Kamis, 29 Januari 2015

Sultan Alam Bagagarsyah, Raja Pagaruyung Terakhir sebagai Pahlawan Nasional

OLEH H. Kamardi Rais Dt. P Simulie
Hari Jumat, 22 September 2006, saya selaku Ketua Umum Pucuk Pimpinan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat telah melewakan (mangambang laweh, marantang panjang) gelar Sangsako (gelar kehormatan) atas diri Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden Republik Indonesia) serta Ibu Ani Bambang Yudhoyono di Istano Basa Pagaruyung, Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar.

Pada akhir pidato pelewaan tersebut saya sampaikan sebuah harapan dan permohonan kiranya Pemerintah Republik Indonesia dapat mengangkat Sultan Alam Bagagarsyah, Raja Pagaruyung terakhir (1789-1849) sebagai Pahlawan Nasional.
Sultan Alam Bagagarsyah adalah seorang pejuang dan seorang bangsawan yang anti penjajahan. Kemudian hidup di daerah pembuangannya (Batavia) dengan segala derita yang ditanggungnya. Tidak boleh berkomunikasi/bercakap dengan pihak luar dan tak ada izin untuk melihat tanah leluhurnya Minangkabau walau agak sekejap. Ia wafat di tempat pembuangannya dan dimakamkan di Mangga Dua.
Pada tahun 1974 terbetiklah berita bahwa Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, akan melakukan penggusuran makam  di Mangga Dua itu. Pihak keturunan Almarhum bersama dengan pituo dan tokoh Minang yang ada di Jakarta sepakatlah untuk membentuk Panitia Penyelamat dan pemindahan makam Raja Pagaruyung terakhir tersebut.
Panitia Penyelamat itu diketuai oleh Buya Prof Dr Hamka bersama tokoh Minang lainnya seperti Bachtiar Dt Pado Panghulu (mantan Wali Kota Padang) Prof Amura, Tengku Musyirwan Sabarudin, Kolonel Sazuli, dan lain-lain dengan Drs Mardanas Safwan sebagai Sekretaris.
Sedangkan sebagai Pelindung adalah Dr Moh Hatta, Prof Dr Bahder Djohan, Prof Hazairin, SH. Sementara Penasihat adalah Gubernur Sumatera Barat Harun Zain dan LKAAM Sumatera Barat.
Pada bulan November 1974 itu kebetulan sedang berlangsung Musyawarah Besar III LKAAM Sumatera Barat di Kota Payakumbuh. Masalah penyelamatan/pemindahan makam Almarhum Sultan Alam Bagagarsyah tersebut sampai juga ke dalam Mubes dan diagendakan untuk dibahas dalam Sidang Komisi Umum. Dalam rumusan siding Komisi Umum direkomendasikanlah kepada Pucuk Pimpinan LKAAM Sumatera Barat bahwa LKAAM Sumatera Barat mendukung penyelamatan dan pemindahan makam orang yang dimuliakan itu. 
Selesai Mubes III LKAAM Sumbar di Payakumbuh, Pucuk Pimpinan LKAAM Sumatera Barat melayangkan surat kepada Gubenrur Sumbar selaku Badan Pembina Pahlawan Daerah, kiranya Gubernur mengambil langkah-langkah untuk mengusulkan kepada Pemerintah Pusat agar Almarhum Sultan Alam Bagagarsyah dapat dipindah makamnya ke TMP Kalibata serta mendapat tempat yang layak sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Pemerintah terhadap Pahlawan Nasional lainnya. (Surat Pucuk Pimpinan LKAAM Sumbar itu tertanggal 20 November 1974, Nomor : B.039/LKAAM-SB/II-74). Ditandatangani oleh Ketua Umum Drs Mawardi Yunus Dt Rajo Mangkuto dan Pjs Sekretaris Umum Arif Aziz St Pamenan.
Besoknya tanggal 21 November 1974, Gubernur Sumatera Barat Harun Zain selaku Badan Pembina Pahlawan Daerah Sumbar menulis surat yang sama kepada Menteri Sosial RI (No. Humas 24/16.74) dengan harapan agar Alm. Sultan Alam Bagagarsyah, Raja Pagaruyung terakhir diakui sebagai Pahlawan.
Selanjutnya oleh Sekjen Depsos RI, Rosiah Sarjono, SH selaku Ketua dalam Pembina Pahlawan Pusat dengan suratnya Nomor : K.324/BPPP/Xii-1974, tertanggal 13 Desember 1974 disampaikan pula kepada Presiden RI. Isi surat itu antara lain berbunyi :
“Sehubungan dengan akan dibongkarnya pemakaman umum Mangga Dua oleh Pemerintah DKI Jakarta di mana terdapat makam Almarhum Sultan Alam Bagagarsyah, Raja terakhir Minangkabau yang dibuang oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1833 sebagai akibat perlawanan beliau terhadap penjajahan Belanda dan wafat tahun 1849. Mengingat perjuangan Almarhum dan demi menjaga martabat tokoh-tokoh perjuangan, maka kami mohon dapatlah kiranya Bapak Presiden berkenan menyetujui pemindahan makam Almarhum ke TMP Kalibata”
Presiden Republik Indonesia menjawab Menteri Sosial RI pada tanggal 8 Januari 1975 ditandantangani oleh Sekretaris Militer Presiden, Letnan Jenderal TNI Tjokropanolo yang menegaskan bahwa Presiden Soeharto telah berkenan menyetujui permohonan pemindahan makam Almarhum Sultan Alam Bagagarsyah ke TMP Kalibata dengan catatan asal sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang telah ada.
Setelah mendapatkan surat dari Sekretaris Militer Presiden itu, maka Mensos RI kembali menyampaikan kepada Presiden bahwa telah dilakukan penelitian oleh Tim Khusus dari Badan Pembina Pahlawan Pusat. Tim berpendapat bahwa pemindahan makam Almarhum Sultan tersebut memang sudah pada tempatnya dipindahkan ke TMP Kalibata. Acara pemindahan itu akan dilaksanakan pada tanggal 12 Februari 1975 bertepatan dengan peringatan hari wafat Almarhum ke-126 tahun.
Sesungguhnya peristiwa penggusuran pemakaman umum di Mangga Dua ini telah membawa kesadaran kita bahwa makam yang akan digusur tersebut adalah tempat berbaringnya sosok seorang pejuangan melawan penjajahan Belanda di Sumatera Barat pada abad ke-19.
Selama lebih satu abad Almarhum kesepian di Mangga Dua. Selama itu mungkin hanya keturunan dan keluarga besarnya saja yang melakukan ziarah ke makam itu. Seolah-olah kita telah melupakan sejarah.
Ketika tiba saatnya tanggal 12 Februari 1975 acara pemindahan makam Sultan Alam Bagagarsyah dari Mangga Dua ke Taman Makam Pahlawan Kalibata berlangsung dengan penuh khidmat sebagaimana layaknya pemakaman seorang Pahlawan. Media pers melaporkan suasana adat Minang dengan resam istiadat raja-raja nampak lebih dominan. Tidak kurang dari Bung Hatta (mantan Wapres RI) memerlukan hadir. Menteri Sosial RI Mintaraja, SH mewakili Pemerintah di dampingi oleh Gubernur DKI Jakarta Raya Ali Sadikin, Gubernur Sumatera Barat Harun Zain datang bersama Pimpinan LKAAM Sumatera Barat Drs Mawardi Yunus Dt Rajo Mangkuto di dampingi oleh Idrus Hakimy Dt Rajo Panghulu. Kerabat Almarhum dari Pagaruyung juga hadir yakni Sutan Usman (waktu itu Wali Kota Payakumbuh) datang berdua dengan kakaknya Tuan Gadih Gadang Puti Dismah.
Juga hadir keluarga besar Almarhum dari Jakarta, Banten, Medan, dan lain-lain. Ninik Mamak dan Bundo Kanduang berpakaian adat Minang, Alim Ulama dan Cerdik Pandai (para cendikiawan Minang). Bachtiar Dt Pado panghulu, pituo Minang di Jakarta mengantar acara adat lengkap dengan pepatah-petitih.
Sementara Buya Prof Dr Hamka tampil memberikan sambutan yang sangat mengharukan. Keberanian dan tekad Almarhum Sultan Alam Bagagarsyah, Raja Pagaruyung terkahir ini rasanya tak sanggup kita menilainya sekarang. Ia berani bertindak atau berbuat dan berani buka kartu bahwa dialah yang membuat surat kepada Panghulu-Panghulu berikut para Dubalang agar bahu membahu dengan kaum Pidari untuk mengusir Belanda dari negeri kita.
Surat Sultan Alam Bagagarsyah tersebut jatuh ke tangan Belanda. Sebelum Almarhum menulis surat sakti tersebut telah ada serangkaian kegiatan berupa pertemuan-pertemuan rahasia antara Sultan, Tuanku Imam Bonjol dan Sentot Ali Basya (Pemimpin pasukan Diponegoro) yang ditangkap Belanda kemudian dikirim ke Sumatera Barat untuk ikut melawan Padri. Sentot kemudian belot dan bersatu dengan Padri.
Di dalam pertemuan di Batusangkar, Residen Elout telah mempermalukan Sultan di depan orang banyak dengan perintah tangkap Sultan karena dia seorang pengkhianat besar terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Beberapa orang kakitangan pemerintah Belanda yang berada di samping Sultan segera memborgol Sultan. Dikawal oleh satu Detasmen tentara Belanda dan diperintahkan berangkat ke Padang dengan menaiki seekor kuda diiringi pasukan Belanda bersenjata lengkap.
Peristiwa ini dari berbagai catatan terjadi tanggal 2 Mei 1833. Keesokan harinya baru sampai di Padang dan dimasukkan dalam penjara. Sambil menunggu kapal datang ke Padang maka tanggal 24 Mei 1833 baru dikirim ke Batavia sebagai orang buangan dengan ketentuan tidak boleh bercakap atau berkomunikasi dengan pihak luar.
Rusli Amran dalam bukunya “Padang Riwayatmu doeloe” melukiskan Raja Alam Minangkabau terkahir tersebut sangat disegani, punya kharisma dan wibawa, meskipun ia tidak punya tentara atau serdadu seperti layaknya raja-raja di Eropa.
Upaya untuk itu mendiskreditkan Sultan Minangkabau oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan tujuan untuk menghapuskan kerajaan Minangkabau sudah nampak jelas.
Sebagai Raja Pagaruyung, Sultan Alam Bagagarsyah diberi kedudukan sebagai Hoofdregent van Minangkabau yang membawahi Luhak Tanah Datar, Agam dan 50 Koto. (Luhak nan Tigo atau Padang Darek)
Sedangkan untuk Padang dan rantau pesisir di angkat pula seorang Hoofdregent Van Padang yang menurut  buku “Sumatera Barat sampai  Plakat Panjang”, (Rusli Amran) adalah Panglima Mansur Alamsyah dngan wilayah kekuasaannya Padang, Pariaman, Pulau Cingko dan Air Haji.
Kemudian kekuasaan Sultan Alam Bagagarsyah dari Regent Van Minangkabau diturunkan menjadi Regent Van Tanah Datar saja. Keputusan yang tidak menyenangkan ini dapat diperkirakan akan berakhir dengan menjadikan Raja Pagaruyung tersebut sebagai orang biasa saja. Dapat dimaklumi bahwa kelak dengan dilikwidasinya kerajaan Pagaruyung ini akan semakin berkukulah Pemerintahan Hindia Belanda di bumi Indonesia pada umumnya di daerah Minangkabau khususnya.
Politik Belanda yang pada mulanya melakukan “devide et impera“ kemudian mengupil (menggerogoti) jabatan Yang Dipatuan Minangkabau tersebut. Tujuannya agar Pemerintah jajahan tersebut semakin sewenang-wenang melakukan tindakan-tindakan yang akan menguntungkan pihak penjajahan tersebut.
Kita telah mendengarkan paparan dari pakar sejarah sebagai nara sumber dengan keynot speaker Menteri Sosial RI yang budiman Bapak Bachtiar Chamsyah.
Dari uraian saya di atas, saya ingin menyimpulkan sebagai berikut :
A.     Sungguh ironis sekali seorang pejuang yakni Sultan Alam Bagagarsyah yang telah mengalami berbagai penderitaan akibat tindakan atau perjuangannya mengusir Belanda dari Tanah Air bersama Padri dan Sentot Ali Basya dari Jawa. Ternyata makamnya sejak tahun 1975 lalu telah di izinkan oleh Pemerintah RI (Presiden) untuk berkubur di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tapi Almarhum belum ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional sampai sekarang.
B.     Membaca surat Sekjen Depsos, Rusiah Sarjono, SH selaku Badan Pembina Pahlawan Pusat Kepada Presiden RI, surat nomor : K. 324/BPPP/XII-1974 yang intinya permohonan pemindahan makam Raja Pagaruyung ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa Sultan Alam Bagagarsyah, Raja Minangkabau terakhir tersebut telah dibuang oleh Belanda ke Batavia akibat perjuangan beliau menentang penjajahan Belanda. Dalam surat berikutnya Sekjen Depsos RI kepada Presiden RI Soeharto bawa telah dilakukan penelitian oleh Tim Khusus dari RPPP menyatakan bahwa sudah pada tempatnya Almarhum Sultan Minangkabau tersebut di makamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
C.     Dalam pidato Buya Hamka, 12 Februari 1975 menegaskan bahwa Belanda menyatakan Almarhum Sultan Alam Bagagarsyah pengkhianat kepada Belanda. Namun, bagi rakyat Minangkabau,  Sultan tersebut adalah raja yang dihormatinya.
Hamka juga mengutip ucapan Tuanku Imam Bonjol  yang dibuang ke Ambon kemudian dipindahkan lagi ke Lotak, Pinalang, Minahasa (Sulawesi Utara). Kata Tuanku Imam Bonjol : “Saya boleh dibuang ke mana saja menurut kemauan  Pemerintah Hindia Belanda. Yang saya minta hanya satu : Bebaskan Raja Kami Sultan Alam Bagagarsyah!!
D.    Jika ada yang mempersoalkan bahwa Sultan Alam Bagagarsyah cacat dalam perjuangan haruslah kita lihat sebagai taktik semata dalam berhadapan dengan penjajah yang begitu kuat dan bersenjatakan lengkap. Tuanku Omar Djohan Pahlawan kalau kita pelajari riwayat hidupnya juga memiliki taktik yang sama. Berpura-pura memihak kepada Belanda tapi kemudian menentang Belanda habis-habisan.
Barangkali banyak contohnya yang lain bahwa sebuah taktik menang akan mencengangkan kita jika kita tidak memahami latar belakang lahirnya sebuah taktik tersebut.
Demikianlah secuil pendapat yang dapat saya kemukakan sebagai pengusul/permohonan kepada Pemerintah untuk menetapkan Sultan Alam Bagagarsyah Raja Pagaruyung terakhir sebagai Pahlawan Nasional.
Padang,  17  Maret  2008

Tulisan ini disampaikan pada Seminar Nasional  Sultan Alam Bagagarsyah, Raja Alam Minangkabau  Terakhir, 1789-1849, Senin, 17 Maret 2008 di Hotel Bumiminang, Padang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...