OLEH Herwandi
Pengajar Fakultas Ilmu Budaya Unand
Pengantar Pengelola
Munculnya wacana memisahkan kebudayaan dan
pariwisata—yang kerap berada dalam satu atap pengelolaannya dalam instansi
pemerintah, sudah demikian lama mengemuka. Dari berbagai kongres-kongres
kebudayaan dan kesenian yang pernah digelar, pemisahan kebudayaan dan dengan
pariwisata selalu masuk dalam poin-poin yang direkomendasikan agar dua sektor
ini berdiri sendiri.
Pada tingkat kementerian sudah dipisah. Tetapi,
turunannya ke tingkat provinsi, kabupaten, dan kota masih menggabungkan kedua
sektor ini, malah ada juga yang memasukkan pemuda dan olahraga ke dalam
instansi ini, tak terkecuali di Sumatera Barat.
Tulisan Prof Dr Herwandi M Hum di bawah ini mengupas
sengkarut masalah pengelolaan kebudayaan yang berada dalam satu dinas dengan
pariwisata, dan tak tak jelas arah dan visi pengembangan kebudayaan itu
sendiri. Herwandi meminta agar kebudayaan dipisahkan dengan pariwisata dalam
pengelolaannya.
Artinya, pemerintah harus mendirikan Dinas Kebudayaan
yang berdiri sendiri.Ruang ini membuka seluas-luasnya curah pendapat dari semua
pihak untuk menuliskan pandangan, pemikiran, dan menentang sekalipun.
Tulisan Herwandi ini sebagai pembuka dari ”diskusi”
yang akan kita bentangkan di ruang ini. Selamat mengikuti. ***Herwandi |
Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dihasilkan dari
daya, cipta, karya, karsa manusia, baik yang berupa benda (tenggiblel) seperti rumah, meja, kursi, bendungan dan benda-benda
lainnya, maupun yang tak benda (intenggible)
berupa hasil pemikiran, ritual adat dan hal yang sejenisnya.
Artinya, kebudayaan adalah hasil kreativitas manusia yang
melibatkan unsur fisik, kemauan, kemampuan otak dan rational manusia untuk
mempermudah kehidupannya dipermukaan bumi ini. Dalam proses kelahirannya,
berjalin berkulindan antara kemampuan fisik, kreativitas dan kemampuan rational
manusia.
Oleh sebab itu kebudayaan selalu mengalami penyempurnaan
dari waktu ke waktu. Baik yang benda maupun yang tak benda, pada intinya selalu engendapkan dan berisi nilai-nilai budaya. Nilai-nilai itulah yang memberikan
warna dan karakter masyarakat pendukungnya, sekaligus sebagai karakter sistem
budaya itu, yang oleh manusia pendukungnya selalu dipelajarinya terus menerus
dan diwariskan secara turun temurun.
Kalau dijabarkan lebih jauh, nilai-nilai kebudayaan
selalu dipelajari, kemudian dijadikan pedoman oleh masyarakat pendukungnya
untuk mempermudah mereka dalam menempuh kehidupan sesama masyarakat pendukung kebudayaan
tersebut serta mengatur hubungan mereka dengan masyarakat di luar pendukung
kebudayan itu.
Selanjutnya kebudayaan itu pada gilirannya harus
diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya agar terdapat kesinambungan
nilai. Akibat kebudayaan selalu dipelajari dan diwariskan secara terus menerus
maka akan terpeliharalah nilai, dan dengan memelihara nilai berarti akan
terpelihara pula karakter kebudayaan dan kemanusiaan dalam lingkup kebudayaan
tersebut.
Oleh sebab itu, pada sisi tertentu kebudayaan sebetulnya
berfungsi sebagai alat untuk pembentukan karakter suatu generasi manusia.
Kebudayaaan mengajarkan kepada manusia untuk hidup berpola, bersopan santun,
berkurenah, dan tidak menganggu kehidupan makhluk lain. Kebudayaanlah yang berjasa menjadikan manusia
menjadi manusia yang sesungguhnya.
Roh kebudayaan adalah nilai tersebut. Kalau nilai
kebudayaan itu yang sudah hilang, maka berarti kebudayaan itu sudah kehilangan
roh, dan kalau roh kebudayaan itu sudah tidak tak penting berarti pendukung
kebudayaan itu tidak lagi memiliki karakter dan sudah tercerabut dari
nilai-nilai budaya mereka. Berarti sistem budaya itu hanya menunggu untuk
hilang dari bumi.
Kalau disimak lebih jauh, saat ini sedang terjadi dekadensi
moral dan pemahaman nilai-nilai adat di tengah-tengah masyarakat. Apakah itu
pertanda tidak lagi berlangsung pewarisan nilai-nilai moral dan adat? Atau
memang telah terjadi kesalahkaprahan dalam pengelolaan kebudayaan di daerah
ini?
Pengelolaan Kebudayaan yang Salah Kaprah
Pengelolaan kebudayaan di Sumatera Barat khususnya, berada
di bawah komando Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar). Mulai dari
tingkat nasional, penggabungan pengelolaan kebudayaan dengan pariwisata sudah
lama dituduh sebagai tindakan yang salah kaprah, tidak terkecuali di Sumatera
Barat.
Pengelolaan kebudayaan berada dalam titik yang berbahaya.
Menyatukan pengelolaan budaya dengan pariwisata ibarat memasukkan durian dan
mentimun ke dalam karung yang sama. Kebudayaan ibarat mentimun yang hancur oleh
duri durian beragam kepentingan kepariwisataan. Paradigma pengelolaan
kebudayaan seperti itu telah merusak terhadap
kebersinambungan dan kelestarian kebudayaan secara keseluruhan. Pengelolaan
kebudayaan seperti itu setidaknya memiliki sejumlah kesalahan beruntun.
Pertama adalah
kesalahan menempatkan kebudayaan sebagai aset untuk mendukung dunia
kepariwisataan. Meskipun berulang-ulang dinyatakan oleh pemangku kebijakan
tentang kebudayaan dan pariwisata bahwa tugas dan fungsi dinas kebudayaan dan
pariwisata ini selalu mendahulukan urusan kebudayaan. Namun dalam
pelaksanaannya kebudayaan telah menjadi objek semena-mena kepentingan kepariwisataan dan pengelolaan
kebudayaan yang seharusnya didahulukan justru cenderung dianak tirikan.
Kalaupun ada kebijakan dan kegiatan yang lahir selalu
kepentingan kebudayaan terkooptasi oleh kepentingan periwisata. Kebudayaan
ditempatkan sebagai alat untuk mendukung dunia kepariwisataan. Kebudayaan
dianggap sebagai salah satu aset yang berpotensi untuk mendukung dunia
pariwisata, sehingga semua unsur kebudayaan diarahkan untuk mendukung dunia
periwisata tersebut. Muaranya adalah produk kebudayaan juga digiring untuk mendatangkan uang yang
banyak, sumber pendapatan asli daerah (PAD). Cara berpikir seperti itu, akhir
menggiring para pemangku kebijakan kebudayaan dan kepariwisataan untuk selalu membina
kebudayaan dalam kapasitas untuk memajukan dunia kepariwisataan.
Cara berpikir seperti di atas pada gilirannya memunculkan
kesalahan kedua, yaitu para pemangku kebijakan dan jajarannya berlomba-lomba
menciptakan suatu produk kebudayaan baru yang sebetulnya sudah lari dari akar
dan nilai-nilai budaya aslinya. Sebagai
contoh produk kesenian tradisional, seperti seni tradisi randai yang penuh
dengan nilai-nilai tradisional Minangkabau, yang biasanya ditampilkan dalam
durasi waktu yang panjang (bermalam-malam) karena memang ditujukan untuk
menyampaikan pesan dan pengajaran adat kepada pemirsanya. Kemudian oleh dinas
terkait sengaja diciptakan produk randai baru yang hanya disuguhkan dalam waktu
hanya 5-10 menit saja. Produk randai baru ini hanya bisa menampilkan ”anatomi”
luar dari randai tersebut, dan mana mungkin dilakukan penyampaian nilai adat
dalam durasi waktu yang sependek itu.
Celakanya lagi justru pembinaan terhadap produk randai yang seperti
itulah yang mendapat tempat di kalangan pemangku kebijakan, bukan kepada randai yang sebenarnya. Pada hal randai baru pada
gilirannya telah merusak terhadap randai tradisional.
Paradigama berpikir seperti itu diikuti pula oleh kesalahan ketiga, yaitu cara berpikir
para pemangku kepentingan kebudayaan dan kepariwisataan yang melihat bahwa para
wisatawan selalu berpikir ”yang mewah dan wah lah yang memikat” dan sesuai
dengan ukuran-ukuran dunia barat.
Pada hal kalau dilihat lebih jauh justru wisatawan itu
sudah jengah dengan dunia mereka
sendiri (yang mewah dan wah), dan ingin melihat sesuatu yang lain, yang baru
selain yang ada di kampung halaman mereka sendiri. Artinya bagi mereka
sebetulnya ”yang orisinillah yang menarik”. Oleh sebab itu cara pandang ”yang
mewah dan wah lah yang menarik” tidaklah tepat. Yang benar itu seharusnya adalah ” yang asli
dan orisinil lah yang memikiat”.
Cara pandang ”yang mewah dan wah lah yang menarik”
akan bermuara lahirnya beragam kebijakan bagi kalangan pemangku kebijakan kebudayaan
dan pariwisata untuk menciptakan objek wisata (sekaligus menyediakan anggaran
yang besar) yang mewah dan wah pula. Sehingga mereka berlomba-loma menciptakan
objek wisata baru yang mewah dan wah tersebut.
Celakanya lagi tindakan seperti itu menurunkan kesalahan keempat, karena ada
produk sejarah dan kebudayaan asli sengaja dipolesi sedemikian rupa dan objek
wisata tidak jarang dibuat dan didirikan di lingkungan situs sejarah dan budaya
atau merubah situs sejarah dan budaya menjadi lebih mewah.
Pada hal situs itu harus dipelihara keorisinilannya. Hasilnya,
ketika wisatawan mancanegara datang berkunjung,
mereka merasa ”heran” saja, setelah itu tak berniat lagi mengunjungi
untuk kali kedua, meskipun sudah dilakukan promosi yang maha dahsyat.
Sebaliknya kalau paradigma berpikir ”yang asli dan orisinil lah yang
memikat” yang diterapkan, maka sudah tentu hal tersebut tidak akan terjadi seperti itu. Menjaga
keorisinilan situs budaya itu justru lebih penting, tatapi karena paradigma berpikir
yang salah sehingga mengabaikan unsur pewarisan dan pelestarian kebudayaan.
Hal ini kemudian memunculkan kesalahan kelima, karena telah
mengabaikan misi khusus pewarisan kebudayaan yang sekaligus sebagai
sarana untuk menjaga karakter bangsa. Para pemangku kebijakan dalam hal ini
lupa bahwa misi khusus dan togas pokok lembaga kebudayaan adalah
menjaga karakter bangsa ini agar tetap eksis.
Marilah kita lihat, jarang kelihatan kegiatan dinas kebudayaan
dan pariwisata yang benar-benar diarahkan kepada pembinaan terhadap pewarisan
nilai-nilai adat di tengah-tengah masyarakat, khususnya kegiatan langsung
terhadap kebudayaan dan kehidupan beradat ditingkat nagari.
Boleh dilihatlah ke semua daerah tingkat kabupaten dan kota,
ada ndak kegiatan dinas terkait yang sengaja mengajarkan kembali ”bakolah”, ”mangaji adat” untuk
kalangan muda sebagai bagian dari pewarisan dan pelestarian nilai adat
sekaligus untuk membentuk karakter kalangan muda? Jangankan di setiap nagari, di tingkat kabupaten dan
kota saja jarang ditemukan.
Selanjutnya, ada ndak
kegiatan pada dinas terkait yang sengaja memberikan pencerahan terhadap
penghulu dan pemangku adat di nagari tentang pengetahuan adat yang mereka
punyai? Selanjutnya, ada ndak
kegiatan pada dinas terkait yang sengaja memberikan pemahaman dan pencerahan
kepada pemangku kebijakan kebudayaan dan pariwisata tentang pemahahaman
nilai-nilai kebudayaan itu? Lalu pertanyaannya apakah dinas terkait sendiri
sudah ”babana-bana” menyediakan
sumber daya manusia yang tepat untuk mengelola kebudayaan?
Penulis bisa mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan itu
sangat jarang, kalaupun ada hanya dilakukan dalam kualitas yang ”sekadar” saja,
tidak ”babana-bana” untuk mengelola
kebudayaan.
Miskin Pemahaman
Kebudayaan
Permasalahan di atas semakin runyam karena diikuti
kesalahan berikutnya, yaitu kenyataanya sumber daya manusia yang mengelola kebudayaan
dan pariwisata dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki kompetensi di
bidang budaya dan pariwisata.
Boleh dilihat mulai dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tingkat
provinsi apa lagi sampai ke kabupaten/kota,
tidak banyak (mungkin boleh dihitung dengan jari saja) pegawainya yang
memiliki latar belakang pendidikan tentang kebudayaan. Selebihnya mereka
berasal dari beragam latar pendidikan
yang notabene tidak mengerti tentang kebudayaan apalagi memahami nilai budaya
sekaligus menghargai pewarisan nilai-nilai budaya tersebut.
Lebih parah lagi, pemerintah daerah pun tidak berusaha
merekrut pegawai dari alumni perguruan tinggi yang memiliki latar belakang dan
berkopetensi kebudayaan, khususnya kebudayaan Minangkabau. Di Sumatera Barat
ini ada beberapa perguruan tinggi yang telah melahirkan lulusan yang memiliki
kompetensi tentang pewarisan nilai-nilai budaya dan adat Minangkabau. Paling
tidak jurusan dan program studi Sastra Minangkabau telah melahirkan sejumlah
alumni yang memiliki kompetensi yang erat hubungannya dengan
pewarisan nilai budaya dan adat Minangkabau. Tapi apakah ada penghormatan bagi
pemerintah daerah terhadap mereka? Saya berani menyatakan bahwa mereka tidak
dihargai, karena jarang (kalau tidak tepat menyatakan tidak ada) pemerintah
daerah yang menyediakan formasi penerimaan pegawai untuk mereka.
Pada hal kami tahu, dalam struktur organisasi Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata mulai dari tingat propinsi sampai tingkat kabupaten
dan kota perlu ada pamong-pamong budaya, yang bertugas memberikan penyuluhan
pembinaan kebudayaan kepada masyarakat, tatapi posisi itu dibiarkan kosong. Ini
memperlihatkan bahwa pemerintah daerah ini tidak bersungguh-sungguh dalam hal
pengelolaan kebudayaan.
Dirikan
Dinas Kebudayaan
Sudah puluhan tahun daerah ini menggabung pengelolaan kebudayaan
dan kepariwisataan pada satu dinas. Selama itu pula telah terjadi perusakan
kebudayaan secara struktural karena telah sekian lama pula melaksanakan
kesalahkaparahan. Selama itu hasilnya sudah dapat diterka dan wajar saja sampai
saat ini telah terjadi dekadensi moral, adat dan kebudayaan karena pengelolaannya
tidak untuk kepentingan pewarisan nilai dan pembentukan karakter masyarakat.
Wajar pula munculnya perusakan terhadap warisan sejarah
dan kebudayaan, karena dikerjakan oleh manusia-manusia yang kurang tepat dan kepentingan
kebudayaan itu bukan ditujukan untuk kepentingan kepariwisataan itu sendiri.
Oleh sebab itu, sudah saatnya pengelolaan kebudayaan dan
kepariwisataan tidak lagi berada pada dinas yang sama. Sudah saatnya untuk dipisah
sehingga tugas dan fungsi pengelolaan kebudayaan dapat dipilah secara
jelas dan berjalan sebagaimana mestinya.
Pengelolaan kebudayaan sudah saaatnya diserahkan kepada
tanaga-tenaga dan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi untuk mengelola
kebudayaan daerah ini. Hal ini pada gilirannya pemerintah daerah pada setiap
tingkat sudah harus merekrut tenaga kepegawaian dari alumni perguruan tinggi
yang memang memiliki kompetensi untuk mengelola kebudayaan, khususnya sastra
Minangkabau. Artinya pemerintah daerah harus menyediakan formasi penerimaan
pegawai untuk alumni-alumni yang memiliki kompetensi mengenai pengelolaan
kebudayaan.
Selanjutnya kalau pemerintah daerah tetap menyatukan
pengelolaan kebudayaan dan pariwisata dalam satu dinas ibarat memasukkan durian dan
mentimun kedalam karung yang sama: Kebudayaan dapat menjadi bertambah hancur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar