CATATAN PEMENTASAN “HANACARAKA (ADA
UTUSAN)”
OLEH Nasrul Azwar
SAYA sangat terkesan setiap menonton seni pertunjukan (tari dan
teater) dengan sapuan modernisasi dan memberi “label” berbasis tradisi. Seiring
dengan itu, saya teringat dengan tulisan Eugenio Barba yang berjudul Anatomie de L’
Acteur (1985) yang diterjemahkan Yudiaryani ke dalam bahasa Indonesia.
Anatomi penari atau pun aktor dalam teater ketika
berada di atas panggung bagi saya adalah “teks”. Tubuh-tubuh yang
mentransfomasikan teks dan simbol kepada penontonnya. Jika ini tak berjalan,
pertunjukan bisa disebut gagal mengomunikasikan dirinya dengan audiens.
Dalam pengertian yang lebih luas, Eugenio Barba
menyebut terkait dengan teks itu, begini: Kata teks sebelum menunjukkan teks
tertulis maupun lisan, dicetak atau tulisan tangan, berarti rajutan bersama.
Dalam pengertian ini, tidak ada pementasan yang hadir tanpa rajutan bersama
tanpa “teks”.
Perhatian koreografer yang diberikan bukan saja
apa yang dijadikan komposisi gerak dan simbolisasi di atas pentas, akan tetapi
juga suara-suara, transformasi properti, dimensi ruang dan waktu, cahaya,
musik, karakter, emosi, tempo permainan, dan laku sebagai “teks”.
Memasuki
pementasan “Hanacaraka (Ada Utusan)”
koreografer Boby Ari Setiawan yang digelar di Ladang Nan Jombang,
Padang, Selasa 18 November 2014, seperti malam memasuki lorong waktu yang
panjang. Pertunjukan ini merupakan program Hibah Kelola untuk tari pada 2014.
Tentu saja,
analogi di atas saya katakan karena ada persoalan dimensi waktu, dan “jarak”
kultural antara budaya Jawa yang jadi latar garapan koreografi ini dengan
kultur Minang yang sebagian besar jadi
penonton malam itu.
Jika ditilik lebih
jauh, ada kemungkinan beragam dan variasi tafsir yang bermunculan di benak
penonton tentang “Hanacaraka (Ada Utusan)”,
yang bagi saya sendiri ini sebuah pertunjukan tari yang apik, tertata,
dan memang disiapkan serius dan matang.
Mengkuti lebih
kurang 60 menit durasi pertunjukan ini, “Hanacaraka (Ada Utusan)”, apa yang
dijadikan dasar proses garapan tari ini yang ditulis Boby Ari Setiawan dalam
lembaran leaflet, menemukan “pembenarannya” di atas panggung. Paling tidak,
bagi saya, tak melenceng dari apa yang jadi ide gagasan dengan hasil pementasannya. Konsistensi ini tentu menjadi entri poin tersendiri.
Boby Ari
Setiawan mengatakan, ia berangkat dengan
melakukan eksplorasi gerak dengan tulisan aksara Jawa sebagai sumber inspirasi penciptaan
tari ini. Mencari kemungkinan benang
merah antara gerak tari Jawa dengan tulisan aksara Jawa.
Satu hal yang
menarik ketika secara sadar koreografer ini menyebutkan tari ini merupakan
tantangan dalam pementasan ini adalah bagaimana karya ini diapresiasi oleh
penonton yang bukan latar budaya Jawa, yakni Sumatera.
“Kredo” itu jadi
penting karena inilah pintu masuk bagi orang lain untuk melihat “Hanacaraka
(Ada Utusan)”, baik secara utuh, setengah, dan penuh. Penonton yang merupakan elemen penting bagi
sebuah pertunjukan, tidak bisa tidak, menjadi pertimbangan utama dalam garapan
Bobbi Ari Setiawan ini.
Hal ini terungkap
saat diskusi digelar setelah pementasan. Dengan dimoderatori S Metron M , sutradara Ranah Teater, Boby Ari Setiawan menjelaskan
bagian-bagian yang diubah dalam pementasannya ini.
Untuk pertunjukan
di Gedung Sendratasik Universitas Islam Riau (UIR) Pekanbaru, yang digelar pada
14 November 2014, Boby Ari Setiawan melakukan perubahan pada kostum penarinya. Penari perempuan mengenakan
jilbab, dan lelaki tak memakai celana ketat.
Perubahan yang
dilakukan dengan sadar ini, tentu memiliki konsekuensi artistik terhadap
karyanya. Kendati saya tak menyaksikan pementasan di UIR Pekanbaru itu, saya
menduga, akan jauh berbeda dengan pementasan di Padang Panjang dan Padang.
“karya tari sangat
erat dengan penempatannya. Artinya di mana ia dipentaskan. Maka, tari itu
tampil dengan pengaruh budaya, agama, dan sosial masyarakat setempat. Dan juga
bisa dipengaruhi hal di atas itu,” kata
Boby Ari Setiawan dalam diskusi itu.
Pesan dari Tubuh
“Hanacaraka (Ada
Utusan)” secara utuh diisi 6 penari dengan masing-masing 3 perempuan (Cahwati,
Tri Rahajeng, Widya Ayu dan 3 laki-laki (Boby Ari Setiawan (koreografer), Sandi
Dea, dan Kristiyanto) adalah tubuh-tubuh yang memberi makna luas dan simbol tegas
terhadap aksara Jawa dan sisi lain dari perjalanan panjang evolusi budaya Jawa.
Beban berat
tubuh-tubuh penari, memang jadi tuntutan “khusus” dari gagasan tari ini. Tubuh
penari di atas panggung menjadi aksara-aksara yang silih berganti berproses
seperti ritual-ritual yang kerap dilakukan dalam tradisi Jawa. 20 aksara itu,
merepresentasikan gerak tubuh 6 penari itu. Ia jadi utusan yang menerangkan
tentang falsafah hidup dalam kultur Jawa.
Ini jadi sangat
menarik ketika dikaitkan dengan apa yang jadi landasan utama dalam tari itu.
Idiom dasar (substansi) tari adalah gerak tubuh. Dalam buku “Tari Komunal” yang
disusun Endo Suanda dan kawan-kawan menyebutkan, tubuh dalam tari merupakan
bagian dari instrumenya. Tubuh dalam tari adalah kesatuan utuh dari seorang individu,
bukan merupakan bagian dari tubuh orang lain, baik dari sisi fisik (otot,
tulang), pikiran (penalaran), maupun batin (rasa, jiwa). Tubuh seseorang
berbeda dengan tubuh orang lainnya. Karena itu, dari pandangan ini, tari
merupakan perwujudan ekspresi secara personal.
Mengaitkan dengan
apa yang dikatakan Boby Ari Setiawan, “Hanacaraka (Ada Utusan)”, diwujudkan
dengan menggabungkan teknik gerak tari tradisi Jawa dengan mengeksplorasi
setiap huruf aksara Jawa ke dalam gerak
tubuh. Hanacaraka dalam falsafah Jawa berarti “ada utusan” dalam cerita kisa
Adji Saka yang menjadi utusan adalah Dora dan Sambodo. Kedua utusan ini mati
karena sama-sama memegang prinsip yang diamanatkan oleh tuannya, Adji Saka.
Adji Saka yang
direprentasikan oleh koreagrafernya sendiri dalam pementasan itu, merupakan
kunci dan pusat dari semua gerak, cerita, dan simbolisasi. Kendati setiap gerak
tubuh masing-masing merupakan gerak personal, tetapi ia menyatu jadi sebuah
gerak bersama dan reaktif. Gerak bersama inilah yang terbaca menjadi simbol dan
“cerita”. Dan ia jadi gerak yang universal dan semua orang bisa memaknai pesan
yang disampaikan.
Bagi saya, inilah
kelebihan garapan pria kelahiran Klaten tahun 1983 ini. Boby Ari Setiawan
berhasil membahasakan tarinya yang berlatar Jawa menjadi bahasa yang bisa
dipahami semua orang dengan latar belakang kultur budaya yang berbeda.
Dalam diskusi hal ini
juga terungkap, kendati yang disoroti soal musik, tetapi B Anduska, salah
seorang komposer dari Padang, menyebutkan, untuk komposisi musik yang melatari
“Hanacaraka (Ada Utusan)”, Bobby dan Bagus Twu berhasil melakukan lompatan
dalam garapan musiknya.
“Ini sesuatu yang
baru, walau ada beberapa bagian yang musik intervalnya terlalu panjang. Tapi
secara keseluruhan, musik mampu memancing emosi, dan bisa mengantarkan klimaks
cerita tari ini dengan sangat baik,” kata B Anduska.
Kendati begitu,
“Hanacaraka (Ada Utusan)” secara keseluruhan dinilai berhasil, tapi beberapa
hal secara teknis dan elemen panggung bagi saya cukup mengganggu dari
pementasan ini adalah soal tata lampu dan pencahayaan.
Pencahayaan yang
menggunakan multimedia, terlihat dipaksakan dan terkadang tidak sinkron dengan
gerak tari yang dihadirkan di atas pentas. Kesalahan teknis juga kerap
terlihat. Namun, kelemahan pada lampu, bisa ditutupi dengan kekuatan gerak
tubuh para penari dan artistik panggung walau minim penggunaan properti.
Seni tradisi
sesungguhnya sumur inspirasi yang tak pernah habisnya. Seniman kreatif tentu
sudah memahami ini. Nyaris semua seniman di Indonesia, konsep berkaryanya
berbasis pada seni tradisi yang melatarbelakangi kehidupan sosialnya.
Menurutnya, tradisi
bukanlah sebuah entitas yang harus dipinggirkan, tetapi bisa dijadikan
inspirasi dan pegangan berkarya. Boby
Ari Setiawan menepis anggapan bahwa tradisi bersifat tertutup. Sebaliknya ia
menunjukkan tradisi terbuka untuk dieksplorasi.
Boby memandang proses kreatif dan inovasi sebagai dua hal yang tidak
kalah penting dari hasil akhir atau karya itu sendiri. Proses kreatif inilah
yang mematangkan karya-karyanya dari segi gerak, konsep, maupun ide
kreatif.
Kendati begitu, dalam
berkarya, Boby Ari Setiawan mengutamakan kebebasan untuk bergerak sekaligus
bereksplorasi. Ia bahkan sering memanfaatkan karakter kuat tradisi Jawa yaitu
olah rasa dalam karyanya. Selain itu tari tradisi juga memberikan kerangka
sekaligus pegangan dalam penciptaan karya. Sisi inovatif Boby terletak pada
penggarapan modern dengan alur cerita postmodern dalam mengungkapkan keadaan
dengan menggabungkan gerak teatrikal, kontemporer, modern dan tradisional.
Selaian karya
“Hanacaraka (Ada Utusan)”, Boby Ari Setiawan telah menghasilkan “Z-C” (2009) “Touch
The Space, Pe-thoy” ( 2008), “So Close Cyclus” (2007), dan Musro (2006).
Boby
Ari Setiawan telah menetapkan pilihannya pada basis tradisi Jawa dengan tafsir
yang bebas dan dengan pertanggungjawaban kreatifnya, walau ia bukan sendiri
melakukan hal itu di Indonesia. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar