OLEH Deddy
Arsya
Sastrawan
Subsidi minyak akan ditarik awal April ini.
Sebagai kompensasi, kaum miskin negeri ini dijanjikan akan mendapat bantuan tunai
lagi sebagaimana pernah mereka dapatkan beberapa tahun yang lalu. Kita mungkin akan
menyaksikan lagi pemandangan orang-orang yang berdesak-desakan di kantor-kantor
pos atau di tempat-tempat pencairan bantuan. Kita barangkali juga akan
mendengar lagi pembicaraan tentang kapan bantuan langsung itu dicairkan, tentang
keluh-kesah mengenai bantuan salah sasaran yang juga diperoleh orang yang tidak
miskin, dan lain sebagainya.
Banyak orang meragukan apakan bantuan seperti
itu efektif atau tidak dalam membantu meringankan biaya hidup orang-orang
miskin. Setengah pengamat ekonomi berujar bahwa dampak kenaikan harga minyak tidak
berbanding seimbang dengan bantuan yang diberikan kepada mereka. Di antara yang lain mengatakan bantuan
langsung hanya serupa candu yang memabukkan sebentar tetapi setelah itu membuat
kaum miskin semakin terkapar.
Pada masa kolonial Belanda, di kota Padang, juga
pernah ada bantuan tunai yang langsung dibagi-bagikan pemerintah kepada orang-orang
yang tercatat miskin. Tulisan ini akan membicarakan bagaimana praktik bantuan
langsung itu diberikan pada masa itu, bersebab apa, dan bagaimana pengaruhnya
terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat miskin?
Pada tahun 1930an, krisis ekonomi melanda hampir
seluruh dunia. Masa malaise, begitu
periode itu sering disebut, disebabkan karena kemerosotan harga bahan mentah di
pasaran dunia. Dan dengan telak, kemorosotan itu turut memukul-jatuh ekonomi
Hindia Belanda yang memang dihidupi oleh produksi bahan mentah. Kadang, masa
malaise itu diplesetkan orang sebagai ‘masa meleset’. Di beberapa daerah
penting seperti di Sumatera Timur, yang
tersohor karena perkebunannya, sebagaimana dicatatkan William Joseph O’Malley
dalam tulisannya “Indonesia Zaman
Malaise: Sumatera Timur dan Yogyakarta tahun 1930an”, penderitaan
orang-orang pribumi tidak tertahankan lagi. Di Jogjakarta, yang tidak
sepenuhnya bergantung pada kerkebunan, malaise telah menghancurkan kejayaan
usaha kerajinan batik dan menyempitkan perkebunan tebu. Di basis-basis karet
seperti di Jambi, kejatuhan harga karet berimbas pada menurunnya gairah
produksi, kebun-kebun karet ditinggalkan tanpa terawat.
Sementara di Sumatera Barat, yang mengandalkan
komoditi seperti kopi, gambir, teh, dan tembakau, akibat yang ditimbulkan
depresi ekonomi ini juga tampak siginifikan. Harga komoditi itu anjlok,
sehingga pendapatan masyarakat petani juga anjlok. Bukan saja melemahkan gairah
produksi perkebunan dan pertanian di kawasan-kawasan pedesaan, tetapi juga
melemahkan gairah dagang di kota-kotanya. Di Padang, misalnya, pengangguran
merebak hebat dan orang miskin bertambah banyak. Keadaan ini memaksa pemerintah
pusat di Batavia pada tahun 1936 mengelurkan sebuah peraturan pemerintah
tentang Penanganan Orang-orang Miskin di Kota Padang (Armenzorgverordening Gemeente Padang)
Dalam peraturan itu disebutkan, bahwa kebijakan
politik saja sudah tidak cukup untuk menekan angka kemiskinan di Padang. Sehingga
dirasa perlu untuk menyelenggarakan dan meningkatkan bantuan terhadap orang
miskin secara langsung. Pemerintah pusat di Batavia lewat peraturan yang sama
menginstruksikan agar dibentuk sebuah komisi khusus di Padang. Komisi untuk
Orangmiskin (de Comissie voor de
Armenzorg), begitu komisi itu diberi title,
harus diketuai oleh walikota Padang secara langsung dan dibantu oleh
pejabat-pejabat teras kota lainnya.
Komisi itu bertugas menyelenggaraan bantuan yang
di antaranya diberikan berupa uang tunai. Jumlah nominalnya ditetapkan oleh
komisi, sesuai kemampuan keuangan daerah. Di samping pembagian uang tunai
secara langsung kepada orang miskin, bersama itu juga akan dilakukan perbaikan
tempat tinggal dan pembagian sandang-pangan. Bantuan langsung itu diberikan
hanya untuk orang yang benar-benar miskin yang tak mampu bekerja. Bantuan itu,
dalam harapan pemerintah Belanda di Batavia, diperlukan agar dapat memenuhi
kebutuhan hidup orang-orang miskin.
Pengambilan bantuan berupa uang tunai itu hanya
dapat dilakukan oleh mereka yang telah memiliki surat keterangan miskin. “Setiap yang miskin mendapat kartu”, begitu dijelaskan
dalam peraturan pemerintah itu. Kartu tanda miskin ini diurus di tempat-tempat
pembuatan kartu registrasi (centraal
kaartregisten) yang terdapat di antaranya di kantor walikota sendiri dan di
beberapa titik lainnya.
Sementara itu, bagi warga miskin yang mampu dan
kuat bekerja berat, diinstruksikan peraturan pemerintah itu, bahwa bantuan diberikan
tidak dalam bentuk uang tunai, tetapi dalam bentuk dibayar untuk bekerja (loon voor arbeid). Dalam artian lain, mereka
yang menganggur akan mendapatkan bantuan dengan terlebih dahulu dipekerjakan di proyek-proyek pemerintah. Proyek-proyek
pemerintah yang padat karya direncanakan akan segera dibuka secara besar-besaran
untuk bisa mempekerjakan banyak penganggur itu.
Sementara bagi mereka yang tidak tergolong
miskin, pemerintah mengharapkan agar mereka dapat memberikan dukungan dengan
menyumbang pada lembaga-lembaga darma, menabung pada bank-bank pemerintah, atau
dalam hukum adat menyimpan pada penyimpanan kaum (lumbung). Atau
sekurang-kurangnya, menurut peraturan yang sama, orang-orang yang tidak miskin
itu “tidak menunjukkan gaya hidup yang berlebihan”.
Apakah kebijakan pemerintah di atas berhasil
menanggulangi kaum miskin?
Pada tahun 1939, tiga tahun setelah kebijakan
memberikan bantuan langsung kepada orang miskin dikeluarkan pemerintah, Dr.
Thuenissen, Kepala Departemen Kesehatan Masyarakat (Hoofd van den Dienst der Volksgezondheid), melakukan kunjungan ke Padang.
Dari kunjungan itu, dia memberikan laporan yang mencemaskan. Di Sumatera Barat,
catatnya, telah berkembang-luas “penyakit gila” (krankzinnigen). Rumah sakit jiwa di Padang tidak mampu menampung
jumlah pasien yang membludak. Tidak pernah terjadi di periode sebelum ini orang
gila menjadi sebegitu banyak. Tidak diketahui penyebabnya secara pasti. Pemerintah,
melihat kondisi itu, lalu berencana untuk membangun rumah sakit jiwa lain di
Fort de Kock, setidak-tidaknya untuk memindahkan 30 sampai 40 pasien yang tidak
lagi tertampung di rumah sakit jiwa di Padang.
Jika meningkatnya jumlah orang gila ini dapat
dipakai sebagai indikasi meningkatnya kesulitan hidup, pertanyaan di atas dapat
dijawab. William Joseph O’Malley, sekali lagi, bisa jadi benar ketika
mengatakan “langkah apa pun yang dilakukan pemerintah kolonial [dalam
menanggulangi akibat malaise], rakyat tetap sengsara.”
Padang, 2012-03-24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar