OLEH Eddy Cahyono Sugiarto
Staf
Pada Sekretariat Kabinet
Tahun 2015 konstelasi ekonomi global masih penuh dengan
ketidakpastian, risiko pelemahan ekonomi
global diprediksi akan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi pada berbagai
negara.
Gejala awal risiko pelemahan ekonomi
global sejatinya dapat dicermati dari lambannya pemulihan ekonomi global,
diindikasikan dengan laju pertumbuhan ekonomi pada berbagai negara maju yang
masih rendah dan rentan, yang berpotensi “menekan” laju pertumbuhan ekonomi negara-negara lainnya.
Perekonomian AS sebagai lokomotif ekonomi
dunia, meskipun telah menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Namun tren pertumbuhan
tersebut masih menurun bila dibandingkan dengan pada saat sebelum krisis global
terjadi.
Risiko yang perlu diwaspadai adalah
dampak dari kenaikan suku bunga Bank
Sentral Amerika The Fed, yang dapat memicu terjadinya arus modal keluar
sekaligus berdampak pada melemahnya nilai tukar pada berbagai negara.
Kondisi ekonomi di kawasan Eropa dan
Jepang juga setali tiga uang, belum
menunjukkan perbaikan dan masih terbilang rapuh, ancaman deflasi masih
membayangi perekonomian di kedua kawasan tersebut. Pengangguran dan sektor
industri Eropa masih belum pulih secara siginifikan, sementara kebijakan
Abenomics masih belum memperlihatkan tanda-tanda memulihkan perekonomian
Jepang.
Di sisi lain, Tiongkok yang menjadi salah
satu penopang ekonomi global juga mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Jika pada 10 tahun terakhir ini pertumbuhan ekonomi Tiongkok selalu di atas 10
persen, maka saat ini pertumbuhannya hanya di kisaran 7,5 persen.
Perkembangan ekonomi global pada berbagai
negara tersebut sudah barang tentu juga berdampak pada perekonomian
Indonesia, baik langsung maupun tidak
langsung. Potensi gejolak likuiditas global akibat kebijakan exit policy
kebijakan moneter longgar negara berkembang, akan memudahkan investor negara
maju yang mau mengamankan dananya melalui kegiatan investasi. Kemudahan itu juga yang membuat investor
asing dengan mudah menarik dananya kembali, jika kondisi kembali menguntungkan.
Hal ini akan membuat instabilitas di negara berkembang terutama pada pasar
keuangan.
Bagi Indonesia fluktuasi nilai tukar dan
gejolak harga komoditas pasar global akan sangat berdampak pada neraca
perdagangannya, bila tidak diantisipasi dengan baik, defisit neraca perdagangan
akan semakin membengkak akibat ketergantungan yang tinggi terhadap importasi,
yang akan terus menggerusketahanan devisa.
Importasi yang perlu mendapat perhatian
serius diantaranya pangan, sebagaimana yang kita ketahui, impor pangan Indonesia periode
Januari-Oktober 2014 telah masuk dalam tahap mengkhawatirkan, total nilainya
telah mencapai 6,6 miliar dollar AS atau lebih dari Rp 80 triliun.
Disamping itu, tahun 2015 tampaknya
menjadi tantangan tersendiri bagi pembangunan ekonomi Indonesia dalam mengatasi
tingkat ketimpangan, utamanya dengan
melakukan percepatan “pembagian” kesejahteraan dalam bentuk yang lebih merata
dan inklusif.
Meningkatnya Gini index Rtio (indeks
pengukur tingkat ketimpangan) menjadi 0,41 menjadi titik fokus tersendiri untuk
dapat diatasi melalui berbagai peningkatan pembangunan inklusif agar
berkonstribusi dalam pemerataan pertumbuhan PDB.
Sebagaimana kita ketahui, tingkat
pertumbuhan PDB yang ada, hanya didominasi oleh 3 (tiga) provinsi dengan
sumbangan terbesar, yakni DKI Jakarta 16,72 persen, Jatim 14,87 persen dan
Jabar 14,17 persen. Jika ditotal, maka
tiga provinsi itu menyumbang 45,76 persen terhadap pertumbuhan ekonomi
nasional, dengan kata lain “kue ekonomi”
sejatinya hanya terpusat di Pulau Jawa, diperlukan upaya ekstra agar PDB dapat
terus ditingkatkan penyebarannya pada berbagai wilayah khususnya diluar Jawa.
Mengatasi ketimpangan pendapatan
tampaknya menjadi agenda tersendiri untuk mendapatkan prioritas penanganannya
pada tahun 2015 mendatang, mengingat “dampak yang signifikan secara statistik”
pada pertumbuhan ekonomi.
Mengacu pada penelitian Organisasi untuk
Pembangunan dan Kerjasama Ekonomi (OECD).Di Inggris, ketimpangan pendapatan
yang semakin tinggi membuat pertumbuhan ekonomi melemah, sekitar 9% dari
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) antara tahun 1990 dan 2010. Sedangkan di AS
hampir tujuh poin. Hal ini membuktikan bahwa mengatasi ketimpangan yang tinggi
penting untuk mendorong pertumbuhan yang kuat dan berkelanjutan, serta
meminimalisir dampak sosial politik akibat kesenjangan yang berpotensi
menganggu stabilitas nasional dan pembangunan ekonomi.
Jangan
Kehilangan Momentum
Kita patut bersyukur permasalahan utama
yang membelenggu ruang fiskal Indonesia,yakni besarnya subsidi BBM, telah mampu kita atasi. Hal ini
setidaknya dapat menjadi starting point
dalam memperbaiki tata kelola sistem penganggaran yang kondusif dalam memacu
sektor produktif. Dengan ruang fiskal yang semakin lebar, seyogyanya tahun 2015
dapat menjadi momentum bagi kita semua dalam menyukseskan berbagai pembangunan
infrastruktur, yang diharapkan dapat memacu tumbuhnya berbagai sektor produktif
dan mengatasi masalah kesenjangan pembangunan.
Kita juga tentunya berharap, melalui
berbagai pembangunan infrastruktur dapat meningkatkan daya saing ekonomi,
mengatasi masalah kesenjangan, dan mengurangi disparitas harga diberbagai
wilayah, pembangunan infrastruktur juga
berperan peran vital dalam pemenuhan hak
dasar rakyat.
Urgensi menyukseskan berbagai pembangunan
infrastruktur seyogyanya menjadi
prioritas utama bagi seluruh pemangku kepentingan, mengingat memiliki
keterkaitan yang sangat kuat dengan kesejahteraan sosial dan juga berperan
penting dalam memacu proses pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau region. Hal
tersebut dapat ditunjukkan dengan indikasi bahwa wilayah yang memiliki
kelengkapan sistem infrastruktur yang berfungsi lebih baik dibandingkan dengan
wilayah lainnya mempunyai tingkat kesejahteraan sosial dan kualitas lingkungan
serta pertumbuhan ekonomi yang lebih baik pula.
Dalam konteks ekonomi, infrastruktur
merupakan modal sosial masyarakat (social overhead capital) yaitu barang-barang
modal esensial sebagai tempat bergantung bagi perkembangan ekonomi, dan merupakan prasyarat agar berbagai
aktivitas masyarakat dapat berlangsung.
Pembangunan infrastruktur merupakan katalisator di antara proses
produksi, pasar dan konsumsi akhir. Keberadaan infrastruktur memberikan
gambaran tentang kemampuan berproduksi masyarakat dan tingkat kesejahteraan
masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak
mungkin dicapai apabila tidak ada ketersediaan infrastruktur yang memadai, atau
dengan kata lain infrastruktur adalah basic determinant atau kunci bagi
perkembangan ekonomi. Keberadaan infrastruktur, telah terbukti berperan sebagai
instrumen bagi pengurangan kemiskinan, pembuka daerah terisolasi, dan
mempersempit kesenjangan antarwilayah.
Dengan demikian, investasi infrastruktur
baik dari pemerintah maupun swasta dan masyarakat perlu terus didorong guna
meningkatkan pertumbuhan ekonomi sektor riil, penyerapan tenaga kerja guna
mengurangi pengangguran dan kemiskinan, serta menumbuhkan investasi sektor
lainnya.
Tahun 2015 hendaknya dijadikan momentum
dalam terus memperbaiki neraca perdagangan, dengan menekan defisit neraca
perdagangan akibat importasi khususnya pangan pokok. Pengalaman telah memberi
pelajaran akan pentingnya kedaulatan pangan karena sangat berpengaruh terhadap
kehidupan masyarakat, gejolak harga pangan sangat rentan dalam mempengaruhi
tingkat kemiskinan.
Ketergantungan akan pangan impor akan
sangat berisiko besar bagi bangsa Indonesia dengan kebutuhan pangan yang besar,
tekanan ekternal akan berdampak luas di bidang sosial, ekonomi dan politik
sehingga kedaulatan pangan tidak dapat ditawar-tawar lagi, sekaligus sebagai
perwujudan kemandirian ekonomi. Tentunya kita berharap sinergitas dapat terus
dioptimalkan dalam mengatasi tantangan meningkatkan daya saing produk pertanian
dalam negeri, sekaligus memperbesar size produksi.
Peningkatan daya saing melalui
peningkatan produktivitas, baik di budidaya, pengolahan, pemasaran,dan jasa
penunjangnya di tingkat petani dan pelaku usaha. Peningkatan produktivitas
merupakan sumber pertumbuhan yang baik untuk sisi produksi dan juga dapat
memberikan nilai tambah yang utama dibandingkan dengan peningkatan areal maupun
kapasitas ataupun ekstensifikasi.
Tantangan yang akan dihadapi oleh sektor
pertanian Indonesia pada masa mendatang akan semakin berat sebagai dampak
perubahan iklim global, pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi, persaingan
perdagangan internasional dan liberisasi yang makin terbuka dan ketat.
Suksesnya pembangunan sektor pertanian perlu mendapat dukungan seluruh pemangku
kepentingan karena memiliki elastisitas
yang tinggi terhadap penciptaan lapangan kerja
dan juga efektif mengurangi ketimpangan.
Berbagai tantangan dan peluang
pembangunan ekonomi yang kita hadapi di tahun 2015 diharapkan dapat memacu kita
untuk lebih memanfaatkan momentum dan mengoptimalkan upaya dalam menjamin
percepatan pembangunan infrastruktur agar dapat memacu berkembangnya sektor
ekonomi produktif, guna mengatasi masalah kesenjangan serta mempercepat
terwujudnya kemandirian ekonomi. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar