Sabtu, 20 Desember 2014

Eksplorasi Tak Pernah Mati

CATATAN PEMENTASAN “HANACARAKA (ADA UTUSAN)”
OLEH Nasrul Azwar

SAYA sangat terkesan setiap menonton seni pertunjukan (tari dan teater) dengan sapuan modernisasi dan memberi “label” berbasis tradisi. Seiring dengan itu, saya teringat dengan tulisan Eugenio Barba yang berjudul Anatomie de L’ Acteur (1985) yang diterjemahkan Yudiaryani ke dalam bahasa Indonesia.
Anatomi penari atau pun aktor dalam teater ketika berada di atas panggung bagi saya adalah “teks”. Tubuh-tubuh yang mentransfomasikan teks dan simbol kepada penontonnya. Jika ini tak berjalan, pertunjukan bisa disebut gagal mengomunikasikan dirinya dengan audiens.

Dalam pengertian yang lebih luas, Eugenio Barba menyebut terkait dengan teks itu,  begini: Kata teks sebelum menunjukkan teks tertulis maupun lisan, dicetak atau tulisan tangan, berarti rajutan bersama. Dalam pengertian ini, tidak ada pementasan yang hadir tanpa rajutan bersama tanpa “teks”.
Perhatian koreografer yang diberikan bukan saja apa yang dijadikan komposisi gerak dan simbolisasi di atas pentas, akan tetapi juga suara-suara, transformasi properti, dimensi ruang dan waktu, cahaya, musik, karakter, emosi, tempo permainan, dan laku sebagai “teks”.
Memasuki pementasan “Hanacaraka (Ada Utusan)”  koreografer Boby Ari Setiawan yang digelar di Ladang Nan Jombang, Padang, Selasa 18 November 2014, seperti malam memasuki lorong waktu yang panjang. Pertunjukan ini merupakan program Hibah Kelola untuk tari pada 2014.
Tentu saja, analogi di atas saya katakan karena ada persoalan dimensi waktu, dan “jarak” kultural antara budaya Jawa yang jadi latar garapan koreografi ini dengan kultur Minang  yang sebagian besar jadi penonton malam itu.
Jika ditilik lebih jauh, ada kemungkinan beragam dan variasi tafsir yang bermunculan di benak penonton tentang “Hanacaraka (Ada Utusan)”,  yang bagi saya sendiri ini sebuah pertunjukan tari yang apik, tertata, dan memang disiapkan serius dan matang. 
Mengkuti lebih kurang 60 menit durasi pertunjukan ini, “Hanacaraka (Ada Utusan)”, apa yang dijadikan dasar proses garapan tari ini yang ditulis Boby Ari Setiawan dalam lembaran  leaflet, menemukan “pembenarannya” di atas panggung. Paling tidak, bagi saya, tak melenceng dari apa yang jadi ide gagasan dengan hasil pementasannya.   Konsistensi ini tentu menjadi entri poin tersendiri.
Boby Ari Setiawan  mengatakan, ia berangkat dengan melakukan eksplorasi gerak dengan tulisan aksara Jawa sebagai sumber inspirasi penciptaan tari ini.  Mencari kemungkinan benang merah antara gerak tari Jawa dengan tulisan aksara Jawa.
Satu hal yang menarik ketika secara sadar koreografer ini menyebutkan tari ini merupakan tantangan dalam pementasan ini adalah bagaimana karya ini diapresiasi oleh penonton yang bukan latar budaya Jawa, yakni Sumatera.
“Kredo” itu jadi penting karena inilah pintu masuk bagi orang lain untuk melihat “Hanacaraka (Ada Utusan)”, baik secara utuh, setengah, dan penuh.  Penonton yang merupakan elemen penting bagi sebuah pertunjukan, tidak bisa tidak, menjadi pertimbangan utama dalam garapan Bobbi Ari Setiawan ini.
Hal ini terungkap saat diskusi digelar setelah pementasan. Dengan dimoderatori S Metron  M , sutradara Ranah Teater, Boby Ari Setiawan menjelaskan bagian-bagian yang diubah dalam pementasannya ini.
Untuk pertunjukan di Gedung Sendratasik Universitas Islam Riau (UIR) Pekanbaru, yang digelar pada 14 November 2014, Boby Ari Setiawan melakukan perubahan pada kostum  penarinya. Penari perempuan mengenakan jilbab, dan lelaki tak memakai celana ketat.
Perubahan yang dilakukan dengan sadar ini, tentu memiliki konsekuensi artistik terhadap karyanya. Kendati saya tak menyaksikan pementasan di UIR Pekanbaru itu, saya menduga, akan jauh berbeda dengan pementasan di Padang Panjang dan Padang.
“karya tari sangat erat dengan penempatannya. Artinya di mana ia dipentaskan. Maka, tari itu tampil dengan pengaruh budaya, agama, dan sosial masyarakat setempat. Dan juga bisa dipengaruhi hal di atas itu,”  kata Boby Ari Setiawan dalam diskusi itu.
Pesan dari Tubuh
“Hanacaraka (Ada Utusan)” secara utuh diisi 6 penari dengan masing-masing 3 perempuan (Cahwati, Tri Rahajeng, Widya Ayu dan 3 laki-laki (Boby Ari Setiawan (koreografer), Sandi Dea, dan Kristiyanto) adalah tubuh-tubuh yang memberi makna luas dan simbol tegas terhadap aksara Jawa dan sisi lain dari perjalanan panjang evolusi budaya Jawa.
Beban berat tubuh-tubuh penari, memang jadi tuntutan “khusus” dari gagasan tari ini. Tubuh penari di atas panggung menjadi aksara-aksara yang silih berganti berproses seperti ritual-ritual yang kerap dilakukan dalam tradisi Jawa. 20 aksara itu, merepresentasikan gerak tubuh 6 penari itu. Ia jadi utusan yang menerangkan tentang falsafah hidup dalam kultur Jawa.
Ini jadi sangat menarik ketika dikaitkan dengan apa yang jadi landasan utama dalam tari itu. Idiom dasar (substansi) tari adalah gerak tubuh. Dalam buku “Tari Komunal” yang disusun Endo Suanda dan kawan-kawan menyebutkan, tubuh dalam tari merupakan bagian dari instrumenya. Tubuh dalam tari adalah kesatuan utuh dari seorang individu, bukan merupakan bagian dari tubuh orang lain, baik dari sisi fisik (otot, tulang), pikiran (penalaran), maupun batin (rasa, jiwa). Tubuh seseorang berbeda dengan tubuh orang lainnya. Karena itu, dari pandangan ini, tari merupakan perwujudan ekspresi secara personal.
Mengaitkan dengan apa yang dikatakan Boby Ari Setiawan, “Hanacaraka (Ada Utusan)”, diwujudkan dengan menggabungkan teknik gerak tari tradisi Jawa dengan mengeksplorasi setiap huruf aksara Jawa  ke dalam gerak tubuh. Hanacaraka dalam falsafah Jawa berarti “ada utusan” dalam cerita kisa Adji Saka yang menjadi utusan adalah Dora dan Sambodo. Kedua utusan ini mati karena sama-sama memegang prinsip yang diamanatkan oleh tuannya, Adji Saka.
Adji Saka yang direprentasikan oleh koreagrafernya sendiri dalam pementasan itu, merupakan kunci dan pusat dari semua gerak, cerita, dan simbolisasi. Kendati setiap gerak tubuh masing-masing merupakan gerak personal, tetapi ia menyatu jadi sebuah gerak bersama dan reaktif. Gerak bersama inilah yang terbaca menjadi simbol dan “cerita”. Dan ia jadi gerak yang universal dan semua orang bisa memaknai pesan yang disampaikan.
Bagi saya, inilah kelebihan garapan pria kelahiran Klaten tahun 1983 ini. Boby Ari Setiawan berhasil membahasakan tarinya yang berlatar Jawa menjadi bahasa yang bisa dipahami semua orang dengan latar belakang kultur budaya yang berbeda.
Dalam diskusi hal ini juga terungkap, kendati yang disoroti soal musik, tetapi B Anduska, salah seorang komposer dari Padang, menyebutkan, untuk komposisi musik yang melatari “Hanacaraka (Ada Utusan)”, Bobby dan Bagus Twu berhasil melakukan lompatan dalam garapan musiknya.
“Ini sesuatu yang baru, walau ada beberapa bagian yang musik intervalnya terlalu panjang. Tapi secara keseluruhan, musik mampu memancing emosi, dan bisa mengantarkan klimaks cerita tari ini dengan sangat baik,” kata B Anduska.
Kendati begitu, “Hanacaraka (Ada Utusan)” secara keseluruhan dinilai berhasil, tapi beberapa hal secara teknis dan elemen panggung bagi saya cukup mengganggu dari pementasan ini adalah soal tata lampu dan pencahayaan.
Pencahayaan yang menggunakan multimedia, terlihat dipaksakan dan terkadang tidak sinkron dengan gerak tari yang dihadirkan di atas pentas. Kesalahan teknis juga kerap terlihat. Namun, kelemahan pada lampu, bisa ditutupi dengan kekuatan gerak tubuh para penari dan artistik panggung walau minim penggunaan properti.
Seni tradisi sesungguhnya sumur inspirasi yang tak pernah habisnya. Seniman kreatif tentu sudah memahami ini. Nyaris semua seniman di Indonesia, konsep berkaryanya berbasis pada seni tradisi yang melatarbelakangi kehidupan sosialnya.
Menurutnya, tradisi bukanlah sebuah entitas yang harus dipinggirkan, tetapi bisa dijadikan inspirasi dan pegangan berkarya.  Boby Ari Setiawan menepis anggapan bahwa tradisi bersifat tertutup. Sebaliknya ia menunjukkan tradisi terbuka untuk dieksplorasi.  Boby memandang proses kreatif dan inovasi sebagai dua hal yang tidak kalah penting dari hasil akhir atau karya itu sendiri. Proses kreatif inilah yang mematangkan karya-karyanya dari segi gerak, konsep, maupun ide kreatif.  
Kendati begitu, dalam berkarya, Boby Ari Setiawan mengutamakan kebebasan untuk bergerak sekaligus bereksplorasi. Ia bahkan sering memanfaatkan karakter kuat tradisi Jawa yaitu olah rasa dalam karyanya. Selain itu tari tradisi juga memberikan kerangka sekaligus pegangan dalam penciptaan karya. Sisi inovatif Boby terletak pada penggarapan modern dengan alur cerita postmodern dalam mengungkapkan keadaan dengan menggabungkan gerak teatrikal, kontemporer, modern dan tradisional. 
Selaian karya “Hanacaraka (Ada Utusan)”, Boby Ari Setiawan telah menghasilkan “Z-C” (2009) “Touch The Space, Pe-thoy” ( 2008), “So Close Cyclus” (2007), dan Musro (2006).
Boby Ari Setiawan telah menetapkan pilihannya pada basis tradisi Jawa dengan tafsir yang bebas dan dengan pertanggungjawaban kreatifnya, walau ia bukan sendiri melakukan hal itu di Indonesia. *** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...