Dalam hal timbulnya perselisihan tentang
sako dan pusako di nagari-nagari diselesaikan dan diusahakan mencari jalan
perdamaian secara musyawarah mufakat oleh berjenjang naik bertangga turun
berdasarkan hukum adat.
Naik dari pihak yang bersengketa menurut
sepanjang adat (barih adat). Apabila tidak terdapat kata sepakat dalam
Kerapatan Adat dan atau kesimpulan sebagai keputusan KAN, tidak dapat diterima
oleh kedua belah pihak karena disebabkan KAN yang keliru menjalankan hukum
adat/barih balabeh, maupun karena pihak-pihak yang bersengketa membangkang dan
tidak puas dengan keputusan KAN, maka, sebelumnya perkara dimaksud dilanjutkan ke Pengadilan
Negeri, diwajibkan bagi yang tidak puas harus mengajukan kepada LKAAM Kecamatan
berjenjang naik kepada tingkat yang lebih atas sampai kepada Pucuk Pimpinan
LKAAM Provinsi Sumatera Barat, untuk dikaji ulang menurut sepajang adat,
melalui satu Majelis Peradilan Adat yang di bentuk oleh Pucuk Pimpinan Lembaga.
Apabila keputusan peradilan Pucuk
Pimpinan LKAAM Sumatera Barat masih belum diterima oleh pihak-pihak yang
bersengketa, barulah disampaikan kepada
pihak ketiga yaitu Pengadilan Negeri. Bagi Pengadilan Negeri kesimpulan
pendapat Pucuk Pimpinan LKAAM Sumatera Barat dimaksud menjadi dasar hukum
sesuai dengan Perda No.13 Tahun 1983, sesuai dengan pihak Kejaksaan Tinggi
Sumbar-Riau pada tanggal 10 Juni 1985, serta Surat Edaran Pengadilan Tinggi
Sumbar-Riau pada tanggal 27 Mei 1985.
Perpindahan hak dan atas hutan tanah
ulayat pusako tinggi ataupun pensertifikatannya perlu diatur sebagai berikut:
A. Pensertifikatan tanah
ulayat suku atas nama Kepala
Suku/Kaampek Suku dengan menyebutkan nama-nama kepala kampung atau kaum
terlibat di dalamnya menurut barih balabeh Suku yang bersangkutan (menyangkut
dengan ranji suku). Untuk tanah Ulayat Negari/Tanah Rajo di atas nama Ketua
Kerapatan Adat Nagari berdasarkan barih balabeh Nagari yang bersangkutan.
B. Untuk Tanah Kaum, nama Kepala Kaum dengan menyebut ahli
warisyang berhak waris nasab, sesuai dengan ranji kaum yang bersangkutan dan
diketahui oleh sabab, ringan sajinjing, barek sapikua, menurut adat.
C. Untuk hutan tanah yang
masih dalam status genggang bauntuk harus dengan sepakat Kepala Kaum (Penghulu
andiko/Tuo Kampung/Tuo Hindu/Pangka Tuo) dan diketahui Kepala Suku/Puncuk
Suku/Kaampek suku yang bersangkutan menurut barih balabeh dalam suku.
D. Untuk hutan tanah Pusako
rendah hak atas hutan ulayat/ Tanah Rajo hendaklah ditempuh jalan sebagai
berikut :
q Apabila pelepasan Hak
untuk keperluan pembangunan kepentingan umum seperti keperluan Pendidikan,
Agama Islam, Kesehatan, jalan cukup dari pemilik yang diketahui Ninik Mamak
yang bersangkutan.
q Apabila pelepasan Hak
untuk keperluan usaha-usaha Pemerintah dan atau patungan PIR, Transmigrasi dan
lain sebagainya harus ditempuh jalan yang memungkinkan Pemilik Ulayat tidak
terlepas dari hak pemilikannya masa kini dan masa yang akan datang, sehingga
dari pada nilai-nilai Tanah Ulayat tersebut tidak hilang yaitu sebagai hutan
tanah cadangan bagi generasi yang akan datang. Pelepasan haknya oleh Kerapatan
Adat Nagari (KAN), . dengan memintakan rekomendasi dari Pucuk-Pucuk Pimpinan
Lembaga.
E. Keseluruhan transaksi
tersebut di atas wajib termaktub dalam registrasi Lembaga Kerapatan Adat Nagari
(KAN).
E. Lembaga d isemua tingkat
wajib memberikan penyuluhan, petunjuk, bimbingan pengawasan dan
bertanggungjawab menguruskannya sehingga tanah-tanah hutan, tanah ulayat dapat
dimanfaatkan dengan baik, tidak menjadi kendala pembangunan membantu pemerintah
serta dapat menjawab tantangan kecemasan para investor menanamkan modalnya di
Sumatera Barat akibat pengurusan tanah yang sendat dan berbelit-belit sehingga
menimbulkan kerugian para investor.
Menertibkan para Ninik Mamak yang
bertindak atas nama Kaum/Suku maupun KAN/Lembaga dan sebagainya yang cendrung
mengambil keuntungan pribadi dan merugikan kaum dan generasi yang akan datang.
Yang dimaksud dengan “Hutan Tanah Kaum”
adalah sawah ladang yang digarap langsung oleh kaum dengan status ganggam
bauntuak yang masih dipegang oleh kaum yang bersangkutan (yang belum diberikan
sebagai ganggam, bauntuak).
Yang dimaksud dengan “Hutan Tanah Ulayat
Suku” ialah hutan tanah cadangan yang dikuasai oleh Suku/Kepala Suku menurut
barih balabeh setiap nagari yang wewenangannya dipegang oleh suku yang
bersangkutan.
Yang dimaksud dengan “Hutan Tanah Ulayat
Nagari/Tanah Rajo” ialah hutan tanah ulayat yang belum dibagikannya kepada
suku, menjadi wewenang kuasa Kerapatan Adat Nagari (KAN) menurut warih balabeh
nagari yang bersangkutan, dimana anak nagari mencari hasil hutan, perkayuan
rumah dan keperluan nagari.
Yang dimaksud dengan “Hutan Tanah/Hutan
Raya” ialah hutan yang telah diinventarisasi oleh Dinas Kehutanan yang terkenal
dengan Boswijzen (telah punya patokan/pilar tertentu).
Yang dimaksud dengan “Tungganai/Mamak
Rumah” yaitu seorang yang tertua atau dituakan dalam suatu paruik menurut
silsilah/ranji pertalian darah berdasarkan keturunan/garis keturunan
Matrilinial (Tungganai yang tidak bergelar Datuk).
Yang dimaksud dengan “Penghulu
Andiko/Penghulu Kaum” ialah seseorang yang disepakati menyandang gelar Sako
Datuk, dalam satu kaum yang terdiri dari beberapa paruik (adakalanya hanya satu
paruik saja) menurut ranjinya, ada yang menyebut level ini sebagai tuo hindu
atau pangka tuo hindu, sesuai barih balabeh setiap nagari.
Penghulu Andiko inilah yang mempunyai
wewenang sebagian harta pusaka tinggi atau ada juga yang disebut Mamak Kepala
Waris.
Yang dimaksud dengan “Pangka Tuo
Kampuang” ialah yang disepakati oleh penyandang sako datuk dalam satu kaum dan
mengawasi datuk/rumah kepala kaum/andiko tersebut huruf “B” (kemungkinan
menurut perkembangan barih balabeh pada satu nagari). Penghulu Andiko dalam
satu kampung terdiri dari beberapa orang. Andiko-andiko itulah yang barek
sapikua, ringan sajinjiang atau terdapat dalam sebuah suku kecil (kampung)
seperti dalam Caniago dan 4 (empat) Datuk Andiko.
Yang dimaksud dengan “Penghulu Kampung”
ialah pangka tua (sako yang pertama) dalam satu kampung (satu kaciak) Caniago
kadangannyo disamping menjadi pimpinan langsung dari kaumnya, menjadi pengawas
dalam suku kaciak Caniago pada satu suku. Penghulu Pucuk Suku inilah yang akan
memegang hutan tanah ulayat sako.
Yang dimaksud dengan “Penghulu Suku/Datuk
Kaampek Suku” ialah seseorang penyandang sako datuk yang mula-mula sekali
mencacah nagari dan pada setiap nagari sekurangnya ada 4 (empat) orang/suku
yang utama tersebut, yang berwenang terhadap pengawasan Datuk-datuk Andiko,
Datuk Kampung serta pusaka tinggi dalam sukunya (suku gadang). Datuk Kaampek
Suku inilah puncak Kerapatan Adat Nagari (Presedium Nagari) dengan perangkat
adatnya berdasarkan barih balabeh menurut yang memakai sistem ini. Di nagari
yang tidak memakai barih balabeh tersebut di atas perlu disesuaikan
pelaksanaannya, namun prinsip berjenjang naik bertangga turunnya adalah sama.
Dalam sistem Bodi Caniago semua penghulu
nan duduk sahamparan tagak sapamatang nan bapucuak ka ngarai selalu juga ada
seseorang di antaranya yang dituakan dalam barih balabeh.
Dalam keputusan yang dimaksud dengan :
1) Adat Basandi Suarak,
Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato, Adat Mamakai, merupakan falsafah,
pedoman serta arah yang akan ditempuh oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) untuk
menyelesaikan sengketa adat dalam nagari.
2) Mamak Kepala Waris
adalah lelaki tertua atau dituakan dalam kaumnya yang dapat bertindak ke dalam
dan ke luar dalam menyelesaikan masalah kaumnya.
3) Penghulu Suku adalah
penguasa adat dalam suku atau orang yang dituakan dalam sukunya dan mewakili
sukunya ke dalam dan ke luar.
4) Kerapatan Adat Nagari
(KAN) adalah Lembaga Permusyawaratan dan Permufakatan Adat Tertinggi yang telah
ada dan diwarisi secara turun temurun sepanjang adat dan tengah-tengah
masyarakat nagari yang dipimpin oleh Ketua Kerapatan Adat Nagari.
5) Sengketa Adat adalah
setiap sengketa atau permasalahan yang menyangkut sako dan pusako serta
permasalahan adat lainnya.
6) Penyelesaian yang
dimaksud dalam pedoman atau keputusan ini adalah penyelesaian berbentuk
perdamaian sepanjang adat.
Persidangan
1.
Setiap
sengketa adat harus diselesaikan secara berjenjang naik bertangga turun, mulai
dari lingkungan kaum, lingkungan suku dan nagari.
2.
Bila
penyelsaian dalam kaum tidak diperoleh dapat dilanjutkan ke tingkat suku, dan
bila pada tingkat suku tidak terdapat penyelesaian dapat dilanjutkan ke tingkat
Kerapatan Adat Nagari (KAN).
3.
Perorangan,
anggota kaum ataupun suku yang merasa kepentingannya dirugikan dapat mengajukan
gugatan sengketa adat secara tertulis kepada Kerapatan Adat Nagari (KAN)
bersangkutan yang berisi permintaan agar sengketa adat diselesaikan sesuai
menurut ketentuan adat yang berlaku.
Pembuktian
Ranji adalah silsilah keturunan keluarga
yang ditandatangani oleh Mamak Kepala Waris diketahui dan disetujui oleh Kepala
Suku serta dilegalisir oleh Kepala Desa/Lurah setempat.
Warih nan bajawek adalah pewarisan barang
bergerak, tidak bergerak ataupun kata-kata (umanat) sebagaimana yang dimaksud
dengan pepatah adat sako turun temurun, pusako jawek manjawek dari generasi
terdahulu kepada generasi selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar