Kamis, 25 Desember 2014

Kisah di Balik Pembatalan Film “Senyap” di Bioskop Karya Padang

David Darmadi
Napas terengah-engah. Belum begitu stabil parkir motornya, ia langsung menunjukkan lembaran kertas yang ia bawa dari Kantor Polresta Padang kepada khalayak penonton, yang menunggunya sejak pagi, Rabu (24/12/2014) sekitar pukul 11. 10 WIB.
Ia menyibakkan rambut yang menutup matanya. Lalu... “Ini UU No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Pasal 80 menjadi alasan pihak aparat polisi melarang  pemutaran film “Senyap”. Saya dan pengurus Cinemama Studies minta maaf yang sebesarnya karena tak bisa memutarkan film ini kendati persiapan telah kita lakukan jauh-jauh hari,” kata sosok lelaki yang bernama David Darmadi. Ia didampingi Muhaimin Nurrizqy, salah seorang pengurus Cinemama Studies saat menyampaian berita “duka” itu.  

David Darmadi, yang sebelumnya memutar karya filmnya Journey of Java Minor kerja sama dengan manajemen Bioskop Karya Padang, sukses digelar.  Menurutnya, saat itu tak ada masalah soal dengan apa yang dipasangkan pihak pada “Senyap”.
“Journey of Java Minor tak masuk Lembaga Sensor Film (LSF) dan banyak film-film lokal dari Sumbar yang tak disensor LSF, tapi tak ada masalah. Semua lancar-lancar saja. Makanya, kami sangat keget saat pihak polisi melarang film yang berkisah tentang pelanggaran HAM ini,” cerita David.
Sesuai jadwal yang sudah ditetapkan, pihak Cinemama rencana memutar film pukul 11.00 WIB. Jelang itu, penonton yang hanya dibatasi 191 orang saja, sudah memenuhi halaman bioskop. Penonton terdiri dari mahasiswa dari pelbagai perguruan tinggi di Padang, jurnalis, dan belasan korban aksi 1965.
Namun demikian, sejak sekitar pukul 10.00 WIB, di beberapa sudut bioskop sudah tampak pihak aparat polisi yang berpakaian preman.  Ada juga terlihat aparat Satpol PP dan Kesbangpol Kota Padang yang berpakaian dinasnya.  Pintu bioskop belum dibuka petugas. Tapi di dalamnya terlihat beberapa orang duduk-duduk.
David Darmadi dan Muhaimin Nurrizqy belum terlihat di lokasi. Dari telepon genggamnya, David mengaku sedang berada di ruang Kasat Intel Polrestas Padang. Mereka di sana untuk mengurus izin, tapi tak diberi pihak aparat polisi.
Selang 15 menit sebelum kedatangan David Darmadi dan Muhaimin Nurrizqy, seorang perwira tentara dengan mengenakan kaca mata hitam memasuki halaman bioskop. Ia menaiki Avanza putih. 
“Di mana letak kantor bioskop ini?” tanyanya kepada Jek, salah seorang calon penonto.
“Ngak tahu juga, Pak,” jawab Jek.
Tampak perwira berkulit putih itu menelepon, tapi tak jelas siapa yang diteleponnya.
“Filmnya yang itu ya,” katanya sambil menunjuk poster film yang tergantung dan berlalu memasuki .
“Bukan,” jawab Jek lagi.
Dari kendaraan Avanza yang membawa perwira itu, turun pula seorang tentara. Ia sopir perwira itu. Sopir itupun bergabung dengan aparat polisi berpakaian bebas yang sudah berkumpul pula di ujung dekat kedai rokok. Handy talky (HT) mereka terdengar berdesir-desir. Salah seorang dari mereka mengangkat HTnya . Ia sebut “8-6”. Ini sebuah sandi di kepolisian yang artinya: Dimengerti.   
Orang-orang  bertambah ramai. Parkir halaman bioskop dipenuhi kendaraan roda dua dan empat. Tanda-tanda film akan dimulai belum terlihat. Darmadi bersama  Muhaimin Nurrizqy muncul dengan motornya.
“Sempat juga beradu argumentasi dan bersitegang urat leher dengan aparat intel Polresta Padang. Mereka tetap mengatakan tak melarang pemutaran “Senyap” jika surat dari LSF ada. “Senyap” tak punya surat dari LSF, dan ini bertentangan dengan UU Film,” kata Muhaimin Nurrizqy meniru ucapan Kasat Intel Polresta Padang.
Menurut Muhaimin Nurrizqy, film “Senyap” memang tidak untuk dikomersialkan, berbeda dengan film-film yang masuk dalam jaringan bioskop yang harus memiliki surat lulus sensor. Tapi, Cinemama memunyai surat dukungan dari Komnas HAM yang diberikan oleh pihak “Senyap”.
“Maksud kami memutarkan film “Senyap” di bioskop agar lebih representatif untuk khalayak umum. Jika kami paksakan juga memutarnya, tentu akan menyeret pihak manajemen le masalah hukum, dan mereka akan kesulitan nantinya. Maka, diputuskan “Senyap” batal diputar, dan dialihkan ke Kantor LBH Pers-AJI Padang. Pemutaran di sini berjalan baik,” katanya.
Sudah Dicari Aparat Polisi
David Darmadi menceritakan, sehari sebelumnya, pihak aparat polisi sudah mencarinya.
“Pihak Bioskop Karya mengabarkan bahwa beberapa orang aparat polisi mendatangi bioskop dan mencari dirinya. Sorenya, mereka mendatangi rumah saya menanyai saya banyak hal. Salah satunya tujuan pemutaran “Senyap” ini,” kata David.  
Selasa malamnya, lanjutnya, ketika akan memasang soundsystem,  pihak polisi datang dan melarang memasang alat musik itu karena izin belum ada. Dan polisi itu meminta kami datang ke kantornya besok pagi.
Tapi, aparat polisi itu saya sarankan untuk menonton film “Senyap” danm saya berikan kopiannya. Malam itu, mereka menyaksikan “Senyap” di kantornya.   
Sesuai dengan apa yang diminta aparat polisi agar pihak Cinemama datang ke kantornya, dipenuhi. “Kami sampai di sana pukul 08.00 WIB. Sesampai di sana, seorang intel berseru: ‘Yo babayo film “Senyap” ko Vid,’” kata David menirukan. 
Menjelang kedatangan Kasat Intel, saat inilah mereka berdebat soal izin dan sensor film. Baru pukul 10.30 menit, Kasat Intel datang dan menyimpulkan semua pembicaraan bahwa film “Senyap” tak dibenarkan untuk diputar di ruang publik karena belum melewati LSF.
Pada saat pembatalan pemutaran di Bioskop Karya, AJI (Aliansi Jurnalis Independen Padang) menawarkan untuk memutarnya di Kantor AJI Padang dan LBH Pers.
“Penonton sudah jauh-jauh datang ke Padang, ada yang dari Pariaman dan Bukittinggi. Jadi untuk mengobati kekecewaan mereka, “Senyap” diputar di kantor AJI Padang-LBH Pers. Kedua lembaga ini berkantor sama,” terang Muhaimin Nurrizqy.
Pemutaran film di Kantor LBH Pers-AJI Padang di Andaleh, ternyata juga digangggu pihak Kesbangpol Kota Padang. Mereka menilai, kendaraan roda dua yang memenuhi halaman kantor ini, mengganggu kenyamanan warga.
Ketua RT setempat sempat bersitegang dengan pengurus AJI Padang-LBH Pers. Tapi bisa diselesaikan dengan baik-baik. Kantor dua lantai ini penuh dengan penonton.  Terasa sesak dan panas. Tampak Kanit Intel Polresta Padang dan beberapa orang yang mengaku dari PP (Pemuda Pancasila) menonton. Tak ada masalah. Semua berjalan dengan baik hingga usai diskusi.
Film “Senyap” (The Look Of Silence) merupakan karya sutradara Joshua Oppenheimer yang sebelumnya juga menghadirkan film “Jagal” (The Act of Killing) yang awal pemutarannya juga dilakukan secara senyap para aktivis hak asasi manusia di Tanah Air.
Jika “Jagal” mengisahkan dari sudut pelaku yang menggambarkan peristiwa berdarah di Indonesia tahun 1965, “Senyap” menceritakan dari sudut korban. Film ini dikesankan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) salah satu film yang mengungkapkan pelanggaran HAM berat di masa lalu di Indonesia. Komnas HAM mendukung kegiatan pemutaran film ini karena ada unsur pendidikan HAM di dalamnya. 
Sayang pihak polisi, di beberapa kota di Indonesia melarang pemutaran film ini, dan ini tentu disesalkan, termasuk publik di Kota Padang. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...