OLEH Undri
Balai Pelestarian Sejarah dan
Nilai Tradisional Padang)
Apa untungnya kalau kita kembali berdesa lagi seperti yang terjadi pada
masa Orde Baru? Apa hanya sekadar mengharapkan bantuan yang besar atau hanya sebagai bukti
atas sikap kita yang kompromitif atas kebijakan pusat atau lebih jauh lagi
karena adanya bingkai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang
konsekuensinya harus menerima kebijakan pusat tersebut.
Kerontokan kekuatan tradisional merupakan sebuah bentuk konsekuensi yang
diterima oleh masyarakat Minangkabau akibat terjadinya perubahan nagari
menjadi desa yang terjadi pada Orde Baru tersebut. Ini merupakan fakta historis
yang tidak terbantahkan sampai sekarang ini.
Bercermin masa lalu, kita pernah terjadi kerontokan kekuatan tradisonal
tersebut ketika diberlakukan Undang-Undang nomor 5 Tahun 1979 dan Peraturan
Daerah Nomor 7 Tahun 1983. Lebih jauh lagi akibat dari ini terjadinya
penghancuran institusi lokal tradisional yang sudah ada beratus tahun dibangun
oleh nenek moyang kita—sebuah lembaga yang mengatur tidak hanya tingkah laku
sosial dan budaya dari rakyat, dan juga penghancuran basis ekonomi masyarakat dalam
hal tanah, warisan, dan pengolahan sawah.
Artinya terjadinya disorientasi dalam kehidupan rakyat terutama di pedesaan
ketika bentuk kekuasaan simbolis tradisional mereka dan segala isinya dirubah.
Kemudian, pengukuhan desa oleh pemerintah pusat diartikan sebagai penghapusan
sisa otonomi lokal dan memaksakan dominasi pusat dalam hal ini Jawa.
Sesungguhnya ini merupakan sebuah bentuk ”kekonyolan” masyarakat
Minangkabau, sebagai etnik mayoritas yang mendiami daerah Sumatera Barat.
Kenapa tidak dengan dalih kompromitif kebijakan pemerintah pusat dengan
penyemarataan sistem pemerintahan dan juga pendambaan bantuan yang lebih banyak
lewat bantuan desa (bandes) maka relalah kita merubah tatanan tradisional kita
sendiri yakni dari pemerintahan nagari menjadi desa.
Ini juga tidak terlepas dari persoalan bantuan yang diterima oleh
pemerintah daerah Sumatera Barat yang lebih besar bila merubah pemerintah nagari
menjadi desa. Mengakali agar bantuan lebih banyak juga mengeruyak dalam
kebijakan pemerintah daerah Sumatera Barat waktu itu. Pada tahun 1983 misalnya, ketika Azwar Anas
menjadi Gubernur Sumatera Barat menetapkan bagian dari nagari yakni
Jorong bukan nagari yang menjadi unit desa.
Dengan satu lompatan, jumlah desa di Sumatera Barat berkembang dari 543
(jumlah nagari) menjadi 3.138 (jumlah jorong)-ditambah dengan 408 daerah
kota atau kelurahan. Hasilnya, Sumatera Barat menerima lebih kurang enam kali
jumlah dana pembangunan pemerintah (bandes) daripada sebelumnya. Sebuah jumlah
nominal yang fantastis waktu itu namun loyo dalam segi sosial dan budaya serta
adanya kekuatan “intervensi” dari pemerintah pusat atas eksistensi sistem
bernagari di Sumatera Barat.
Walaupun begitu, sesungguhnya intervensi atas keberadaan sistem
pemerintahan nagari sudah lama terjadi. Waktu penjajahan Belanda
misalnya pemilihan dan penggangkatan kapalo nagari umumnya diintervensi
oleh pemerintahan, maka keluarlah istilah
panghulu basurek dengan hanya memiliki secarik besluit dari
pemerintah Belanda maka seseorang bisa memimpin nagari. Intervensi itu dimulai
tahun 1823 pada waktu pemerintah Hindia Belanda menjadikan nagari
sebagai unit terendah dalam struktur pemerintahannya di daerah ini.
Intervensi berikutnya terjadi tahun 1827 ketika de Stuers-seorang komandan
militer dan residen Sumatera Westkust waktu itu merencanakan dan
berhasil menciptakan sejumlah nagari baru. Intervensi itu semakin kuat sewaktu
pelaksanaan Tanam Paksa Kopi sewaktu para penghulu dan kepala nagari ditugaskan
menyukseskan sistem tersebut. Hingga awal abad ke-20 campur tangan pemerintah
dalam kehidupan bernagari tetap berlanjut, waktu itu penghulu dan kepala nagari
dapat tugas baru menyukseskan program pemungutan pajak atau belasting
yang diperkenalkan sejak tahun 1908.
Aroma kolonial dalam kehidupan nagari ini diakhiri dengan pembentukan DPN
(Dewan Perwakilan Nagari) dan DHN (Dewan Harian Nagari) tahun 1946 sehingga
sejak waktu itu hingga pecahnya PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia) kehidupan nagari.
Inilah sebetulnya saat paling demokratis sepanjang sejarahnya dalam sistem
pemerintahah nagari.
Namun pada masa Orde Baru intervensi pemerintah terhadap kehidupan nagari
muncul kembali, bahkan pada masa itu keberadaan nagari pernah dihapus
berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 dan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun
1983. Begitulah nasib sistem pemerintahan
bernagari di Sumatera Barat ini.
Sekarang Orde Reformasi, intervensi terhadap eksistensi pemerintahan nagari
tidak terelakkan juga. Jika terjadi revisi Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 maka intervensi dan
perubahan sistem pemerintahan nagari ke desa pun akan terjadi juga.
Revisi ini telah mengarah kepada kembalinya berdesa seperti dulu lagi dan ”hilangnya”
pemerintahan nagari seperti sekarang ini. Dalam tataran sosial dan
budaya, kita elok dan selaras dengan sistem bernagari ini. Kenapa tidak semua
persoalan diatur dengan landasan sosial-budaya yang telah mengakar sejak dulu
kala.
Sebagai unit sosial politik yang tertinggi dalam masyarakat Minangkabau,
sebagai metamorfosa pemukiman setelah taratak, dusun dan koto terbentuknya
sebuah nagari sudah komplit untuk mengatur masyarakatnya.
Di sana ada balai tempat musyawarah dan penyelenggaraan pemerintahan,
memiliki mesjid tempat sholat dan kegiatan keagamaan, memiliki jalan raya
sebagai sarana transportasi, memiliki gelanggang tempat hiburan, serta memiliki
tempat mandi untuk sanitasi. Bahkan persoalan perbatasan antar nagaripun diatur
dengan baik dan nagari tersebut mempunyai
wilayah sendiri dan batas-batas (alam) yang jelas. Batas-batas itu antara lain
anak air (sungai kecil), lembah-lembah, bukit-bukit atau rimba, pohon bambu,
parit yang sengaja digali atau tanah rajo.
Sekarang apa yang harus kita lakukan untuk mengantisipasi persoalan ini
yakni revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 terutama poin tentang kembali
berdesa yakni. Pertama,
masyarakat Sumatera Barat bersama Pemerintah Daerah Sumatera Barat harus
merespon secara aktif atas revisi undang-undang tersebut khususnya point
tentang kembali berdesa tersebut.
Respons aktif akan revisi Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 ini sangat
diperlukan mengingat akan pelajaran kita masa lalu yang jelas-jelas merugikan
masyarakat kita dari segi sosial dan budaya bila kita kembali berdesa. Kedua,
kajian mendalam atas hal tersebut ini perlu juga dilakukan. Tidakkah kita
dikenal jua dengan daerah ”industri otak” yang punya dan memiliki orang-orang
dengan pemikiran-pemikiran yang briliyan untuk kemajuan masyarakat, bangsa dan
negara.
Telaahan dalam bentuk kajian inilah yang nantinya dapat dijadikan
argumentasi secara ilmiah terhadap persoalan ini. Ketiga, kekuatan para wakil-wakil dari Sumatera Barat
baik yang duduk di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dan DPD (Dewan
Perwakilan Daerah) dapat dijadikan kekuatan utama dalam merespon revisi
Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 agar tidak merugikan masyarakat Sumatera
Barat kedepannya.
Akhirnya, kalau tidak kita ingin rontok sistem tradisional yang telah
dibangun oleh nenek moyang kita dulu. Kembali berdesa haruslah kita pikirkan dan
direspons juga secara bersama-sama. Jangan kita terperangkap lagi pada lobang
yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar