau bertamasya.
Gunung Padang
Gunung Padang merupakan salah satu tempat rekreasi yang banyak disebut dalam novel Sitti Nurbaya. Tempat ini dikunjungi oleh para muda-mudi yang menjalin asmara, anak-anak sekolah di masa pakansi, maupun orang-orangtua yang membawa anak-anak mereka berlibur. 

Dalam novel ini digambarkan bahwa Syamsul Bahri, Sitti Nurbaya, dan beberapa teman sejawatnya sesama murid sekolah Belanda II di Pasar Ambacang juga seringkali mengunjungi kawasan itu untuk ‘bermain-main’. Marah Rusli menulis, anak-anak muda masa itu menjadikan Gunung Padang sebagai arena “bermain-main mencari jambu keling”.
Pengunjung datang setiap akhir pekan, ‘setiap hari Ahad’ dalam bahasa Marah Rusli, untuk ber-rekreasi ke Gunung Padang. Mereka datang berkelompak, bersama teman sejawat, kadang bersama keluarga. Para pengunjung yang datang tidak jarang membawa makanan dan minuman untuk dinikmati bersama. Marah Rusli menulis: “... dikunjungilah tempat ini oleh mereka yang hendak berjalan-jalan mencari kesenangan dan kesehatan tubuhnya, seraya membawa makanan-makanan dan minuman-minuman.”
Pengunjung tidak hanya orang-orang yang ingin berlibur, tetapi juga peziarah. Pada hari baik bulan baik akan semakin ramai dikunjungi oleh para ‘pendoa kuburan’. Mereka membawa makanan sebagai ‘sesajen’ yang akan diletakkan di kuburan yang memang bertebaran di sana.
Gunung Padang, tulis Marah Rusli pula, seperti “kepala seekor ular Naga yang timbul dari dalam laut”. Orang Belanda menamainya Apenberg (gunung kera-kera). Sebab di puncaknya banyak kera yang jinak-jinak. Tidak ada yang berani menangkapnya, karena orang menyangka kera-kera itu keramat, kera jadi-jadian yang merupakan jelmaan dari roh orang-orang mati yang banyak dikuburkan di bukit itu. Karena mitos itu sehingga kera-kera itu tetap lestari dalam waktu yang panjang bahkan sampai sekarang. Dan kera-kera jinak ini juga menjadi daya tarik tersendiri untuk menarik pengunjung. Pengunjung dapat memberi pisang dan bermain-main dengan mereka. Marah Rusli menulis: “Apabila dipanggil dan diberi pisang, datanglah kera-kera itu berpuluh-puluh banyaknya, memperebut-rebutkan makanan ini. Kera yang besar-besar, terkadang-kadang berani merampas pisang atau makanan lain, dari tangan orang.”
Perjalan menuju puncak Gunung Padang digambarkan Marah Rusli cukup melelahkan. Jalan naik ke atas bertangga-tangga banyak. Tangga-tangga itu ketika musim hujan menjadi licin. Namun, ketika telah sampai di puncak, pemandangan dari atas sana sangat indah. Kota Padang terlihat jelas arah ke utara, sementara ke barat terlihat laut membentang biru dengan garis pantai yang panjang dengan jejeran pohon kelapa yang mengepak-ngepak ditiup angin.
Di bagian timur akan terlihat lapangan luas dengan sungai Arau sebagai batasnya. Di lain sisi akan terlihat pula komplek penjara Muaro dan kantor pengadilan. Sekali pun dua yang disebutkan terakhir ini, catat Marah Rusli pula, adalah tempat yang “mendatangkan dahsyat dan sedih hati”, namun jika dilihat dari atas Gunung Padang tak ubahnya seperti melihat keindahan bangunan-bangunan lain. Di layangkan pandangan jauh ke daratan, nun, dapat dilihat puncak Singgalang dan Merapi dilingkari awan keputih-putihan.
Di puncak Gunung Padang berdiri sebuah bangunan semacam bungalo untuk peristirahatan. Bungalo itu dilengkapi dengan bangku dan meja yang berderet-deret. Di sana pengunjung dapat bersantai melepaskan lelah. Angin laut yang berhembus bersatu dengan angin perbukitan yang lembut akan menyejukkan badan yang panas karena mendaki. Ditambah lagi, pengunjung dapat mengalai-ngalai pada ayunan yang disediakan, sebab di sana ada “ayun-ayunan, tempat berangin-angin, ganti kipas”, catat Marah Rusli.
‘Kompleks’ rekreasi puncak Gunung Padang itu dijaga dan dibersihkan oleh orang hukuman dari tansi Muaro sekali sepekan. Tidak disebutkan apakah orang-orang Belanda juga memanfaatkan kawasan itu sebagai tempat rekreasi mereka. Yang jelas, kebanyakan pengunjung adalah keluarga-keluarga pribumi dan muda-mudi yang tengah bercinta dan berkasih-kasihan, dan di waktu tertentu dipenuhi para peziarah. Banyak juga di antaranya pemuda-pemuda terpelajar, semisal Sitti Nurbaya, Syamsul Bahri, dan teman-teman sekolahnya.   
Untuk sampai ke Gunung Padang, orang harus menyeberangi sungai Arau dengan naik perahu, sebab ketika itu belum ada jembatan penyeberangan. “Di batang Arau kelihatan berpuluh-puluh sampan, yang menyeberangkan mereka pulang balik, sedang di pinggir jalan raya kelihatan pula berpuluh-puluh bendi berjejer, menunggu muatan,” tulis Marah Rusli. Tidak disebutkan dalam novel ini berapa bayaran untuk seorang penumpang dalam sekali penyeberangan. Namun, yang pasti, menyeberangkan orang dengan perahu telah menjadi mata pencarian tersendiri pula bagi beberapa warga kota di sekitaran kawasan itu.
Kota Lama
Pusat Kota Lama di sisi utara batang Arau, di sekitaran Muaro, merupakan tempat lain yang ramai dikunjungi warga kota untuk berlibur. Di sana terdapat jalan kereta api dan jalan besar untuk mengangkut barang-barang. Pada sebelah utara jalan besar ini, beberapa gudang pemerintah dan maskapai swasta berderet sejajar mengikuti garis jalan, disambung toko-toko sampai ke kampung Cina dan Pasar Gadang. Tempat ini, tulis Marah Rusli, “memang bagian kota Padang yang amat indah”.
Tata bangunan kawasan kota itu teratur dan rapi. Ini memberi pemandangan yang elok untuk dinikmati. Kawasan ini merupakan prototipe kota Eropa Barat dengan corak bangunannya yang berkotak-kotak dengan atap bertingkat. Oleh sebab itu, kawasan ini juga menjadi tempat rekreasi bagi warga kota terutama di akhir pekan pada sore-sore hari. Tempat ini kerap dikunjungi oleh mereka yang, tulis Marah Rusli, “suka berjalan-jalan pada petang hari, tatkala matahari hampir silam, untuk mengambil hawa yang baik.”
Pada hari besar seperti hari raya Idul Fitri, perayaan Cap Gho Meh, maupun hari raya Natal dan tahun baru, daerah ini akan padat dan penuh sesak oleh pengunjung. Jalan utama yang melintas kawasan ini menjadi tempat pawai dan pacu bendi. Marah Rusli menulis: “hampir tiada dapat ditempuh orang yang berjalan kaki, karena berpuluh puluh bendi dengan berbuka tenda, berlumba-lumba di sana, mengadu deras lari kudanya.”
Dapat dipastikan, acara-acara besar seperti itu telah menjadi hiburan tersendiri bagi warga kota yang mungkin memang haus hiburan. Dan mereka yang haus hiburan itu akan berbondong-bondong datang untuk menyaksikan setiap ‘perhelatan’ seperti semut mengerubungi gula. Warga pribumi, Tionghoa, Keling, dan orang Belanda sendiri, bercampur-baur dalam suasana yang meriah itu.  
Pantai Padang
Arah ke utara dari kawasan kota lama, terbentang pantai Padang dengan ombaknya yang berdebur dan pasirnya yang agak kehitaman. Sepanjang pesisir pantai ini, catat Marah Rusli, “kira-kira sepal jauhnya, adalah suatu taman bunga-bungaan, yang dihiasi oleh beberapa jalan kecil-kecil.” Pada beberapa tempat di sepanjang jalan-jalan kecil itu, dan di antara taman-taman bunga itu, ada bangku-bangku tempat berhenti mereka “yang lelah karena perjalanannya”.
Di sana pula terdapat pohon ketapang yang rindang untuk melindungi pengunjung dari sengat matahari. Di tengah taman ini juga terdapat sebuah rumah punjung yang bundar dan cantik bangunannya. Rumah itu, menurut Marah Rusli pula, “diperbuat di atas suatu gunung-gunungan, sebagai suatu mahligai di dalam istana.”
Taman-taman sepanjang pantai itu menjadi suatu tempat yang sangat menarik hati bangsa Eropa yang tinggal di kota Padang pada masa itu. Orang-orang Eropa bersama keluarga mereka sering berkunjung pada sore hari untuk menyaksikan matahari terbenam di sebelah barat. Mereka juga berjalan-jalan di sepanjang taman untuk berolahraga ringan. Kadang mereka juga membawa istri dan anak-anak.
Di samping orang-orang Eropa, pribumi Padang sendiri pun diperkirakan juga menjadikan Pantai Padang sebagai arena rekreasi. Kaum muda-mudi terpelajar yang menempuh pendidikan baik di sekolah pribumi maupun di sekolah Belanda akan mengunjungi kawasan ini untuk bersuka-ria melepaskan penat atau berpacaran memadu kasih. Bukan saja di siang hari, mereka juga datang pada waktu malam. Di antara para pengunjung, catat Marah Rusli, adalah mereka “... yang berkasih-kasihan ... pada waktu terang bulan.”
***
Dan kini, Pantai Padang semakin populer. Jalan lebar dibangun hingga ke Purus. Di sisi tengah dan tepi jalan itu dilengkapi taman mini dengan bangku-bangku bersantai. Ketika malam lampu-lampu kelap-kelip menyala (setengahnya tidak, barangkali rusak). Beberapa restoran dan hotel megah berdiri. Sementara pedagang kecil juga mendirikan lapak semi-permanen. Beberapa lapak menyediakan ‘bilik-bilik’ (yang kadang dimanfaatkan pasangan muda-mudi untuk bermesraan melepas hasrat bercinta).
Begitu pun dengan kawasan Kota Lama di pinggiran Arau, sejak jembatan Siti Nurbaya dibangun melintangi sungai itu, orang-orang semakin ramai datang ke sana. Sekali pun tidak ada lagi pawai karavan dan pacu bendi di hari-hari besar, namun keberadaan jembatan Siti Nurbaya telah menarik pengunjung untuk menikmati keindahan kota lama dan pelabuhan Muaro terutama pada malam hari dari atasnya.
Ditambah lagi, para pengunjung juga dapat menikmati jagung bakar di lesehan-lesehan di sisi kiri dan kanan badan jembatan. Di pinggiran Arau juga berdiri lapak-lapak tempat berkaroke yang buka sampai subuh.
Sementara itu, sedikit berbeda, Gunung Padang tidak lagi ramai dikunjungi. Sekali pun, kawasan ini kadang juga masih didatangi oleh beberapa kelompok pelajar yang ingin berkemah, atau oleh mereka yang ingin menikmati petualangan kecil-kecilan di pagi Minggu.

Padang, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...