Minggu, 16 November 2014

Merayakan Kembali Berdesa

OLEH Undri
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang)
Apa untungnya kalau kita kembali berdesa lagi seperti yang terjadi pada masa Orde Baru? Apa hanya sekadar mengharapkan bantuan yang besar atau hanya sebagai bukti atas sikap kita yang kompromitif atas kebijakan pusat atau lebih jauh lagi karena adanya bingkai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang konsekuensinya harus menerima kebijakan pusat tersebut.
Kerontokan kekuatan tradisional merupakan sebuah bentuk konsekuensi yang diterima oleh masyarakat Minangkabau akibat terjadinya perubahan nagari menjadi desa yang terjadi pada Orde Baru tersebut. Ini merupakan fakta historis yang tidak terbantahkan sampai sekarang ini.

Bercermin masa lalu, kita pernah terjadi kerontokan kekuatan tradisonal tersebut ketika diberlakukan Undang-Undang nomor 5 Tahun 1979 dan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 1983. Lebih jauh lagi akibat dari ini terjadinya penghancuran institusi lokal tradisional yang sudah ada beratus tahun dibangun oleh nenek moyang kita—sebuah lembaga yang mengatur tidak hanya tingkah laku sosial dan budaya dari rakyat, dan juga  penghancuran basis ekonomi masyarakat dalam hal tanah, warisan, dan pengolahan sawah.
Artinya terjadinya disorientasi dalam kehidupan rakyat terutama di pedesaan ketika bentuk kekuasaan simbolis tradisional mereka dan segala isinya dirubah. Kemudian, pengukuhan desa oleh pemerintah pusat diartikan sebagai penghapusan sisa otonomi lokal dan memaksakan dominasi pusat dalam hal ini Jawa.
Sesungguhnya ini merupakan sebuah bentuk ”kekonyolan” masyarakat Minangkabau, sebagai etnik mayoritas yang mendiami daerah Sumatera Barat. Kenapa tidak dengan dalih kompromitif kebijakan pemerintah pusat dengan penyemarataan sistem pemerintahan dan juga pendambaan bantuan yang lebih banyak lewat bantuan desa (bandes) maka relalah kita merubah tatanan tradisional kita sendiri yakni dari pemerintahan nagari menjadi desa.
Ini juga tidak terlepas dari persoalan bantuan yang diterima oleh pemerintah daerah Sumatera Barat yang lebih besar bila merubah pemerintah nagari menjadi desa. Mengakali agar bantuan lebih banyak juga mengeruyak dalam kebijakan pemerintah daerah Sumatera Barat waktu itu.  Pada tahun 1983 misalnya, ketika Azwar Anas menjadi Gubernur Sumatera Barat menetapkan bagian dari nagari yakni Jorong bukan nagari yang menjadi unit desa.
Dengan satu lompatan, jumlah desa di Sumatera Barat berkembang dari 543 (jumlah nagari) menjadi 3.138 (jumlah jorong)-ditambah dengan 408 daerah kota atau kelurahan. Hasilnya, Sumatera Barat menerima lebih kurang enam kali jumlah dana pembangunan pemerintah (bandes) daripada sebelumnya. Sebuah jumlah nominal yang fantastis waktu itu namun loyo dalam segi sosial dan budaya serta adanya kekuatan “intervensi” dari pemerintah pusat atas eksistensi sistem bernagari di Sumatera Barat.
Walaupun begitu, sesungguhnya intervensi atas keberadaan sistem pemerintahan nagari sudah lama terjadi. Waktu penjajahan Belanda misalnya pemilihan dan penggangkatan kapalo nagari umumnya diintervensi oleh pemerintahan, maka keluarlah  istilah panghulu basurek dengan hanya memiliki secarik besluit dari pemerintah Belanda maka seseorang bisa memimpin nagari. Intervensi itu dimulai tahun 1823 pada waktu pemerintah Hindia Belanda menjadikan nagari sebagai unit terendah dalam struktur pemerintahannya di daerah ini. 
Intervensi berikutnya terjadi tahun 1827 ketika de Stuers-seorang komandan militer dan residen Sumatera Westkust waktu itu merencanakan dan berhasil menciptakan sejumlah nagari baru. Intervensi itu semakin kuat sewaktu pelaksanaan Tanam Paksa Kopi sewaktu para penghulu dan kepala nagari ditugaskan menyukseskan sistem tersebut. Hingga awal abad ke-20 campur tangan pemerintah dalam kehidupan bernagari tetap berlanjut, waktu itu penghulu dan kepala nagari dapat tugas baru menyukseskan program pemungutan pajak atau belasting yang diperkenalkan sejak tahun 1908.
Aroma kolonial dalam kehidupan nagari ini diakhiri dengan pembentukan DPN (Dewan Perwakilan Nagari) dan DHN (Dewan Harian Nagari) tahun 1946 sehingga sejak waktu itu hingga pecahnya PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia)  kehidupan nagari. Inilah sebetulnya saat paling demokratis sepanjang sejarahnya dalam sistem pemerintahah nagari.
Namun pada masa Orde Baru intervensi pemerintah terhadap kehidupan nagari muncul kembali, bahkan pada masa itu keberadaan nagari pernah dihapus berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 dan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 1983. Begitulah nasib sistem pemerintahan  bernagari di Sumatera Barat ini.
Sekarang Orde Reformasi, intervensi terhadap eksistensi pemerintahan nagari tidak terelakkan juga. Jika terjadi revisi Undang-Undang  nomor 32 Tahun 2004 maka intervensi dan perubahan sistem pemerintahan nagari ke desa pun akan terjadi juga.
Revisi ini telah mengarah kepada kembalinya berdesa seperti dulu lagi dan ”hilangnya” pemerintahan nagari seperti sekarang ini. Dalam tataran sosial dan budaya, kita elok dan selaras dengan sistem bernagari ini. Kenapa tidak semua persoalan diatur dengan landasan sosial-budaya yang telah mengakar sejak dulu kala.
Sebagai unit sosial politik yang tertinggi dalam masyarakat Minangkabau, sebagai metamorfosa pemukiman setelah taratak, dusun dan koto terbentuknya sebuah nagari sudah komplit untuk mengatur masyarakatnya.
Di sana ada balai tempat musyawarah dan penyelenggaraan pemerintahan, memiliki mesjid tempat sholat dan kegiatan keagamaan, memiliki jalan raya sebagai sarana transportasi, memiliki gelanggang tempat hiburan, serta memiliki tempat mandi untuk sanitasi. Bahkan persoalan perbatasan antar nagaripun diatur dengan baik dan  nagari tersebut mempunyai wilayah sendiri dan batas-batas (alam) yang jelas. Batas-batas itu antara lain anak air (sungai kecil), lembah-lembah, bukit-bukit atau rimba, pohon bambu, parit yang sengaja digali atau tanah rajo.
Sekarang apa yang harus kita lakukan untuk mengantisipasi persoalan ini yakni revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 terutama poin tentang kembali berdesa yakni. Pertama,  masyarakat Sumatera Barat bersama Pemerintah Daerah Sumatera Barat harus merespon secara aktif atas revisi undang-undang tersebut khususnya point tentang kembali berdesa tersebut.
Respons aktif akan revisi Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 ini sangat diperlukan mengingat akan pelajaran kita masa lalu yang jelas-jelas merugikan masyarakat kita dari segi sosial dan budaya bila kita kembali berdesa. Kedua, kajian mendalam atas hal tersebut ini perlu juga dilakukan. Tidakkah kita dikenal jua dengan daerah ”industri otak” yang punya dan memiliki orang-orang dengan pemikiran-pemikiran yang briliyan untuk kemajuan masyarakat, bangsa dan negara.
Telaahan dalam bentuk kajian inilah yang nantinya dapat dijadikan argumentasi secara ilmiah terhadap persoalan ini.  Ketiga,  kekuatan para wakil-wakil dari Sumatera Barat baik yang duduk di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dapat dijadikan kekuatan utama dalam merespon revisi Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 agar tidak merugikan masyarakat Sumatera Barat kedepannya.
Akhirnya, kalau tidak kita ingin rontok sistem tradisional yang telah dibangun oleh nenek moyang kita dulu. Kembali berdesa haruslah kita pikirkan dan direspons juga secara bersama-sama. Jangan kita terperangkap lagi pada lobang yang sama.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...