OLEH Deddy Arsya
Sastrawan
Dalam novel Sitti Nurbaja, misalnya, kehidupan sehari-hari warga kota Padang di
peralihan abad ke-19 menuju abad ke-20 dapat kita baca dengan proporsi yang
besar. Lewat novel itu, tulisan ini akan melihat bagaimana masyarakat Kota Padang
di masa lalu berrekreasi atau bertamasya.
Gunung
Padang
Gunung
Padang merupakan salah satu tempat rekreasi yang banyak disebut dalam novel Sitti Nurbaya. Tempat ini dikunjungi
oleh para muda-mudi yang menjalin asmara, anak-anak sekolah di masa pakansi, maupun
orang-orangtua yang membawa anak-anak mereka berlibur.
Dalam novel ini digambarkan
bahwa Syamsul Bahri, Sitti Nurbaya, dan beberapa teman sejawatnya sesama murid sekolah
Belanda II di Pasar Ambacang juga seringkali mengunjungi kawasan itu untuk
‘bermain-main’. Marah Rusli menulis, anak-anak muda masa itu menjadikan Gunung
Padang sebagai arena “bermain-main mencari jambu keling”.
Pengunjung
datang setiap akhir pekan, ‘setiap hari Ahad’ dalam bahasa Marah Rusli, untuk
ber-rekreasi ke Gunung Padang. Mereka datang berkelompak, bersama teman
sejawat, kadang bersama keluarga. Para pengunjung yang datang tidak jarang
membawa makanan dan minuman untuk dinikmati bersama. Marah Rusli menulis: “...
dikunjungilah tempat ini oleh mereka yang hendak berjalan-jalan mencari
kesenangan dan kesehatan tubuhnya, seraya membawa makanan-makanan dan
minuman-minuman.”
Pengunjung
tidak hanya orang-orang yang ingin berlibur, tetapi juga peziarah. Pada hari
baik bulan baik akan semakin ramai dikunjungi oleh para ‘pendoa kuburan’.
Mereka membawa makanan sebagai ‘sesajen’ yang akan diletakkan di kuburan yang
memang bertebaran di sana.
Gunung
Padang, tulis Marah Rusli pula, seperti “kepala seekor ular Naga yang timbul
dari dalam laut”. Orang Belanda menamainya Apenberg
(gunung kera-kera). Sebab di puncaknya banyak kera yang jinak-jinak. Tidak ada
yang berani menangkapnya, karena orang menyangka kera-kera itu keramat, kera
jadi-jadian yang merupakan jelmaan dari roh orang-orang mati yang banyak
dikuburkan di bukit itu. Karena mitos itu sehingga kera-kera itu tetap lestari
dalam waktu yang panjang bahkan sampai sekarang. Dan kera-kera jinak ini juga
menjadi daya tarik tersendiri untuk menarik pengunjung. Pengunjung dapat
memberi pisang dan bermain-main dengan mereka. Marah Rusli menulis: “Apabila
dipanggil dan diberi pisang, datanglah kera-kera itu berpuluh-puluh banyaknya,
memperebut-rebutkan makanan ini. Kera yang besar-besar, terkadang-kadang berani
merampas pisang atau makanan lain, dari tangan orang.”
Perjalan
menuju puncak Gunung Padang digambarkan Marah Rusli cukup melelahkan. Jalan
naik ke atas bertangga-tangga banyak. Tangga-tangga itu ketika musim hujan
menjadi licin. Namun, ketika telah sampai di puncak, pemandangan dari atas sana
sangat indah. Kota Padang terlihat jelas arah ke utara, sementara ke barat
terlihat laut membentang biru dengan garis pantai yang panjang dengan jejeran
pohon kelapa yang mengepak-ngepak ditiup angin.
Di
bagian timur akan terlihat lapangan luas dengan sungai Arau sebagai batasnya. Di
lain sisi akan terlihat pula komplek penjara Muaro dan kantor pengadilan. Sekali
pun dua yang disebutkan terakhir ini, catat Marah Rusli pula, adalah tempat
yang “mendatangkan dahsyat dan sedih hati”, namun jika dilihat dari atas Gunung
Padang tak ubahnya seperti melihat keindahan bangunan-bangunan lain. Di
layangkan pandangan jauh ke daratan, nun, dapat dilihat puncak Singgalang dan
Merapi dilingkari awan keputih-putihan.
Di
puncak Gunung Padang berdiri sebuah bangunan semacam bungalo untuk
peristirahatan. Bungalo itu dilengkapi dengan bangku dan meja yang
berderet-deret. Di sana pengunjung dapat bersantai melepaskan lelah. Angin laut
yang berhembus bersatu dengan angin perbukitan yang lembut akan menyejukkan badan
yang panas karena mendaki. Ditambah lagi, pengunjung dapat mengalai-ngalai pada ayunan yang disediakan, sebab di sana ada “ayun-ayunan,
tempat berangin-angin, ganti kipas”, catat Marah Rusli.
‘Kompleks’
rekreasi puncak Gunung Padang itu dijaga dan dibersihkan oleh orang hukuman
dari tansi Muaro sekali sepekan. Tidak disebutkan apakah orang-orang Belanda
juga memanfaatkan kawasan itu sebagai tempat rekreasi mereka. Yang jelas,
kebanyakan pengunjung adalah keluarga-keluarga pribumi dan muda-mudi yang
tengah bercinta dan berkasih-kasihan, dan di waktu tertentu dipenuhi para
peziarah. Banyak juga di antaranya pemuda-pemuda terpelajar, semisal Sitti
Nurbaya, Syamsul Bahri, dan teman-teman sekolahnya.
Untuk
sampai ke Gunung Padang, orang harus menyeberangi sungai Arau dengan naik
perahu, sebab ketika itu belum ada jembatan penyeberangan. “Di batang Arau
kelihatan berpuluh-puluh sampan, yang menyeberangkan mereka pulang balik,
sedang di pinggir jalan raya kelihatan pula berpuluh-puluh bendi berjejer,
menunggu muatan,” tulis Marah Rusli. Tidak disebutkan dalam novel ini berapa
bayaran untuk seorang penumpang dalam sekali penyeberangan. Namun, yang pasti,
menyeberangkan orang dengan perahu telah menjadi mata pencarian tersendiri pula
bagi beberapa warga kota di sekitaran kawasan itu.
Kota Lama
Pusat
Kota Lama di sisi utara batang Arau, di sekitaran Muaro, merupakan tempat lain
yang ramai dikunjungi warga kota untuk berlibur. Di sana terdapat jalan kereta
api dan jalan besar untuk mengangkut barang-barang. Pada sebelah utara jalan besar
ini, beberapa gudang pemerintah dan maskapai swasta berderet sejajar mengikuti
garis jalan, disambung toko-toko sampai ke kampung Cina dan Pasar Gadang. Tempat
ini, tulis Marah Rusli, “memang bagian kota Padang yang amat indah”.
Tata
bangunan kawasan kota itu teratur dan rapi. Ini memberi pemandangan yang elok
untuk dinikmati. Kawasan ini merupakan prototipe kota Eropa Barat dengan corak
bangunannya yang berkotak-kotak dengan atap bertingkat. Oleh sebab itu, kawasan
ini juga menjadi tempat rekreasi bagi warga kota terutama di akhir pekan pada
sore-sore hari. Tempat ini kerap dikunjungi oleh mereka yang, tulis Marah
Rusli, “suka berjalan-jalan pada petang hari, tatkala matahari hampir silam,
untuk mengambil hawa yang baik.”
Pada
hari besar seperti hari raya Idul Fitri, perayaan Cap Gho Meh, maupun hari raya
Natal dan tahun baru, daerah ini akan padat dan penuh sesak oleh pengunjung. Jalan
utama yang melintas kawasan ini menjadi tempat pawai dan pacu bendi. Marah
Rusli menulis: “hampir tiada dapat ditempuh orang yang berjalan kaki, karena
berpuluh puluh bendi dengan berbuka tenda, berlumba-lumba di sana, mengadu
deras lari kudanya.”
Dapat
dipastikan, acara-acara besar seperti itu telah menjadi hiburan tersendiri bagi
warga kota yang mungkin memang haus hiburan. Dan mereka yang haus hiburan itu akan
berbondong-bondong datang untuk menyaksikan setiap ‘perhelatan’ seperti semut
mengerubungi gula. Warga pribumi, Tionghoa, Keling, dan orang Belanda sendiri,
bercampur-baur dalam suasana yang meriah itu.
Pantai Padang
Arah
ke utara dari kawasan kota lama, terbentang pantai Padang dengan ombaknya yang
berdebur dan pasirnya yang agak kehitaman. Sepanjang pesisir pantai ini, catat
Marah Rusli, “kira-kira sepal jauhnya, adalah suatu taman bunga-bungaan, yang
dihiasi oleh beberapa jalan kecil-kecil.” Pada beberapa tempat di sepanjang
jalan-jalan kecil itu, dan di antara taman-taman bunga itu, ada bangku-bangku
tempat berhenti mereka “yang lelah karena perjalanannya”.
Di
sana pula terdapat pohon ketapang yang rindang untuk melindungi pengunjung dari
sengat matahari. Di tengah taman ini juga terdapat sebuah rumah punjung yang bundar
dan cantik bangunannya. Rumah itu, menurut Marah Rusli pula, “diperbuat di atas
suatu gunung-gunungan, sebagai suatu mahligai di dalam istana.”
Taman-taman
sepanjang pantai itu menjadi suatu tempat yang sangat menarik hati bangsa Eropa
yang tinggal di kota Padang pada masa itu. Orang-orang Eropa bersama keluarga
mereka sering berkunjung pada sore hari untuk menyaksikan matahari terbenam di
sebelah barat. Mereka juga berjalan-jalan di sepanjang taman untuk berolahraga
ringan. Kadang mereka juga membawa istri dan anak-anak.
Di
samping orang-orang Eropa, pribumi Padang sendiri pun diperkirakan juga menjadikan
Pantai Padang sebagai arena rekreasi. Kaum muda-mudi terpelajar yang menempuh
pendidikan baik di sekolah pribumi maupun di sekolah Belanda akan mengunjungi
kawasan ini untuk bersuka-ria melepaskan penat atau berpacaran memadu kasih. Bukan
saja di siang hari, mereka juga datang pada waktu malam. Di antara para pengunjung,
catat Marah Rusli, adalah mereka “... yang berkasih-kasihan ... pada waktu
terang bulan.”
***
Dan kini, Pantai Padang semakin populer. Jalan
lebar dibangun hingga ke Purus. Di sisi tengah dan tepi jalan itu dilengkapi
taman mini dengan bangku-bangku bersantai. Ketika malam lampu-lampu kelap-kelip
menyala (setengahnya tidak, barangkali rusak). Beberapa restoran dan hotel megah
berdiri. Sementara pedagang kecil juga mendirikan lapak semi-permanen. Beberapa
lapak menyediakan ‘bilik-bilik’ (yang kadang dimanfaatkan pasangan muda-mudi untuk
bermesraan melepas hasrat bercinta).
Begitu pun dengan kawasan Kota Lama di
pinggiran Arau, sejak jembatan Siti Nurbaya dibangun melintangi sungai itu,
orang-orang semakin ramai datang ke sana. Sekali pun tidak ada lagi pawai
karavan dan pacu bendi di hari-hari besar, namun keberadaan jembatan Siti
Nurbaya telah menarik pengunjung untuk menikmati keindahan kota lama dan
pelabuhan Muaro terutama pada malam hari dari atasnya.
Ditambah lagi, para pengunjung juga dapat
menikmati jagung bakar di lesehan-lesehan di sisi kiri dan kanan badan
jembatan. Di pinggiran Arau juga berdiri lapak-lapak tempat berkaroke yang buka
sampai subuh.
Sementara itu, sedikit berbeda, Gunung
Padang tidak lagi ramai dikunjungi. Sekali pun, kawasan ini kadang juga masih
didatangi oleh beberapa kelompok pelajar yang ingin berkemah, atau oleh mereka
yang ingin menikmati petualangan kecil-kecilan
di pagi Minggu.
Padang, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar