David Darmadi |
Napas terengah-engah. Belum begitu stabil parkir motornya, ia langsung
menunjukkan lembaran kertas yang ia bawa dari Kantor Polresta Padang kepada
khalayak penonton, yang menunggunya sejak pagi, Rabu (24/12/2014) sekitar pukul
11. 10 WIB.
Ia menyibakkan rambut yang menutup matanya. Lalu...
“Ini UU No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Pasal 80 menjadi alasan pihak
aparat polisi melarang pemutaran film “Senyap”. Saya dan pengurus
Cinemama Studies minta maaf yang sebesarnya karena tak bisa memutarkan film ini
kendati persiapan telah kita lakukan jauh-jauh hari,” kata sosok lelaki yang
bernama David Darmadi. Ia didampingi Muhaimin Nurrizqy, salah seorang pengurus
Cinemama Studies saat menyampaian berita “duka” itu.
David Darmadi,
yang sebelumnya memutar karya filmnya Journey of Java Minor kerja sama dengan
manajemen Bioskop Karya Padang, sukses digelar. Menurutnya, saat itu tak
ada masalah soal dengan apa yang dipasangkan pihak pada “Senyap”.
“Journey of Java Minor tak masuk Lembaga Sensor Film (LSF) dan banyak film-film lokal dari Sumbar yang tak disensor LSF, tapi tak ada masalah. Semua lancar-lancar saja. Makanya, kami sangat keget saat pihak polisi melarang film yang berkisah tentang pelanggaran HAM ini,” cerita David.
“Journey of Java Minor tak masuk Lembaga Sensor Film (LSF) dan banyak film-film lokal dari Sumbar yang tak disensor LSF, tapi tak ada masalah. Semua lancar-lancar saja. Makanya, kami sangat keget saat pihak polisi melarang film yang berkisah tentang pelanggaran HAM ini,” cerita David.
Sesuai jadwal
yang sudah ditetapkan, pihak Cinemama rencana memutar film pukul 11.00 WIB.
Jelang itu, penonton yang hanya dibatasi 191 orang saja, sudah memenuhi halaman
bioskop. Penonton terdiri dari mahasiswa dari pelbagai perguruan tinggi di
Padang, jurnalis, dan belasan korban aksi 1965.
Namun demikian,
sejak sekitar pukul 10.00 WIB, di beberapa sudut bioskop sudah tampak pihak
aparat polisi yang berpakaian preman. Ada juga terlihat aparat Satpol PP
dan Kesbangpol Kota Padang yang berpakaian dinasnya. Pintu bioskop belum
dibuka petugas. Tapi di dalamnya terlihat beberapa orang duduk-duduk.
David Darmadi
dan Muhaimin Nurrizqy belum terlihat di lokasi. Dari telepon genggamnya, David
mengaku sedang berada di ruang Kasat Intel Polrestas Padang. Mereka di sana
untuk mengurus izin, tapi tak diberi pihak aparat polisi.
Selang 15 menit
sebelum kedatangan David Darmadi dan Muhaimin Nurrizqy, seorang perwira tentara
dengan mengenakan kaca mata hitam memasuki halaman bioskop. Ia menaiki Avanza
putih.
“Di mana letak
kantor bioskop ini?” tanyanya kepada Jek, salah seorang calon penonto.
“Ngak tahu
juga, Pak,” jawab Jek.
Tampak perwira
berkulit putih itu menelepon, tapi tak jelas siapa yang diteleponnya.
“Filmnya yang
itu ya,” katanya sambil menunjuk poster film yang tergantung dan berlalu
memasuki .
“Bukan,” jawab
Jek lagi.
Dari kendaraan
Avanza yang membawa perwira itu, turun pula seorang tentara. Ia sopir perwira
itu. Sopir itupun bergabung dengan aparat polisi berpakaian bebas yang sudah
berkumpul pula di ujung dekat kedai rokok. Handy talky (HT) mereka terdengar
berdesir-desir. Salah seorang dari mereka mengangkat HTnya . Ia sebut “8-6”.
Ini sebuah sandi di kepolisian yang artinya: Dimengerti.
Orang-orang
bertambah ramai. Parkir halaman bioskop dipenuhi kendaraan roda dua dan empat.
Tanda-tanda film akan dimulai belum terlihat. Darmadi bersama Muhaimin Nurrizqy
muncul dengan motornya.
“Sempat juga
beradu argumentasi dan bersitegang urat leher dengan aparat intel Polresta
Padang. Mereka tetap mengatakan tak melarang pemutaran “Senyap” jika surat dari
LSF ada. “Senyap” tak punya surat dari LSF, dan ini bertentangan dengan UU
Film,” kata Muhaimin Nurrizqy meniru ucapan Kasat Intel Polresta Padang.
Menurut
Muhaimin Nurrizqy, film “Senyap” memang tidak untuk dikomersialkan, berbeda
dengan film-film yang masuk dalam jaringan bioskop yang harus memiliki surat
lulus sensor. Tapi, Cinemama memunyai surat dukungan dari Komnas HAM yang diberikan
oleh pihak “Senyap”.
“Maksud kami
memutarkan film “Senyap” di bioskop agar lebih representatif untuk khalayak
umum. Jika kami paksakan juga memutarnya, tentu akan menyeret pihak manajemen
le masalah hukum, dan mereka akan kesulitan nantinya. Maka, diputuskan “Senyap”
batal diputar, dan dialihkan ke Kantor LBH Pers-AJI Padang. Pemutaran di sini
berjalan baik,” katanya.
Sudah Dicari Aparat Polisi
David Darmadi
menceritakan, sehari sebelumnya, pihak aparat polisi sudah mencarinya.
“Pihak Bioskop
Karya mengabarkan bahwa beberapa orang aparat polisi mendatangi bioskop dan
mencari dirinya. Sorenya, mereka mendatangi rumah saya menanyai saya banyak
hal. Salah satunya tujuan pemutaran “Senyap” ini,” kata David.
Selasa
malamnya, lanjutnya, ketika akan memasang soundsystem, pihak polisi
datang dan melarang memasang alat musik itu karena izin belum ada. Dan polisi
itu meminta kami datang ke kantornya besok pagi.
Tapi, aparat
polisi itu saya sarankan untuk menonton film “Senyap” danm saya berikan
kopiannya. Malam itu, mereka menyaksikan “Senyap” di
kantornya.
Sesuai dengan
apa yang diminta aparat polisi agar pihak Cinemama datang ke kantornya,
dipenuhi. “Kami sampai di sana pukul 08.00 WIB. Sesampai di sana, seorang intel
berseru: ‘Yo babayo film “Senyap” ko Vid,’” kata David menirukan.
Menjelang
kedatangan Kasat Intel, saat inilah mereka berdebat soal izin dan sensor film.
Baru pukul 10.30 menit, Kasat Intel datang dan menyimpulkan semua pembicaraan
bahwa film “Senyap” tak dibenarkan untuk diputar di ruang publik karena belum
melewati LSF.
Pada saat
pembatalan pemutaran di Bioskop Karya, AJI (Aliansi Jurnalis Independen Padang)
menawarkan untuk memutarnya di Kantor AJI Padang dan LBH Pers.
“Penonton sudah
jauh-jauh datang ke Padang, ada yang dari Pariaman dan Bukittinggi. Jadi untuk
mengobati kekecewaan mereka, “Senyap” diputar di kantor AJI Padang-LBH Pers.
Kedua lembaga ini berkantor sama,” terang Muhaimin Nurrizqy.
Pemutaran film
di Kantor LBH Pers-AJI Padang di Andaleh, ternyata juga digangggu pihak Kesbangpol
Kota Padang. Mereka menilai, kendaraan roda dua yang memenuhi halaman kantor ini,
mengganggu kenyamanan warga.
Ketua RT
setempat sempat bersitegang dengan pengurus AJI Padang-LBH Pers. Tapi bisa
diselesaikan dengan baik-baik. Kantor dua lantai ini penuh dengan
penonton. Terasa sesak dan panas. Tampak Kanit Intel Polresta Padang dan
beberapa orang yang mengaku dari PP (Pemuda Pancasila) menonton. Tak ada
masalah. Semua berjalan dengan baik hingga usai diskusi.
Film “Senyap”
(The Look Of Silence) merupakan karya sutradara Joshua Oppenheimer yang
sebelumnya juga menghadirkan film “Jagal” (The Act of Killing) yang awal
pemutarannya juga dilakukan secara senyap para aktivis hak asasi manusia di
Tanah Air.
Jika “Jagal”
mengisahkan dari sudut pelaku yang menggambarkan peristiwa berdarah di
Indonesia tahun 1965, “Senyap” menceritakan dari sudut korban. Film ini
dikesankan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) salah satu film yang
mengungkapkan pelanggaran HAM berat di masa lalu di Indonesia. Komnas HAM
mendukung kegiatan pemutaran film ini karena ada unsur pendidikan HAM di
dalamnya.
Sayang pihak
polisi, di beberapa kota di Indonesia melarang pemutaran film ini, dan ini
tentu disesalkan, termasuk publik di Kota Padang. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar