OLEH Badrul Mustafa
Ahli Kegempaan Unand
Akibab gempa 2009 di Padang Pariaman |
Bencana demi bencana tidak lepas menimpa
daerah Sumatera Barat. Setelah reda dari
gempa dan tsunami yang terakhir menimpa Mentawai 25 Oktober 2010, longsor menghantam
beberapa wilayah di Sumatera Barat, terutama Pesisir Selatan, Pasaman Barat dan
Agam. Memang agak tepat julukan yang pernah diberikan kepada wilayah ini,
yakni: supermarket bencana.
Sebagai daerah yang rawan terhadap
bencana, maka berbagai upaya kesiapsiagaan untuk menghadapinya harus dilakukan
dan terus ditingkatkan. Upaya yang bertujuan untuk mengurangi risiko bencana
disebut sebagai mitigasi.
Di dalam mitigasi ada 3 (tiga) tahap yang
dilakukan, yakni pra bencana, saat bencana (disebut juga tahap tanggap darurat)
dan pasca bencana (tahap rehabilitasi dan rekonstruksi). Tahap
pra bencana merupakan tahap yang paling
penting. Biasanya risiko atau bencana
yang paling besar terjadi apabila mitigasi pra bencana tidak dilakukan secara
baik.
Sumatera
Barat memiliki alam yang elok serta potensi
sumberdaya alam yang cukup baik. Namun di samping itu Sumatera Barat juga
menyimpan potensi yang besar dalam hal bencana alam, khususnya bencana alam
geologis. Jenis bencana alam geologis tersebut antara lain adalah: Gempa,
tsunami, erupsi gunungapi, longsor, banjir, erosi dan sedimentasi serta
abrasi. Dari semua jenis bencana
tersebut diakui bahwa gempa dan tsunami merupakan bencana alam yang paling
menakutkan masyarakat. Gempa besar dan
tsunami Aceh, ditambah dengan berita gempa dan tsunami di Jepang tanggal 11 Maret
2011 yang baru lalu, bisa semakin menakutkan masyarakat. Berikut ini akan
diuraikan tentang potensi gempa dan tsunami di Sumatera Barat, serta penyebab
dan lokasi sumbernya.
Gempa
bumi
Gempa
bumi merupakan sebuah guncangan hebat yang menjalar ke
permukaan bumi yang disebabkan oleh gangguan di dalam litosfir (kulit bumi). Gangguan
ini terjadi karena di dalam kulit bumi terjadi akumulasi energi akibat dari
pergeseran kulit bumi itu sendiri.
Sementara itu pergerseran kulit
bumi terjadi akibat dari pergerakan
secara konvektif yang bersumber dari lapisan astenosfir, yakni sebuah lapisan
bagian atas dari mantel bumi, berupa cairan panas yang sangat kental, yang
mengalir secara perlahan.
Akibat gerakan-gerakan ini, maka
kulit bumi terpecah-pecah menjadi bagian-bagian berupa lempengan yang saling
bergerak satu sama lain, yang kemudian disebut dengan lempeng tektonik.
Umumnya gempa bumi berasal dari
pelepasan energi yang dihasilkan oleh tekanan yang dilakukan oleh lempengan
yang bergerak. Semakin lama tekanan itu kian membesar dan akhirnya mencapai
suatu keadaan dimana tekanan tersebut tidak dapat ditahan lagi oleh lempeng
tektonik tersebut. Pada saat itulah gempa bumi akan terjadi.
Gempa bumi yang disebabkan oleh
pergerakan lempeng ini, baik subduksi (tumbukan) maupun pergeseran mendatar,
disebut dengan gempa tektonik. Jenis
gempa lain adalah gempa volkanik, yakni disebabkan oleh kegiatan volkanik
(gunung api). Magma yang berada pada kantong di bawah gunung tersebut
mendapat tekanan dan melepaskan energinya secara tiba-tiba sehingga
menimbulkan getaran tanah.
Namun gempa volkanik ini biasanya
tidak merusak karena kekuatannya cukup kecil, sehingga hanya dirasakan oleh
orang-orang yang berada dalam radius yang kecil saja dari sebuah vulkano. Gempa
volkanik dapat menjadi gejala/petunjuk akan terjadinya letusan gunung berapi. Masih
ada jenis gempa lain seperti gempa runtuhan dan gempa buatan untuk keperluan
eksplorasi/eksploitasi mineral dll, tapi kekuatannya lebih kecil lagi, sehingga
tidak berpotensi menimbulkan bencana kepada masyarakat.
Lokasi Potensi Gempa Bumi di Sumatera Barat
Gempa bumi tektonik di wilayah
Sumatera Barat berasal dari dua sumber, yakni akibat subduksi (tumbukan
lempeng) antara Lempeng Indo-Australia dan Eurasia serta pergerakan Sesar
Sumatera (nama lain: Sesar Semangko) yang sangat aktif. Subduksi kedua lempeng tektonik ini
berlokasi di laut dan pergerakan Sesar/Patahan Semangko berlokasi di
darat.
Gempa-gempa besar yang terjadi di
daratan Sumatera Barat dan sekitarnya misalnya yang terjadi tahun 1926, 1943,
1977 dan 2004 (Padangpanjang), serta 6 Maret 2007 di dua sumber (Danau
Singkarak dan Sianok/Agam). Gempa di Sungaipenuh Kerinci tahun 1995 juga
merupakan produk dari pergeseran Sesar Semangko ini. Gempa di arah laut yang berasal dari
subduksi, berlokasi di sekitar Siberut dan Sipora-Pagai. Gempa besar yang pernah terjadi di lokasi
ini antara lain tahun 1797 di Siberut, 1833 di Sipora-Pagai, 2007 dan
25-10-2010 juga di Sipora-Pagai. Gempa
yang bersumber di laut ini dapat memicu timbulnya tsunami.
Upaya
yang Dilakukan untuk Mengurangi Risiko
Gempa jarang yang membunuh
langsung. Biasanya yang membunuh adalah
bangunan, yakni bangunan yang tidak memenuhi standar atau yang tidak berwawasan
bencana.
Dr. Yozo Goto bersama teamnya
dari Jepang telah melakukan penelitian di kota Padang dan Kabupaten Padang/Pariaman terhadap bangunan
yang hancur dan rusak akibat gempa SumBar (7,9 SR) 30 September 2009. Dr. Yozo Goto
menyimpulkan bahwa bangunan yang rusak dan hancur akibat gempa tanggal
30/09/2009 adalah bangunan yang tidak memenuhi aturan atau standar yang sudah
ditetapkan, yakni SNI 2002. Kalau
bangunan yang hancur atau rusak itu memenuhi SNI 2002, diyakini tidak akan
terjadi kerusakan. Dengan demikian maka
salah satu upaya dalam mengurangi resiko akibat gempa adalah membuat bangunan
sesuai standar yang sudah ditetapkan. Saat
ini standar SNI-2002 telah direvisi menjadi SNI-2010.
Upaya lainnya adalah dengan
melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang bagaimana menghadapi gempa
sebelum terjadi, pada waktu gempa berlangsung (gempa kuat atau merusak dan
gempa lemah), terutama melalui sekolah secara langsung maupun melalui kurikulum
pelajaran. Sosialisasi ini yang disertai
simulasi harus dilaksanakan secara terus menerus secara rutin.
Tsunami
Tsunami berasal dari gabungan dua
kata bahasa Jepang, yakni tsu yang
berarti pelabuhan dan nami yang
berarti gelombang. Dari kata asalnya
ini dibuatlah definisi tsunami, yakni: Gelombang yang menyerang pelabuhan atau daratan. Penyebab timbulnya tsunami
adalah: 1. Gempa bumi yang berepisenter di dasar laut, 2. Meletusnya gunungapi
bawah laut, 3. Longsoran massa tanah/batuan di dasar laut dan 4. Jatuhnya
meteor. Dari keempat penyebab tsunami
ini, maka lebih dari 90% penyebab tsunami adalah gempa bumi yang berepisenter
di dasar laut. Sedangkan jatuhnya
meteor berukuran besar ke laut secara statistik kebolehjadiannya sangat kecil.
Tidak semua
gempa menimbulkan tsunami. Ada 4 (empat) syarat sebuah gempa dapat menimbulkan
tsunami, yakni:
·
Gempa dengan episentrum di dasar laut
·
Kekuatan gempa minimal 6,5 SR dan biasanya berlangsung lebih dari 30 detik.
·
Gempa sangat dangkal (kedalaman pusat gempa < 30 km)
·
Terjadi
dislokasi batuan secara
vertikal
Untuk
terjadinya sebuah tsunami, maka keempat syarat di atas harus terpenuhi secara
bersama-sama sekaligus. Apabila satu
syarat saja tidak terpenuhi, maka tsunami tidak akan terjadi.
Kewaspadaan
terhadap tsunami harus dibangun dengan baik.
Kalau tidak, maka korban yang jatuh bisa banyak sekali.
Untuk
mengantisipasi tsunami sebetulnya tidak terlalu sulit bila seseorang sudah
berhasil terhindar dari bahaya gempa yang mendahului tsunami. Tsunami yang datang ke daratan Sumatera
Barat dari pemodelan yang dibuat oleh Dr. Hamzah Latif (2005) berjarak waktu sekurang-kurangnya
30 menit setelah gempa besar terjadi.
Di Kepulauan Mentawai sendiri yang dekat dengan lokasi sumber tsunami,
tsunami bisa sampai sekitar 10 menit atau paling lama 15 menit setelah
gempa. Karena itu di Mentawai ini tentu
saja waktu yang tersedia untuk evakuasi dari tsunami lebih sedikit dibandingkan
dengan pesisir barat pulau Sumatera.
Lokasi Potensi Tsunami di Sumatera Barat
Di sebelah barat Pulau Sumatera
terdapat banyak pulau kecil dan sedang, mulai dari Simeulue di utara, pulau
Nias dan banyak pulau kecil di sekitarnya, Siberut, Sipora, Pagai Utara, Pagai
Selatan, Sikakap sampai Enggano di selatan (tenggara). Pulau-pulau ini merupakan batuan sedimen yang
terangkat akibat peristiwa tektonik serta subduksi (tumbukan) lempeng
India-Australia dengan Eurasia, yang sudah berlangsung sejak puluhan juta tahun
yang lalu.
Karena pulau-pulau ini dekat dengan
bidang pergesekan kedua lempeng, maka ia dekat dengan sumber gempa, sehingga
gempa-gempa yang bersumber di dekat pulau ini biasanya kedalamannya sangat
dangkal. Tentu saja resiko ancaman kerusakan akibat gempa menjadi lebih
besar. Ditambah dengan adanya
patahan-patahan/sesar naik (megathrust)
di bawah pulau sampai ke batas lempeng, yakni palung (trench), maka di pulau-pulau terluar ini terdapat potensi
tsunami.
Dari pulau-pulau terluar tersebut,
maka wilayah kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan wilayah dimana terdapat
lokasi sumber gempa yang dapat menimbulkan tsunami. Dalam sejarahnya, menurut
data BMKG dan Geoteknologi LIPI, pernah terjadi tsunami yang melanda wilayah
Sumatera Barat. Dari data itu disebutkan bahwa ada dua segmen lokasi potensi
tsunami, yakni segmen Siberut dan segmen Sipora-Pagai. Di segmen Siberut tsunami terakhir terjadi
pada 10-02-1797 dan di segmen Sipora-Pagai tsunami terbaru terjadi tahun lalu,
tepatnya tanggal 25 Oktober 2010.
Tsunami 25/10/2010 ini merupakan pengulangan dari tsunami yang terjadi
pada 24-11-1833.
Sumber-sumber gempa yang berpotensi
tsunami adalah Kepulauan Mentawai sebelah luar ke arah palung laut dalam
(trench) di Samudera Hindia. Apabila di tempat ini terjadi gempa berkekuatan di
atas 6,5 SR, maka gempa tersebut berpeluang menimbulkan tsunami. Sebab di
tempat ini kedalaman pusat gempa di bawah 30 km dari permukaan laut,
episentrumnya di dasar laut dan thrust (patahan tegak/miring) akan menyebabkan
dislokasi atau pergerakan batuan secara vertikal, yang akan mengguncang air
laut.
Apabila pusat gempa di sebelah dalam
dari Kepulauan Mentawai terhadap Sumatera Barat Daratan (Selat Mentawai), maka
peluang terjadinya tsunami kecil sekali, karena bidang subduksi (benioff zone)
yang miring menyebabkan pusat gempa ini lebih dalam, yakni di atas 30 km.
Selain itu di dalam Selat Mentawai
tidak terdapat thrust, sehingga tidak terjadi pergerakan batuan secara
vertikal. Dengan demikian maka sekurang-kurangnya dua syarat untuk terjadinya
tsunami sudah tidak terpenuhi. Contoh kasus ini adalah gempa 30 September 2009.
Gempa dua tahun lalu itu menurut sumber BMKG berlokasi di Selat Mentawai,
kira-kira 60 km sebelah timur pulau Siberut atau kira-kira 56 km baratdaya
Pariaman, dengan kedalaman 71 km. Walaupun kekuatan gempa 7,9 SR, gempa
tersebut tidak menimbulkan tsunami.
Mungkinkah tsunami muncul di
selat-selat antara pulau di Kepulauan Mentawai tersebut? Misalnya antara pulau
Siberut dan Sipora, antara pulau Sipora dan Pagai Utara atau antara Pagai Utara
dan Pagai Selatan? Jawabannya adalah
mungkin. Sebab episenter gempa di selat
ini tentulah di dasar laut, pusat gempa tentu masih dangkal dan ada thrust di
sini. Kalau kekuatan gempanya di sini
di atas 6,5 SR, maka tentu akan ada tsunami.
Namun tsunami yang terjadi akibat gempa yang berepisentrum di
selat-selat kecil ini gelombangnya kemungkinan tidaklah besar. Sebab, deformasi batuan yang terjadi di
dasar selat tersebut tidak begitu besar, sehingga volume air laut yang terlibat
juga tidak besar.
Tapi bagaimana dengan kemungkinan
longsoran di timur Siberut yang diprediksi sebagian pakar dapat menimbulkan
tsunami, bahkan tanpa didahului oleh gempa? Kemungkinannya kecil. Sebab, dengan sudah terjadinya beberapa kali
gempa kuat, baik di segmen Siberut maupun segmen Sipora-Pagai, maka sangat
kecil kemungkinan masih ada lereng-lereng dasar laut di timur Siberut, Sipora
dan Pagai yang kritis. Kalau
lereng-lereng tersebut kritis, maka kemungkinan ia telah longsor oleh
gempa-gempa kuat tersebut. Kemudian,
kalau pun masih ada lereng yang kritis di dasar laut, sangat kecil kemungkinan
longsorannya menimbulkan tsunami yang besar.
Sebab, selain volume
tanah/batuannya tidak sebesar deformasi dasar laut yang ditimbulkan oleh gempa
besar, kecepatan longsorannya juga tidak cukup besar untuk menimbulkan
guncangan air laut. Analoginya adalah,
kalau kita jatuhkan benda di dalam air, maka kecepatannya tidak sebesar kalau
ia dijatuhkan di udara bebas.
Upaya Menghindari
Tsunami
Upaya yang dapat dilakukan untuk
menghindar dari tsunami adalah melalui dua cara, yakni evakuasi horizontal dan
evakuasi vertikal. Evakuasi horizontal
adalah berjalan kaki menjauhi pantai ke zona aman, yakni daerah yang memiliki
ketinggian > 10 meter di atas permukaan laut. Evakuasi vertikal adalah upaya menghindar
dari tsunami dengan naik ke bangunan tinggi di sekitar tempat kita berada, atau
memanjat pohon kelapa atau sejenisnya. Ini dilakukan apabila seseorang
kehilangan waktu cukup banyak menjelang gelombang tsunami datang, misalnya
adanya keraguan bahwa gempa yang terjadi diikuti tsunami atau tidak, sedangkan
ia tidak melihat (tidak mendapat informasi) tanda-tanda alam terjadinya
tsunami, atau sirene untuk evakuasi tsunami tidak bekerja. Salah satu tanda
alam sebagai isyarat akan terjadi tsunami adalah air laut surut sangat cepat
jauh ke tengah laut sesaat setelah terjadi gempa besar. Tsunami Early Warning
System yang dibangun di pantai barat Sumatera akan membunyikan sirene apabila
sebuah gempa diikuti oleh tsunami.
Meskipun gempa besar di laut yang memiliki periode
ulang sekitar 200 tahun, namun pengulangan sebuah gempa di suatu tempat belum
tentu menimbulkan pengulangan tsunami.
Pengulangan tsunami tergantung kepada apakah terpenuhi syarat terjadinya
tsunami atau tidak. Untuk memenuhi rasa aman masyarakat, terutama karena adanya
prediksi pakar LIPI dan ITB bahwa ada potensi terjadi tsunami di segmen Siberut
dari gempa 8,9 SR, maka perlu diselenggarakan sosialisasi tentang gempa dan
tsunami ke berbagai lapisan masyarakat atau terus melakukannya untuk menjangkau
masyarakat yang belum menerima sosialisasi sebelumnya, sehingga masyarakat semakin
waspada terhadap gempa dan tsunami tersebut dan dapat semaksimal mungkin
mengantisipasinya. Di samping itu perlu terus disiapkan dengan baik infra
struktur untuk evakuasi seperti shelter (evakuasi vertikal) dan jalur jalan yang cukup lebar menjauhi pantai untuk
evakuasi horizontal.
Sebagai catatan akhir,
walaupun Jepang baru saja mengalami gempa besar dan tsunami dahsyat
11-03-2011 yang lalu, yang menimbulkan korban jiwa dan harta benda, namun
jumlahnya tergolong kecil untuk ukuran gempa 8,9 SR dengan kedalaman yang sangat dangkal tersebut. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam kegempaan ini terbukti korban jiwa yang timbul dapat
diminimalisir. Data statistik
menyebutkan bahwa sejak gempa 1923 di Jepang yang menelan korban jiwa 140.000
orang, jumlahnya menurun tajam seiring meningkatnya kemajuan mitigasi. Jadi kita harus terus meningkatkan upaya persiapan
kalau bencana gempa/tsunami datang, sambil mempelajari cara Jepang dalam
mitigasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar