OLEH Haswar Muis Datuak Bagindo Sati
Hazwar |
Pangulu, gadangkanlah kamanakan, jan manggadangkan anak ula. Begitulah refleksi kami atas refleksi almarhum Wisran Hadi
budayawan kita. Galaunya Wisran Hadi menyesakkan dadanya yang ikut mengantarkannya pulang
keharibaan Sang Khalik, menyesakkan dada kita juga.
Dan tentu banyak lagi
refleksi dan reaksi dari pemuka-pemuka adat, alim ulama, cadiak pandai, bundo kaduang, pemuda sampai kepada parewa sato sakaki dalam alam Minangkabau yang
adatnya Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitab Allah (Alquran)
Betapa tidak
akan galau hati kita, betapa tidak akan sakit hati ini, dek ulah manisan (nila) satitiak, rusak susu sabalango. Jalan dialiah
urang datang, cupak dipapek urang manggaleh.
Manisan (nila)
satitiak itu tidak tampak oleh orang banyak, mungkin
hanya dicicipi oleh seseorang atau oleh sekelompok orang saja, tetapi akibatnya
rusak susu sebelanga, menyebabkan
rusaknya tatanan adat yang kita bangga-banggakan, rusaknya tatanan adat yang
harus kita pelihara dengan baik.
Petuah orang
tua-tua kita terdahulu mengatakan
bahwa adat Minangkabau itu terdiri dari empat tingkat, yaitu :1). Adat Nan Sabana Adat, 2) Adat Nan Diadatkan,
3) Adat Nan Taradat,serta 4) Adat Istiadat. Adat pada tingkat pertama harus
menjadi dasar adat tingkat berikutnya. Sebaliknya adat pada tingkat
bawah tidak boleh mengabaikan adat yang di atasnya. Adat
nan sabana adat bersumber dari aturan alam dan aturan agama (Islam), adat nan diadatkan adalah adat yang ditetapkan oleh nenek moyang kita
pendiri adat Minangkabau ini, salah satu di antaranya ialah Adat
Basandi Syarak, Sayarak basandi Kitabullah. Adat nan taadat (taradat) adalah ketetapan adat yag dibuat oleh pemuka-pemuka
adat setempat. Sedangkan adat istiadat ialah perbuatan atau perilaku adat pada suatu
wilayah/lingkungan adat yang telah membudaya, contohnya pemberian gala (gelar) kepada anak kemenakan dan kepada
orang-orang tertentu tanpa mengabaikan aturan adat yang lebih tinggi
kedudukannya.
Kini apa yang
terjadi? Salah satu Lembaga Pemangku Adat yang cukup besar pada suatu bagian
wilayah Minangkabau ini telah memberikan gelar adat kepada “urang datang” yang membuat
galau dan risau kita sebagian besar orang Minangkabau ini. Hak dan kebenaran
gelar adat ini perlu dievaluasi oleh pihak-pihak pemangku adat terkait
sehingga jelas permasalahannya.
Meskipun
pemberian gelar adat kepada “urang datang” itu termasuk kategori adat istiadat, namun
keabsahannya harus juga memperhatikan tingkat adat yang lebih tinggi, yaitu adat nan sabana adat dan adat nan diadatkan. Alua luruih
nan ka dituruik, jalan nan pasa nan ka ditampuah. Wajarkah pemberian gelar
adat kepada “urang datang” itu menurut aturan agama (Islam)?
Wajarkah pemberian gelar adat kepada “urang datang” itu menurut ABS-SBK?
Sisi lain yang
terabaikan, yang menimbulkan kecemburuan dan kesakithatian pihak anak kemenakan dan pemangku adat lainnya, sudahkan
anak kemenakan yang lebih berhak mendapat gelar adat? Yang tahu tentu anak kemenakan itu sendiri
serta penghulunya. Ketek banamo, gadang
bagala adalah hak setiap anak kemenakan yang laki-laki. Siapa lagi yang akan manggadangkan kemenakannya kalau tidak niniak mamak dan penghulunya
masing-masing.
Dari sudut
adat, kemenakan itu tetap ketek kalau dia hanya punya nama. Untuk menggadangkannya atau membesarkannya,
dia harus diberi gala (gelar) adat niniak mamak penghulunya sendiri,
dan boleh juga dari pihak bako terhadap anak pisangnya. Adalah perlu dibudayakan atau diadatkan rasa malu
kalau anak kamanakan minantu sendiri jika telah dewasa belum juga diberi gelar adat. Ketek banamo, gadang bagala, katiko ketek diagiah namo dek ibu bapak, nak gadang diagiah gala dek niniak mamaknyo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar