Minggu, 16 November 2014

Salah Urus, Penanganan Tindak Asusila di Kota Padang

OLEH Muhammad Al Asyhari
Sekjen Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Barat (PAHAM Sumbar)
Masih cukup hangat dalam ingatan kita bagaimana berita tentang kejadian terbongkarnya praktik penari telanjang (striptease) di sebuah cafe di Kota Padang (26/9). Hal ini jelas menjadi sesuatu yang sangat merusak nilai susila yang ada di dalam kehidupan masyarakat kita, dan sangat membuat keprihatinan bagi setiap masyarakat yang masih peduli dengan Kota Padang yang selama ini ber-merk filsafat adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.

Perbuatan asusila yang penulis maksud disini bukan saja terbatas pada pemerkosaan, pencabulan, dan bentuk-bentuk tindak asusila yang ada di dalam KUHP, namun juga pada setiap perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai susila yang tumbuh dan hidup di dalam masyarakat kita.
Kondisi yang saat ini sangat meresahkan kita semua ialah seperti praktik terbuka dari perbuatan asusila tersebut sebagaimana ramainya pemberitaan belakangan ini. Hal yang lebih memprihatinkan lagi bagi kita ialah ketika para aparat pun tidak memproses para pelaku tindak asusila ini sebagaimana yang semestinya. Bahkan sebagaimana yang kita ketahui, para pelaku penari telanjang ini sempat menghilang setelah dijaring oleh aparat Satpol PP Kota Padang, yang kemudian menjadi buronan polisi untuk beberapa hari hingga para pelaku inipun dapat ditangkap dan baru dapat melalui proses hukum.
Sampai saat ini, kurang lebih sudah sebulan berlalu namun perkembangan kasus ini masih berbicara mengenai pencarian dan pemeriksaan pihak-pihak terkait, baik dari para pemakai jasa penari telanjang dan manajemen cafe penyedia jasa penari telanjang tersebut. Pemeriksaan oleh pihak kepolisian pun juga berlanjut kepada Kepala Satpol PP Padang, yang kemudian beralasan karena ketidakberwenangannya untuk menangkap dan menahan, maka ia melepaskan para penari telanjang yang telah terjaring tersebut.
Padahal pada Pasal 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja, telah menjelaskan bahwa Satpol PP dalam menjalankan tugasnya wajib melaporkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia atas ditemukannya atau patut diduga adanya tindak pidana.
Pada kasus ini seolah-olah aparat Kepolisian dan Satpol PP Padang sama-sama tidak mengerti dengan hubungan wewenang dan tugasnya, sehingga keduanya saling tuding akan kelalaiannya masing-masing. Keberadaan Satpol PP jelas sebagai penegak Perda, yang tidak berwenang memproses pelaku tindak pidana pornografi tersebut yang telah melanggar Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Seperti tidak mengetahui hubungan koordinasi antara Satpol PP dengan Kepolisian, aparat Satpol PP melepaskan para pelaku penari telanjang tersebut begitu saja dengan alasan tidak adanya wewenang untuk memproses hukum para pelaku tersebut. Terkesan takut dianggap lalai, aparat Kepolisian pun memanggil dan memeriksa Komandan Satpol PP Padang, atas tindakan pelepasan pelaku tindak pidana pornografi tersebut. Dalam hal ini kita dapat melihat bentuk ketidakseriusan para aparat kita dalam menangani permasalahan yang jelas telah meruntuhkan izzah (kehormatan) Ranah Minang di mata masyarakatnya sendiri.
Sungguh miris kita melihat kelalaian aparat dalam menangani tindak asusila yang tidak kunjung berkesudahan di Kota Padang ini. Bahkan praktik-praktik tindak asusila bukan lagi menjadi sesuatu yang ditutup-tutupi di kota ini. Sebagaimana terlihat dalam pemberitaan terakhir ialah terjaringnya beberapa orang yang diduga pelacur di beberapa sudut Kota Padang (12/11).
Siapa yang tidak tahu mengenai adanya praktik pelacuran berkedok salon yang terdapat di Pasar Raya Padang lantai 2 (lebih dikenal dengan: salon pasar burung). Siapa yang tidak mengetahui adanya praktik pelacuran di wilayah komplek Atom Centre (dikenal dengan nama “Matahari Lamo”). Praktik pelacuran di tempat-tempat ini beroperasi pada siang hari, ketika masyarakat sedang sibuk beraktifitas di luar rumah.
Tidak kalah meriahnya pada malam hari, kita semua pada umumnya sudah mengetahui mengenai praktik pelacuran dengan menggunakan jasa taksi di sepanjang Jl. Diponegoro (komplek Taman Melati), dan praktik pelacuran para waria di Jl. Rasuna Said (depan Telkom Padang Baru). Namun ini hanyalah bagian kecil dari tempat-tempat yang kerap dijadikan lokasi pelacuran bagi para pelaku tindak asusila yang diketahui secara umum, disamping begitu banyaknya tempat dan modus lainnya bagi praktik pelacuran di Kota Padang ini.
Belum lagi kita bicara mengenai pelanggaran undang-undang pornografi berupa acara-acara rakyat berupa penyelenggaraan orgen tunggal yang menampilkan penyanyi yang dalam aksinya mengandung unsur eksploitasi seksual dengan pakaian minim yang mengarah pada ketelanjangan. Bahkan masih menjadi pembahasan hangat di kalangan pelajar kita mengenai kasus penyebaran video porno yang dibintangi oleh siswa-siswi Sekolah Menengah Atas di Kota Padang. Ini hanya segelintir kasus yang muncul ke permukaan yang telah cukup memberikan gambaran kepada kita semua mengenai betapa jauhnya realita Padang hari ini dari kesannya sebagai Ibu Kota masyarakat Ranah Minang yang masih beradat dan menjunjung tinggi nilai agama dan moral dalam kehidupannya.
Kita melihat adanya semangat dari Pemko Padang bersama-sama dengan DPRD Kota Padang dalam memberantas praktik pelacuran/tunasusila di Kota Padang ini, yang ditandai dengan lahirnya Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, yang kemudian mengalami perubahan menjadi Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 4 Tahun 2007 (selanjutnya disebut Perda Tibum).
Pada Perda Tibum ini telah mengatur pelacuran sebagai tindak pidana, yang pelakunya dapat dijatuhi hukuman/pidana. Adapun bentuk ancaman pidana bagi pelacur ini ialah pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan atau denda paling banyak Rp5.000.000,- (lima juta rupiah). Tidak tanggung-tanggung, Walikota Padang juga berkali-kali menyerukan bahwa kita semua perlu memberikan cap buruk bagi para pelacur tersebut dengan menghilangkan penamaan seperti; Wanita Tunasusila atau Pekerja Seks Komersial, dan langsung menyebut mereka dengan istilah poyok atau pelacur. Jelas upaya persuasif ini tidak dapat membuat praktik asusila ini menghilang begitu saja.
Lahirnya ketentuan pidana bagi para pelacur pada Perda Tibum ini merupakan jawaban atas ketidakmampuan cara penanganan melalui proses administrasi ataupun upaya pembinaan bagi para pelacur tersebut. Inilah wujud dari sifat hukum pidana sebagai ultimum remedium, bahwa hukum pidana sebagai sarana terakhir dalam menanggulangi perbuatan dan kondisi akibat perbuatan yang mengganggu ketenteraman di dalam masyarakat tersebut.
Dengan proses kriminalisasi terhadap pelacur ini, hukum pidana diharapkan mampu memberikan efek jera bagi para pelakunya dan memperbaiki kondisi sosial masyarakat. Hanya saja harapan ini masih belum terwujud, sebagaimana yang dapat kita lihat mulai dari semakin maraknya praktik pelacuran, hingga munculnya kasus pelanggaran undang-undang pornografi dengan terbongkarnya praktik penari telanjang tersebut.
Hanya saja, Perda Tibum ini penulis nilai masih bersifat diskriminatif. Hal ini dapat dilihat pada rumusan pidana yang hanya ditujukan pada pelacur yang pada dasarnya posisinya ialah sebagai pelaku sekaligus korban. Sebagai pelaku, karena pelacur itulah yang telah menjajakan dirinya, di samping itu pelacur juga merupakan korban dari pelampiasan nafsu seksual pengguna jasa pelacuran tersebut.
Pelacuran bukanlah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh satu orang saja, melainkan harus ada orang lain yang bertindak sebagai pemakai jasa pelacuran tersebut. Karena itulah, ancaman pidana seharusnya juga diberikan kepada para pemakai jasa pelacuran tersebut, sehingga muncul fungsi preventif dari hukum pidana tersebut bagi masyarakat yang memungkinkan untuk memakai jasa pelacuran tersebut. Berbeda dengan ketentuan hukum yang ada di Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, pidana diancamkan secara timbal balik, yakni bagi para penyedia atau penghasil produk pornografi dan juga bagi para pemakai dan pengguna produk pornografi tersebut.
Peraturan hukum yang baik belum tentu dapat membuahkan hasil yang baik pula jika tidak didukung dengan aparatur penegak hukum yang baik pula. Kiranya inilah yang terjadi dalam upaya penanggulangan tindak asusila di Kota Padang saat ini. Kita melihat aparat masih setengah hati dalam menindak para pelaku tindak asusila yang ada di Kota Padang ini.
Bagaimana tidak, sudah begitu banyak para pelacur yang terjaring dan terbukti sebagai pelacur yang telah melanggar Perdat Tibum, kemudian dilepaskan kembali begitu saja oleh aparat Satpol PP dengan menandatangani surat perjanjian sebelumnya. Entah dari mana dasar hukum cara penindakan yang seperti ini, yang jelas aturan hukum yang telah ada tidak diterapkan dengan baik oleh aparat kita. Tidak heran, mengapa penanggulangan terhadap praktik pelacuran di Kota Padang selama ini terkesan tidak membuahkan hasil.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan pada diri kita semua, apakah pemerintah kita tidak mau tahu lagi dengan permasalahan yang semakin meresahkan ini, atau memang pemerintah kita sudah tidak mampu lagi menangani permasalahan yang semakin berkembang seperti ini? Apapun jawaban dari para aparat penegak hukum yang kita hormati tersebut, yang pasti dengan melihat semua kondisi ini kita dapat berkesimpulan bahwa penanganan tindak asusila di Kota Padang setelah beberapa tahun ini belum dilakukan dengan benar dan Pemko Padang dapat dikatakan gagal dalam menanggulangi permasalahan asusila ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...