Kamis, 29 Januari 2015

Sultan Alam Bagagarsyah Pahlawan Nasional dari Kerajaan Pagaruyung

OLEH Alfian Jamrah
Apalagi sebagian besar mereka adalah tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan yang membebaskan bangsa ini dari penjajah.  Bahkan salah seorang putra Sumatera Barat telah menjadi proklamator kemer­dekaan negara ini.
Tapi yang menjadi tanda tanya adalah mengapa dari belasan orang pahlawan nasional asal Sumatera Barat itu tidak ada yang berlatar belakang sejarah perjuangan Minangkabau, tetapi semuanya adalah perjuangan nasional.
Apakah suku bangsa Minangkabau ini dulu tidak melakukan perlawanan terhadap penjajah dan apakah etnis ini dulu hanya diam saja atau berkompromi dengan penjajah. 
Padahal banyak daerah lain di Nusantara ini punya pahlawan nasional yang berlatar kedaerahan, seperti Sultan Hasanuddin dari Sulawesi Selatan, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, Sultan Agung dari Jawa Tengah, Sultan Thaha Syaifuddin dari Jambi, Sultan Mahmud Badaruddin II dari Sumatera Selatan, Sultan Iskandar Muda dari Aceh, Sultan Syarif Kasim II dari Riau, Sultan Hamengkubuwono dari Yogyakarta dan banyak lagi yang lainnya.
Sebenarnya kita juga punya tokoh yang berlatar belakang perjuangan daerah Minangkabau, yaitu Sultan Alam Bagagarsyah (1789-1849), beliau adalah Raja Pagaruyung terakhir. Beliau juga melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda dan  buktinya kerajaan di Minang­kabau dihabisi oleh Belanda. 
Pada penggalan sejarah memang beliau pernah diangkat oleh Belanda menjadi Hoofdregent van Menang­kabo (1824) dan sebagai Regent van Tanadatar (1826),  tapi kemudian beliau dicampakkan begitu saja. Ada pula isu penyerahan wilayah kepada Belanda, tapi itu strategi agar rakyat tidak dibunuh oleh penjajah.
Sultan Alam Bagagarsyah dalam perjalanan hidupnya banyak menan­tang Belanda sehingga beliau dihu­kum di Benteng Van der Capellen Batusangkar, kemudian ditahan di penjara Muaro Padang dan akhirnya dibuang ke Batavia pada tanggal 24 Mei 1833 yang dibawa dengan kapal Calippso. 
Dalam perjalanan dari Batusangkar ke Padang kaki dan tangannya diborgol dan hanya dibuka ketika berhenti istirahat saja. Beliau ditangkap pada 2 Mei 1833 karena bekerja sama dengan Tuanku Imam Bonjol dan Sentot Alibasyah dan ikut memprakarsai pemberontakan besar-besaran di Minangkabau pada 11 Januari 1833.  Beliau ditahan di penjara bawah tanah yang sempit dan berair di benteng Fathahillah Batavia dan tidak diperbolehkan pulang lagi ke Pagaruyung hingga akhir hayatnya. Akhirnya beliau wafat di Batavia pada 12 Februari 1849, masih dalam status tahanan kolonialis Belanda.
Seratus dua puluh enam tahun kemudian, yaitu pada tanggal 12 Februari 1975 makam beliau dipin­dahkan dari Mangga Dua Batavia ke Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta atas prakarsa tokoh-tokoh Minangkabau, yaitu Bung Hatta, Bahder Djohan, Hazairin, Harun Zain, Hamka, Amura dan lainnya. Meskipun sudah dimakamkan di taman makam pahlawan tetapi beliau belum bergelar pahlawan nasional dan sejarahnya tidak banyak dike­tahui anak negeri ini.
Sultan Alam Bagagarsyah me­mang pernah diusulkan oleh Pe­merintah Propinsi Sumatera Barat untuk menjadi pahlawan nasional pada tahun 2008 lalu yang didukung oleh seluruh kabupaten/kota di Sumbar, organisasi sosial masyarakat, para perantau, perguruan tinggi, organisasi politik dan beberapa kerajaan Nusantara. Tapi malang akhirnya gagal karena tidak didukung oleh segelintir  orang Minangkabau sendiri. Kesalahannya dibesar-besarkan dan dijadikan dasar untuk menggagalkannya. 
Mereka hanya melihat sisi lemahnya saja dan tidak mengemukakan aspek perjua­ngannya yang besar. Padahal sejara­wan Taufik Abdullah pernah menga­takan bahwa semua pahlawan nasional juga punya sisi gelapnya karena sebagai manusia tentu punya keku­rangan dan kesalahan,  tidak ada pahlawan yang benar seratus persen.
Nah, mengapa kita perlu mem­perjuangkan Sultan Alam Bagagarsyah untuk menjadi pahlawan nasional. Alasannya karena perjuangan beliau berlatar belakang ke-Minangkabau-an yang dapat mengangkat marwah dan opini bahwa Minangkabau juga ikut melawan penjajah Belanda, sama dengan suku bangsa lainnya di Nusantara.
Kemudian wilayah Kerajaan Pagaruyung itu luas, ada 72 unsur sapiah balahan dan kuduang karatan, yaitu kerajaan-kerajaan yang mendukungnya di Nusantara hingga ke Maluku, NTT dan bahkan sampai ke Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam.  Beliau adalah raja terakhir dan telah wafat bersama habisnya kebesaran Kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung dulunya.

Ketika suatu waktu anak cucu kita bertanya, siapa pejuang atau pahlawan dari Minangkabau, maka kita belum ada jawabannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...