OLEH
Israr Iskandar
Dosen
Sejarah Politik FIB Universitas Andalas
Sebagaimana di daerah-daerah lain di
Indonesia, genderang demokrasi lokal juga mengharu-biru Sumatera Barat tahun
ini dalam bentuk pemilihan umum kepala daerah (pemilukada/pilkada). Pada 30 Juni 2010 lalu berlangsung secara
serentak pilkada gubernur dan 13 pilkada kabupaten dan kota se Sumatra Barat.
Ketigabelas daerah tersebut adalah
Kabupaten Pasaman, Pasaman Barat, Agam, Limapuluh Kota, Tanah Datar, Sijunjung,
Solok, Solok Selatan, Dharmasraya, Padang Pariaman, Pesisir Selatan, Kota
Bukittinggi dan Solok. Tiga kabupaten,
yakni Agam, Padang Pariaman dan
Limapuluh Kota, melakukan pilkada dua putaran.
Inilah implementasi lanjut sistem
demokrasi langsung di daerah yang secara sosio-historis sebetulnya mengenal
sistem demokrasi tidak langsung. Pada zaman prakolonial, kolonial dan Indonesia
merdeka (khususnya sampai akhir Orde Baru),
pemimpin lokal formal maupun pemimpin politik pada tingkat kaum di
Minangkabau dipilih melalui sistem perwakilan.
Namun sejak era reformasi, praktik
demokrasi liberal mendapatkan ruang makin lapang. Implementasi demokrasi
langsung, tak hanya pada pilkada, tapi juga pemilihan wali nagari. Liberalisasi
politik pada aras lokal akhirnya tak hanya dilihat sebagai kemajuan praktik
berdemokrasi, tapi juga dinilai sebagai proses pemudaran sistematis nilai-nilai
demokrasi lokal itu sendiri.
Minangkabau dan Budaya Demokrasi
Minangkabau sejak lama dikenal sebagai
daerah yang memiliki budaya politik yang
relatif sejalan dengan nilai-nilai demokrasi modern. Pepatah petitih
adat, umpamanya, mencerminkan budaya demokrasi hidup dalam masyarakat. Salah
satu contohnya tercermin dalam pepatah duduak samo randah tagak samo tinggi
(duduk sama rendah tegak sama tinggi) yang merefleksikan egaliterianisme
masyarakat Minang.
Praktik kehidupan sosial sehari-hari di
Minang juga mencerminkan adanya budaya demokrasi. Antara pemimpin dengan rakyat
tak terlalu berjarak. Alkisah, seorang
profesor Malaysia masygul saat berkunjung ke Universitas Andalas beberapa waktu
lalu karena ia melihat begitu dekatnya jarak antara pimpinan kampus, guru besar
atau dosen dengan mahasiswa, suatu keadaan yang (paling tidak untuk hal itu)
relatif berbeda dengan di negeri jiran tersebut. Padahal tak perlu heran,
karena dalam konsep adat Minang, pemimpin itu hanya ditinggikan sarantiang
didaulukan salangkah (ditinggikan seranting didahulukan selangkah).
Argumen lain, beberapa tokoh peletak
dasar nilai demokrasi dalam Konstitusi RI juga berasal dari Minang. Tokoh-tokoh
nasional dan pejuang kemerdekaan RI dari tanah Minang tak hanya mengadopsi
(sebagian) nilai-nilai demokrasi Barat ke dalam sistem ketatanegaraan, tapi
juga menggali dan memadukannya dengan nilai-nilai demokrasi yang berkembang di
tanah leluhurnya (Minang). Sistem demokrasi dengan musyawarah mufakat,
misalnya, pada dasarnya kombinasi nilai demokrasi Barat dengan nilai-nilai
budaya lokal, termasuk Minang.
Dalam sistem pemerintahan lokal,
kondisinya juga relatif demokratis. Dalam sejarahnya, etnis Minang tak mengenal
adanya sistem kerajaan yang identik dengan feodalisme dan otokratisme itu.
Minangkabau justru adalah federasi nagari-nagari yang tak ubahnya seperti
republik-republik kecil. (Yunus, 2004). Sebuah kerajaan yang berpusat di
Pagaruyung, Batusangkar memang sudah
eksis sejak pra-kolonial, tapi hal itu lebih sebagai simbolisasi etnik belaka.
Penguasa istananya disebut Raja Pagaruyung, bukan Raja Minangkabau. Kekuasaan
Raja pun abstrak. Nagari-nagari tidaklah tunduk kepada Raja Pagaruyung.
Nagari-nagari inilah basis bagi
berkembangnya nilai-nilai demokrasi di Minangkabau. Kehidupan masyarakat
berlangsung relatif harmonis dan egaliter. Pemimpin pemerintahan yang dijabat
wali nagari dipilih lewat wakil-wakil rakyat di legislatif nagari. Sedangkan
otoritas adat dan tradisi dipegang Kerapatan Adat Nagari. Pada tahap ini
kearifan-kearifan lokal, seperti tradisi musyawarah mufakat, masih tertanam
kuat dalam proses relasi sosial dan politik di nagari.
Namun pada masa Orde Baru sistem
pemerintahan nagari dihapuskan, digantikan model pemerintahan desa, (dipaksa)
meniru sistem pemerintahan di Pulau Jawa. Setiap nagari dipecah menjadi
beberapa desa. Kebijakan ini membuat kesatuan masyarakat adat pun menjadi
terpecah. Kepala-kepala desa yang dipilih biasanya lebih cenderung sebagai
“titipan dari atas”. Kepala-kepala desa itu berafiliasi langsung ke Golkar,
parpol pemerintah yang selama 32 tahun menguasai seluruh aspek kehidupan sosial
dan politik di negara kita.
Pada awal masa reformasi, sistem
pemerintahan nagari dikembalikan. Namun model pemilihan wali nagari berubah
total dari sistem perwakilan ke sistem langsung. Implementasi sistem demokrasi
langsung di nagari bahkan mendahului implementasi demokrasi langsung secara
nasional pada Pilpres yang baru dimulai tahun 2004 maupun pilkada tahun 2005.
Masalahnya kemudian, nilai musyawarah
mufakat yang menjadi salah satu inti demokrasi perwakilan di Minang memudar
secara signifikan. Nilai-nilai demokrasi liberal secara perlahan menggeser
nilai kekerabatan yang menjadi dasar relasi sosial di nagari dan kaum di
Minang. Tak hanya itu, demokrasi liberal (setidaknya yang hingga kini
terimplementasikan pada berbagai tingkatan), juga membuka sejumlah distorsi
berupa korupsi politik (dengan segala bentuknya) yang membuat proses politik
pada aras lokal menjadi jauh lebih mahal.
Sekalipun demikian, demokrasi liberal
juga memberi peluang yang relatif setara dan terbuka kepada semua kalangan
masyarakat dalam mewujudkan partisipasi politiknya. Jika pada sistem perwakilan
peluang perempuan menjadi wali nagari (misalnya) nyaris nihil, karena kuatnya
patriarkisme politik elit lokal. Namun dengan pemilihan langsung, peluang
perempuan menjadi terbuka. Beberapa nagari di Minangkabau dewasa ini dipimpin
Bundo Kanduang (sebutan tradisional untuk pemimpin perempuan).
Liberalisasi politik di ranah Minang
dewasa ini tak muncul dengan sendirinya. Dinamika politik lokal ini juga
dipengaruhi perkembangan eksternal, sejalan proses demokratisasi dan liberalisasi
ekstrem yang terjadi di Indonesia pasca-Orde Baru. Angin demokrasi liberal
dewasa ini, dalam batas tertentu, telah menerpa hampir seluruh pelosok
Nusantara.
Kalau
kini muncul kerisauan beberapa kalangan di Minang (termasuk yang bermukim di rantau) melihat
tendensi penggerusan nilai-nilai budaya lokal yang positif, seperti
musyawarah-mufakat, pola kekerabatan harmonis dan sistem sosial yang
mempertahankan kohesi masyarakat, hal itu tentu
mesti menjadi catatan khusus para pemimpin dan cendekiawan.
Sintesis demokrasi lokal di Minang
haruslah mendorong atau memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat,
bukan malah sebaliknya. Sistem politik yang dilahirkan dan dipakaikan, juga
mestilah menjamin terserapnya nilai-nilai baru atau nilai lama dengan kulit
baru (termasuk yang datang dari luar) yang positif bagi kemajuan masyarakat
daerah dan bangsa secara keseluruhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar