OLEH Joko Tri Haryanto
Pegawai Badan Kebijakan Fiskal
Kementerian Keuangan RI*)
Menjelang akhir tahun, banyak
pengamat menyebutkan pentingnya belanja pemerintah sebagai penentu kinerja
ekonomi 2014. Hal ini tak lepas dari dampak kenaikan suku bunga acuan Bank
Indonesia serta penyesuaian harga BBM bersubsidi di bulan November yang tampaknya
sedikit memukul daya beli konsumen dan swasta.
Tantangan menjadi semakin berat
ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan penghematan belanja di triwulan
terakhir 2014. Artinya belanja pemerintah yang berkualitas betul-betul
menjadi kunci utama kinerja ekonomi tersebut. Di triwulan III tahun 2014,
belanja pemerintah mencapai 4,37%. Sementara rata-rata belanja pemerintah di 9
bulan awal mencapai Rp137,19 triliun per bulan. Jika melihat data historis,
realisasi belanja di triwulan IV tahun 2013 mencapai 5,72% atau naik 0,10%
dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya yang mencapai 5,62%.
Menurut data pemerintah, hingga 31 Oktober 2014, realisasi
belanja negara mencapai 75,27% dimana belanja pemerintah pusat sebesar 72,64%
dan transfer ke daerah 80,92%. Dari besaran belanja pemerintah pusat, realisasi
belanja subsidi cukup mendominasi hingga 87,99% dengan sumbangan belanja
subsidi energi 92,63% dan non-energi 56,93%. Disusul kemudian realisasi
pembayaran kewajiban utang sebesar 83,62%, belanja pegawai 78,72%, belanja
bantuan sosial (Bansos) 74,15% serta belanja barang 57,94%. Yang sedikit memprihatinkan
adalah realisasi belanja modal yang baru mencapai 44,40% atau sekitar Rp71,40
triliun dari target APBN-P 2014 sebesar Rp160,80 triliun.
Lambatnya realisasi belanja modal ini sepertinya menjadi
persoalan klasik yang berulang setiap tahunnya. Dan pemerintah seperti belum
menemukan resep yang mujarab dalam mendorong upaya peningkatan realisasi
belanja modal. Padahal dari sisi teori, belanja modal inilah yang menjadi
representasi utama belanja yang berkualitas dalam menciptakan dampak investasi
dan pembangunan secara nasional.
Dalam acara penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
(DIPA) 2015 yang lalu, persoalan kualitas belanja kembali diserukan oleh
Presiden. Dalam arahannya, Presiden menghimbau kepada seluruh Menteri dan
Kepala Daerah untuk memaksimalkan sebaik-baiknya anggaran belanja yang telah
ditetapkan. ”Gunakan sebaik-baiknya uang rakyat dan kembalikan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat” demikian pesan yang menyiratkan besarnya harapan demi
perbaikan di 2015.
Presiden juga menekankan pentingnya upaya memperkuat tata
kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel serta partisipatif. Tak lupa
Menteri dan Kepala Daerah dihimbau untuk terus melanjutkan pola penghematan
anggaran untuk hal-hal yang sekiranya tidak memberikan dampak pada pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan nasional.
Di saat bersamaan, Bank Dunia juga merevisi target
pencapaian pertumbuhan ekonomi nasional 2014 akibat tren perlambatan investasi
yang terus terjadi. Jika sebelumnya, diyakini pertumbuhan ekonomi nasional di
2014 mencapai 5,2% sementara 2015 sekitar 5,6%, dengan memperhatikan fakta di
lapangan, direvisi menjadi 5,1% di 2014 serta 5,2% di 2015. Perlambatan ekonomi
Indonesia diyakini disebabkan oleh besarnya tekanan eksternal akibat belum
pulihnya perekonomian dunia paska krisis global. Akibatnya, pertumbuhan ekspor
serta investasi Indonesia menghadapi kendala. Dibutuhkan adanya suatu bentuk
penanaman investasi direct dalam kapasitas besar dan hal ini
jelas membutuhkan peran signifikan dari pemerintah.
Bank Dunia juga mengapresiasi keberanian pemerintah untuk
menaikkan harga BBM bersubsidi di bulan November yang lalu, meskipun disebutkan
dalam jangka pendek akan memberikan tekanan yang cukup signifikan, namun
memberikan dampak jangka panjang yang hebat. Namun demikian, Bank Dunia
tetap memberikan concernkhususnya terkait dengan
kualitas belanja (quality of spending)
baik dari sisi penyerapan maupun pemanfaatannya. Indonesia juga disebut akan
memulai babak baru dari sejarahnya dan menghadapi berbagai pilihan kebijakan
yang sulit. Dalam waktu dekat, mengatasi peningkatan tekanan fiskal dan menjaga
keberlangsungan defisit transaksi berjalan menjadi hal yang sangat urgent untuk dilakukan.
Perbaikan
Belanja 2015
Pemerintah sendiri telah bermomitmen untuk memperbaiki
kualitas anggaran belanja. Presiden telah mewajibkan seluruh
Kementerian/Lembaga (K/L) untuk melaksanakan belanja proyek dan kegiatannya
paling lambat April 2015. Penyerahan DIPA di awal Desember pun dilakukan
sebagai bentuk reformasi penganggaran tersebut karena biasanya DIPA baru
diserahkan oleh Presiden di medio Januari. Proses lelang di masing-masing K/L
diharapkan selesai dilakukan di bulan Maret 2015 sehingga seluruh program
kegiatan mulai berjalan pada bulan April. Untuk mendukung proses lelang ini,
pemerintah akan segera mengelurakan Instruksi Presiden (Inpres).
Ke depannya, reformasi juga akan dimulai dari proses
lelang dan tender dimana prosedur yang ada akan lebih disederhanakan, dengan
tetap mengutamakan prinsip kehati-hatian. Pemerintah juga akan membatasi waktu
di setiap tahapan proses lelang serta memberikan sanksi kepada K/L yang dinilai
masih lambat dalam pelaksanaan belanjanya khususnya di beberapa K/L yang
mengemban amanat pendidikan, kesehatan dan infrastruktur dasar.
Dilihat dari data historis, persoalan kualitas belanja
pemerintah senantiasa menjadi persoalan serius setiap tahunnya. Berdasarkan
data tahun 2005-2013, rata-rata penyerapan belanja negara mencapai 95,6%,
dimana penyerapan tertinggi pada belanja subsidi dan terendah pada belanja
barang. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua jenis belanja tersebut kurang
memenuhi efisiensi alokasi, mengingat penyerapan belanja barang terjadi under value sedangkan subsidi justru over value.
Dalam konteks analisis makro ekonomi negara, penyerapan
anggaran merupakan salah satu indikator efisiensi alokasi. Semakin optimal
penyerapan anggaran maka mengindikasikan efisiensi dalam pengalokasian dan
sebaliknya, meskipun bukan satu-satunya ukuran karena masih ada beberapa
indikator lainnya seperti kualitasoutput/outcome,
manfaat program/kegiatan serta nilai tambah atas implementasi program/kegiatan
tersebut. Hingga kini pemerintah masih berkutat di persoalan penyerapan belanja
semata.
Terakumulasinya penyerapan pada triwulan 4 juga
mengindikasikan adanya persoalan, khususnya tekanan dari sisi inflasi
serta potensi mereduksi terjaganya kualitas output/outcome. Jika dikaitkan dengan
fungsi kebijakan fiskal untuk (i) menjaga stabilitas makro dan pertumbuhan
ekonomi, (ii) redistribusi pendapatan dan perlindungan sosial, serta (iii)
penyediaan barang publik dalam rangka pelayanan publik, maka pola penyerapan
yang menumpuk pada akhir tahun menjadi faktor yang kontra produktif terhadap
tujuan menjaga keseimbangan internal. Himbauan untuk tidak melakukan rapat di
hotel serta mengurangi perjalanan dinas yang tidak penting juga perlu
dilanjutkan. APBN jelas mendapatkan keuntungan yang sangat signifikan dari hal
tersebut mengingat dalam struktur belanja barang saja selama 10 tahun terakhir
pertumbuhannya sudah mencapai kisaran 16%, lebih tinggi dibandingkan
pertumbuhan PDB riil. Begitupula belanja perjalanan dinas dan rapat, dimana
komposisinya mencapai 83% dari total belanja.
Sebagai kesimpulan, percepatan penyerapan anggaran sudah
seharusnya menjadi agenda utama pemerintahan baru. Mengingat, semakin cepat
anggaran terpakai maka kegiatan ekonomi akan semakin cepat berjalan. Namun
kualitas dari belanja tersebut tetap menjadi prinsip yang harus dikedepankan.
Jangan sampai belanja-belanja yang terjadi justru hanya bersifat konsumtif
belaka tanpa memberikan efek multiplier yang besar bagi pertumbuhan ekonomi.
*)
Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili instansi tempat
penulis bekerja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar