OLEH Deddy Arsya
Sastrawan
Jon Kei ditangkap. Polisi reserse
menembak kakinya. Dia diduga terlibat pembunuhan seorang penguasa di Jakarta.
Televisi gencar memberitakan riwayat kejahatannya kemudian, file-file tentang
dirinya di balik-balik lagi. Para preman seolah bangkit kembali dalam ingatan
banyak orang. Selayaknya hantu, kata James T. Siegel, mereka meneror lagi tanpa
wujud.
Bagaimana sepakterjang para preman dalam
sejarah kita, dan bagaimana kekuasaan menangani mereka?
Pada satu dasawarsa akhir abad ke-19,
koran-koran Belanda ramai memberitakan para penjahat. Mulai dari peristiwa penangkapan,
modus operandi kejahatan, bahkan laporan semi-biografi mereka dipampang
dalam beberapa kolom. Di Padang,
misalnya, De Sumatra Bode melaporkan
digantungnya 6 orang penjahat yang dipertontonkan kepada warga kota. Sementara
di Jawa, De Java Courant memuat berita
tentang digantungnya belasan penjahat di Depok yang eksekusinya juga dipamerkan
di muka umum. Mereka terdiri dari para pembunuh, perampok, dan maling.
Kebijakan keras pemerintah kolonial itu terus
berlanjut. Pada kwatrin pertama abad ke-20, ketika depresi ekonomi melanda
sekujur Hindia Belanda, nama-nama penjahat kembali ramai mengisi halaman koran-koran.
De Sumatra Bode bahkan sudah seperti
koran kriminal karena didominasi berita tentang para penjahat. Sumatra Post, yang terbit di Medan, juga
banyak memberitakan tentang penjahat dan operandi kejahatannya. Para penjahat
yang tertangkap, menurut beberapa pemberitaan itu, dipamerkan kepada kalayak.
Mereka yang telah mati karena ditembak, mayatnya diarak bagai karnaval agar
seluruh penduduk kota dapat menyaksikannya.
Sikap keras inilah juga yang diterapkan
Soeharto pada tahun 1980an. Orde Baru membangun imej ‘lain’ bagi orang-orang
seperti Jon Kei. Istilah ‘kriminal’ dimunculkan dengan gencar baru ada pada masa
Orde Baru. Begitu pun dengan istilah ‘preman’, Orde Baru-lah yang mempopulerkannya
sebagai terminologi untuk para penjahat bertato, manusia-manusia bebas yang tak
mampu dijinakkan kekuasaan.
Melalui ‘koran kuning’-nya, Pos Kota, Orde Baru gencar menghadirkan para
penjahat ke tengah orang ramai. James T Siegel dengan baik mendedahkannya: ketika
mereka ditangkap, mereka dipamerkan dengan mata diberi blog hitam. Seakan-akan,
suara mereka dihadirkan terus-menerus sebagai petakut tapi wujud mereka hanya dihadirkan
samar-samar; identitas bagi mereka hanyalah tato, rambut panjang, dan
sejenisnya. Cara-cara ini, dengan beberapa hal yang berbeda, diikuti oleh koran-koran
kriminal lain pada masanya. Bahkan majalah kelas menengah seperti Tempo punya rubrik khusus, rubrik ‘Kriminalitas’, yang dalam beberapa sisi
mengikuti cara-cara di atas.
Tindakan keras ini semakin tampak jelas
ketika Soeharto memerintahkan menembak orang-orang bertato di tempat umum pada
1983-1984. Kebijakan ini semakin membangun citra preman sebagai ‘hantu’. “Penembakan
Misterius”, begitu orang-orang menyebut, menjadi salah satu tonggak sejarah
yang memperlihatkan keputusasaan kekuasaan dalam menghadapi para preman.
Orang-orang bertato ditembak dan mayatnya dibiarkan tergeletak di tempat-tempat
umum agar dapat disaksikan orang ramai dan menjadi petakut bagi sesamanya.
Orang-orang seperti Jon Kei lantas
terdepak ke pinggir realitas sosial. Mereka tak punya posisi apa-apa lagi dalam
wacana kebangsaan; bahkan dalam kata ‘rakyat’ pun mereka tidak menjadi
bagiannya. Padahal mereka miliki ‘itu’ pada masa revolusi dahulu.
Ketika
revolusi kemerdekaan berlangsung, keberadaan mereka didaulat sebagai
bagian dari rakyat dan gerakan kebangsaan. Dengan begitu, mereka ada dan
berarti sebagai bagian dari bangsa yang baru berdiri. Para jago, menurut Robert
Cribb, punya posisi dalam mendukung revolusi. Beberapa di antara mereka mungkin
dapat dikategorikan sebagai ‘pahlawan’ karena telah mendukung revolusi dengan
caranya sendiri, merampok orang-orang kaya untuk membeli senjata bagi
perjuangan kemerdekaan. Kekuasaan Soekarno pandai merangkul mereka dengan kata
‘rakyat’ yang diulang-ulang setiap pidato; terminologi ‘rakyat’ yang
pengertiannya merangkul para bandit sekaligus. Nyaris tidak ada kata ‘kriminal’
pada masa ini, pun kata ‘preman’.
***
Ketika Orde Baru runtuh, seketika kelompok-kelompok
preman melonjak naik, semakin waktu semakin tinggi membesar. Seperti labu yang
dibenam, semakin dalam dia dibenam, ternyata semakin tinggi loncatannya setelah
dilepaskan. Ada anggapan, misalnya, sekarang di Jakarta dan di kota-kota besar
lainnya di Indonesia, tak ada tempat yang tidak dibekingi preman. Bahkan,
kelompok preman menyusup lewat organisasi etnis dan keagamaan. Kerusuhan Ambon dan
Poso bahkan disinyalir adalah kelanjutan dan buntut dari pertempuran antar
kelompok preman di Jakarta.
Cara-cara pemerintah kolonial Belanda di
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, maupun cara-cara ‘Penembak Misterius’ ala
Soeharto adalah usaha untuk memberantas para bandit yang justru merupakan
bentuk perbanditan baru. Semua usaha itu tampaknya gagal, para bandit tetap
bersimaharajalela setelahnya. Cara-cara Soekarno dengan merangkul para jago ini
dalam semangat revolusi kebangsaan juga sudah tidak mungkin dilakukan—revolusi
telah selesai, terminologi ‘kebangsaan’ telah berubah makna.
Lalu apa yang harus dilakukan sekarang? Ketika
masyarakat larut dalam depresi, dan patologi sosial mengejala demikian luas, pemerintah
telah runtuh pamornya sama sekali di hadapan rakyatnya sendiri, orang-orang
seperti Jon Kei dan kelompoknya niscaya akan ada sebagaimana mafioso dari
Italia berbiak di Amerika. Jon dari Pulau Kei (‘Kai’ dalam beberapa literatur
Belanda), pulau nun di timur sana. Banyak anggota Jon Kei juga berembel-embel ‘Kei’
di belakang nama mereka; mereka mungkin berasal dari tempat yang sama, dari
pulau yang sama dengan Jon. Mereka datang ke Jakarta sebagai perantau.
Perantau
yang akhirnya menjadi bandit? Masa Orde Baru, nama-nama Batak menghiasi sederet
daftar preman di Jakarta—adalah hal yang biasa jika ‘Jenderal Nagabonar’
pemimpin milisi rakyat pada masa revolusi menjadi kepala preman pada rezim
kemudian. Perantau-perantau Minang yang tak berani pulang karena miskin dan
gagal menjadi perantau baik-baik, juga menjadi preman—rata-rata menjadi pencopet,
kata Mochtar Naim. Namun mungkin saja ada di antara mereka yang jadi urang bagak mengepalai kelompok preman
tertentu.
Jon barangkali bagian dari perantau yang
gagal untuk tetap berada dalam rute normal itu. Riwayat perantauannya di mulai
di Surabaya, lalu pindah ke Jakarta. Kota besar terlalu menggiurkan untuk
didatangi, tapi dia tak punya jalan menuju usaha yang legal. Pendidikannya rendah.
Peluang untuknya kecil, ditambah lagi harus bersaing dengan jutaan orang. Sementara
ekonomi uang mengalahkan semuanya, dunia materi merebak bagai wabah. Ketika
jalur normal begitu sulit ditembus, jalur yang tak normal adalah pilihan yang mungkin.
Padang, 22 Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar