OLEH H. Kamardi Rais Dt. P Simulie
Hari Jumat, 22 September 2006, saya
selaku Ketua Umum Pucuk Pimpinan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau
(LKAAM) Sumatera Barat telah melewakan (mangambang laweh, marantang panjang)
gelar Sangsako (gelar kehormatan) atas diri Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono
(Presiden Republik Indonesia) serta Ibu Ani Bambang Yudhoyono di Istano Basa
Pagaruyung, Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar.
Pada akhir pidato pelewaan tersebut saya
sampaikan sebuah harapan dan permohonan kiranya Pemerintah Republik Indonesia
dapat mengangkat Sultan Alam Bagagarsyah, Raja Pagaruyung terakhir (1789-1849)
sebagai Pahlawan Nasional.
Sultan Alam Bagagarsyah adalah seorang
pejuang dan seorang bangsawan yang anti penjajahan. Kemudian hidup di daerah
pembuangannya (Batavia) dengan segala derita yang ditanggungnya. Tidak boleh
berkomunikasi/bercakap dengan pihak luar dan tak ada izin untuk melihat tanah
leluhurnya Minangkabau walau agak sekejap. Ia wafat di tempat pembuangannya dan
dimakamkan di Mangga Dua.
Pada tahun 1974 terbetiklah berita bahwa
Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, akan melakukan penggusuran makam di Mangga Dua itu. Pihak keturunan Almarhum
bersama dengan pituo dan tokoh Minang yang ada di Jakarta sepakatlah untuk
membentuk Panitia Penyelamat dan pemindahan makam Raja Pagaruyung terakhir
tersebut.
Panitia Penyelamat itu diketuai oleh Buya
Prof Dr Hamka bersama tokoh Minang lainnya seperti Bachtiar Dt Pado Panghulu
(mantan Wali Kota Padang) Prof Amura, Tengku Musyirwan Sabarudin, Kolonel
Sazuli, dan lain-lain dengan Drs Mardanas Safwan sebagai Sekretaris.
Sedangkan sebagai Pelindung adalah Dr Moh
Hatta, Prof Dr Bahder Djohan, Prof Hazairin, SH. Sementara Penasihat adalah
Gubernur Sumatera Barat Harun Zain dan LKAAM Sumatera Barat.
Pada bulan November 1974 itu kebetulan
sedang berlangsung Musyawarah Besar III LKAAM Sumatera Barat di Kota
Payakumbuh. Masalah penyelamatan/pemindahan makam Almarhum Sultan Alam
Bagagarsyah tersebut sampai juga ke dalam Mubes dan diagendakan untuk dibahas
dalam Sidang Komisi Umum. Dalam rumusan siding Komisi Umum direkomendasikanlah
kepada Pucuk Pimpinan LKAAM Sumatera Barat bahwa LKAAM Sumatera Barat mendukung
penyelamatan dan pemindahan makam orang yang dimuliakan itu.
Selesai Mubes III LKAAM Sumbar di
Payakumbuh, Pucuk Pimpinan LKAAM Sumatera Barat melayangkan surat kepada
Gubenrur Sumbar selaku Badan Pembina Pahlawan Daerah, kiranya Gubernur
mengambil langkah-langkah untuk mengusulkan kepada Pemerintah Pusat agar
Almarhum Sultan Alam Bagagarsyah dapat dipindah makamnya ke TMP Kalibata serta
mendapat tempat yang layak sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Pemerintah
terhadap Pahlawan Nasional lainnya. (Surat Pucuk Pimpinan LKAAM Sumbar itu
tertanggal 20 November 1974, Nomor : B.039/LKAAM-SB/II-74). Ditandatangani oleh
Ketua Umum Drs Mawardi Yunus Dt Rajo Mangkuto dan Pjs Sekretaris Umum Arif Aziz
St Pamenan.
Besoknya tanggal 21 November 1974,
Gubernur Sumatera Barat Harun Zain selaku Badan Pembina Pahlawan Daerah Sumbar
menulis surat yang sama kepada Menteri Sosial RI (No. Humas 24/16.74) dengan harapan
agar Alm. Sultan Alam Bagagarsyah, Raja Pagaruyung terakhir diakui sebagai
Pahlawan.
Selanjutnya oleh Sekjen Depsos RI, Rosiah
Sarjono, SH selaku Ketua dalam Pembina Pahlawan Pusat dengan suratnya Nomor :
K.324/BPPP/Xii-1974, tertanggal 13 Desember 1974 disampaikan pula kepada
Presiden RI. Isi surat itu antara lain berbunyi :
“Sehubungan dengan akan dibongkarnya
pemakaman umum Mangga Dua oleh Pemerintah DKI Jakarta di mana terdapat makam
Almarhum Sultan Alam Bagagarsyah, Raja terakhir Minangkabau yang dibuang oleh
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1833 sebagai akibat perlawanan beliau
terhadap penjajahan Belanda dan wafat tahun 1849. Mengingat perjuangan Almarhum
dan demi menjaga martabat tokoh-tokoh perjuangan, maka kami mohon dapatlah
kiranya Bapak Presiden berkenan menyetujui pemindahan makam Almarhum ke TMP
Kalibata”
Presiden Republik Indonesia menjawab
Menteri Sosial RI pada tanggal 8 Januari 1975 ditandantangani oleh Sekretaris
Militer Presiden, Letnan Jenderal TNI Tjokropanolo yang menegaskan bahwa
Presiden Soeharto telah berkenan menyetujui permohonan pemindahan makam
Almarhum Sultan Alam Bagagarsyah ke TMP Kalibata dengan catatan asal sesuai
dengan persyaratan-persyaratan yang telah ada.
Setelah mendapatkan surat dari Sekretaris
Militer Presiden itu, maka Mensos RI kembali menyampaikan kepada Presiden bahwa
telah dilakukan penelitian oleh Tim Khusus dari Badan Pembina Pahlawan Pusat.
Tim berpendapat bahwa pemindahan makam Almarhum Sultan tersebut memang sudah
pada tempatnya dipindahkan ke TMP Kalibata. Acara pemindahan itu akan
dilaksanakan pada tanggal 12 Februari 1975 bertepatan dengan peringatan hari
wafat Almarhum ke-126 tahun.
Sesungguhnya peristiwa penggusuran
pemakaman umum di Mangga Dua ini telah membawa kesadaran kita bahwa makam yang
akan digusur tersebut adalah tempat berbaringnya sosok seorang pejuangan
melawan penjajahan Belanda di Sumatera Barat pada abad ke-19.
Selama lebih satu abad Almarhum kesepian
di Mangga Dua. Selama itu mungkin hanya keturunan dan keluarga besarnya saja
yang melakukan ziarah ke makam itu. Seolah-olah kita telah melupakan sejarah.
Ketika tiba saatnya tanggal 12 Februari
1975 acara pemindahan makam Sultan Alam Bagagarsyah dari Mangga Dua ke Taman
Makam Pahlawan Kalibata berlangsung dengan penuh khidmat sebagaimana layaknya
pemakaman seorang Pahlawan. Media pers melaporkan suasana adat Minang dengan
resam istiadat raja-raja nampak lebih dominan. Tidak kurang dari Bung Hatta
(mantan Wapres RI) memerlukan hadir. Menteri Sosial RI Mintaraja, SH mewakili
Pemerintah di dampingi oleh Gubernur DKI Jakarta Raya Ali Sadikin, Gubernur
Sumatera Barat Harun Zain datang bersama Pimpinan LKAAM Sumatera Barat Drs
Mawardi Yunus Dt Rajo Mangkuto di dampingi oleh Idrus Hakimy Dt Rajo Panghulu.
Kerabat Almarhum dari Pagaruyung juga hadir yakni Sutan Usman (waktu itu Wali
Kota Payakumbuh) datang berdua dengan kakaknya Tuan Gadih Gadang Puti Dismah.
Juga hadir keluarga besar Almarhum dari
Jakarta, Banten, Medan, dan lain-lain. Ninik Mamak dan Bundo Kanduang
berpakaian adat Minang, Alim Ulama dan Cerdik Pandai (para cendikiawan Minang).
Bachtiar Dt Pado panghulu, pituo Minang di Jakarta mengantar acara adat lengkap
dengan pepatah-petitih.
Sementara Buya Prof Dr Hamka tampil
memberikan sambutan yang sangat mengharukan. Keberanian dan tekad Almarhum
Sultan Alam Bagagarsyah, Raja Pagaruyung terkahir ini rasanya tak sanggup kita
menilainya sekarang. Ia berani bertindak atau berbuat dan berani buka kartu
bahwa dialah yang membuat surat kepada Panghulu-Panghulu berikut para Dubalang
agar bahu membahu dengan kaum Pidari untuk mengusir Belanda dari negeri kita.
Surat Sultan Alam Bagagarsyah tersebut
jatuh ke tangan Belanda. Sebelum Almarhum menulis surat sakti tersebut telah
ada serangkaian kegiatan berupa pertemuan-pertemuan rahasia antara Sultan,
Tuanku Imam Bonjol dan Sentot Ali Basya (Pemimpin pasukan Diponegoro) yang
ditangkap Belanda kemudian dikirim ke Sumatera Barat untuk ikut melawan Padri.
Sentot kemudian belot dan bersatu dengan Padri.
Di dalam pertemuan di Batusangkar,
Residen Elout telah mempermalukan Sultan di depan orang banyak dengan perintah
tangkap Sultan karena dia seorang pengkhianat besar terhadap Pemerintah Hindia
Belanda. Beberapa orang kakitangan pemerintah Belanda yang berada di samping
Sultan segera memborgol Sultan. Dikawal oleh satu Detasmen tentara Belanda dan
diperintahkan berangkat ke Padang dengan menaiki seekor kuda diiringi pasukan
Belanda bersenjata lengkap.
Peristiwa ini dari berbagai catatan
terjadi tanggal 2 Mei 1833. Keesokan harinya baru sampai di Padang dan
dimasukkan dalam penjara. Sambil menunggu kapal datang ke Padang maka tanggal
24 Mei 1833 baru dikirim ke Batavia sebagai orang buangan dengan ketentuan
tidak boleh bercakap atau berkomunikasi dengan pihak luar.
Rusli Amran dalam bukunya “Padang
Riwayatmu doeloe” melukiskan Raja Alam Minangkabau terkahir tersebut sangat
disegani, punya kharisma dan wibawa, meskipun ia tidak punya tentara atau
serdadu seperti layaknya raja-raja di Eropa.
Upaya untuk itu mendiskreditkan Sultan
Minangkabau oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan tujuan untuk menghapuskan
kerajaan Minangkabau sudah nampak jelas.
Sebagai Raja Pagaruyung, Sultan Alam
Bagagarsyah diberi kedudukan sebagai Hoofdregent van Minangkabau yang membawahi
Luhak Tanah Datar, Agam dan 50 Koto. (Luhak nan Tigo atau Padang Darek)
Sedangkan untuk Padang dan rantau pesisir
di angkat pula seorang Hoofdregent Van Padang yang menurut buku “Sumatera Barat sampai Plakat Panjang”, (Rusli Amran) adalah Panglima
Mansur Alamsyah dngan wilayah kekuasaannya Padang, Pariaman, Pulau Cingko dan
Air Haji.
Kemudian kekuasaan Sultan Alam
Bagagarsyah dari Regent Van Minangkabau diturunkan menjadi Regent Van Tanah
Datar saja. Keputusan yang tidak menyenangkan ini dapat diperkirakan akan
berakhir dengan menjadikan Raja Pagaruyung tersebut sebagai orang biasa saja.
Dapat dimaklumi bahwa kelak dengan dilikwidasinya kerajaan Pagaruyung ini akan
semakin berkukulah Pemerintahan Hindia Belanda di bumi Indonesia pada umumnya
di daerah Minangkabau khususnya.
Politik Belanda yang pada mulanya
melakukan “devide et impera“ kemudian mengupil (menggerogoti) jabatan Yang
Dipatuan Minangkabau tersebut. Tujuannya agar Pemerintah jajahan tersebut
semakin sewenang-wenang melakukan tindakan-tindakan yang akan menguntungkan
pihak penjajahan tersebut.
Kita telah mendengarkan paparan dari
pakar sejarah sebagai nara sumber dengan keynot speaker Menteri Sosial RI yang
budiman Bapak Bachtiar Chamsyah.
Dari uraian saya di atas, saya ingin
menyimpulkan sebagai berikut :
A. Sungguh ironis sekali
seorang pejuang yakni Sultan Alam Bagagarsyah yang telah mengalami berbagai
penderitaan akibat tindakan atau perjuangannya mengusir Belanda dari Tanah Air
bersama Padri dan Sentot Ali Basya dari Jawa. Ternyata makamnya sejak tahun
1975 lalu telah di izinkan oleh Pemerintah RI (Presiden) untuk berkubur di
Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tapi Almarhum belum ditetapkan sebagai Pahlawan
Nasional sampai sekarang.
B. Membaca surat Sekjen
Depsos, Rusiah Sarjono, SH selaku Badan Pembina Pahlawan Pusat Kepada Presiden
RI, surat nomor : K. 324/BPPP/XII-1974 yang intinya permohonan pemindahan makam
Raja Pagaruyung ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa
Sultan Alam Bagagarsyah, Raja Minangkabau terakhir tersebut telah dibuang oleh
Belanda ke Batavia akibat perjuangan beliau menentang penjajahan Belanda. Dalam
surat berikutnya Sekjen Depsos RI kepada Presiden RI Soeharto bawa telah
dilakukan penelitian oleh Tim Khusus dari RPPP menyatakan bahwa sudah pada
tempatnya Almarhum Sultan Minangkabau tersebut di makamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata.
C. Dalam pidato Buya Hamka,
12 Februari 1975 menegaskan bahwa Belanda menyatakan Almarhum Sultan Alam
Bagagarsyah pengkhianat kepada Belanda. Namun, bagi rakyat Minangkabau, Sultan tersebut adalah raja yang
dihormatinya.
Hamka juga mengutip ucapan Tuanku Imam
Bonjol yang dibuang ke Ambon kemudian
dipindahkan lagi ke Lotak, Pinalang, Minahasa (Sulawesi Utara). Kata Tuanku
Imam Bonjol : “Saya boleh dibuang ke mana saja menurut kemauan Pemerintah Hindia Belanda. Yang saya minta
hanya satu : Bebaskan Raja Kami Sultan Alam Bagagarsyah!!
D. Jika ada yang
mempersoalkan bahwa Sultan Alam Bagagarsyah cacat dalam perjuangan haruslah
kita lihat sebagai taktik semata dalam berhadapan dengan penjajah yang begitu
kuat dan bersenjatakan lengkap. Tuanku Omar Djohan Pahlawan kalau kita pelajari
riwayat hidupnya juga memiliki taktik yang sama. Berpura-pura memihak kepada
Belanda tapi kemudian menentang Belanda habis-habisan.
Barangkali banyak contohnya yang lain
bahwa sebuah taktik menang akan mencengangkan kita jika kita tidak memahami
latar belakang lahirnya sebuah taktik tersebut.
Demikianlah secuil pendapat yang dapat
saya kemukakan sebagai pengusul/permohonan kepada Pemerintah untuk menetapkan
Sultan Alam Bagagarsyah Raja Pagaruyung terakhir sebagai Pahlawan Nasional.
Padang, 17
Maret 2008
Tulisan ini disampaikan
pada Seminar Nasional Sultan Alam
Bagagarsyah, Raja Alam Minangkabau
Terakhir, 1789-1849, Senin, 17 Maret 2008 di Hotel Bumiminang, Padang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar