Kamis, 25 Desember 2014

Son: Batu Akik adalah Kehidupan Saya

Son Gemestone, pengrajin batu akik
Namanya tiga huruf saja: Son. Ia datang dari Indra Puro, Pesisir Selatan, Sumatera Barat,  ikut dalam Festival Batu Akik Kemilau Minangkabau 2014 di Mercure Hotel Padang yang digelar selama tiga hari 19-21 Desember 2014.
Son mendapatkan stand B khusus untuk pedagang batu akik. Ia mengaku mendaftar ke panitia menjelang tutup registrasi pendaftaran.
“Saya baru dapat informasi dari seorang teman di atas mobil travel saat saya ada keperluan lain ke Padang. Sesampai di Padang, saya langsung daftar untuk ambil stand,” kata Son dengan bahasa Minang dialek Jawa saat bincang-bincang dengan mantagibaru.com, Minggu (21/12/2014) menjelang pengumuman pemenang kontes batu akik yang digelar dalam Festival Kemilau Minangkabau ini.

Son memang bukan orang Minang, tapi beristri orang Indrapuro, perempuan Minang yang ia persunting pada 2005. Son berasal dari Lampung. Saat berkomunikasi, bahasanya Jawanya masih kentara. Kini ia punya keluarga di Indrapuro itu. Ia buka usaha kerajinan batu akik, yang ia utamakan untuk batu akik asal Ujung Tanjung, Pesisir Selatan.
Sejak 2006, ia bersama istri tercintanya, membuka usaha kedai batu akik ini yang ia beri nama Son Gemestone. Posisinya persis di dekat Pasar Indrapuro. “Pinggir jalan,” katanya. 
Son sangat bersemangat bercerita tentang usaha batu akik yang ia kelola ini. Baginya, batu akik ini, bukan untuk gaya-gayaan.
“Ini usaha saya. Batu akik ini adalah kehidupan saya. Bagian penting dari masa depan keluarga saya, dan anak-anak saya. Maka, dengan sekuat dan semampu saya, saya akan berupaya membangun usaha ini agar bisa bertahan dan alhamdullilah jika besar dan berkembang,” kisah Son, pria kelahiran 1976 ini, dengan terbata-bata.
Son mengaku, ia datang dan ikut pameran serta sekaligus berjualan dalam Kemilau Minangkabau ini dengan biaya sendiri.
“Karena saya yakin, ajang seperti ini jarang-jarang, maka saya tertekad ikut. Ini promosi penting untuk batu akik Ujung Tanjung. Jika tak ikut, orang tak akan tahu. Dan saya ke sini dengan biaya sendiri. Tak ada bantuan dari pihak pemerintah, terutama Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan,” jelasnya.   
Bupati Tak Singgah
Untuk itu pula, saat Bupati Pesisir Selatan Nasrul Abit tak singgah ke standnya setelah Nasrul Abit menerima Akik Award dari Yayasan Gemestone Minangkabau pada Jumat (19/12) sebagai tokoh yang peduli dengan potensi batu akik di daerahnya, hati Son agat tersurut.  
“Pak Bupati tak singgah ke sini (standnya). Padahal tak jauh dari tempat Bupati berdiri itu, ini ada tulisan besar yang ditempel di kaca ini ‘Batu Akik Ujung Tanjung Pesisir Selatan.’ Saya tak mengerti juga mengapa Pak Bupati tak mendatangi stand ini. Saya tak berniat untuk minta bantuan dana kok,” tanyanya.
Menurut Son, batu akik Ujung Tanjung tak kalah pamor dengan batu akik seperti lumuik suliki dan sungai dareh. Dan ia yakin, batu alam dari Pesisir Selatan bisa jadi ikon dan cindera mata daerah ini.
“Tinggal bagaimana kita bersama-sama mempromosikan dan membranding batu daerah kita ke masyarakat luas. Ini harus jadi gerakan bersama-sama dari komunitas batu akik, pengrajin batu akik, pemerintah khususnya, dan stokeholder lainnya,” kata Son yang mengaku menggeluti batu akik ini sejak duduk di bangku SMP di Lampung. 
Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan harus memiliki sensitivitas pengembangan ekonomi dan industri kreatif menuju kemakmuran rakyatnya.
“Bupatinya saja ngak peduli, bagaimana mau maju batu akik daerah ini,” kata Son.
Memoles Batu Akik dan Kisah Ayahnya
Son adalah seorang yang kehidupannya dekat dengan batu akik. Ayahnya pencinta dan kolektor batu akik yang bekerja sebagai sopir truk. Setiap singgah di suatu daerah, acap kali ayahnya diberi batu akik oleh kenalannya.
Suatu kali, cerita Son, ayahnya punya batu akik yang memacarkan cahaya. Jika didekatkan ke batu lain, muncul dalam ratusan bayangan batu akik lainnya di dalam batu itu.
“Warnanya putih. Batu itu harus dijual untuk menutupi biaya berobat kakak saya yang sakit. Sampai sekarang tak tahu lagi kemana batu itu beredarnya,” cerita Son.
Son mengaku pernah memoles batu seberat 1 ton. Batu 1 ton itu dibagi jadi empat bagian. Ini batu alam asli dari Lampung jenis ruyung. Empat potongan batu ini akan dipamerkan di Jakarta. Itu pada tahun 2004.
“Hampir dua bulan saya memolesnya agar tampak berkilau dan memancarkan cahayanya. Ini bagian penting dalam hidup saya. Saya memang seorang yang hidup sehari-hari tak bisa lepas dari batu akik,” katanya.
Son Gemestone usaha yang ia rintis ini, kini sudah mendapatkan pasar, dan para pencinta batu akik sudah mengenalnya sebagai pengasah batu yang telaten.
Banyak batu Ujung Tanjung saat ditemukan berupa bahan, tidak memperlihatkan keindahannya. Tapi setelah dipoles dan diasah oleh Son, batu itu penuh dengan keindahan dan bercahaya.
Kisah Batu Akik Ujung Tanjung
Hampir setiap batu akik sepertinya menyimpan kisahnya sendiri-sendiri. Dan kisah di balik itu, kebanyakan berbau mistis dengan segenap kemisteriusannya.
Ujung Tanjung merupakan daerah pantai termasuk dalam Nagari Muaro Sakai, Inderapura, Kecamatan Pancung Soal. Di Pesisir Selatan, Pantai Ujung Tanjung satu-satunya daerah pantai yang menghasilkan batu akik. Jenis batu akik yang dihasilkan adalah jenis kalsedon.  
Alkisah, dahulu sebelum dibukanya perkebunan kelapa sawit di kawasan Pantai Ujung Tanjung, daerah adalah kawasan hutan rawa yang lebat tanpa ada berpenghuni. Masyarakata sekitar di sekitar Muaro Sakai dan Inderapura mengatakan kalau Pantai Ujung Tanjung ini angker.
Tak berbilang, sering masyarakat nelayan sekitar Air Haji dan Muaro Sakai saat malam melihat cahaya lampu bak sebuah kapal besar atau api unggun di Pantai Ujung Tanjung dari tengah lautan. Aneh, cahaya dan api menyerupai unggung itu tak akan pernah ditemukan saat didekati. 
Menurut cerita orang tua-tua di sekitar Muaro Sakai dan Air haji, konon kabarnya di Pantai Ujung Tanjung ini dahulunya berdiri sebuah istana. Istana Gando Layu namanya yaitu tempat berdiamnya istri Sultan Zatullahsyah, raja dari Kerajaan Inderapura.
Dari cerita turun temurun Istana Gando Layu, Pantai  Ujung Tanjung ini pernah digunakan Bundo Kanduang (Mande Rubiah) untuk menyembunyikan Puti Bungsu (Puti Kemala Sani), istri Dang Tuangku dari kejaran Raja Tiang Bungkuk.
Sampai sekarang legenda itu masih terdengar di tengah masyarakat Muaro Sakai dan Inderapura. Terkadang ada cerita yang menyebutkan, banyajk orang berpapasan dengan orang tua saat berkunjung ke Pantai Ujung Tanjung ini.
“Orang tua ini selalu mengingatkan agar berhati-hati. Jika hujan panas saat di pantai itu, lebih baik pulang saja,” kata Son berkisah. 
Lokasi Pantai Ujung Tanjung ini dapat dicapai dengan kendaraan roda dua atau roda empat. Dari Padang, Anda menuju Painan terus ke Inderapura. Sesampai di Inderapura belok ke kanan arah ke Muaro Sakai. Setiba di Simpang Pasing Ganting, Anda lurus saja. Sampai bertemu Sungai Muaro Sakai. Di sini Anda menyeberang dengan naik ponton yang disediakan gratis untuk penduduk sekitar sebuah perusahaan sawit.
Setelah itu turun dari ponton, Anda terus memasuki kawasan perkebunan sawit dan akan bertemu dengan sebuah kantor dan bertanyalah arah jalan ke Pantai Ujung Tanjung.
“Pantai ini bisa untuk berwisata sekaligu mencari batu akik. Batu delima sangat terkenal dihasilkan pantai yang sepi ini,” kata Son. ***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...