OLEH Sahrul N
Pengajar ISI Padang Panjang
Alunan musik
keroncong terdengar dari sudut kampus ISI Padangpanjang yang dimainkan oleh
sekitar delapan generasi muda yang rata-rata berpenampilan metal. Sambil
menghirup kopi mereka asyik berlatih mematangkan beberapa repertoar yang kata
mereka dipersiapkan untuk ivent tertentu. Mereka menamakan grup ini dengan nama
Orkes Keroncong (OK) La Paloma yang awalnya dipimpin oleh Alm. Desriland
(mantan dosen ISI Padangpanjang). Mereka bukan datang dari Jawa namun adalah
generasi Sumatera Barat yang peduli terhadap budaya Indonesia.
Ironi memang,
disaat keroncong di negeri asal (Jawa) mulai terengah-engah hidupnya, justru
anak muda berpenampilan metal di kota kecil Sumatera Barat ini mencoba untuk
melestarikannya.
Ternyata
kesibukan anak-anak muda ini memang untuk pagelaran di beberapa kota di Jawa
dan Padang. Perjalanan seni OK La Paloma dimulai dari Padang dalam ivent PLB (Padang Literary
Biennale) pada tanggal 20 September 2014. Kemudian dilanjutkan di Solo
Keroncong Festival pada tanggal 27 September, Program “BERMALAM” Himpunan
Mahasiswa Etnomusikologi ISI Surakarta 28 September, Jurusan Etnomusiklogi ISI
Jogjakarta 29 September, Café Pyramid Bantul Jogjakarta 30 September, ALterego
ArtSpace kota Cimahi Bandung, 3 Oktober, dan Radio Lita Fm Bandung 3 Oktober
2014.
Perjalanan OK La Paloma ke tanah Jawa
yang diyakini sebagai negeri asal keroncong memang sebuah pertaruhan yang
berat. Menurut Kerond (salah satu personil OK La Paloma) bahwa dia optimis
karena konsep keroncong mereka berbeda dengan keroncong Jawa. Konsep musik
lebih ditekankan pada idiom-idiom musikal minangkabau yang diolah kedalam style keroncong, sebagai bentuk
pengaplikasian ilmu orkestrasi dalam musik. Hal ini bisa di lihat dari beberapa
repertoar yang dimainkan seperti Cafrinho. Cafrinho merupakan lagu yang sudah
turun temurun di mainkan oleh Krontjong Toegoe Jakarta, lagu ini merupakan lagu andalan mereka.
Seperti yang kita kenal bahwa Kroncong yang ada di kampung tugu tersebut
merupakan cikal bakal keroncong di Indonesia. Dari lagu cafrinho yang cendrung
dengan beat cepat ini dapat
ditafsirkan bahwa style dari
pendahulu keroncong sebelumnya sangat berbeda dengan style kroncong yang kita tahu saat ini. Pola dari instrument cuk
yang ramai, tegas dan konstan sangat berbeda dengan pola cuk yang dimainkan
oleh orkes kroncong yang ada di Jawa pada umumnya. Untuk itu La Paloma
menggarap lagu ini dengan style La
Paloma sendiri, dimana penggabungan pola atau style Tugu dengan pola atau style
Jawa akan menjadi karakter tersendiri dari garapan OK La Paloma.
Melihat
sejarahnya, menurut Victor Ganap (2011), keberadaan keroncong di Indonesia
tidak terlepas dari kehadiran Kroncong Toegoe di Kampung Tugu, Plumpang,
Semper, Jakarta Utara.Generasi muda kelompok yang saat ini dimotori oleh Andre
Juan Michiels. Kehadiran musik ini berawal dari jatuhnya Malaka dari Portugis
ke tangan Belanda pada tahun 1648. Orang-orang Portugis pada umumnya adalah
tentara keturunan berkulit hitam yang berasal dari Bengali, Malabar, dan Goa.
Mereka adalah tawanan Belanda dan dibawa ke Batavia (sekarang Jakarta).
Pada masanya,
musik keroncong sangat digemari oleh masyarakat terutama lagu “Oud Batavia” dan
“Cafrinho” (dalam bahasa Portugis) yang juga jadi lagu andalan La Paloma.
Hampir tiap malam keroncong selalu diperdengarkan lewat RRI dan TVRI. Sayang
pada saat ini musik ini seperti mulai ditinggalkan.
Repertoar “Kaparinyo” lebih kental lagi
rasa Minangkabaunya karena memang berangkat dari lagu rakyat Minangkabau dan
Sumatera Selatan. Kaparinyo juga
menjadi nama lagu keroncong di kalangan masyarakat Tugu Cilincing, Jakarta
Utara, serta tarian dengan koreografi campuran Mor dan Spanyol yang diiringi
lagu Kaparinyo.
Ditambahkan Kerond bahwa “Kaparinyo”
punya kaitan dengan “Cafrinho”. Fakta ini menjadi wacana untuk OK La Paloma
bahwa budaya asing (Portugis, musik)
yang masuk ke Nusantara dan berakulturasi dengan budaya lokal (musik) dan
menghasilkan bentuk baru (hibrid, musik) dimana kita ketahui di Jakarta (Tugu)
percampuran tersebut menjadi sebuah bentuk musik yang kita kenal dengan musik Keroncong, sedangkan di Minangkabau
percampuran dalam konteks musik ini dikenal oleh masyarakat dengan istilah
musik Gamad.
Pada perhelatan Solo Keroncong Festival OK
La Paloma membawakan lagu ini sebagai bentuk kelokalitasan atau pakem yang
dimiliki dari salah satu dari sekian banyak bentuk musik Minangkabau yang dari
sejarahnya nyaris sama dengan alur sejarah keberadaan dan kemunculan bentuk
musik keroncong.
Lagu Minangkabau lainnya yang dimainkan
OK La Paloma adalah lagu “Lintuah”. Lagu ini sangat popular di Minangkabau
yang diciptakan Ibenzani Usman. Jika dilihat dari lirik lagunya akan
tergambarkan bagaimana keceradasan linguistik masyarakat Minangkabau.
Kebudayaan lingua yang dengan sendirinya membuat muda-mudinya terlatih untuk bertutur
mengunakan budi bahasa dengan sastrawi yang tinggi. Tidak hanya itu dengan
menggarap lagu ini akan semakin lengkaplah kesempurnaan Minangkabau dengan
bunyi-bunyi musikalnya dan dipadukan dengan dengan pola-pola yang berbeda
didalam musik keroncong.
Repertoarl terakhir yang menjadi andalan OK La
Paloma adalah Kr.
Dentingan Gitar ciptaan Dede Kuantani (Alm). Dalam lagu ini OK La Paloma ingin
mengatakan bahwa mereka sangat berterima kasih kepada Alm. Dede Kuantani atas
terbentuknya Orkes Keroncong ini. OK La Paloma menjadikan Dede Kuantani (Alm) sebagai
seorang pejuang keroncong dari tanah Minang meskipun ia dilahirkan di tanah
Riau. Fakta tersebut dapat kita lihat dari sekian banyak karya musiknya baik
itu dalam bentuk komposisi musik keroncong atau pun dalam bentuk aransemen
musik keroncong. Hal ini semakin menguatkan bahwa keroncong bukanlah milik dari
satu etnis saja, dan juga menambah pemetaan perkembangan musik keroncong di
seluruh Nusantara.
La Paloma yang
saat ini dipimpin oleh Roni yang lebih dikenal dengan nama Kerond (mahasiswa
musik ISI Padangpanjang) mencoba konsisten untuk menggeluti musik keroncong
dengan gaya yang lebih kekinian atau yang dikenal juga dengan keroncong
progresif. Di beberapa perguruan tinggi di Jawa keroncong progresif telah mulai
pula dihidupkan seperti Cong Rock-nya mahasiswa Universitas Tujuh Belas Agustus
Semarang, yang sampai sekarang masih eksis dalam menyuguhkan lagu-lagu
Indonesia maupun barat dengan ritme cepat dan rancak. Mereka mampu membawakan
lagu-lagu Deep Purple dan Nat King Cole tanpa masalah.
Perjalanan
panjang OK La Paloma di tahun 2014 ini merupakan terobosan yang tidak sederhana
dan perlu diapresiasi oleh semua pihak. Penonton di Jawa saja menjadikan OK La
Paloma sebagai ikon baru dalam musik keroncong di Indonesia dengan mengatakan
bahwa grup ini adalah grup keroncong avandgarde.
Di masa depan musik keroncong akan memiliki banyak variasi tergantung dimana
kelompok tersebut bernaung secara kebudayaan. Sayangnya perjalanan OK La Paloma
ke pulau Jawa tidak didukung oleh lembaga yang bertanggungjawab terhadap
perkembangan seni budaya di Sumatera Barat yaitu ISI Padangpanjang. Beruntung
mereka mendapatkan sponsor dari pihak swasta dan penyelenggara tempat mereka
pentas. Hal ini sedikit menciderai perjelanan OK La Paloma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar