OLEH H. Fachrul Rasyid HF
Wartawan
Senior
Masyarakat Kapur IX bergotong royong ( |
Berkunjung ke Nagari Sialang dan Gelugur
Kecamatan Kapur IX sungguh menggugah
perasaan kemanusian dan nyali kepemerintahan. Inilah yang dirasakan saat
menyertai rombongan safari Ramadan Bupati Limapuluh
Kota Dr.
Alis Marajo bersama sejumlah pejabat kepala satuan kerja pemerintah daerah
setempat ke perbatasan Sumatera Barat dan Riau itu, Sabtu 20 Aguastus 2011
lalu.
Berkendaraan dari Pangkalan Koto Baru
ke Muara Paiti ibu kecamatan Kabupur IX
(34 km) terus ke Koto Bangun dan Durian Tinggi
(9 km) terbilang nyaman. Maklum, meski agak sempit jalan provinsi ini masih
mulus. Namun dari Durian Tinggi ke Sialang (3 km) kondisinya mulai parah. Di
sepanjang jalan roda kendaraan hanya menginjak sisa aspal dan genangan air di
lobang yang mirip danau-danau kecil. Tapi tak lama lagi ruas ini segera berubah
karena kini sedang dilakukan perbaikan saluran dan bahu jalan oleh Dinas
Prasarana Jalan Tataruang dan Pemukiman (Prasja Tarkim) Sumatera Barat.
Namun perjalanan berikutnya dari Sialang
ke Gelugur melintasi daerah berbukit-bukit sejauh 24 km perlu ekstra hati-hati.
Bukan hanya tanjakan dan turunannya tajam yang membuat gamang tapi kondisi
jalannya pun amat parah. Di beberapa tempat jalan terbelah-belah
saluran air hujan karena salurannya sendiri sudah lama buta. Meski hampir semua
jembatan sudah terbuat dari rangka baja namun di beberapa titik cuma menyisakan
bekas pengerasan dan coran beton awal pertama jalan ini dibuka sekitar tahun
1998 silam.
Begitupun sudah ada harapan perbaikan.
Rencananya Dinas Prasja dan Tarkim Sumatera Barat tahun depan akan
merekonstruksi dan melakukan pengerasan jalan dengan biaya sekitar Rp17 miliar.
Kepastian itu disampaikan pejabat Limapuluh Kota saat berdialog
dengan warga di Masjid Jorong Mongan Gelugur dan warga di Masjid Sialang.
Katanya, perbaikan jalan ini mendapat prioritas karena mendukung rencana
penempatan sekitar 100 kk warga transmigrasi korban gempa 30 September 2009 di
Nagari Gelugur.
Mengusik
Keprihatinan
Jalan raya memang merupakan urat nadi
ekonomi. Toh, kalaupun Dinas Prasja dan Tarkim Sumatera Barat memuluskan jalan
raya sepanjang Kapur IX, agaknya tak otomatis membuat perekonomian dan
kesejahteraan sekitar 27 ribu rakyat kecamatan ini bisa ditingkatkan. Sebab,
yang diperlukan Kapur IX tak sebatas jalan. Masih banyak sektor kehidupan
rakyat yang perlu mendapat perbaikan dan pembinaan jajaran Pemda Kabupaten
maupun Pemda Provinsi Sumatera Barat.
Lihat saja rumput dan semak sepanjang
pinggiran jalan yang menutupi saluran di kiri kanan jalan dan bahkan melebar
sampai ke badan jalan. Lihat pula pekarangan rumah penduduk yang tak berpagar
dan tanaman pisang, pinang, coklat dan pohon sawit yang tak terawat serta
ternak yang berkeliaran semaunya. Nyaris tak ada sebuah pekarangan yang
berpagar rapi dengan tanaman yang terpelihara secara teratur dipenuhi tanaman
ramuan masakan atau sayur-sayuran sebagai sumber gizi nabati. Sepohon singkong
pun sulit ditemukan. Tak aneh jika warga di sini jarang makan sayur dan
buah-buahan karena sayur dan buah-buahan didatangkan dari Bukittinggi atau Payakumbuh.
Ini cukup
jadi bukti bagaimana kondisi kehidupan masyarakat monokultur (mengandalkan
ekonomi pada satu jenis tanaman).
Sumber protein hewani, seperti ikan juga
termasuk barang mahal di sini. Kecuali beberapa nagari yang memelihara ikan
kolam, kebanyak penduduk mengandalkan ikan sungai. Celakanya, ikan sungai
ditangkap menggunakan racun serangga sehingga ikan pada punah. Kalau saja
petugas Dinas Kesehatan Kabupaten atau provinsi mau mengecek kondisi kesehatan
warga, terutama anak-anak, di sini agaknya akan banyak ditemukan anak-anak
bergizi buruk.
Padahal warga Kapur IX, apalagi di
sekitar Sialang dan Gelugur, bukan pemalas. Mereka malah pekerja keras.
Bayangkan betapa mereka menghabiskan waktu dan menguras tenaga merambah hutan
membuka ladang gambir, kebun karet, kakao dan sawit. Hanya saja hasilnya amat
tak sebanding dengan tenaga, waktu dan
kerusakan hutan yang terjadi. Maklum, selain pengelolaannya yang sangat
tradisonal, gambir adalah komoditi yang tak diawasi dan tak memiliki standar
kualitas sehingga harganya pun sangat ditentukan negara pembeli, yaitu India,
Pakistan dan Banglades. Ketika produksi melimpah harga pun jatuh. Kini harga
gambir di sana sekitar Rp12 ribu/kg dari sewajarnya sekitar Rp20 ribu.
Tanaman karet yang menjadi andalan kedua
setelah gambir juga belum tersentuh ilmu dan teknik perkebunan. Selain bibitnya
yang tak standar pemeliharannya pun seadanya sehingga sulit membedakan antara
kebun karet dan hutan belukar di sekitarnya. Bisa dimengerti jika produksi dan
kualitasnya rendah. Kini harga karet di Kapur IX cuma sekitar Rp19 ribu dari
normal Rp22 ribu.
Masyarakat Kapur IX, apalagi di sekitar
Gelugur juga bertanam pohon sawit dan kakao. Namun
mereka tampaknya belum paham bahwa sawit dan kakao adalah tanaman industri yang
memerlukan perawatan dan pemupukan secara teratur dan terukur. Buktinya, warga
memperlakukan sawit dan kakao layaknya tanaman tua, dibiarkan tumbuh apa adanya
tanpa disiangi dan tanpa dipupuk layaknya.
Pelepah sawit tak dipangkas dan buahnya tak didodos. Tak aneh kalau
pohon sawit yang sudah setinggi dua meter tak berbuah. Keadaannya mirip pohon enau yang tumbuh liar di hutan.
Nasib tanaman kakao serupa. Pohon kakao
yang seharusnya dipangkas dipupuk dan disiangi dibiarkan tumbuh menghadang
keadaan. Kalau pun berbuah, buahnya jarang dan kecil. Tak berlebihan kalau
usaha rakyat bertanam sawit dan kako terbilang sia-sia. Dan ini cukup jadi
bukti bahwa petani di sini belum terjamah penyuluhan dan pembinaan dari petugas
dinas perkebunan. Akhirnya,
yang terjadi bukan peningkatan kesejahteraan melainkan peningkatan
kesengsaraan. Buktinya, bila harga gambir dan karet jatuh ekonomi jadi lumpuh,
dan di musim hujan beberapa nagari direndam banjir dan irigasi yang ada,
seperti di Durian Tiggi dan Sialang, ikut binasa kdihantam banjir dan longsoran
dari perbukitan yang digunduli untuk kebun gambir, karet dan kakao.
Kini perekonomian di Kapur IX terbilang
sedang buruk. Hanya Nagari Muara Paiti, Koto Bangun, Durian Tinggi dan Sialang
yang punya sedikit areal sawah sehinggga ketahanan pangan mereka sedikit
tersanggah. Sementara Nagari Gelugur, berpenduduk 2.200 jiwa dan belum
tersentuh listrik, sumber nafkah penduduk tergantung pada gambir dan karet.
Saat kini harga karet dan gambir jatuh, warga Gelugur pun terancam krisis pangan. Soalnya, mereka tak
punya setumpak sawah. Sumber berasnya selama ini hanya dari padi ladang. Ladang
padi itupun gagal akibat musim kemarau panjang. Padahal, kecuali kayu api,
semua kebutuhannya kebutuhan hidup tergantung pasokan beras dari Payakumbuh lewat
jalan darat via Sialang atau lewat jalur
sungai dari Subaling Kabupaten Kampar, Riau.
Kini harga beras di Sialang rata-rata
Rp9.Limapuluh0/kg dan minyak tanah Rp6 ribu/liter. Karena kendaraan dari
Sialang ke Gelugur (sekitar 24 km) mesti menggunakan mobil dobel gardan
ongkospun mahal. Ongkos penumpang orang Rp30 ribu/orang dan barang rata-rata
Rp600/kg. Bahkan upah angkut kelapa saja Rp600/butir.
Kerpihatinan
Kepemerintahan
Secara keseluruhan kondisi kehidupan
sosial, ekonomi dan pemerintahan di Kapur IX
masih memprihatinkan, terutama bila dikaitkan dengan misi pemerintahan
yang menjadi tugas pokok dinas instansi yang ada. Kalau saja setiap dinas
instansi yang ada, baik di provinsi maupun di kabupaten melaksanakan tugasnya
secara benar dan sungguh-sungguh, tentulah seluruh sektor kehidupan rakyat akan
dapat diperbaiki dan ditingkatkan. Sayang, jangankan memenuhi tugas dan tanggungjawabnya,
berkunjung ke Kapur IX saja, apalagi sampai ke Nagari Gelugur, masih ada pejabat
yang belum pernah mencoba.
Maka, tidaklah aneh jika banyak warga
yang belum tahu membuat kalkulasi usaha, belum menghayati pentingnya memelihara
lingkungan yang sehat, berpekerangan yang sehat dan bersih, menanam dan memakan
tanaman sayur-sayuran, bertani dan berkebun yang benar. Tak aneh juga jika
rakyat belum menghayati bagaimana memelihara kesehatan yang benar.
Meski nagari-nagari sudah berwalinagari
dan perangkat pemerintahan yang defenitif, tapi belum satupun nagari yang mampu
membuat tata ruang sehinga nyaris tak satupun nagari yang memiliki jalan poros
desa. Akibatnya, tak jelas mana yang
muka (land mark) dan belakang sebuah
nagari. Kalau bukan dibedakan bangunan dan pasar, nyaris tak ada bedanya antara
kebun dan pemukiman tak jelas mana yang koto dan mana yang kampung.
Dapat dipastikan, kalau saja pejabat
Dinas Kesehatan bersama gerakan PKK rajin turun ke Kapur IX, tentulah warga
tahu memelihara dan memilih makanan yang sehat dan bergizi. Warga akan tahu
membenahi pekarangan yang sehat dan menyehatkan. Kalau saja Dinas Peternakan
rajin mendatangi peternak disini
tentulah Kapur IX bisa jadi penghasil ternak yang sehat dan melimpah.
Kalau saja Dinas Perikanan mau
meninggalkan mejanya sejenak, tentulah Kapur IX tak harus menunggu ikan kering
dari Padang karena sumber air cukup melimpah dan Kapur IX bisa menjadi
penghasil ikan air tawar yang andal. Seandainya pejabat dan penyuluh
pertanian/perkebunan mau berkubang ke sana tentulah kakao, sawit dan karet yang
ditanam rakyat bisa memberikan nafkah yang memadai. Singkat kata kalau saja
semua dinas instansi mau mencari pahala, tentulah mereka akan sangat berpahala
bila menolong membangun kesadaran dan kehidupan rakyat Kapur IX.
Sayang kepedulian itu belum tumbuh
merata. Bahkan lima anggota DPRD Kabupaten Limapuluh
Kota asal
dari Kapur IX belum dirasakan warga keberadaannya di pemerintahan daerah
Kabupaten Limapuluh Kota. Mereka belum tergugah untuk menyerap aspirasi dan
menyuarakan kepentingan Kapur IX dalam kebijakan pembangunan daerah ini. Meski
demikian, Bupati Alis Marajo tak pernah merasa lelah. Pada priode pertama
(2001-2006) setidaknya Alis sudah tujuh kali berkunjung ke
Gelugur. Tiga bulan pertama priode kedua jabatannya ia sudah sampai lagi di
Gelugur.
Alis tak sekadar melenggang. Ia terus
berusaha agar jalan raya ke Kapur IX hingga ke Gelugur terus dapat
ditingkatkan. Di samping berharap bisa membuka isolasi dan menyejahterakan
rakyat, Alis menaruh harapan Kapus IX bakal punya masa depan yang lebih baik
bila jalan raya bisa mempertautkan Kapur IX dengan Kabupaten Kampar, Riau dan
Kabupaten Pasaman. Jika jalan itu terwujud dari Kapur IX dengan mudah bisa
dijangkau Kota Pasir Pangiraian, terus ke Medan atau Pekanbaru.
Di samping itu Alis juga
terus membagi anggaran pembangunan Kabupaten Limapuluh
Kota yang
masih terbatas untuk sektor kesehatan, pendidikan dan pertanian. Langkah itu
mulai nyata. Sebuah puskesmas dengan ruangan rawat inap sudah berdiri
di Sialang. Kalau saja fasilitas rawat inap itu sudah lengkap hari-hari ini
pasien sekitar Sialang Durian Tinggi dan Gelugur sudah bisa dirawat inap di
Puskemas yang megah itu.
einginan Alis secara bertahap terus disahuti
Kepala Dinas Prasja dan Tarkim Sumatera Barat. Jalan raya yang dirintis Bupati Limapuluh
Kota, Jufri, 24 tahun silam dan dibuka oleh pejabat Kepala Dinas Prasja dan Tarkim Sumatera
Barat. Mulai dari Sabri Zakaria, lalu, diteruskan Ir. Heddyianto, kemudian
secara bertahap ditingkatkan Dody
Ruswandy. Hanya saja selama pemerintahan Bupati Amri Darwis,
jalan ke Gelugur nyaris tak mendapat perhatian sehingga kembali hancur. Karena
itu ketika kembali ke kursi Bupati Limapuluh Kota, Alis pun berjuang
membangun kembali jalan itu. Harapan Alis disahuti Ir. Suprato Kepala Dinas
Prasja Tarkim, pengganti Dody
Ruswandy, Suprapto akan membangun
kembali jalan Sialang– Gelugur yang sudah rusak parah itu.
Harapan kita tentu dengan adanya
pandangan yang kritis terhadap kondisi yang memprihatinkan ini mampu menggugah
perhatian para pejabat pemerintahan yang lain di provinsi ini. Dengan demikian,
Kapur IX terutama Gelugur juga bisa ikut merasa bagian dari Riau kembali merasa
bagian dari provinsi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar