OLEH Abdurrahman
Mahasiswa Program Pascasarjana Jurusan Sejarah UGM
Sosiolog Mochtar Naim |
Sejak seminggu (27 November 2011),
Mochtar Naim dirawat di rumah sakit Fatmawati Jakarta. Dari keterangan
yang diperoleh, terjadi pembengkakan pada jantungnya,
namun alhamdulilah pada Rabu, 30
November lalu, pembengkakan pada jantungnya sudah teratasi, hanya
saja ia masih merasakan agak sakit di bagian jantungnya. Tentunya
doa bagi kesembuhannya.
Nama Mochtar Naim dan dunia Minangkabau
seolah bagaikan dua sisi mata uang yang sulit untuk terpisahkan. Sejarah telah mencatat dalam jejak rekam Mochtar Naim hampir sejak
setengah abad silam, ia menekuni dan menaruh kepedulian yang tinggi terhadap
dunia Minangkabau. Sebut sajalah misalnya ketika di tahun 1968 interest untuk mendirikan Center for Minangkabau Studies (CMS) yang langsung ia pimpin.
Setelah berdirinya, CMS meneruskan usaha penggalian unsur-unsur
kebudayaan Minangkabau dengan mengadakan berbagai kegiatan penelitian, studi
dan seminar. Di antaranya pada Juli 1969, bekerja sama dengan IAIN Imam Bonjol Padang, beserta instansi pemerintah dan organisasi-organisasi
masyarakat lainnya, diselenggarakan seminar dengan mengambil tema: ”Sejarah Masuk
dan berkembangnya Islam di Minangkabau.”
Topik
seminar Islam di Minangkabau ini mempunyai dua aspek pokok, yaitu historis dan
aspek sosiologis kultural. Aspek historis menyangkut masuknya dan
berkembangnya agama Islam di Minangkabau dan menyangkut sejarah perjuangan
Paderi. Aspek sosiologis kultural menyangkut gerakan-gerakan pembaharuan (modern reform movement) sesudah tahun
1900; mengenai pembenturan dan penyesuaian (conflicts
and approachment) antara agama, adat dan pengaruh Barat; peranan kaum ulama
dan madrasah serta surau dan sebagainya; korelasi antara penyebaran Islam dengan
kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan penduduk Minangkabau (Antara, 21 Mei 1969).
Setahun berikutnya, diadakan seminar Sejarah dan Kebudayaan
Minangkabau, yang berlansung dari 1-8 Agustus 1970 di Batusangkar. Adapun masalah-masalah yang dibahas dalam seminar ini, yaitu sumber
penulisan sejarah Minangkabau, Periodesasi sejarah, penjelajahan terhadap tiap
periode, dan sejarah kerajaan pagaruyung.
Pada bidang
kebudayaan dibahas bahasa, sastra dan kesenian Minangkabau, kepribadian dan
karakter Minang, adat bersandi Syara’, dan problematik sosial-budaya dalam
pembangunan masa kini Minangkabau (Antara,
13 Februari 1970).
Tujuan utama
seminar dengan mengumpulkan data pada bidang sejarah dan kebudayaan, diyakini
akan besar manfaatnya bagi kepentingan pembangunan, karena tanpa data yang cukup
dalam bidang ini, sesuatu rencana pembangunan tidak akan mungkin terlaksana
dengan baik.
Seminar sejarah Minangkabau ini tecatat sebagai pionir
dalam wacana dan diskusi yang dimaksudkan untuk “mambangkik batang tarandam”, setelah pergolakan PRRI. Pada periode ini juga lahir buku Hukum
Waris dan Tanah di Minangkabau, buku ini merupakan kumpulan makalah pada
seminar di tahun 1968 tentang hukum waris dan tanah di Minangkabau, yang
Mochtar Naim menjadi editor pada buku ini.
Pada tahun
1973 Mochtar Naim bersama istrinya, Asma Mochtar Naim menyelesaikan menyusun buku
tentang Bibliografi Minangkabau. Pada
tahun 1973 buku ini diterbitkan oleh CMS. Kemudian edisi lengkapnya diterbitkan oleh National University of
Singapura pada tahun 1975. Pada tahun 1974 selesai studi yang dilakukan oleh Mochtar
Naim tentang Merantau: Pola Migrasi Suku
Minangkabau.
Kemudian studi ini diterbitkan oleh
Gadjah Mada University pada tahun 1979, dengan cetak ulang yang
kedua pada tahun 1984. Dan sekarang (2011) Mochtar Naim sedang menyiapkan edisi
cetakan ketiga dari studi merantau ini dengan
tambahan bab khusus di bagian akhirnya yang memuat tentang dinamika perubahan
yang terjadi kemari atas fenomena merantaunya etnik Minangkabau.
Pemerintahan Nagari
Mulai akhir
1975, ia peduli dengan konsep pembangunan dari dasar dalam konteks Sumatera Barat yang disebut nagari, yaitu teritorial
yang sangat vital, jikalau ini dimainkan perannya akan diyakini membawa perubahan
besar dalam pembangunan. Sebenarnya, pada tahun 1974, Gubernur Sumatera Barat
Harun Zain mengambil langkah untuk melanjutkan ciri demokratis nagari, membuat kepala nagari sebagai
pelaksana pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat Nagari (DPRN) sebagai badan
legislatif pada tingkat paling bawah dari pemerintahan setempat. Nah, pada masa
ini minimal ada 4 tulisan Mochtar Naim dari tahun 1975 hingga 1976 mengenai nagari.
Tulisan ini
bahagian dari suasana saat itu, yaitu suasana penguatan dari ide yang mulai
digulirkan dalam rangka pembangunan di Sumatera Barat, yaitu dari Nagari
(Lihat SK Gubernur Sumatera barat No 155, 156,dan 157). Tulisan Mochtar Naim tersebut berisi tentang masalah dasar kenapa nagari perlu direvitalisasi,
kemudian apa masalah yang dasar di nagari itu juga yang menjadi pertimbangan dalam
pembangunan nagari yaitu, masalah kepemimpinan nagari, dan jalan keluar
apa yang mesti dilakukan.
Apa yang
dilakukan oleh pemerintah daerah yang dalam hal ini oleh Gubernur Harun Zain
dan didukung oleh segenap komponen masyarakat termasuk Mochtar Naim untuk
melakukan usaha penguatan eksistensi nagari agaknya menjadi sia-sia ketika
‘Jakarta’ mengeluarkan UU No 5 tahun 1979, yang dimaksud untuk menyeragamkan struktur
administrasi pemerintahan desa di seluruh Indonesia.
Undang-undang
itu membuat fungsi dan nama (desa) yang seragam untuk satuan yang paling bawah
dari pemerintahan, dan mengatur organisasi internalnya, fungsinya dan
pregroratifnya- dengan pola struktur keseluruhannya berdasarkan model desa di
Jawa.
Unit desa
yang seragam dan kecil memberikan pemerintah kontrol yang lebih besar, terutama
ketika kepala Nagari yang dulu dipilih diganti dengan pegawai sipil yang
diangkat oleh gubernur berdasarkan undang-undang ini, dan prosedur pemilihan
untuk pegawai desa yang lain diawasi dari atas oleh hierarki pemerintahan. Sebagai bagian dari pemerintahan pusat, kenyataannya pemerintah daerah
Sumatera Barat melaksanakan isi UU No. 5 tahun 1979 tersebut. Dalam
melaksanakan Undang-Undang Desa 1979 tersebut, pemerintahan Gubernur Azwar Anas
mulanya cendrung untuk memutuskan nagari sebagai kesatuan administrasi desa
yang baru.
Diakui bahwa
keputusan seperti itu akan mempertahankan keserasian antara fungsi
administrasi, ekonomi dan budaya dari unit teritorial tradisional, kendatipun
namanya bertukar. Tetapi nagari menggabungkan wilayah yang lebih luas dan lebih
banyak penduduknya dari unit administrasi desa di Jawa dan daerah lainnya di
Indonesia. Ini berarti bahwa jika unit desa tetap nagari, Sumatera Barat akan
kehilangan dana pembangunan desa yang besar yang disalurkan Jakarta ke desa.
Pada awal
masa jabatannya yang kedua tahun 1983, Gubernur Azwar Anas memberlakukan
undang-undang yang menetapkan bagian dari nagari,
yakni jorong, bukan nagari, yang menjadi unit desa. Tetapi,
pemecahan nagari juga menghancurkan
institusi lokal tradisional yang sudah beratus tahun- lembaga yang mengatur
tidak hanya tingkah laku sosial dan kultural dari rakyat di pedalaman, tetapi
juga basis ekonomi masyarakat dalam hal tanah, warisan, dan pengolahan sawah.
Nagari tidak
hanya unit teritorial yang sederhana, tetapi sesuatu yang didasarkan kepada
kelompok garis turunan dan fungsi-fungsi yang luas. Nah, Mochtar Naim pun bersuara. Bila pikiran Mochtar Naim yang di
tahun 1970-an itu sudah mulai melihatkan pendirian akan perlunya Pembenahan dan
kemandirian nagari dalam rangka memfokuskan konsep pembangunan dari yang paling
dasar, dalam Konteks Sumatera barat.
Kemudian
pada tahun 1980-an hingga 1990-an ini, pemikiran Pak Mochtar naim tentang
Nagari dalam kaitan sprit perjuangan otonomi ini tampak semakin jelas.
Sebelumnya sebagaimana di ketahui bahwa pada tahun 1979, sebuah UU No.5 tahun
1979 diterbitkan yang berisi tentang pemerintahan desa yang diberlakukan untuk
seluruh Indonesia, tidak terkecuali Sumatera barat yang notabene dinilai
mempunyai kekhasan kultur di pemerintahan paling dasar yaitu nagari.
Ia tak segan-segan
menyatakan jika nagari diubah dengan sistem desa, maka sebuah
kerancuan struktural lah yang terjadi. Bahkan, Mochtar Naim menyuarakan: Perpindahan dari nagari ke desa tak ayal
telah merupakan sebuah “culture shock” (kegoncangan budaya) yang dampaknya
berkelanjutan, karena perubahan yang dialami tidaklah hanya sekedar perubahan
struktural tapi sekaligus juga perubahan orientasi dan filosofinya (Mochtar
Naim, 1989).
Dalam
pikiran Mochtar Naim, dua istilah yang dipakai dalam menggambarkan unit
pemerintah-an di tingkat terendah di Sumatera Barat dahulu dan sekarang kiranya
cukup representatif untuk sekaligus menjelaskan latar-belakang sosiologis dari
kedua sistem dengan orientasi berbeda itu. Ia selanjutnya menuturkan ‘Dengan nagari, dia adalah lambang
mikrokosmik dari sebuah tatanan makrokosmik yang lebih luas. Dalam dirinya ada
sistem yang memenuhi persyaratan embrional dari sebuah "negara." Oleh
karena itu Nagari adalah juga "negara" dalam artian miniatur,
sehingga tak salah jika penulis-penulis asing suka menjuluki sistem tatanan di
tingkat nagari ini sebagai "republik-republik kecil" yang sifatnya
self-contained, otonom dan mampu membenahi diri sendiri. Bukan saja bahwa ketiga unsur utama dari
perangkat pemerintahan ada di dalam tatanan nagari, --yakni unsur legislatif,
eksekutif dan yudikatif--, tetapi juga dia merupakan kesatuan holistik bagi
berbagai perangkat tatanan sosial-budaya lainnya. (Idem dito, 1989).
Kepedulian
Mochtar Naim tentang pembangunan nagari terus berlanjut, seiring dengan era
reformasi pada tahun 1998 dan keluarnya UU no 22 dan 25 tahun 1999, yang
memberi kesempatan untuk dikembalikannya pemerintahan desa di Sumatera
Barat kembali ke nagari. Ia kemudian merumuskan empat fungsi dasar nagari, Yaitu: Nagari
sebagai unit kesatuan administratif pemerintahan, Nagari sebagai unit kesatuan
keamanan dan pengamanan dalam Nagari, Nagari sebagai unit kesatuan ekonomi anak
Nagari, dan Nagari sebagai unit kesatuan adat dan sosial-budaya.
Pada 1980 bersama cendekiawan
di Yayasan Ilmu-ilmu Sosial yang diketuai oleh Dr Selo sumarjan, dibicarakan
untuk mendirikan fakultas sastra dan FISIP di Unand. Dan Mochtar
Naim ditunjuk sebagai ketua panitia persiapan pendirian fakultas tersebut. Di
saat sedang sibuk-sibuk persiapan mendirikan fakultas Sastra dan FISIP ini,
terselip dalam sebuah seminar September 1980, gagasan yang untuk pertama kali
dilontarkan oleh Mochtar Naim tentang Minangkabau dalam “Dialektika
Kebudayaan Nusantara”.
Pola J dan M
Konsep dialektika kebudayaan nusantara
yang digagas oleh Mochtar Naim ini, jika ditilik dari sosiologi pengetahuan
(Peter L. Berger & Thomas Luckmann, 1966) ia murni merupakan persfektif
Minangkabau sebagai simbol dan akumulasi dari konstruksi pemikiran yang
dimiliki oleh Mochtar Naim. Untuk kebudayaan Nusantara dalam pandangan Mochtar Naim bipolarismenya
secara hipotesis diwakili oleh dua kekuatan budaya yang memang sejak dari
dahulu sampai saat ini telah merupakan dua kekuatan penentu yang membentuk
kebudayaan Nusantara yaitu pola budaya J (Jawa) dan pola kebudayaan M (Minangkabau/Melayu), sedangkan kebudayaan
Nusantara lainnya berada bertebaran antara kedua kutub tersebut. Perbenturan
yang terus menerus antara kedua kekuatan budaya inilah yang menurut hematnya
telah membentuk dinamika dari kebudayaan Nusantara kita ini (Mochtar Naim, 1980).
Pada tahun
1983, ia bersama beberapa wartawan muda pada saat itu, yang saat ini (2011)
telah menjadi pucuk pimpinan di surat kabar masing-masing yaitu diantarang
Zaili Asril dan Fachrul Rasyid. Ia bersama melakukan penelitian tentang
restoran Minang. Mochtar Naim melihat potensi menarik dari penelitian tentang
restoran Minang ini, sebagai orang yang telah melakukan penelitian panjang
tentang budaya Minangkabau.
Bagi Mochtar
Naim mempelajari sistem manajemen restoran Minang merupakan “bukan hanya sekadar olahraga otak atau latihan akademi atau pun mempelajari bagaimana
restoran Minang dari segi manajemen dikelola secara sama atau berbeda dengan
restoran-restoran lainnya, dan bahkan dengan usaha-usaha perdagangan lainnya,
tapi ada tujuan yang lebih besar yang tersembunyi di belakangnya. (Mochtar Naim, 1987).
Pada tahun 1985 ia mendirikan Yayasan Amal Saleh, yang kemudian
mengkristal menjadi apa yang ia istilahkan dengan ‘Surau mahasiswa’. Konsep
surau mahasiswa tersebut adalah “asrama, wisma, rumah kos, pondokan, dsb, yang
ditempati oleh mahasiswa dikelola dengan semangat dan ruh Surau kedalamnya. (Mochtar Naim, 2002).
Konsep surau
mahasiswa ini sudah berjalan lebih kurang 26 tahun (2011), tentu apa yang
dicita-citakan mulai terasa dengan konsep surau mahasiswa ini dalam rangka
peningkatan sumber daya mahasiswa, di antaranya kelincahan berpikir, kematangan beremosional, kesantunan dalam
bertindak. Walaupun tidak seluruhnya yang pernah tinggal di Surau mahasiswa,
mengalami peningkatan sumber daya itu namun sebagian besar dari yang pernah
merasakan mengalami peningkatan sumber daya itu.
Konsep surau mahasiswa sangat dibutuhkan apalagi terhadap daerah-daerah
yang belum banyak institusi sosial yang mengadakan kegiatan-kegiatan untuk
menyongsong pertumbuhan mahasiswa di samping dia berkegiatan di kampusnya, maka jelas
mutlak surau mahasiswa itu sangat penting dan harus diciptakan sebagai intitusi
sosial yang melatih dan mendororong percepatan sumber daya mahasiswa itu.
Serangkaian kajian dan realisasi tentang
nilai luhur dari kebudayaan Minangkabau yang telah diuraikan di atas tersebut,
terkerjakan oleh Mochtar Naim karena sedari awal dari lubuk hati ia yang
terdalam tersimpan prinsip yang juga sering ia tandaskan dalam beberapa
kesempatan bahwa maju tidaknya bangsa Indonesia, tergantung sejauh mana berkontribusi
kebudayaan Minangkabau. n
Yogyakarta, 3 Desember 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar