Minggu, 16 November 2014

Mambangkik Batang Tarandam Perkeretaapian Sumatera Barat

OLEH Willson Gustiawan
Dosen Politeknik Negeri Universitas Andalas Padang
Kereta api wisata di Sumbar
Suara tut…tut…tut, sinyal nyala, serangkaian kereta siap masuk stasiun. Setelah melewati ampang-ampang perlintasan sebidang. Lokomotif bergerak di rel bergigi, melambat untuk beristirahat sejenak. Lalu siap melanjutkan perjalanan melewati kawasan berpemandangan elok di Sumatera Barat.
Kereta api Sumatera Barat, pada masa jayanya melayani penumpang dan barang di berbagai rute. Kereta api melayani relasi Payakumbuh sampai Padang, Sawahlunto sampai Teluk Bayur Padang. Ujung rel di Sungai Limau dan Limbanang juga pernah dilewati. Bahkan jalur sampai ke Pekanbaru melalui Muaro. Total, jalur kereta api di Sumatera Barat mencapai 240 km.

Kejadian seperti demikian, untuk sementara ini, barangkali telah menjadi cerita semata. Setidak-tidaknya untuk daerah yang jalur kereta apinya sedang nonaktif. Tidak demikian untuk masyarakat sepanjang Padang sampai Pariaman yang telah menikmati Kereta Api (KA) Dang Tuanku. Setiap minggu KA Wisata Singkarak membawa wisatawan dari Padang Panjang ke Sawahlunto pulang pergi. Sedikit waktu lagi, akan diaktifkan KA Cindua Mato untuk relasi Padang–Padang Panjang. Hal yang lebih menggembirakan lagi, Sumatera Barat akan kedatangan “railbus” yang akan melayani masyarakat perkotaan Padang.
Sejarah Singkat
Jika menelisik sejarahnya, jalur kereta api di Sumatera Barat dimulai dengan keputusan pemerintah kolonial untuk membangun jalur dari Sawahlunto ke Teluk Bayur melalui Padang Panjang pada tahun 1878 guna mengangkut batubara. Jalur dibangun melewati Lembah Anai.
Tahun 1892, diresmikan Pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur), sekalian pembukaan jalur kereta api Padang-Teluk Bayur dan Solok-Muara Kalaban. Setahun sebelumnya juga telah diresmikan jalur Padang-Padang Panjang. Setelah itu, dibuka pula jalur mendaki melalui Koto Baru ke Bukittinggi, dan Payakumbuh. Mengingat kondisi alam Minangkabau, beberapa segmen jalur rel kereta api diberi rel bergigi.
Demikianlah, perkeretaapian Sumatera Barat beroperasi mendukung kegiatan perekonomian sejak zaman Belanda, dan dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Dalam alam kemerdekaan menjadi sarana transportasi unggulan sampai dengan tahun 1980-an.
Seiring menipisnya cadangan batubara di Sawahlunto, sejak 2003 kejayaan kereta api Sumatera Barat mulai memudar. Sayang, warisan peninggalan pemerintah kolonial bermuatan sejarah itu terbengkalai, sehingga harus ada upaya pelestarikannya.
Diskusi Perkeretaapian
Untuk menggiatkan kembali perkeretaapian Sumatera Barat, baru-baru ini di Stasiun Padang Panjang diadakan diskusi yang digagas oleh Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), The Indonesian Railway Preservation Society (IRPS) bersama PT Kereta Api Indonesia (Persero) Divisi Regional II Sumatera Barat.
Dalam diskusi tersebut mengemuka beberapa hal antara lain, kondisi sarana dan prasarana kereta api; optimalisasi kereta wisata, pengembangan potensi aset jaringan kereta api; pengembangan potensi angkutan komoditas; mendorong percepatan shortcut Padang-Solok; pemberdayaan sinergi dan dukungan pemerintah dan pemda, legislatif, dan badan usaha; mempercepat studi kelayakan pengembangan jalur Bukittinggi-Limbanang, dan Pulau Air-Padang; dan sosialisasi UU No 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Hasil diskusi ini akan dielaborasi lebih lanjut dalam bentuk seminar nasional perkeretaapian Sumatera Barat.
Ketiadaan onderdil mesin menyebabkan penumpukan loko yang tak terpakai lagi di berbagai dipo terutama di Simpang Haru. Prasarana kereta api meliputi antara lain stasiun, rel, jembatan, perlintasan, sinyal, dan lain sebagainya di beberapa jalur nonaktif kondisinya sangat memprihatinkan. Rel kereta api telah menjadi “rail estate” karena bangunan berada di atas rel. Rel terpotong, tanah digerus, stasiun berubah fungsi merupakan pemandangan lazim. Banyak kelengkapan stasiun yang terbengkalai atau tertimbun. Contohnya round table di Stasiun Koto Baru sudah tidak bisa ditemukan lagi. Jembatan telah berkarat tak terawat dan bantalannya banyak yang sudah lapuk dan hilang. Hampir semua perlintasan sebidang dengan jalan raya, sudah terbenam dalam aspal. Sinyal-sinyal banyak yang berdiri layu di antara halaman dan atap rumah-rumah semi permanen.
Kereta wisata Singkarak melayani para wisatawan dari Stasiun Padang Panjang ke Sawahlunto dan sebaliknya. Kereta loko uap E 10 60, warisan peninggalan kolonial atau lebih dikenal sebagi “Mak Itam” melayani rute wisata pendek Sawahlunto-Muaro Kalaban. Kedua kereta wisata ini perlu dioptimalkan lagi agar tidak menjadi beban bagi PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan pemerintah daerah. Kurangnya pemasaran, membuat rute ini sempat berhenti operasi.
Pengembangan potensi aset jaringan kereta api perlu juga mendapat perhatian pemangku kepentingan. Jaringan kereta api belum menyentuh daerah Sumatera Barat bagian utara, dimana potensi komoditas telah jauh berkembang dan memerlukan sarana angkutan yang ekonomis dan cepat. Dalam hal ini jaringan kereta api dapat dikembangkan ke daerah Pasaman, disambungkan lagi ke daerah Riau menuju perairan Selat Malaka sebagai gerbang pelabuhan pengiriman komoditas ke wilayah timur. Jalur rintisan ini diharapkan dapat menjadi pengumpan (feeder) yang dapat diintegrasikan dengan rencana jalur Trans Sumatera Railway dari Aceh sampai Lampung.
Selain jalur itu, perlu dipercepat rencana jalan memotong (shortcut) antara  Padang dan Solok sebagai bagian dari jaringan Padang-Pekanbaru. Jalur nonaktif dari Padang Panjang ke Limbanang agaknya perlu diaktifkan kembali. Jalur nonaktif yang tak kalah potensial diaktifkan adalah Pulau Air-Padang Simpang Haru. Jalur ini dapat digunakan untuk menjalankan railbus untuk melayani masyarakat perkotaan Padang. Railbus dapat dioperasikan sampai ke Duku untuk melayani penumpang pesawat udara yang ingin ke Bandara Internasional Minangkabau. Bahkan, railbus ini sangat potensial melayani penumpang sampai ke Pariaman.
Terbitnya UU No 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian masih belum banyak diketahui oleh khalayak ramai. Hadirnya undang-undang tersebut akan menjawab pernyataan tentang pihak mana yang bertanggungjawab sebagai  operator, pengelola, pemilik dan pengambil kebijakan. Persoalan perkeretaapian tentunya memerlukan sinergi dan dukungan dari berbagai pihak yang terkait seperti pemerintah dan pemda, legislator di pusat dan daerah, dan badan usaha milik pemerintah maupun swasta dan masyarakat secara umum.
Mambangkik Batang Tarandam
Membangkitkan kembali perkeretaapian Sumatera Barat, tidak mungkin dibebankan seluruhnya kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) sendiri saja yang menurut UU Perkeretaapian adalah sebagai operator. Di samping itu, peran pemerintah, legislatif, swasta dan masyarakat juga tidak bisa dikesampingkan. Kesemuanya harus turun tangan untuk mengembangkan perkeretaapian di Sumatera Barat.
Kereta api Sumatera Barat saat ini harus dibangkitkan kembali. Batang itu memang telah bangkit yang selama ini sempat terendam, tetapi belum lagi muncul dari permukaan air. Kita mendambakan kembali peran kereta api sebagai sarana transportasi andalan, di tengah kondisi sarana transportasi darat lainnya yang tak lepas dari kemacetan pada waktu dan jalur tertentu, pengemudi yang ugal-ugalan, tarif yang tidak murah, dan lain sebagainya. Mudah-mudahan pada saatnya nanti, perkeretaapian Sumatera Barat benar-benar bangkit, menjemput masa jayanya seperti dahulu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...