OLEH Anas
Nafis
Melihat kian susutnya kekuasaan dan kebesaran
penghulu, demikian pula hubungan mamak dengan kemenakan yang kian merenggang,
ditambah lagi masalah hutan tanah dari waktu ke waktu bertambah ruwet, lalu pada
tahun 1910 atas inisiatip Gubernur Sumatra’s Westkust, diadakanlah pertemuan
dengan sejumlah tokoh masayarakat terkemuka Minangkabau di kota Fort de Kock memperbincangkan
masalah tersebut.
Seorang penghulu, selain mahir Adat Istiadat
dituntut pula pacak berpidato. Tanpa kemahiran demikian ia tidak mungkin dan
tidak boleh memangku jabatan tersebut.
Masa ini boleh dikatakan tidak seperti jaman itu
lagi. Orang yang tidak mahir adat istiadat Minangkabau dan tidak tahu pula berpidato,
bisa saja dilewakan jadi penghulu, asalkan yang bersangkutan kaya, berkedudukan
baik dan terpandang pula di masyarakat.
Bahkan orang yang sama sekali tidak “bertali darah dan
harta”, dicarikan jalan agar dapat dilewakan menjadi penghulu. Sudah barang
tentu ada syaratnya, bak kata orang sekarang “ada maunya”.
Bukan itu saja, kini ada pula birokrat yang
seharusnya menjadi ujung tombak baliak ka
nagari, mengambil alih tugas yang seharusnya dilakukan oleh penghulu di
nagari. Misalnya, melekatkan agun-agun untuk
sekelompok calon penghulu di kantor dinasnya ! Ini kan rancu.
Kita jadi bertanya-tanya, sejak kapan seorang
pejabat mengambil alih tugas penghulu di nagari dalam malewakan seorang penghulu. Konon pula beberapa orang sekali lewa. Kalau dikatakan cara itu menurut adat,
adat mana dan dari daerah mana yang ia lakukan. Kalau dikatakan Adat
Minangkabau, pasti tidak. Sebab malewakan
penghulu adalah oleh penghulu nagari yang bersangkutan dilakukan di rumah dan
dihadapan kaum yang bersangkutan.
Tidak ada protes dari tamu yang ikut hadir dalam
acara palewaan tersebut. Semua tenang-tenang
saja. Jika ada yang mulai bertepuk, yang lain ikut bertepuk tangan pula meramaikan.
Mungkin orang enggan mengingatkan atau mungkin juga
di antara tamu yang hadir banyak yang tidak tahu apa-apa tentang tata cara malewakan
seorang penghulu.
Barangkali pula di antara tamu yang hadir ada yang
mengerti, namun bersikap masa bodo.
Kita teringat ungkapan yang mengatakan, “kemanakan
beraja kepada mamak, mamak beraja kepada penghulu dan penghulu beraja kepada mufakat”.
Apakah ungkapan yang begitu indah dan bagus itu masih relevan diberlakukan
terhadap “penghulu “ semacam itu.
Apakah para kemenakan yang “makan sekolahan” menghargai
penghulunya yang berprilaku seperti demikian ?
Kalau palewaan
sudah melanggar aturan atau para penghulu tidak
taguah di adat lagi, apa pula yang diharapkan dari penghulu-penghulu semacam
itu. Demikian pula ka pai tampek batanyo,
ka pulang tampek babarito atau kamanakan
saparentah mamak, sudah tidak ada artinya lagi.
Kita sering mendengar cerita miring atau kesemrawutan
urusan harta pusaka. Bahkan kekacauan itu banyak pula berujung di pengadilan. Kalau
sudah demikian, peran ninik mamak yang seharusnya “kusut menyelesaikan”, sirna
sudah.
Bagaimana pula dalam urusan perkawinan. Sudah lumrah di negeri berfilosifi
ABS–SBK ini, teristimewa di daerah perkotaan, sang mamak baru diberitahu bilamana
masalah menjodohan sang kemenakan sudah matang.
Banyak yang
Sudah Berubah
Jaman beralih musim berkisar, telah banyak
perubahan yang terjadi, termasuk pemerintahan di nagari. Misalnya,
Di jaman
penjajahan dulu, anggota Kerapatan Nagari ialah para penghulu nagari tersebut, ditambah
cerdik pandai dan orang tua-tua nagari itu.
Sekarang Kerapatan
Nagari model lama itu sudah tidak ada lagi. Yang ada sekarang ialah susunan Pemerintahan
Nagari yang diatur Perda No. 9 tahun 2000.
Menjelang Perang
Dunia II, susunan Pemerintahan Nagari diatur menurut Inlandsche Gemeente
Ordonnantie Buitengewesten (IGOB) No. 490 – 1938.
Sekarang susunan
dewan perwakilan rakyat yang disebut Dewan Perwakilan Anak Nagari (DPAN) diatur
dengan Peraturan Daerah (Perda) No. 9 Tahun 2000.
Kalau dahulu putusan
Kerapatan Nagari berdasarkan “musyawarah mufakat”, artinya mereka bermusyawah,
lalu sepakat bulat seratus prosen.
Sekarang putusan
Kerapatan Nagari yang bernama Dewan Perwakilan Anak Nagari berdasarkan suara
anggota kerapatan yang terbanyak.
Di jaman
penjajahan dahulu yang memimpin Kerapatan Nagari ialah engku Kepala Nagari yang
dipilih di antara anggota Kerapatan Nagari atas petunjuk Pemerintah Belanda
yang berkuasa.
Sekarang yang
mengepalai Pemerintah Nagari disebut Wali Nagari yang dipilih langsung oleh
warga masyarakat nagari.
Dahulu di setiap nagari tidak ada partai-partai atau LSM yang menjamur
seperti sekarang.
Sekarang partai-partai sudah menjamur
sejak munculnya Dekrit Wakil Presiden Moh. Hatta pada tanggal 3 November 1945.
Kini sudah merupakan hal biasa, bila
sang mamak berseberangan. dengan sang kemenakan. Misalnya masing-masing lebih
mendahulukan partai atau organisasi yang dijagokan. Akibatnya masalah ini
berimbas pula dalam urusan kaum mereka sendiri.
Juga yang disebut Pemerintahan Nagari,
tidaklah sama dengan bentuk Pemerintahan Nagari masa lampau. Demikian pula pemilihan
Wali Nagari dan anggota Dewan Pewakilan Nagari sekarang, tidak luput dari
pengaruh pemerintah dan partai yang menjagokan.
Jika kita bersikeras hendak menegakkan
atau mempertahankan adat lama pusaka usang yang amat berjaya di masa lampau,
apakah akan berhasil tanpa memperhitungkan realita dan tantangan kehidupan masa
kini yang kian mengglobal ? Misalnya dengan memperkuat posisi dan kekuasaan
penghulu di nagari ? Mungkinkah itu ? Bukankah sama saja artinya
memutar-balikkan jarum jam.
Sudah dari Dahulu
Sebenarnya susutnya kekuasaan dan kebesaran penghulu
Minangkabau, renggangnya hubungan mamak
dengan kemenakan, termasuk kesembrautan urusan harta pusaka, sudah dicermati oleh
orang Belanda seabad yang silam atau hampir seratus tahun yang lalu !
Pada tanggal 24 Desember 1910 berlangsung pertemuan
pemuka masyarakat se – Minangkabau di Fort de Kock atas gagasan Gubernur
Sumatra’s Westkust (Sumatera Barat).
Pertemuan yang diprakasai pemerintah itu dihadiri antara
lain oleh Gubernur Sumatera Barat, Asisten Residen L.C. Westenenk, pejabat
pemerintah terkemuka lainnya serta pemuka anak negeri seperti Tuanku Laras
terpilih, Guru Nawawi dan lain-lain. Di antara Tuanku Laras yang diundang
ialah,
Untuk Kota Padang (Penghulu
kepala dari Wijk III & Wijk IX)
Untuk daerah Agam (Guru
Nawawi gelar Soetan Makmoer (guru Sekolah Raja Fdk), Tuanku Laras IV Koto, Tuanku
Laras Tilatang, Tuaku
Laras VII Lurah, Untuk Daerah Tanah Datar (Tuanku
Laras Rao-Rao, Tuanku Laras Salimpaung
Tuanku
:aras Sijunjung, Tuanku
Laras Padang Sibusuk)
Untuk Daerah Lima Puluh Koto (Tuanku Laras Sungai Beringin, Tuanku Laras Guguk, Tuanku
Laras Limbukan, Tuanku
Laras Koto Laweh)
Untuk Daerah Batipuh & X Koto (Tuanku Laras Simawang, Untuk
Daerah XIII & IX Koto, Tuanku
Laras IX Koto, Tuanku Laras III Koto, Penghulu
Kepala Abai)
Untuk
Daerah Lubuk Sikaping (Tuanku
Laras Pasaman, Wakil Laras Lubuk Layang, Mantri Marah Sani gelar Sutan Maharajo
Untuk Daerah Pariaman (Tuanku Laras Pariaman, Tuanku
Laras XII Koto)
Pertemuan tersebut didahului pidato tuan Gubernur,
kemudian tampil Assistent Resident ter beschikking
L.C. Westenenk melemparkan beberapa pokok persoalan penting yang telah
menggeroti adat lamo pusako usang
Minangkabau ke tengah sidang. Antara lain dikatakan:
Adat Mamak Bakamanakan
Keadaan adat mamak bakamanakan, masih teguh jugakah
atau tidak lagi. Hal melebihi
anak dari kamanakan. Terasakah
bagi sekalian orang Minangkabau bahwa patut dirubah adat berkemenakan itu. Perubahan itu patut diatur atau dibiarkan saja sekarang,
bagaimana jadinya nanti. Yang mana yang patut dirubah.
Adat Penghulu
Kekuasaan dan kebesaran Penghulu tetap atau susut
dari dahulu. Apa sebabnya maka susut? Patutkah
dan mungkinkah dikuatkan kembali kekuasaan penghulu, supaya nagari dapat
berdiri sendiri. Artinya supaya dapat nagari manjalankan peraturan mamalihara
dirinya dengan pertolongan Pemarintah.
Hal Parakaro Hutan Tanah
Elok
buruknya adat harta pusaka. Patutkah
pusaka *dapat) dibagi oleh si waris atas sekata atau tidak? Kalau patut, elok diatur bersama-sama. Atau elok dibiarkan
saja., bagaimana jadinya di kemudian hari?
Seratus tahun yang silam atau tepatnya tanggal 24
Desember 1910, Pemerintah Kolonial Belanda telah melihat berbagai kerancuan
adat Minangkabau masa itu, lalu mereka-reka bagaimana masa depan keberlangsungan
adat itu sendiri.
Jadi yang mengambil inisiatif ialah pemerintah dan
sudah pasti dijadikan masukan dalam membuat berbagai peraturan atau
undang-undang yang dijalankan di daerah ini.
Dalam rapat atau “seminar” tersebut muncul berbagai
tanggapan atau masukan yang diperlukan pemerintah, terutama mengenai keadaan
nagari dan kelarasan berkaitan issue yang dilemparkan Tuan Luak Malayu Si Teneang (Ass. Resident L.C. Westenenk).
Ada Tuanku Laras mengatakan bahwa di nagarinya
harta pencaharian ibu dan bapak, separuh untuk kemenakan dan separuh lagi untuk
anak. Beberapa nagari lain ada yang mengatakan sudah seratus persen untuk anak.
Namun yang penting dalam “seminar” masa itu ialah masalah
– masalah yang mungkin membawa akibat pada
masa yang akan datang. Ini sudah diperbincangkan secara serius oleh Pemerintah
Belanda.
Padang, 8
Februari 2006
Disadur dari: Adatrechtbundel VI – 1913. Serie H, Het Minangkabausche gebied No. 7. Tentang verslag rapat penelitian Hukum Adat. Di Fort de Kock – 1910.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar