OLEH Wannofri Samry
Dosen FIB Unand
Gamawan Fauzi dapat Doktor HC dari UNP (Antara Foto) |
Sejarah menunjukkan bahwa
perguruan tinggi adalah sumber
perubahan. Ia adalah lembaga akademis yang tertinggi, ia dipandang
sebagai sumber dari pengembangan ilmu,
sumber etika dan sumber peradaban. Nilai-nilai peradaban yang baik diharapkan
lahir dari perguruan tinggi.
Bagi masyarakat moderen, pencapaian-pencapaian
perguruan tinggi dipandang sebagai acuan kemajuan, ia akan diikuti dan akan
diimplemantasikan dalam kehiduapan
mereka.
Pada perguruan tinggi digantungkan harapan untuk mengembangkan kecerdasan,
kearifan-kearifan, pikiran-pikiran yang bebas dari nilai-nilai ekonomi dan
politis, walaupun sebenarnya peran perguruan tinggi sangat besar dalam
pengembangan nilai-nilai ekonomis dan politis. Berkaitan dengan itu perguruan
tinggi dilekatkan dengan pikiran-pikiran yang brilian, aktif dan berpihak pada pengembangan ilmu.
Pengembangan pikiran-pikiran yang
brilian hanya bisa dilakukan oleh insan-insan akademis yang tekun,
seniman-seniman yang selalu bergulat dengan kedalaman pikiran, pada
penulis-penulis yang selalu menuangkan
gagasan-gagasan mereka yang luas dan rumit.
Mereka adalah insan-insan
akademis dan intelektual yang selalu mencari, baik dengan menggunakan labor, lapangan
riset, kedalaman pikiran dan kreasi-kreasi
yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Karena itulah Shakespeare lebih
kurang berkata “silakan ragukan langit, ragukan bintang dan seluruh jagat raya,
tetapi jangan diragukan cintaku”. Ilmuwan memang orang yang setia pada
kebenaran riset dan pikiran mereka.
Pendalaman-pendalaman akademis
secara formal di perguruan tinggi dilakukan secara teratur dan terukur, mulai
dari jenjang S1 (under graduate), S2 (master) dan S3 (doctor of philosophy). Jadi capaian yang tertinggi itu dianggap
capaian yang benar-benar telah melaui proses penelitian dan pemikiran yang
dituangkan dalam berbagai artikel, makalah, skripsi, tesis dan disertasi.
Pelaku-pelaku akademis biasanya
menguji penelitian mereka dengan menampilkannya di pelbagai seminar, baik di
tingkat kelompok, lokal, nasional, regional dan internasional. Akumulasi semua
itu, pada tinggkat tertinggi , yang secara formal diproses dalam pendidikan S3,
lalu mereka tuangkan dalam bentuk disertasi. Puncak maha karya akademis itu akan diuji terus sampai ia
diresmikan menyandang gelar doktor. Itulah pergulatan serius seorang penyandang
gelar doktor.
Pada tataran lain ada juga yang mengatakan bahwa Doktor
itu adalah seseorang yang telah mendedikasikan dirinya dalam lapangan
pendidikan secara pemikiran demi pengembangan ilmu yang dituangkan dalam bentuk
karya tulis. Itulah yang telah berkembang sejak abad ke-19, dimana orang-orang
yang telah mendedikasikan dirinya dalam bidang keilmuan akan diberikan gelar
Doktor oleh perguruan tinggi. Jadi ia adalah orang-orang yang selalu meneliti,
menulis dan mencari kebenaran dalam pelbagai tataran.
Doktor penghormatan (honoris causa) adalah suatu penghormatan
untuk seseorang yang selalu mengabdikan dirinya dalam bidang keilmuan dan
pemikiran. Walaupun ia bukan melalui pendidikan formal tetapi ia selalu
mendedikasikan dirinya dalam bidang tertentu sehingga ia menuangkan
pencarian-pencariannya dalam bentuk tulisan dan buku.
Ia mengemukakan berbagai
gagasannya dalam media massa, melalui
seminar, diskusi dan lain-lain. Orang-orang seperti itu adalah insan-insan
akademisi dan filosofi yang selalu bertanya
pelbagai masalah dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kabur.
Penganugerahan
gelar Dr Honoris Causa (HC) bagi bangsa Indonesia bukan perkara baru, sejak
zaman pergerakan sudah banyak orang Indonesia yang diberi gelar Dr HC, terutama
dari universitas luar negeri. H. Abdullah
Ahmad dan Haji Abdul Karim Amarullah (Haka,
ayah Hamka) mendapat hadiah Dr HC dari Universitas Al Azhar Kairo tahun 1926.
Beliau diberikan gelar Doktor HC karena
ilmu dan kepakarannya.
Presiden Indonesia yang juga seorang penulis yang sangat populer sejak
zaman pergerakan , Soekarno, juga mendapat gelar Honoris Causa dari berbagai
universitas di dalam dan luar negeri sejak Indonesia merdeka. Hamka, seorang penulis dan pemikir yang
otodidak, serta pengarang yang sangat
produktif (menulis tafsir, sejarah, karya seni, pidato dan karya jurnalistik)
mendapatkan gelar honoris causa dari Universitas Al Azhar Mesir(1958) dan
Universitas Kebangsaan Malaysia(1974).
Ia diangkat sebagai Doktor HC dengan
alasan yang jelas: karya-karya tulisnya mengandung nilai-nilai akademis dan
filsafat. Muhammad Natsir, mendapat gelar Doktor HC dari Universitas Islam
Libanon tahun 1967 dan dari Universitas Kebangsaan Malaysia tahun
1991. Natsir adalah seorang intelektual yang aktif menulis sejak tahun 1930-an.
HB Jassin pun mendapat anugrah Doktor HC dari Universitas Indonesia (?) karena
karirnya sebagai kritikus sastra sejak sebelum Indonesia merdeka. Karya Jassin telah menjadi rujukan oleh akademisi luar negeri dan dalam negeri.
Tahun 2009 UIN Sunan Kalijaga,
juga menghadiahi K H Mustofa Bisri gelar Doktor HC, gelar ini pun diberikan
karena kerajinan, kedalaman dan berbagai karya pemikiran yang dibuat oleh Gus Mus. Penganugrahan gelar Honoris Causa
pun diberikan kepada Ajib Rosidi oleh Fakultas Sastra Universitas Padjajaran
Bandung pada tanggal 3 Januari 2011. Ajib adalah seorang intelektual otodidak,
seniman budayawan dan penulis sejarah, yang sempat diangkat sebagai guru besar
luar biasa di Jepang awal tahun 1980-an
sampai pertengahan 1990-an.
Universitas Negeri Padang
Kontras
sekali dengan yang terjadi di Padang, ketika daerah lain memberikan gelar Doktor
atas dasar pencapaian intelektual dan akademik, maka UNP Padang memberikan
gelar doktor kepada birokrat dan politikus Gamawan Fauzi yang saat ini menjabat Menteri Dalam Negeri
atas dasar kebijakan selama menjadi pejabat.
Sebagai catatan UNP
sebelumnya juga mempromosikan Fauzi
Bahar, Walikota Padang sebagai Dr di bidang Olah Raga dalam waktu yang begitu
cepat. Penganugrahan gelar Dr model UNP ini tentu mengagetkan banyak orang di
Sumtera Barat.
Kalau diikuti penjelasan rektor
UNP, Prof. Dr. Z Mawardi Effendi, bahwa “Gamawan Fauzi diberi gelar Doktor
Honoris Causa karena kebijakan-kebijakannya”. Alasan Rektor UNP itu tentu
tidak berlandaskan akademis, dan terasa lawak. Kebijakan-kebijakan yang
dilakukan Gamawan semestinya dipahami sebagai bahagian dari tugas jabatan.
Suatu keharusan, setiap pejabat
mesti meningkatkan kualitas
pendidikan masyarakatnya. Kalau dalam konteks itu, mungkin bisa juga Gamawan diberi
“Award Penddikan” saja, itu pun jika yang yang dijelaskan rektor UNP adalah benar, sebagaimana
yang dilansir berbagai surat kabar di Padang. Selama ini orang tidak mengenal Gamawan
Fauzi dalam konteks akademis dan intelektual, ia tidak pemikir aktif, dan tidak
periset aktif.
Secara tiba-tiba saja ia langsung menjadi Doktor HC
di bidang Kebijakan Pendidikan Publik, sebuah bidang yang tidak kedengaran
gaungnya di UNP Padang selama ini. Sebuah bidang yang jauh berbeda dari kerja Gamawan selama ini. Apabila kerangka
berpikir Rektor UNP itu diikuti secara saksama,
tentu akan banyak para aktivis dan profesional yang akan diberi gelar Doktor HC
oleh perguruan tinggi, karena banyak orang yang serius bergiat di dalam memajukan pendidikan. Kalau begini, perguruan
tinggi “kita” sangat menyederhanakan sesuatu, merendahkan nilai-nilai akademis
demi kepentingan sesaat.
Kalaulah perguruan tinggi “kita”
serius untuk memberikan rangsangan kepada masyarakatnya untuk meninggikan
nilai-nilai pendidikan, bukan sekadar “melihat
udang di balik bakwan”, maka dalam kondisi kekurangan tokoh pemikir saat ini, kita
masih memunyai beberapa sosok yang
pantas untuk diberi gelar Doktor HC. Hanya saja mereka bukan sosok beruang dan
penguasa yang bisa menguntungkan secara ekonomis.
Mereka bukan menguntungkan kepentingan jangka pendek para pejabat perguruan
tinggi.
Akan selalu dipertanyakan, kenapa
perguruan tinggi di Sumbar ketika A.A Navis masih hidup tidak pernah mengangkatnya
menjadi Doktor di bidang sastra,
sejarah, sosial atau pendidikan? Navis telah mengabdi dalam bidang pemikiran
dan akademis sejak awal Indonesia merdeka sampai akhir hayatnya begitu juga, kita pernah mengabaikan almarhum Soewardi Idris
yang setia menulis artikel dan buku.
Pada masa ini kita mungkin masih mempunyai sedikit tokoh yang
rajin mengabdikan dirinya dalam bidang pemikiran dan menulis. Tanpa menyebut
nama, paling tidak kita mempunyai satu atau dua nama yang bisa “diuji” dan
dipertimbangkan untuk dihadiahi gelar doktor, tetapi tidak pernah diperhatikan.
Dari peristiwa penganugrahan DR
HC itu setidaknya menimbulkan kesan, ternyata perguruan tinggi kita tidak diisi
oleh orang-orang yang serius dalam mengelola pendidikan. Para pejabat di
perguruan tinggi saat ini lebih tepat
disebut sebagai pebisnis pendidikan dan person-person pragmatis dalam pendidikan.
Dalam kondisi seperti itu
perguruan tinggi tidak mengambil kebijakan-kebijakan yang diideal, yang akan
menguntungkan masyarakat. Sekali lagi, fenomena
ini menunjukkan, “kita” memang cocok sebagai orang manggaleh. Tetapi yakinlah, kalau cara berpikir seperti ini terus
dikembangkan, Sumatera Barat akan
terus mengalami kemerosotan dalam beberapa waktu ke depan. Sikap ini juga
barangkali yang membuat perguruan tinggi lamban gerak kemajuannya.
Perlu digarisbawahi, artikel ini
bukan “anti-Gamawan Fauzi menjadi Doktor HC”, dan bukan pula
tidak menyukai Universitas Negeri Padang (UNP), tetapi
ini sekadar pandangan seorang akademisi, yang merasa
prihatin dengan sikap pemberian gelar Doktor HC yang seperti mengada-ada. Impaknya
merendahkan nilai-nilai akademis dan menanamkan sikap menerabas etika yang
dianut pendidikan tinggi, yang saat ini sudah menjadi fenomena umum.
Bagiamanapun, menjadi tanggung
jawab bersama untuk menjaga perguruan tinggi berada di rel keilmuan, perguruan
tinggi bukan sekadar menara
pembagian gelar. Perguruan tinggi mesti selalu berniat dalam ruang akademis yang sempurna, sehingga
ia bisa menjadi sumber perubahan, bukan sumber bisnis dan kekuasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar