Minggu, 05 Oktober 2014

PISAHKAN PENGELOLAAN DARI PARIWISATA: Ubah Pemahaman tentang Kebudayaan Terlebih Dahulu

OLEH Sudarmoko
Visiting Lecturer di Hankuk University of Foreign Studies Korea
DARI REDAKSI
Polemik tentang Perlu atau Tidak Perlunya Dinas Kebudayan
Tulisan Prof Dr Herwandi M Hum yang diturunkan pekan lalu di rubrik ini mengupas sengkarut masalah pengelolaan kebudayaan yang berada dalam satu dinas dengan pariwisata. Herwandi meminta agar kebudayaan dipisahkan dengan pariwisata dalam pengelolaannya. Artinya, pemerintah harus mendirikan Dinas Kebudayaan yang berdiri sendiri.
Berikut ini, tulisan Sudarmoko, pernah mengajar di Visiting Lecturer (dosen tamu) di Hankuk University of Foreign Studies Korea Selatan dan kini mengambil program Doktor di Leiden, Belanda.
Sudarmoko lebih menekankan pada aspek agar pemerintah memahami terlebih dahulu arti kebudayaan secara luas. Selamat mengikuti. ***

Sudarmoko
Setelah sekian lama kita merasakan berbagai program pembangunan, ada saatnya kita menilai apa yang sudah dijalankan. Sebagian besar program itu dijalankan oleh pemerintah, yang menjadi pihak bertanggung jawab untuk mengumpulkan dana dan mengalirkannya kembali pada masyarakat. Namun sayangnya, pembangunan masih didominasi oleh pandangan positivisme, melihat permukaan saja, yang tampak oleh mata dan dapat diukur dalam hitungan.
Pola pikir pemerintah, yang diwujudkan dalam berbagai departemen dan dinas mulai dari pusat hingga daerah, didasarkan pada hitung-hitungan, angka-angka pemasukan dan pengeluaran, target capaian. Ini berakibat pada lemahnya daya dan keinginan investasi, meskipun pemerintah sendiri selalu berusaha untuk menarik investasi. Investasi di sini dimaksudkan dalam konteks nilai kebudayaan, kenyamanan masyarakat, pelayanan, dan penyediaan fasilitas dan kebutuhan masyarakat.

Pola pikir itu juga terwujud, entah dirasakan atau tidak oleh pemerintah, bahwa nilai anggaran itu adalah uang mereka. Mereka yang mengatur biaya, anggaran proyek dan kegiatan, menentukan besaran, siapa yang akan diajak serta, dan sebagainya. Jadi, jangan bertanya soal transparansi anggaran, karena itu adalah rahasia perusahaan. Lalu di mana peran dan posisi masyarakat? Lho, memangnya siapa masyarakat?
Inilah yang tampaknya menjadi kecurigaan kenapa berbagai dinas dan instansi tidak menempatkan diri mereka pada posisi yang seharusnya, sebagaimana selalu dikoarkan, sebagai pelayan masyarakat, pengabdi masyarakat dan negara. Kemudian juga bagaimana menempatkan masyarakat sebagai pelaku dan sasaran dari program yang dirancang, termasuk menampung berbagai aspirasi sebagai program yang diajukan dan dilaksanakan.
Persoalan Besar
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang didiskusikan dalam forum ini juga menjadi perhatian yang harus dikaji lebih dalam. Dalam opini yang ditulis oleh Prof Herwandi, yang mengajukan sedikitnya lima persoalan besar yang dilakukan dan ditengarai menghancurkan kebudayaan, patut didalami, meskipun persoalan yang diajukan sudah sejak lama dimunculkan dan dikeluhkan. Persoalan pelik kebudayaan adalah bahwa kebudayaan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, sebagai pelaku kebudayaan itu. Alih-alih mengembangkan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata justru malah merusaknya, dengan berbagai program yang seakan-akan datang dari daerah asing, di luar kebudayaan yang harus dijaga dan dikembangkannya.     
Seperti yang sudah dikeluhkan banyak pihak, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata juga masih mematok program dan cara berpikir yang harus diukur dengan hitung-hitungan angka, meletakkan target dalam jarak yang dapat diketahui ukurannya. Sementara kebudayaan merupakan nilai dan proses yang terus menerus dikembangkan dan dipelajari, diciptakan dan disempurnakan secara berkesinambungan. Selain bidang kebudayaan, banyak jenis lapangan yang sama atau mirip dengan hal ini, misalnya masalah pendidikan atau agama. Perhatikan misalnya berita yang dirilis oleh beritadaerah.com (5/1/2011), yang memberitakan rasionalisasi anggaran dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi Sumatera Barat oleh Badan Anggaran DPRD Sumatera Barat, karena tidak menguntungkan secara ekonomis. Pada dinas itu, pengurangan anggaran didasarkan pada alasan yang biasanya diprogramkan dalam pengembangan pariwisata: “Kemudian pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata bisa dihemat anggaran mencapai Rp2,56 miliar hasil rasionalisasi kegiatan-kegiatan yang dinilai belum menyentuh kegiatan yang diusulkan Banggar terutama pada kegiatan promosi dan event-event yang belum perlu dilakukan karena tidak memberikan kontribusi pada peningkatan ekonomi daerah.”
Urusan kebudayaan yang melekat pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, ditilik dari kapasitas dan pengalaman yang sudah berlangsung, tidak memberikan sumbangan yang berarti. Selain program yang secara langsung dijalankan oleh unit-unit atau instansi yang secara langsung bersentuhan dengan kebudayaan, secara umum tidak ada yang menjangkau arti sesungguhnya dari kebudayaan yang hidup dalam masyarakat. Acara-acara dan program malah berususan dan terfokus pada acara artificial, seperti lomba, kontes, festival, dan sebagainya. Padahal, kebudayaan yang sudah dibicarakan dalam artikel terdahulu berada dan berproses dalam kegiatan sehari-hari, dalam lingkungan masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri.
Bicara soal kapasitas, dalam sebuah kesempatan pendataan seni budaya Sumatra Barat yang diadakan oleh DKSB, saya menemukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata di salah satu kabupaten di Sumatra Barat yang digabung dan dikepalai oleh pejabat di Dinas Perhubungan. Lalu apa yang diprogramkan oleh para pemangku yang tidak memiliki kapasitas dalam bidang yang diasuhnya? Atau bagaimana memandang kebudayaan, tanggung jawab, dan konsekwensi dalam pengembangan kebudayaan.
Idealnya memang penganggaran, program, dan kegiatan yang dilaksanakan dalam bidang kebudayaan ini memiliki bangunan desain yang sama. Tidak bergantung pada bidang pariwisata, meskipun satu atap. Kata penghubung ‘dan’ pada nama dinas itu tentu saja mengindikasikan dua hal yang sama, dan masing-masing berdiri dan memiliki ruang lingkup yang berbeda. 
Pemisahan Kebudayaan dari Pariwisata?
Usulan untuk memisahkan kedua bidang ini sudah mengapung sejak lama, baik berupa rekomendasi dari seminar, kongres, dan sebagainya. Masalahnya adalah apakah dengan pemisahan ini akan membuat pengembangan kebudayaan menjadi lebih baik?
Saya pikir selama pola pikir dan orientasi pemerintah dalam bidang kebudayaan masih dengan pola yang lama, mendasarkan program pada hitung-hitungan angka, positivisme, material, dan artificial, apapun rencana yang dilakukan belum akan mencapai tujuan yang ideal. Apa lagi pemisahan ini tentu saja harus dirumuskan dan dilakukan mulai dari tingkat yang tertinggi hingga yang terendah.
Perbaikan yang harus dijalankan adalah mengubah pola pikir ini. Jika pun masih digabung, kebudayaan harus dipahami oleh semua pihak, terutama pemerintah dan lembaga legislatif sesuai dengan arti dasarnya. Jika ini dilakukan, tentu program dan anggaran dapat dilakukan dengan membuat rancangan besar yang kemudian diterjemahkan dalam kinerja seluruh bidang yang bertanggung jawab terhadap kebudayaan. Rancangan besar ini kemudian dapat diterapkan di setiap daerah, dengan memperhatikan kondisi dan kekayaan budaya yang ada di masing-masing daerah itu. Gerakan program seperti ini tentu akan memobilisasi potensi budaya yang ada, menggairahkan kebudayaan dalam arti yang seluas-luasnya, dan menghidupkan keragaman budaya di setiap daerah dengan komunikasi dan kerja sama dengan daerah-daerah lain.
Saya kira besaran anggaran kebudayaan akan serupa dengan kebijakan bidang pendidikan, yang sudah diatur 20% dari APBN dan APBD. Karena yang diurus adalah kebudayaan, yang melekat pada manusia dan masyarakat di setiap daerah. Tetapi ini akan sangat sulit, untuk mengubah pemahaman dan pola pikir, seperti dalam berita yang dikutip di atas. Tetapi tentu saja bukan sesuatu yang tidak mungkin untuk dilakukan.

Khusus untuk Sumatra Barat, dengan kekayaan budaya yang sangat besar, masalah ini harus ditanggapi dengan baik. Sudah banyak kajian, publikasi, prestasi, karya, dan pemikiran budaya yang lahir dan hadir di Sumatra Barat, sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Tanggung jawab pemerintah dalam bidang kebudayaan selama ini lebih banyak diambil alih oleh masyarakat, organisasi sosial, dunia akademik, dan sebagainya. Tak heran jika kemudian pemerintah lebih banyak memikirkan masalah pariwisata, yang berhubungan dengan keramaian, jumlah wisatawan, meresmikan pembangunan hotel atau tempat wisata, dan lain-lain. Sementara ruh kebudayaan menjadi terabaikan. Siapa yang peduli dengan grup-grup kesenian tradisional, upacara-upacara adat, konflik-konflik yang diakibatkan oleh kekaburan muatan filsafat adat dan budaya, dan juga segala potensi hilangnya budaya yang ada dalam masyarakat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...