OLEH Muhammad Al Asyhari
Sekjen
Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Barat (PAHAM Sumbar)
Masih cukup hangat dalam ingatan kita
bagaimana berita tentang kejadian terbongkarnya praktik penari telanjang (striptease) di sebuah cafe di Kota
Padang (26/9). Hal ini jelas menjadi sesuatu yang sangat merusak nilai susila
yang ada di dalam kehidupan masyarakat kita, dan sangat membuat keprihatinan
bagi setiap masyarakat yang masih peduli dengan Kota Padang yang selama ini
ber-merk filsafat adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
Perbuatan asusila yang penulis maksud
disini bukan saja terbatas pada pemerkosaan, pencabulan, dan bentuk-bentuk
tindak asusila yang ada di dalam KUHP, namun juga pada setiap perbuatan yang
bertentangan dengan nilai-nilai susila yang tumbuh dan hidup di dalam
masyarakat kita.
Kondisi yang saat ini sangat meresahkan
kita semua ialah seperti praktik terbuka dari perbuatan asusila tersebut
sebagaimana ramainya pemberitaan belakangan ini. Hal yang lebih memprihatinkan
lagi bagi kita ialah ketika para aparat pun tidak memproses para pelaku tindak
asusila ini sebagaimana yang semestinya. Bahkan sebagaimana yang kita ketahui,
para pelaku penari telanjang ini sempat menghilang setelah dijaring oleh aparat
Satpol PP Kota Padang, yang kemudian menjadi buronan polisi untuk beberapa hari
hingga para pelaku inipun dapat ditangkap dan baru dapat melalui proses hukum.
Sampai saat ini, kurang lebih sudah
sebulan berlalu namun perkembangan kasus ini masih berbicara mengenai pencarian
dan pemeriksaan pihak-pihak terkait, baik dari para pemakai jasa penari
telanjang dan manajemen cafe penyedia jasa penari telanjang tersebut. Pemeriksaan
oleh pihak kepolisian pun juga berlanjut kepada Kepala Satpol PP Padang, yang kemudian
beralasan karena ketidakberwenangannya untuk menangkap dan menahan, maka ia
melepaskan para penari telanjang yang telah terjaring tersebut.
Padahal pada Pasal 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja, telah menjelaskan bahwa Satpol PP dalam
menjalankan tugasnya wajib melaporkan kepada
Kepolisian Negara Republik Indonesia atas ditemukannya atau patut diduga adanya
tindak pidana.
Pada kasus ini seolah-olah aparat Kepolisian
dan Satpol PP Padang sama-sama tidak mengerti dengan hubungan wewenang dan
tugasnya, sehingga keduanya saling tuding akan kelalaiannya masing-masing.
Keberadaan Satpol PP jelas sebagai penegak Perda, yang tidak berwenang
memproses pelaku tindak pidana pornografi tersebut yang telah melanggar
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Seperti tidak mengetahui
hubungan koordinasi antara Satpol PP dengan Kepolisian, aparat Satpol PP
melepaskan para pelaku penari telanjang tersebut begitu saja dengan alasan
tidak adanya wewenang untuk memproses hukum para pelaku tersebut. Terkesan takut
dianggap lalai, aparat Kepolisian pun memanggil dan memeriksa Komandan Satpol
PP Padang, atas tindakan pelepasan pelaku tindak pidana pornografi tersebut. Dalam
hal ini kita dapat melihat bentuk ketidakseriusan para aparat kita dalam
menangani permasalahan yang jelas telah meruntuhkan izzah (kehormatan) Ranah Minang di mata masyarakatnya sendiri.
Sungguh miris kita melihat kelalaian
aparat dalam menangani tindak asusila yang tidak kunjung berkesudahan di Kota
Padang ini. Bahkan praktik-praktik tindak asusila bukan lagi menjadi sesuatu
yang ditutup-tutupi di kota ini. Sebagaimana terlihat dalam pemberitaan
terakhir ialah terjaringnya beberapa orang yang diduga pelacur di beberapa
sudut Kota Padang (12/11).
Siapa yang tidak tahu mengenai adanya
praktik pelacuran berkedok salon yang terdapat di Pasar Raya Padang lantai 2
(lebih dikenal dengan: salon pasar burung). Siapa yang tidak mengetahui adanya
praktik pelacuran di wilayah komplek Atom Centre (dikenal dengan nama “Matahari Lamo”). Praktik pelacuran di tempat-tempat
ini beroperasi pada siang hari, ketika masyarakat sedang sibuk beraktifitas di
luar rumah.
Tidak kalah meriahnya pada malam hari,
kita semua pada umumnya sudah mengetahui mengenai praktik pelacuran dengan
menggunakan jasa taksi di sepanjang Jl. Diponegoro (komplek Taman Melati), dan praktik
pelacuran para waria di Jl. Rasuna Said (depan Telkom Padang Baru). Namun ini
hanyalah bagian kecil dari tempat-tempat yang kerap dijadikan lokasi pelacuran
bagi para pelaku tindak asusila yang diketahui secara umum, disamping begitu
banyaknya tempat dan modus lainnya bagi praktik pelacuran di Kota Padang ini.
Belum lagi kita bicara mengenai
pelanggaran undang-undang pornografi berupa acara-acara rakyat berupa
penyelenggaraan orgen tunggal yang menampilkan penyanyi yang dalam aksinya
mengandung unsur eksploitasi seksual dengan pakaian minim yang mengarah pada
ketelanjangan. Bahkan masih menjadi pembahasan hangat di kalangan pelajar kita
mengenai kasus penyebaran video porno yang dibintangi oleh siswa-siswi Sekolah
Menengah Atas di Kota Padang. Ini hanya segelintir kasus yang muncul ke
permukaan yang telah cukup memberikan gambaran kepada kita semua mengenai
betapa jauhnya realita Padang hari ini dari kesannya sebagai Ibu Kota
masyarakat Ranah Minang yang masih beradat dan menjunjung tinggi nilai agama
dan moral dalam kehidupannya.
Kita melihat adanya semangat dari Pemko Padang
bersama-sama dengan DPRD Kota Padang dalam memberantas praktik pelacuran/tunasusila
di Kota Padang ini, yang ditandai dengan lahirnya Peraturan Daerah Kota Padang
Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, yang
kemudian mengalami perubahan menjadi Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 4 Tahun
2007 (selanjutnya disebut Perda Tibum).
Pada Perda Tibum ini telah mengatur
pelacuran sebagai tindak pidana, yang pelakunya dapat dijatuhi hukuman/pidana. Adapun
bentuk ancaman pidana bagi pelacur ini ialah pidana kurungan paling lama 3
(tiga) bulan dan atau denda paling banyak Rp5.000.000,- (lima juta rupiah). Tidak
tanggung-tanggung, Walikota Padang juga berkali-kali menyerukan bahwa kita
semua perlu memberikan cap buruk bagi para pelacur tersebut dengan
menghilangkan penamaan seperti; Wanita Tunasusila atau Pekerja Seks Komersial,
dan langsung menyebut mereka dengan istilah poyok
atau pelacur. Jelas upaya persuasif ini tidak dapat membuat praktik asusila
ini menghilang begitu saja.
Lahirnya ketentuan pidana bagi para
pelacur pada Perda Tibum ini merupakan jawaban atas ketidakmampuan cara
penanganan melalui proses administrasi ataupun upaya pembinaan bagi para
pelacur tersebut. Inilah wujud dari sifat hukum pidana sebagai ultimum remedium, bahwa hukum pidana
sebagai sarana terakhir dalam menanggulangi perbuatan dan kondisi akibat
perbuatan yang mengganggu ketenteraman di dalam masyarakat tersebut.
Dengan proses kriminalisasi terhadap
pelacur ini, hukum pidana diharapkan mampu memberikan efek jera bagi para
pelakunya dan memperbaiki kondisi sosial masyarakat. Hanya saja harapan ini
masih belum terwujud, sebagaimana yang dapat kita lihat mulai dari semakin
maraknya praktik pelacuran, hingga munculnya kasus pelanggaran undang-undang
pornografi dengan terbongkarnya praktik penari telanjang tersebut.
Hanya saja, Perda Tibum ini penulis nilai
masih bersifat diskriminatif. Hal ini dapat dilihat pada rumusan pidana yang
hanya ditujukan pada pelacur yang pada dasarnya posisinya ialah sebagai pelaku
sekaligus korban. Sebagai pelaku, karena pelacur itulah yang telah menjajakan
dirinya, di samping itu pelacur juga merupakan korban dari pelampiasan nafsu
seksual pengguna jasa pelacuran tersebut.
Pelacuran bukanlah suatu tindakan yang
dapat dilakukan oleh satu orang saja, melainkan harus ada orang lain yang
bertindak sebagai pemakai jasa pelacuran tersebut. Karena itulah, ancaman
pidana seharusnya juga diberikan kepada para pemakai jasa pelacuran tersebut,
sehingga muncul fungsi preventif dari hukum pidana tersebut bagi masyarakat
yang memungkinkan untuk memakai jasa pelacuran tersebut. Berbeda dengan
ketentuan hukum yang ada di Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang
Pornografi, pidana diancamkan secara timbal balik, yakni bagi para penyedia
atau penghasil produk pornografi dan juga bagi para pemakai dan pengguna produk
pornografi tersebut.
Peraturan hukum yang baik belum tentu
dapat membuahkan hasil yang baik pula jika tidak didukung dengan aparatur
penegak hukum yang baik pula. Kiranya inilah yang terjadi dalam upaya
penanggulangan tindak asusila di Kota Padang saat ini. Kita melihat aparat
masih setengah hati dalam menindak para pelaku tindak asusila yang ada di Kota
Padang ini.
Bagaimana tidak, sudah begitu banyak para
pelacur yang terjaring dan terbukti sebagai pelacur yang telah melanggar Perdat
Tibum, kemudian dilepaskan kembali begitu saja oleh aparat Satpol PP dengan
menandatangani surat perjanjian sebelumnya. Entah dari mana dasar hukum cara
penindakan yang seperti ini, yang jelas aturan hukum yang telah ada tidak
diterapkan dengan baik oleh aparat kita. Tidak heran, mengapa penanggulangan
terhadap praktik pelacuran di Kota Padang selama ini terkesan tidak membuahkan
hasil.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan pada
diri kita semua, apakah pemerintah kita tidak mau tahu lagi dengan permasalahan
yang semakin meresahkan ini, atau memang pemerintah kita sudah tidak mampu lagi
menangani permasalahan yang semakin berkembang seperti ini? Apapun jawaban dari
para aparat penegak hukum yang kita hormati tersebut, yang pasti dengan melihat
semua kondisi ini kita dapat berkesimpulan bahwa penanganan tindak asusila di
Kota Padang setelah beberapa tahun ini belum dilakukan dengan benar dan Pemko
Padang dapat dikatakan gagal dalam menanggulangi permasalahan asusila ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar