OLEH Bre Redana
Wartawan KOMPAS
Pertunjukan Teater Sign Out karya Kurniasih Zaitun |
Saya ingin menekankan pertama kali
bahwa sebuah pertunjukan kesenian hanya ada arena ada penontonnya, ada
khalayaknya. Tontonan ada karena ada penontonnya. Ini akan membawa konsekuensi
lanjut yang akan saya uraikan kemudian.
Di sini saya hanya ingin menekankan
untuk pertama, bahwa kesenian tidak lahir dari sebuah vacuum atau ruang kosong. Oleh karenanya, perhatian terhadap masyarakat
atau khalayak pendukungnya, bagi saya tak kalah penting dari proses lahir dan
perwujudan karya itu sendiri.
Utamanya para penggagas kebudayaan
kontemporer yang di beberapa tempat dikenal dengan bidang stu-dinya yakni
cultural studies, bahkan kemudian banyak yang mencoba menelusuri liku-liku
lahirnya karya seni itu, taruhlah kemudian kalau kita nanti memo-kuskan diri
pada seni pertunjukan. Janet Wolff (1981) menguraikan sekaligus menyebutnya
dengan istilah “The Social Production of Art”.
Di situ intinya dia hen-dak
menjelaskan tidak adanya ruang kosong pada ke-senian tadi. Karya seni (art
work) lahir dari sebuah pro-ses sosial, dan di situ terlibat banyak extra-esthetic elements atau
elemen-elemen ekstra estetik yang harus ikut dilibatkan dalam penilaian sebuah
karya.
Untuk jelasnya, di situ dia
mencontohkan, taruhlah film. Meski film
adalah produk dari sutradara, namun di situ ada juru kamera, aktor, penulis
naskah, dan banyak lagi di dalam proses produksi itu.
Begitu pula pada “seni pertunjukan”
(performance art, saya mendu-dukannya dalam konteks lebih mutakhir), meski agak
berbeda dari produk-produk kebudayaan masa umum-nya, tapi ada hal-hal yang
hampir sama. Kesamaannya sebagail produk kolektif tadi adalah dia bisa sebuah
drama yang ditulis mungkin oleh Brecht, Rendra, Wisran Hadi, dalam realisasinya
lalu melibatkan pemusik, penari, aktor dan lain-lain. Bahkan kemudian
pe-ngertian seni sebagai produk sosial bisa lebih luas dari itu.
Ia dikondisikan, oleh misalnya
temuan-temuan teknologi, taruh kata teknologi tata lampu, tata suara, untuk
perupa juga cat minyak, akrilik, dan lain-lain. Itu cuma contoh, dari sebuah
landasan pemikiran yang bisa menyentuh masalah lebih luas lagi.
Dalam uraian pemikiran yang lain
lagi ini masih se-bagai contoh, Howard Becker misalnya (1982), hal seperti di
atas menjelaskan keterberkaitan sebuah produk kesenian dengan proses sosial
secara menye-luruh.
Bahkan para pencipta yang
diistilahkan sebagai “fine artist” juga melahirkan karyanya dalam jaringan
relasi-relasi sosial yang telah ada. Pelukis misalnya, membutuhkan cat, kanvas,
pelet, dan lain-lain. Untuk seseorang yang hendak menjadi profesional butuh
pendidikan, oleh karenanya dibutuhkan suatu lem-baga pendidilkan, suatu
sekolah.
Kembali ke contoh pelukis, dalam
perjalanan karyanya nanti dibutuhkan art dealers atau juragari kesenian,
kritikus, media massa, kurator, galeri, museum, dan lain-lain. Di sini baik
Wolf mau pun Becker sama-sama hendak menolak sebuah romantisme, bahwa sebuah
karya kesenian lahir dari sebuah proses isolasi, seorang seniman kerja
sendirian terlepas dari lingkungan sosialnya.
Nah, begitu pula pada seni
pertunjukan. Saya kurang tahu pada wilayah mana kita berhadapan dengan seni
pertunjukan ini, namun konsekuensi dan tuntutan-nya niscaya akan sama saja.
Maksud saya apakah seni pertunjukan dimaksud adalah seni pertunjukan ke-senian
rakyat yang begitu banyak ragamnya di Indonesia, ataukah seni pertunjukan
sebagai istilah yang amat khusus, untuk mengindonesiakan performance art, yang
merupakan bagian dari ekspresi seni kontemporer.
Toh tuntutannya sama saja, delam
arti untuk memahami sebuah kesenian rakyat yang ditampilkan di tempat
pertunjukkan yang elok di Bukittinggi setiap malam itu, kita perlu mengenal
lebih jauh struktur dan budaya masyarakat yang melahirkan karya-karya itu?
Tanpa itu, kita hanya melihat orang yang bergerak seperti gerakan bela diri,
menginjak-injak pecahan kaca tanpa alas kaki menjadi terluka, dan seterusnya.
Kesenian sebagai inspirasi kehidupan
akan terpa-hami kalau kita kemudian juga kenal tentang tradisi silat Sumatra
Barat, asketisme di baliknya, teknik mengatur pernapasan yang seolah tidak
berhenti dalam meniup seruling bambu yang baik bagian bawah mau pun atasnya
berlubang, kehidupan yang terus mengair bersama tiupan saluang itu begitu pula
kalau saya me-nyodorkan sebuah seni pertunjukan rakyat dari daerah pedalaman di
Jawa, dari hutan-hutan jatinya, berupa pertunjukan tayub.
Tanpa memahami konteks sosial-nya,
Anda hanya akan melihat wanita berkain, ber-kembang, menari-nari tanpa tenaga
seperti penari di Bukittinggi, dengan punggung berkilat karena keringat,
sorotan penuh nafsu dari para lelaki yang di-ajak menari oleh para penari tayub
itu, dan lain-lain.
Hanya saja, dari situ sebetulnya
kosmologi masyarakat pedalaman Jawa di hutan jati itu, mengenai ritus
keper-cayaan mereka pada kesuburan tanah, resepsi yang per-nah mereka alami,
dan lain-lain. Kadang terasa mudah memetakan semua itu, atau sebaliknya, kadang
itu justru merupakan pekerjaan yang amat sulit.
Pada seni modern, ketika kita
berhadapan dengan drama-drama modern, mungkin kita terbantu dengan
referensi-referensi kita, misalnya Stanilvsky atau pun Brencht. Bagaimana
dengan pertunjukan di kawasan-kawasan lain. Yang tidak berada dalam wilayah
mo-dernisme, taruh dalarn wilayah tradisional, atau bahkan pada wilayah yang
sering diistilahkan orang sebagai pascamodernisme?
Persoalan terakhir itu bagi saya
sendiri merupakan persoalan yang rumit. Banyak contoh dari seni-seni masa kini
yang kelihatannya makin sulit dipahami de-ngan referensi-referensi yang pernah
tersedia.
Lebih rumit lagi, di tengah
perkembangan zaman geraknya luar biasa cepat ini, ilmu-ilmu yang berhubungan dengan
art and humanities di Indonesia juga kurang berkembang, kalah jauh
dibanding dengan yang terjadi di banyak negara lain. Padahal, itulah
kerangka-kerangka yang bisa membantu kita untuk memahami dinamika zaman ini.
Itu semua bagi saya hanya akan
sampai pada kesim-pulan: bahwa kita memang harus bekerja keras, tidak ada
sesuatu yang bisa kita terima dengan taking for granted.
Disampaikan dalam Workshop
Jurnalistik Kesenian dan Kebudayaan, Dewan Kesenian Sumata Barat di Taman Hutan
Raya Bung Hatta, Padang, tanggal 25-27
Maret 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar