Di dunia ini masyarakat atau bangsa yang
menganut faham matrilini paling nyata ialah masyarakat Minangkabau. Keturunan
mereka dihitung menurut garis keturunan perempuan atau ibu. Garis keturunan ini
amat penting dalam menentukan suku dan urusan pewarisan harta pusaka kaum
mereka.
Dalam menentukan kelompok atau keturunan
suatu keluarga, pihak ayah tidak masuk hitungan. Anak-anak yang lahir dari
perkawinan, tinggal dan dibesarkan oleh ibunya di sebuah Rumah Gadang milik
kaum yang perempuan. Sedang sang suami sebagai orang yang dilamar ataupun
dijemput dianggap orang lain di rumah itu, karena ia bersuku lain dengan
istrinya.
Sebenarnya keberadaan sang suami adalah
atas inisiatif pihak kaum yang perempuan. Hubungan perkawinan mereka didasarkan
atas pertimbangan dan kepentingan kaum atau pihak yang perempuan akan
keturunan.
Karena pergaulan yang sedemikian erat
antara anak-anak yang lahir dari perempuan bersaudara yang sama-sama pula
dibesarkan di Rumah Gadang itu, adalah aneh bagi orang Minangkabau jika terjadi
perkawinan di antara mereka, walau Agama Islam tidak melarangnya. Lagi pula
Adat Minangkabau dengan tegas melarang pernikahan sesuku semacam itu, karena
akan mengacaukan tatanan Adat Minangkabau.
Belara Hidup Mandiri
Secara tradisi Rumah Gadang yang disebut
juga Rumah Adat Minangkabau diperuntukkan bagi anggota keluarga yang perempuan,
sedangkan yang laki-laki tidak mempunyai lahan di rumah tersebut.
Anggota keluarga laki-laki yang sudah
berumur 10 tahun atau lebih, tidaklah tinggal di rumah itu lagi, akan tetapi di
surau yang dibangun oleh kaum atau suku mereka yang disebut juga Surau Kaum.
Karena tidak tinggal di Rumah Gadang
lagi, sang anak terlepas sudah dari kungkungan dan pengawasan ibu serta
keluarganya.
Barulah kelak setelah berumah tangga, ia
tidak menjadi penghuni surau lagi karena pindah tidur ke rumah istrinya, yaitu
sebuah Rumah Gadang atau Rumah Adat kepunyaan keluarga istrinya.
Selama tinggal di surau bersama sebaya
dan juga dengan yang lebih tua, ia belajar mengaji, berlatih silat dan
sebagainya. Pulang ke rumah ibunya atau ke Rumah Gadang hanyalah untuk makan,
mengganti baju atau menolong kaumnya ke sawah maupun ke ladang dsb.
Saling mempengaruhi sesama sebaya selama
tinggal di surau itu telah memberi bekal kepadanya yakni kepercayaan kepada
diri sendiri yang lebih kuat. Demikian pula dalam menghadapi orang lain
termasuk teman sebaya yang juga tinggal di surau tersebut, menjadikannya lebih
bebas menyatakan pendapat secara demokratis.
Seusai belajar mengaji di malam hari,
mereka belajar silat di pekarangan surau di bawah pimpinan guru. Artinya silat
yang berkembang di Minangkabau masa itu berada dalam penjagaan Agama Islam.
Jadi hidup di surau bersama sebaya
disekitar guru agama yang mengajar dan memimpin, menjadikan alam fikiran dan
inisiatip mereka berkembang lebih bebas dalam suasana pertukaran fikiran serta
perdebatan yang demokratis yang merupakan salah satu ciri khas orang
Minangkabau disamping kepercayaan kepada diri sendiri yang kuat seperti
disebutkan di atas.
Demikian pula kemahiran memakaikan bahasa
dalam mengemukakan berbagai pendapat atau fikiran, menjadi bekal bagi masa
depannya dalam berkominikasi dengan baik dan lancar, misalnya dalam berbagai
organisasi politik, agama, ekonomi dan
lain-lain sebagainya.
Tampak bahwa struktur masyarakat
matrilineal memberi keuntungan dalam pertumbuhan dan perkembangan pribadi orang
Minangkabau baik laki-laki maupun perempuan.
Perempuan
Minangkabau
Demikian pula perempuan Minangkabau
mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri yang kuat, disebabkan ia tidak
bergantung sepenuhnya kepada suaminya. Misalnya dalam kehidupan sehari-hari ia
telah terbiasa bekerja atau berusaha serta bertanggung jawab terhadap
anak-anaknya. Ia punya sawah dan ladang, walau milik bersama ia berhak
mengerjakan dan menikmati hasilnya dengan anak-anaknya. Ia juga punya rumah
yaitu Rumah Gadang, walau milik bersama ia berhak tinggal di sana bersama
anak-anaknya.
Bilamana ia ditinggal mati atau
diceraikan oleh suaminya ia tidak canggung,
karena sejak semula untuk nafkah sehari-hari ia tidak begitu bergantung
kepada suami yang menikahinya.
Di sini kita dapat menarik kesimpulan
bahwa rata-rata perempuan Minangkabau lebih mandiri dan lebih percaya diri dari
suku bangsa manapun.
Semenjak jaman dahulu orang Minangkabau
hidup berkaum-kaum, bersuku-suku, tidak bernafsi-nafsi atau kendiri-kendiri.
Orang Minangkabau dahulu kalau sudah
beristri atau menjadi sumando (semenda) ke kaum / suku lain, tidaklah ia keluar
dari kaum atau sukunya.
Selain menanggung beban penghidupan untuk
anak-istrinya ia juga memperhatikan kaumnya seperti kemenakannya dan
saudara-saudaranya dsb. Ini diungkapkan dalam peribahasa “keluk paku kacang
belimbing, anak dipangku kemenakan dibimbing”.
Jadi tidaklah putus hubungan dengan
kaumnya, karena kepentingan kaumnya diurusnya pula.
Mamaklah (paman, kakak atau adik
laki-laki ibu) yang menanggung baik buruk dan keselamatan para kemenakan.
Misalnya, kalau kemenakan (yang perempuan) tidak mempunyai rumah dibuatkan
rumah, kalau tidak mempunyai sawah di pagangkan (sawah orang lain yang
digadaikan).
Jika seorang mamak tidak mempunyai
kemenakan yang kandung, maka kemenakan yang bersaudara ibu ataupun bersaudara
ninik dan lain-lain asal setali darah dihampirkan. Hal semacam ini dalam adat
dinamakan “menghidupkan api nan padam”.
Sungguhpun kemenakan itu sudah bersuami,
tidaklah lepas dari penilikan dan penjagaan mamaknya, misalnya ketika bekerja
di sawah atau ladang ditolong juga oleh mamaknya.
Singkat kata dalam mencari nafkah
sehari-hari, perempuan yang telah bersuami itu ditolong oleh mamaknya, konon
pula yang menjadi janda.
Sebagaimana disebutkan di atas, hidup
orang Minangkabau bersuku-suku, berkaum-kaum.
Yang dikatakan orang sekaum itu ialah
sebuh perut, serumpun, seharta pusaka, sependam pekuburan, ialah yang setali
darah satu keturunan yang dahulunya berasal dari seorang perempuan.
Lama kelamaan kaum itu berkembang biak,
ada yang tetap satu mamak kepala waris (tungganai), ada pula yang kemudian
berbagi-bagi atas beberapa mamak kepala waris. Karena itu harta pusaka
berbagi-bagi pula berjurai-jurai.
Pangkat Penghulu itu ialah dari orang
sekaum, serumpun, seharta pusaka dan sependam pekuburan. Jadi pangkat itu
bertali darah dan harta.
Penghulu itu ada pula yang menjadi mamak
kepala waris jika ia seorang mamak tertua dalam kaumnya.
Jadi seorang Penghulu yang juga mamak
kepala waris, selain berkuasa dalam adapt, berkuasa pula dalam urusan harta
pusaka kaumnya.
Sebuah kaum yang telah terbagi menjadi
beberapa jurai yang masing-masingnya telah bertungganai pula, maka sekalian
mamak itu ditilik oleh Penghulu, agar mereka tidak leluasa saja menggadaikan
harta pusaka kaumnya.
Harta pusaka baru boleh digadaikan jika
sepakat kaum laki-laki dan perempuan serta mamak kepala waris (tungganai) yang
sudah barang tentu seizin Penghulu pula.
Karena itu dalam adat Minangkabau,
mamaklah (tungganai) yang menjaga keselamatan para kemenakan dalam sebuah rumah
dan Penghulu mengawasi penjagaan yang dilakukan para mamak tersebut.
Jadi Penghulu itu bekerja sama dengan
sekalian mamak dalam kaum menjaga keselamatan kaum tersebut.
Selain orang yang sekaum yang dikatakan
tadi yang satu Penghulu, ada lagi kaum lain yang datang kemudian yang satu pula
tungganainya. Sungguhpun yang datang ini tidak berhak dalam pangkat adat
(Penghulu), tetapi mereka sehina semalu, seberat seringan dengan kaum asal
tadi.
Jika tumbuh aib atau malu pada kaum yang
datang ini, tidaklah mereka saja yang menanggungnya, kaum yang asal pun akan
menanggung pula, walaupun mereka berlain keturunan dan tidak setali darah
secara langsung.
Jadi orang sepayung satu Penghulu itu,
walau berlain asal keturunan adalah sehina semalu. Inilah yang dimaksud
peribahasa “suku yang tidak boleh diasak, malu yang tidak boleh diagih”.
Kewajiban atau keharusan seorang
kemenakan kepada mamak dan Penghulu tercermin dalam ungkapan “pergi tempat
bertanya, pulang tempat berberita”. Maksudnya apa-apa yang akan dikerjakan atau
dilakukan seperti beristri, bersuami merantau dan lain-lain seizin mamak dan
Penghulu.
Bila seorang mamak sakit di rumah
istrinya, harus dilihat (dikunjungi) oleh para kemenakan. Jika penyakit mamak
itu tampaknya akan berlarat-larat, ia dibawa pulang ke rumah kemenakannya,
yaitu Rumah Gadang. Andaikata ia meninggal dunia diselamatkan, bilamana sembuh
dibayar kaul.
Suku
Minangkabau
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
karangan W.J.S. Purwadarminta – BP 1984 arti kata suku antara lain ialah,
q Dalam sastra lama arti
kata suka ialah kaki,
q Suku juga berarti
sebagian dari empat atau seperempat,
q Suku kalimat artinya
bagian kalimat. Suku kata artinya bagian dari kata.
q Suku bangsa seperti suku
Jawa, suku Sunda, suku Ambon, suku Aceh, suku Minangkabau, maksudnya golongan
dari bangsa.
q Suku di Minangkabau
diartikan golongan orang-orang yang seketurunan atau sekaum.
Pada awalnya orang Minangkabau terbagi
dalam empat golongan yang mereka sebut “suku”, yaitu Bodi, Caniago, Koto dan
Piliang.
Suku-suku itu terkelompok dalam dalam dua
kelarasan yaitu:
q Kelarasan** Bodi –
Caniago dipimpin oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang.
q Kelarasan Koto – Piliang
dipimpin oleh Datuk Ketemanggungan.
q Keempat suku inilah yang
merupakan suku awal orang Minangkabau.
Kemudian Datuk Nan Sekelap Dunia yang
disebut pula Datuk Nan Banego-nego adik kandung Datuk Perpatih Nan Sabatang
melakukan pembangkangan. Ia tidak mau bergabung dengan dua kelarasan di atas.
Ia bikin kelarasan sendiri di Limo Kaum yang dinamakan Laras Nan Panjang yang
terdiri dari suku Kutianyir, Patapang, Banuhampu, Salo dan Jambak.
Selain suku asal yang empat serta
suku-suku dalam Laras Nan Panjang tadi, muncul pula suku-suku baru sebagai
akibat datangnya bangsa-bangsa lain ke Minangkabau yang kemudian dikenal
sebagai suku Melayu, Mandahiling asal dari Tapanuli, Singkuang dari Singkiang
Cina, Kampai dan Bendang.
Barangkali munculnya suku-suku baru
tersebut terjadi pada waktu kedatangan orang-orang Jawa dari Majapahit atau
Singasari, wallahu alam. Atau mungkin pula mereka itu merupakan kawula Raja,
wallahu alam pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar