OLEH Wahid Munfarid
Warga Kelurahan Cupak Tangah Kecamatan Pauh Padang
Tampaknya, wisuda merupakan
puncak keberhasilan dalam jenjang pendidikan perguruan tinggi dengan strata
tertentu, apakah itu tingkat sarjana, megister ataupun doktor. Seremonial wisuda
seakan telah menjadi tradisi sebagai bentuk perayaan atas keberhasilan ini.
Hampir semua universitas di dunia menyelenggarakannya. Dewasa ini tak hanya
perguruan tinggi saja, tingkatan pendidikan lebih rendah telah pula mengadopsi
tradisi wisuda, bahkan Taman Kanak-Kanak sekalipun. Meski dengan rangkaian
acara yang disesuaikan dengan pemahaman mereka.
Akan tetapi, sebagai
muslim yang meyakini Allah sebagai ilah dan Muhammad sebagai penutup para nabi
dan rasul-Nya, kita mengamini bahwa Islam merupakan ajaran yang sempurna dan
menyeluruh. Segala hal telah ada ketentuannya dalam agama ini, yang jika
diamalkan dengan ikhlas dan teguh akan mengantarkan manusia kepada kehidupan
yang berkeadilan dan sejahtera. Dalam tradisi seremonial wisuda yang biasa
dilakukan itu, ada beberapa hal yang patut diperhatikan. Di antaranya yang
paling nyata adalah, pertama, toga—pakaian seragam—yang digunakan pada
seremonial wisuda baik oleh para
wisudawan/wati maupun para pejabat yang terlibat, seperti rektor, senat
universitas, guru besar dan lainnya. Pakaian ini juga mirip dengan apa yang
dikenakan oleh para hakim yang bekerja di pengadilan dalam suatu persidangan
ataupun oleh para hakim pada Mahkamah Konstitusi, walau tanpa tambahan topi.
Jika coba
ditelusuri asal muasal dan sejarah pakaian ini maka akan sampai pada suatu
kesimpulan bahwa pakaian seperti ini berasal dari sejarah peradaban Barat—dalam
hal ini Romawi—dan kemudian menjadi tradisi para sarjana Barat—Kristen. Dalam Livius, Titus (ca. 1st century
BC) “Book III: The Decemvirate” Bab 26 disebutkan bahwa, “The toga was based on a dress robe used by
native people, the Etruscans who lived in Italy since 1200 B.C, although it
usually is linked with the Romans. The toga was the dress clothing of the
Romans: a thick woolen cloak worn over a loincloth or apron. It is believed to
have been established around the time of Numa Pompilius, the second King of
Rome. It was taken off indoors, or when hard at work in the fields, but it was
considered the only decent attire out-of-doors. This is evident from the story of
Cincinnatus: he was ploughing in his field when the messengers of the Senate
came to tell him that he had been made dictator, and on seeing them he sent his
wife to fetch his toga from the house so that they could be received
appropriately.”
Penting diingat
dalam sejarahnya para sarjana Barat berasal dari kalangan gereja. Karena memang
dalam tradisi Kristen, yang mempunyai akses pada ilmu pengetahuan adalah
kalangan agamawan. Jika dicermati, sampai sekarang kalangan gereja masih
mempertahankan bentuk pakaian seperti ini. Begitu pula dengan tongkat khusus
yang digunakan sebagai aksesoris selama resepsi wisuda oleh beberapa kalangan
elite perguruan tinggi. Ini benar-benar merupakan tradisi gereja jika dilihat
dari bentuk tongkat itu.
Sebuah hadis yang
diriwayatkan Bukhari, hadis nomor 7319, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi bersabda,
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku
mengikuti jalan generasi sebelum mereka, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi
sehasta.” Lalu ada yang bertanya, ‘Seperti orang-orang Persia dan Romawi?’ Beliau
bersabda,”Di antara manusia, siapa lagi kecuali mereka?”
Kedua,
berdirinya para hadirin pada saat-saat tertentu, seperti di waktu rektor
memasuki ruangan dan berdiri manakala menyanyikan lagu kebangsaan. Lagi-lagi
ini bukanlah tradisi Islam, tapi diambil dari tradisi orang-orang Persia
(Majusi) dan Romawi (Kristen).
Seperti diisyaratkan
dalam satu hadis riwayat Muslim,
hadis nomor 413, dari Jabir ibn ‘Abdillah, ia berkata, “Rasulullah tengah
menderita sakit, maka kami mengerjakan
salat di belakang beliau sementara beliau mengerjakannya sambil duduk. Abu
Bakar memperdengarkan takbir beliau kepada para makmum. Beliau menoleh ke arah
kami dan melihat kami yang sedang berdiri. Maka, beliau mengisyaratkan agar
kami duduk, lalu kami pun duduk. Maka kami mengerjakan salat bersama beliau
sambil duduk. Setelah mengucapkan salam, beliau bersabda: ‘Hampir saja tadi
kalian melakukan perbuatan orang-orang Persia dan Romawi. Mereka berdiri atas
raja-raja mereka.
Dari hadis di atas
sangat jelas bahwa terlarang untuk berdiri menghormati para pembesar, ataupun
orang-orang yang diagungkan. Dan ini juga merupakan perbuatan para penguasa
yang sombong dan para pejabat yang angkuh.
Juga penting untuk
disimak apa yang ditulis Bukhari
dalam al-Adaab al-Mufrad hadis
nomor 977 dan al-Albani
mengatakan, “Shahiih” dari Mu’awiyah, Nabi bersabda: “Sesiapa
yang menyukai hamba-hamba Allah berdiri menghormatinya maka hendaklah ia
menyiapkan rumahnya dalam neraka”.
Atau menurut lafaz Abu Daud dalam Sunan-nya hadis
nomor 5229 dan al-Albaniy
mengatakan, “Shahiih” masih dari Mu’awiyah, Nabi bersabda: “Sesiapa
yang menyukai orang-orang menghormatinya sambil berdiri maka hendaklah ia
mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka.”
Ketiga,
adanya nyanyian-nyanyian yang dibawakan dengan hymne (senandung), seperti
dalam nyanyian hymne universitas setempat maupun hymne universitas sedunia.
Padahal hymne itu sendiri dalam sejarah
Yunani kuno selalu didentikkan dengan kegiatan sakral kepada para dewa dan juga
diadopsi oleh gereja yang menjadikan nyanyian dengan senandung ini sebagai
bagian dari peribadatan mereka. Lebih-lebih lagi tatkala para petinggi
universitas memasuki dan meninggalkan ruangan diiringi oleh nyanyian
tertentu—Gaudeamus Igitur. Tidak diragukan lagi bahwa, umat Islam dilarang
untuk meniru-niru kebiasaan agama lain, apalagi hal itu merupakan bentuk
peribadatan mereka.
Keempat,
adanya suatu prosesi di mana pihak yang ditunjuk seperti rektor, guru besar,
dekan atau pejabat perguruan tinggi lainnya memindahkan jambul yang ada pada
topi toga wisudawan/wati dengan posisi tertentu. Ini juga merupakan bukan
tradisi Islam dan sangat jelas bahwa hal ini mirip dengan cara pemberkatan para
pendeta dan juga Paus kepada jemaatnya, serta cara pemberkatan oleh para rabi
Yahudi, seperti pemberkatan pada para tentara Israel yang akan berperang dan
menjajah di Palestina.
Banyak hal tentang
seremonial wisuda yang mesti dibedah dengan kaca mata Islam. Namun dari empat
hal sederhana di atas, sangat mudah dipahami bahwa seremonial wisuda seperti
yang selama ini dikenal bukan berasal dari ajaran Islam, tidak pula dari
tradisi keilmuan kaum muslimin. Bahkan begitu terang lagi nyata semua hal itu
merupakan kebiasaan-kebiasaan yang ada pada kaum bukan Islam. Terlihat dari
sangat kentalnya unsur-unsur keagamaan dan tradisi kaum bukan Islam yang
mengiringi rangkaian acara pada seremonial wisuda.
Untuk itulah, sudah
sepatutnya bagi kaum muslimin untuk tidak mengikuti, menghadiri, atau terlibat
dalam bentuk apapun dalam acara-acara sedemikian. Karena telah tetap pada agama
Islam, seperti hadis Nabi S.A.W yang sudah sangat terkenal di semua lapisan
masyarakat Islam bahwa, “Sesiapa yang meniru suatu kaum (dalam hal-hal yang
menjadi ciri khas kaum tertentu) maka dia termasuk dari kaum (yang ditirunya)
itu”
Pun telah menjadi
ketetapan bahwa Islam menyerukan pemeluknya untuk menyelisihi dan berbeda dengan kaum-kaum sebelum mereka.
Seperti kaum lelaki untuk memanjangkan jenggot dan memendekkan kumis, kepada
kaum wanita diperintahkan untuk mengenakan jilbab. Bahkan umat Islam juga
dianjurkan berpuasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram) di mana orang-orang
Yahudi juga berpuasa pada hari itu. Namun Islam memberikan kekhasan pada kaum
muslimin agar mereka juga berpuasa pada hari setelah atau sebelumnya untuk menyelishi
kaum bukan Islam tersebut.
Seyogyanya, wisuda
sebagai luahan kegembiraan, sepatutnya dihiasi dengan penuh kesyukuran. Susah
payah selama perkuliahan paling tidak terbayarkan dengan gelar yang diraih.
Tugas ke depan adalah bagaimana ilmu yang digeluti di bangku perguruan tinggi selama
ini dapat bermanfaat untuk kemaslahatan umat. Bukan malah dihiasi dengan
sesuatu yang bertentangan dan melanggar
nilai-nilai luhur agama Islam.
Mungkin inilah masa
seperti yang diisyaratkan oleh sebuah hadis dari Abu Sa’id Al Khudri dalam Shahiih
al Bukhaariy, hadis nomor 7320, “Kalian pasti akan mengikuti cara-cara
orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.
Bahkan jika mereka masuk ke lubang biawak sekalipun, kalian pasti akan mengikuti
mereka’. Kami (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah mereka
Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Siapa lagi?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar