PLTA Singkarak |
Bila berkunjung ke Danau Singkarak, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, tidak lah lengkap rasanya kalau belum menikmati ikan bilih.
Ikan bilih paling dicari masyarakat
ketika mengunjungi Danau Singkarak, karena terasa gurih bila telah dimasak.
Ikan bilih juga bisa dapat dikeringkan dan diasinkan sehingga awet untuk waktu
yang lama.
Ikan bilih merupakan ikan endemik yang
hanya ditemukan dan menjadi populasi ikan yang terbesar di Danau Singkarak.
Ikan dengan nama latin Mystacoleuseus padangensis memiliki ukuran sedikit lebih
besar dari ikan teri, berbentuk lonjong dan pipih dengan panjang 6-12
centimeter.
Karena endemik Danau Singkarak, ikan
bilih ini lumayan mahal dengan kisaran harga Rp60-70 ribu/liter. Bila telah
dimasak, harga ikan bilih menjadi Rp250-280 ribu/kilogram. Dengan harga yang menarik, ikan bilih menjadi
sumber pendapatan masyarakat sekitar danau. Bahkan, ikan itu sempat menjadi
komoditas ekspor dan dijual ke luar negeri.
Tetapi, sebentar lagi ikan bilih bakal
menjadi cerita rakyat yang akan diwarisi turun-temurun oleh masyarakat yang
tinggal di sekitar Danau Singkarak. Ya, karena ikan bilih terancam punah dari
danau kebanggaan masyarakat Sumbar itu. Kenapa bisa terjadi?
Prof. Dr. Ir. Hafrijal Syandri, M.S, ahli
perikanan dan ilmu kelautan, sekaligus peneliti ikan bilih dari Universitas
Bung Hatta, saat dikonfirmasi oleh mongabay.co.id kemarin (24/10) mengatakan,
penyebab terancam punahnya ikan bilih dipicu oleh alat dan cara tangkap yang
digunakan masyarakat yang tidak ramah lingkungan.
Nelayan menggunakan berbagai jaring untuk
menangkap ikan bilih sesuai dengan lokasi penangkapannya, seperti jaring
panjang, jaring lingkar, sistem alahan, jala lempar, lukah dan bahkan
menggunakan setrum listrik yang mematikan semua ikan yang ada.
Jaring-jaring apung tidak pernah kosong
terbentang di permukaan danau begitu pula dengan jala lempar yang ditebar
masyarakat setiap harinya.
Jenis alat tangkap yang digunakan pun
berbeda-beda, ada nelayan yang menggunakan alat tangkap berupa jaring panjang,
jaring lingkar, sistem alahan, jala, lukah dan menggunakan arus listrik
(setrum). Tidak tanggung-tanggung jaring dan jala yang dipasang ukuranya sangat rapat sekitar
1-1,5 centimeter. Ukuran ini sangat rapat sehingga semua jenis ikan, termasuk
anakannya dalam jumlah banyak.
Karena semua ikan, termasuk anakannya
terangkap, maka ikan bilih sulit melakukan regenerasi dan reproduksi. Padahal
ikan itu memijah di usia 6 bulan (dewasa). Ikan bilih memijah dengan cara
menyongsong aliran air sungai dan bertelur disela-sela batu. Setelah 20 jam
larva telur akan menjadi anakan dan kembali masuk ke danau untuk menjadi
dewasa.
Ikan bilih terancam punah karena
penangkapan yang tidak ramah lingkungan dan kondisi ekosistem Danau Singkarak
yang makin rusak. Foto : Riko Coubout
Tidak hanya karena penagkapan,
kelestarian ikan bilih terancam akibat
aktifitas masyarakat yang tinggal di sekitar danau Singkarak. Danau
dijadikan tempat membuang berbagai jenis limbah yang dihasilkan dari aktifitas
pertanian, limbah domestik dari perumahan dan aktifitas pasar.
Hafrijal mengatakan jika dibiarkan
berlanjut maka beban pencemaran ekosistem Danau Singkarak semakin berat dan
pada akhirnya akan merugikan semua pihak, termasuk kelestarian biota danau,
khususnya ikan bilih.
Keberadaan
PLTA Singkarak
Keberadaan PLTA Singkarak disinyalir juga
mempengaruhi kualitas ekosistem Danau Singkarak karena operasionalnya
mengakibatkan fluktuasi air (elevasi danau).
Pada musim hujan, perusahaan melakukan
penabungan air akibatnya ratusan hektar lahan pertanian dan alahan (kolam
tangkap ikan) digenangi air. Abrasi dan pengkisan tanah disepanjang bibir danau
tak terelakkan. Sementara, di waktu kemarau, perusahaan menguras air danau
sampai ke tingkat kritis.
Beroperasinya PLTA Singkarak di nagari
Guguk Malalo telah mengakibatkan terjadinya perubahan sirkulasi air danau.
Perubahan ini memicu naiknya belerang dari dasar danau (bangai) sehingga
membuat ikan-ikan mati keracunan serta punahnya beberapa jenis biota danau.
Yontameri (45), tokoh masyarakat nagari
Guguk Malalo menceritakan hampir semua jenis ikan endemik dan biota danau
Singkarak terbawa arus air terowongan PLTA ke Nagari Asam Pulau, Kabupaten
Padang Pariaman,
Ia menjelaskan jenis ikan yang telah
punah di Perairan Nagari Malalo dan Sumpur diantaranya ikan puyu, rinuak,
satuak, mingkai dan kulari. Sedangkan jenis ikan yang sulit ditemui yaitu ikan
garing, asang, tilam, baung, turiak, kalai, buntal, kiung.
Jenis ikan terancam punah yaitu bilih dan
barau. Sedangkan fauna danau yang punah dintaranya labi-labi, ular air dan
tuai, termasuk tumbuhan danau seperti jariamun sago yang biasa hidup pada
kedalaman 5-20 meter di dasar danau.
Upaya Penyelamatan
Danau
Kementerian lingkungan Hidup (KLH) telah
menetapkan sepuluh danau prioritas penanganan karena ancaman kerusakan, salah
satunya Danau Singkarak.
Bentuk penanganan tersebut diantaranya
melakukan pengelolaan ekosistem danau, pemanfaatan sumber daya air danau,
pengembangan sistem monitoring, evaluasi dan informasi danau, penyiapan
langkah-langkah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim terhadap danau, pengembangan
kapasitas, kelembagaan dan koordinasi, peningkatan peran masyarakat.
Selanjutnya dibutuhkan komitmen
pemerintah daerah untuk menindaklanjuti ketujuh program tersebut. Pengelolaan
danau singkarak mesti mempertahankan keberlanjutan lingkungan, pelestarian dan
pemulihan fungsi danau berdasarkan prinsip keseimbangan ekosistem dan daya
dukung lingkungan.
“Pemprov Sumbar telah menyusun strategi
penyelamatan danau singkarak, strategi tersebut tertuang dalam dokumen gerakan
penyelamatan danau singkarak (Germadan). Dalam dokumen tersebut telah disusun
berbagai bentuk upaya penyelamatan ekosistem danau singkarak dari kerusakan
yang terjadi pada saat sekarang maupun dimasa yang akan datang,” kata Asrizal
Asnan, Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Pemprov Sumbar,
kepada Mongabay, pada akhir minggu kemarin.
Guna mengatasi kepunahan ikan bilih,
pemerintah mesti menetapkan lokasi-lokasi tempat pemijahan yang harus di jaga
bersama masyarakat. Selain itu juga harus dibuatkan zonasi-zonasi pemanfaatan
danau, kawasan tangkapan terbatas, agar populasi ikan dapat meningkat.
Juga dibuat peraturan pendukung seperti
kesepakatan antar nagari untuk menjaga kelestarian ekosistem Danau Singkarak
dan khususnya pelestarian ikan bilih.
Selanjutnya dapat dilakukan sosialiasi
terkait penggunaan alat tangkap yang mendukung kelestarian ekosistem danau.
Terutama bagi masyarakat nagari Padang Laweh Malalo, Muaro Pingai, Guguak
Malalo, Sumpur, Batu Taba, Simawang, III Koto di Kabupaten Tanah Datar; Nagari
Paninggahan, Saniang Bakar, Kacang, Tikalak, Singkarak dan Sumani di Kabupaten Solok.
Jika itu terlaksana generasi yang akan
datang tetap bisa menikmati kelezatan dan manfaat ekonomi dari keberadaan ikan
bilih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar