OLEH Sudarmoko
Visiting Lecturer di Hankuk University of
Foreign Studies Korea
DARI
REDAKSI
Polemik
tentang Perlu atau Tidak Perlunya Dinas Kebudayan
Tulisan Prof Dr Herwandi M Hum yang diturunkan pekan lalu
di rubrik ini mengupas sengkarut masalah pengelolaan kebudayaan yang berada
dalam satu dinas dengan pariwisata. Herwandi meminta agar kebudayaan dipisahkan
dengan pariwisata dalam pengelolaannya. Artinya, pemerintah harus mendirikan
Dinas Kebudayaan yang berdiri sendiri.
Berikut ini, tulisan Sudarmoko, pernah mengajar di Visiting Lecturer (dosen tamu) di Hankuk University
of Foreign Studies Korea Selatan dan kini mengambil program Doktor di Leiden, Belanda.
Sudarmoko lebih menekankan pada aspek agar pemerintah memahami
terlebih dahulu arti kebudayaan secara luas. Selamat mengikuti. ***
Sudarmoko |
Setelah sekian lama
kita merasakan berbagai program pembangunan, ada saatnya kita menilai apa yang
sudah dijalankan. Sebagian besar program itu dijalankan oleh pemerintah, yang
menjadi pihak bertanggung jawab untuk mengumpulkan dana dan mengalirkannya
kembali pada masyarakat. Namun sayangnya, pembangunan masih didominasi oleh
pandangan positivisme, melihat permukaan saja, yang tampak oleh mata dan dapat
diukur dalam hitungan.
Pola pikir
pemerintah, yang diwujudkan dalam berbagai departemen dan dinas mulai dari
pusat hingga daerah, didasarkan pada hitung-hitungan, angka-angka pemasukan dan
pengeluaran, target capaian. Ini berakibat pada lemahnya daya dan keinginan
investasi, meskipun pemerintah sendiri selalu berusaha untuk menarik investasi.
Investasi di sini dimaksudkan dalam konteks nilai kebudayaan, kenyamanan
masyarakat, pelayanan, dan penyediaan fasilitas dan kebutuhan masyarakat.
Pola pikir itu juga
terwujud, entah dirasakan atau tidak oleh pemerintah, bahwa nilai anggaran itu
adalah uang mereka. Mereka yang mengatur biaya, anggaran proyek dan kegiatan,
menentukan besaran, siapa yang akan diajak serta, dan sebagainya. Jadi, jangan
bertanya soal transparansi anggaran, karena itu adalah rahasia perusahaan. Lalu
di mana peran dan posisi masyarakat? Lho,
memangnya siapa masyarakat?
Inilah yang
tampaknya menjadi kecurigaan kenapa berbagai dinas dan instansi tidak
menempatkan diri mereka pada posisi yang seharusnya, sebagaimana selalu
dikoarkan, sebagai pelayan masyarakat, pengabdi masyarakat dan negara. Kemudian
juga bagaimana menempatkan masyarakat sebagai pelaku dan sasaran dari program
yang dirancang, termasuk menampung berbagai aspirasi sebagai program yang
diajukan dan dilaksanakan.
Persoalan
Besar
Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata yang didiskusikan dalam forum ini juga menjadi perhatian yang harus
dikaji lebih dalam. Dalam opini yang ditulis oleh Prof Herwandi, yang
mengajukan sedikitnya lima persoalan besar yang dilakukan dan ditengarai
menghancurkan kebudayaan, patut didalami, meskipun persoalan yang diajukan
sudah sejak lama dimunculkan dan dikeluhkan. Persoalan pelik kebudayaan adalah
bahwa kebudayaan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, sebagai pelaku
kebudayaan itu. Alih-alih mengembangkan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata justru
malah merusaknya, dengan berbagai program yang seakan-akan datang dari daerah
asing, di luar kebudayaan yang harus dijaga dan dikembangkannya.
Seperti yang sudah
dikeluhkan banyak pihak, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata juga masih mematok
program dan cara berpikir yang harus diukur dengan hitung-hitungan angka,
meletakkan target dalam jarak yang dapat diketahui ukurannya. Sementara
kebudayaan merupakan nilai dan proses yang terus menerus dikembangkan dan
dipelajari, diciptakan dan disempurnakan secara berkesinambungan. Selain bidang
kebudayaan, banyak jenis lapangan yang sama atau mirip dengan hal ini, misalnya
masalah pendidikan atau agama. Perhatikan misalnya berita yang dirilis oleh
beritadaerah.com (5/1/2011), yang memberitakan rasionalisasi anggaran dinas
Pariwisata dan Budaya Provinsi Sumatera Barat
oleh Badan Anggaran DPRD Sumatera Barat, karena tidak menguntungkan secara ekonomis.
Pada dinas itu, pengurangan anggaran didasarkan pada alasan yang biasanya
diprogramkan dalam pengembangan pariwisata: “Kemudian pada Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata bisa dihemat anggaran mencapai Rp2,56 miliar hasil rasionalisasi
kegiatan-kegiatan yang dinilai belum menyentuh kegiatan yang diusulkan Banggar
terutama pada kegiatan promosi dan event-event yang belum perlu dilakukan
karena tidak memberikan kontribusi pada peningkatan ekonomi daerah.”
Urusan kebudayaan
yang melekat pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, ditilik dari kapasitas dan
pengalaman yang sudah berlangsung, tidak memberikan sumbangan yang berarti.
Selain program yang secara langsung dijalankan oleh unit-unit atau instansi
yang secara langsung bersentuhan dengan kebudayaan, secara umum tidak ada yang
menjangkau arti sesungguhnya dari kebudayaan yang hidup dalam masyarakat.
Acara-acara dan program malah berususan dan terfokus pada acara artificial,
seperti lomba, kontes, festival, dan sebagainya. Padahal, kebudayaan yang sudah
dibicarakan dalam artikel terdahulu berada dan berproses dalam kegiatan
sehari-hari, dalam lingkungan masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri.
Bicara soal
kapasitas, dalam sebuah kesempatan pendataan seni budaya Sumatra Barat yang
diadakan oleh DKSB, saya menemukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata di salah
satu kabupaten di Sumatra Barat yang digabung dan dikepalai oleh pejabat di
Dinas Perhubungan. Lalu apa yang diprogramkan oleh para pemangku yang tidak
memiliki kapasitas dalam bidang yang diasuhnya? Atau bagaimana memandang
kebudayaan, tanggung jawab, dan konsekwensi dalam pengembangan kebudayaan.
Idealnya memang
penganggaran, program, dan kegiatan yang dilaksanakan dalam bidang kebudayaan
ini memiliki bangunan desain yang sama. Tidak bergantung pada bidang pariwisata,
meskipun satu atap. Kata penghubung ‘dan’ pada nama dinas itu tentu saja
mengindikasikan dua hal yang sama, dan masing-masing berdiri dan memiliki ruang
lingkup yang berbeda.
Pemisahan Kebudayaan dari Pariwisata?
Usulan untuk
memisahkan kedua bidang ini sudah mengapung sejak lama, baik berupa rekomendasi
dari seminar, kongres, dan sebagainya. Masalahnya adalah apakah dengan
pemisahan ini akan membuat pengembangan kebudayaan menjadi lebih baik?
Saya pikir selama
pola pikir dan orientasi pemerintah dalam bidang kebudayaan masih dengan pola
yang lama, mendasarkan program pada hitung-hitungan angka, positivisme,
material, dan artificial, apapun rencana yang dilakukan belum akan mencapai
tujuan yang ideal. Apa lagi pemisahan ini tentu saja harus dirumuskan dan
dilakukan mulai dari tingkat yang tertinggi hingga yang terendah.
Perbaikan yang harus
dijalankan adalah mengubah pola pikir ini. Jika pun masih digabung, kebudayaan
harus dipahami oleh semua pihak, terutama pemerintah dan lembaga legislatif sesuai
dengan arti dasarnya. Jika ini dilakukan, tentu program dan anggaran dapat
dilakukan dengan membuat rancangan besar yang kemudian diterjemahkan dalam
kinerja seluruh bidang yang bertanggung jawab terhadap kebudayaan. Rancangan
besar ini kemudian dapat diterapkan di setiap daerah, dengan memperhatikan
kondisi dan kekayaan budaya yang ada di masing-masing daerah itu. Gerakan
program seperti ini tentu akan memobilisasi potensi budaya yang ada,
menggairahkan kebudayaan dalam arti yang seluas-luasnya, dan menghidupkan
keragaman budaya di setiap daerah dengan komunikasi dan kerja sama dengan
daerah-daerah lain.
Saya kira besaran
anggaran kebudayaan akan serupa dengan kebijakan bidang pendidikan, yang sudah
diatur 20% dari APBN dan APBD. Karena yang diurus adalah kebudayaan, yang
melekat pada manusia dan masyarakat di setiap daerah. Tetapi ini akan sangat
sulit, untuk mengubah pemahaman dan pola pikir, seperti dalam berita yang
dikutip di atas. Tetapi tentu saja bukan sesuatu yang tidak mungkin untuk
dilakukan.
Khusus untuk Sumatra Barat, dengan kekayaan budaya yang sangat besar, masalah ini harus ditanggapi dengan baik. Sudah banyak kajian, publikasi, prestasi, karya, dan pemikiran budaya yang lahir dan hadir di Sumatra Barat, sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Tanggung jawab pemerintah dalam bidang kebudayaan selama ini lebih banyak diambil alih oleh masyarakat, organisasi sosial, dunia akademik, dan sebagainya. Tak heran jika kemudian pemerintah lebih banyak memikirkan masalah pariwisata, yang berhubungan dengan keramaian, jumlah wisatawan, meresmikan pembangunan hotel atau tempat wisata, dan lain-lain. Sementara ruh kebudayaan menjadi terabaikan. Siapa yang peduli dengan grup-grup kesenian tradisional, upacara-upacara adat, konflik-konflik yang diakibatkan oleh kekaburan muatan filsafat adat dan budaya, dan juga segala potensi hilangnya budaya yang ada dalam masyarakat?
Khusus untuk Sumatra Barat, dengan kekayaan budaya yang sangat besar, masalah ini harus ditanggapi dengan baik. Sudah banyak kajian, publikasi, prestasi, karya, dan pemikiran budaya yang lahir dan hadir di Sumatra Barat, sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Tanggung jawab pemerintah dalam bidang kebudayaan selama ini lebih banyak diambil alih oleh masyarakat, organisasi sosial, dunia akademik, dan sebagainya. Tak heran jika kemudian pemerintah lebih banyak memikirkan masalah pariwisata, yang berhubungan dengan keramaian, jumlah wisatawan, meresmikan pembangunan hotel atau tempat wisata, dan lain-lain. Sementara ruh kebudayaan menjadi terabaikan. Siapa yang peduli dengan grup-grup kesenian tradisional, upacara-upacara adat, konflik-konflik yang diakibatkan oleh kekaburan muatan filsafat adat dan budaya, dan juga segala potensi hilangnya budaya yang ada dalam masyarakat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar