(Bagian dua dari dua tulisan)
OLEH Bachtiar Abna Datuak Rajo Suleman
Variabel kedua adalah Sandi yang harus dibedakan dengan
asas. Dipilihnya istilah sandi dalam pepatah ABSSBK ini merupakan hasil dari
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan yang terjadi di Bukik Marapalam,
karena dengan dipakainya istilah ini konflik berkepanjangan yang terjadi di
Minangkabau dapat diakiri.
Perbedaan Makna Sandi dan Asas
Selama ini sering
terjadi salah faham mengenai pepatah ABSSBK karena kesadaran menggunakan
Bahasa Indonesia yang tinggi dari anak Minang, yang dahulu disebut Bahasa
Melayu Tinggi, yang menterjemahkan istilah sandi menjadi sendi sehingga berarti
asas atau dasar.
Di dalam ilmu hukum dan penegakan hukum, pemberian makna
terhadap suatu aturan hukum dilakukan dengan menggunakan penafsiran hukum
(recht interpretatie), terdiri dari: penafsiran otentik, gramatikal,
sosiologis, ekstensif, restriktif,
analogis, dan argumentum a contrario. Terhadap istilah sandi dalam
pepatah ini harus digunakan penafsiran gramatikal, berdasarkan tata bahasa yang
berlaku pada saat dibentuknya aturan hukum itu.
Di Minangkabau, pada awal abad ke 19 orang membangun
rumah dari kayu, belum ada rumah permanen. Beda dengan pembangunan rumah
permanen sekarang yang dimulai dengan pembuatan fondasi, pada rumah kayu, tiang
kayu didirikan lebih dahulu di atas tanah.
Jika tiang kayu berdiri di atas tanah saja, tiang itu
akan cepat lapuk karena kayu yang lembab
akan diamakan rayap. Karena itu, setelah bentuk rumahnya harmonis, diadakanlah
upacara manyandi. Masing-masing tiang diangkat dengan pengungkit dan diselipkan
batu kali, batu kali itulah yang disebut dengan istilah sandi.
Dari cara penempatan sandi itu terlihat bahwa tiang
ditegakkan dahulu, baru kemudian diberi sandi. Sandi bukan unsur esensial dari
tiang, karena tanpa sandi tiang tetap bisa berdiri, cuma akan cepat lapuk.
Dengan demikian fungsi sandi adalah untuk memperkokoh tiang.
Apabila yang dimaksudkan dalam rapat di Bukik Marapalam
itu istilah sandi diartikan sebagai dasar, alas atau fondasi, tidak akan mereka
gunakan istilah sandi, sebab dalam bahasa Arab, dasar, alas atau fondasi itu
ada istilah khusus, yaitu asas.
Penyamaan Persepsi
Tentang ABSSBK
Terjadinya konflik antara kaum Wahabi dengan niniak mamak
yang juga telah menganut agama Islam disebabkan karena kaum Wahabi ingin
memaksakan berlakunya syariat Islam sepenuhnya dengan mengaharamkan hukum adat Minangkabau yang
telah ada selama ini dan memerangi mereka yang mempertahankannya.
Niniak mamak memandang bahwa bila hukum Islam diterapkan
seluruhnya, Minangkabau akan kehilangan minangnya, karena ciri khas Minangkabau
seperti hukum keluarga dengan sistem matrilineal, hukum harta kekayaan,
pewarisan kolektif harta pusaka, tanah ulayat, nagari dengan suku ibu, hukum
perkawinan, hukum perjanjian, pemerintahan nagari, harus diganti dengan sistem
patrlineal dengan segala akibat hukumnya.
Suku harus diganti dengan suku ayah, nagari yang tersusun
atas empat suku ibu harus dibubarkan, pangulu dan ninieak mamak sebagai
pimpinan suku ibu harus diberhentikan, Kerapatan Adat Nagari yang merupakan
kerapatan dari wakil-wakil suku ibu harus dibubarkan, harta bersama harus
dibagi secara al faraidh, dsb. Masyarakat Minang akan kocar-kacir, dan akan
terjadi pertumpahan darah yang dahsyat. Mudaharatnya lebih besar dari
manfaatnya.
Berdasarkan makna sandi yang digunakan dalam pepatah ini
seperti diuraikan di muka, maka pepatah ini harus diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi Adat diperkokoh oleh syarak, syarak diperkokoh oleh
kitabullah.
Hal ini sesuai dengan sejarah, bahwa di Minangkabau hukum
adat lebih dahulu adanya dari hukum Islam. Demikian pula dengan syariat Islam,
karena ‘urf atau adat Saudi Arabia yang kemudian menjadi sebagian hukum Islam
itu telah ada sebelum turunnya kitabullah.
Adat jo syarak sanda manyanda bak tabiang jo aua, tabiang
indak runtuah aua indak taban. Syarak mangato adat mamakai. Adat bapaneh syarak
balindung. Antara hukum adat dengan syarak seperti anyaman tikar, helaian
vertikal (syarak) jalin menjalin dengan helaian horizontal (adat).
Dalam bidang tertentu dipakai adat, di bidang lain
dipakai syarak. Sepanjang menyangkut dosa, pahala, halal, dan haram dipakailah
syarak, selebihnya tetap dipakai hukum adat.
Untuk menjelaskan berlakunya hukum Islam di Minangkabau
dapat digunakan teori resepsi dari Snouck Hurgronje atau teori keputusan
(beslissingen leer) dari Ter Haar. Menurut Snouck Hurgronje, hukum agama yang
berlaku bagi pemeluk agama itu sepanjang yang telah diterima menjadi bagian
dari hukum adat mereka.
Jadi bagian yang belum diterima, tidak dapat diterapkan
begitu saja oleh hakim. Menurut Ter Haar, hukum agama diterapkan bagi
pemeluknya apabila telah diputuskan oleh fungsionaris hukum masyarakat yang
bersangkutan.
Menurut J.Prins, yang membedakan antara agama Kristen
dengan agama Islam ialah bahwa agama
Kristen tidak mengembangkan ilmu pengetahuan undang-undang, agama kristen
bukanlah undang-undang.
Sebaliknya agama Islam mempunyai ajaran fikhnya yang
mengatakan memberikan peraturan Tuhan Allah untuk segala bidang kehidupan,
dalam segala keadaan dan berlaku untuk segala zaman. Tentu sudah anda ketahui,
bahwa betapa besarpun keinginan tersebut, di bagian-bagian Indonesia yang
bergama Islam dan negeri muslim lainnya hanya terdapat beberapa aturan atau
pasal saja dari fikh itu yang berlaku bagi kehidupan hukum penganut agama
Islam. Untuk selanjutnya hukum fikh itu dianggap sebagai hukum idaman.
Kekeliruan pemahaman selama ini adalah karena
diterjemahkannya istilah sandi ke dalam bahasa Indonesia menjadi sendi,
sehingga berarti dasar, alas atau asas. Akibatnya, hukum Islam dipandang
sebagai hukum yang tinggi (lex superior) sedangkan hukum adat sebagai hukum
yang rendah (lex inferiori).
Akibatnya berlaku asas dalam hukum yang berbunyi : lex
superior derogaat lex inferiori, hukum yang tinggi menghacurkan hukum yang
rendah. Pemahaman inilah yang dimaksudkan oleh penganut kaum Wahabi, yang ingin
mengganti semua hukum di ranah Minang ini dengan syariat Islam yang katanya, sejati.
Kalaulah, makna pepatah ini seperti yang dimaksudkan kaum
Wahabi, tentu niniak mamak tidak akan mau menyetujuinya. Kalau memang mereka
setuju, tentu kini suku Koto telah berganti dengan suku Quraisy, setidaknya
jadi orang yang tak bersuku. Tapi nyatanya, sistem kekerabatan, pemerintahan,
kewarisan, dsb di Minangkabau tetap seperti sedia kala, malah dewasa ini kita
telah kembali lagi ke dalam sistem pemerintahan nagari.
Dari uraian ini, mungkin di antara pembaca yang budiman,
akan mencap penulis sebagai anti syariat Islam. Di satu sisi mungkin ada
benarnya, jika yang mereka artikan dengan syariat Islam adalah apa yang
dimaksudkan oleh pengikut Wahabi. Tetapi mereka yang memandang syariat Islam
seperti yang dimaksudkan oleh Drs. H. Asymuni A. Rahman, ‘urf atau adat
kebiasaan yang membawa kemaslahatan masyarakat diakui di dalam hukum
Islam, hukum adat adalah hukum, akan
mengatakan bahwa penulis bukanlah demikian.
Aplikasi Yuridis
ABSSBK
Seperti telah diuraikan di atas, masyarakat Minang
menerima Islam sebagai agama(addin). Mereka menerima ajaran tentang tauhid,
ma’rifatullah, iman, ihsan, ibadah, dsb.
Malah bukanlah orang Minang namanya kalau tidak Islam.
Tetapi berkenaan dengan syariat (hukum Islam) sepanjang menyangkut hubungan
antar manusia di dunia ini, mengenai aturan yang akan dipakai dalam hidup
bersama yang secara tegas ditetapkan padahan (sanksi)nya, tunggu dulu. Mereka
menerima hukum Islam apabila menyangkut dengan dosa, pahala, halal dan haram.
- Hukum
Perkawinan
Mengenai peminangan, pertunangan, pesta, domisili, hak
dan kewajiban suami isteri, penguasaan harta perkawinan dan status anak tetap
dipakai hukum adat. Hukum Islam hanya dipakai dalam formalitas pengesahan
perkawinan, karena adalah dosa kalau perkawinan tidak dilaksanakan melalui ijab
kabul antara wali mempelai perempuan dengan mempelai laki-laki, pembayaan
mahar, dihadiri dua saksi dan dilangsungkan karena Allah.
Demikian pula dalam pengesahan perceraian, karena adalah
dosa kalau seorang perempuan yang perceraiannya dengan suami terdahulu belum
disyahkan melalui pengucapan talak oleh suami atau putusan hakim, kawin lagi
dengan laki-laki lain.
Dengan demikian terlihat bahwa selama ini telah terjadi
pelanggaran HAM dalam penyelesaian sengketa perkawinan anak Minang oleh
pengadilan agama karena kehidupan perkawinan mereka diatur oleh hukum adat,
sementara perceraian mereka diadili menurut hukum Islam saja.
- Hukum
Kekerabatan
Berkenaan dengan hukum kekerabatan, yang menyangkut
dengan hukum pertalian darah, mayoritas masyarakat Minang (kecuali perantau)
tetap menggunakan hukum adat, yakni berupa ikatan ibu-anak, mamak - kamanakan,
ayah - anak, ipa-bisan, bako-anak pisang, dsb. Hanya mereka yang hidup di
rantau, tidak merasakan bagaimna hidup menurut tatanan hukum adat Minangkabau,
sehingga muncul keinginan untuk merombak sistem kekerabatan ini.
- Hukum Waris
Dalam Seminar Hukum Tanah dan Waris Minangkabau tahun
1968 disimpulkan bahwa pewarisan harta pusaka dilaksanakan sesuai dengan hukum
adat. Sedangkan harta pancarian laki-laki, yaitu setengah dari harta yang
diperoleh selama perkawinan berlangsung ditambah harta bawaan sendiri, diwarisi
menurut al faraidh dan dapat dihibahkan kepada kamanakan maksimal sepertiga.
Berbeda dengan pepatah ABSSBK yang lahir dari rapat urang
Tigo Luhak, kesimpulan Seminar tentu
tidak dapat menjadi sumber hukum dalam rangka yudikasi. Dalam kenyataan hidup
masyarakat, tidak pernah terlaksana. Bila suami meninggal dunia, harta dikuasai
oleh janda secara keseluruhan untuk digunakan bagi kepentingan semua anaknya
sesuai dengan kebutuhan. Jika seorang anak perempuan akan menikah, harta yang
digunakan untuk keperluannya tidak diklaim oleh saudara laki-laki. Tidak pernah
janda membagi-bagi harta pancarian suaminya sesuai al faraidh, jika tidak punya
anak janda memperoleh seperempat, jika punya anak hanya seperdelapan.
Di antara anak-anak demikian pula, tidak pernah saudara
laki-laki menuntut dua kali bagian anak perempuan. Anak laki-laki pada umumnya
sadar bahwa kalau harta digunakan untuk keperluan saudara perempuannya mereka
tidak keberatan.
- Hukum Tanah
Pada asasnya hukum tanah adat tetap berlaku di
Minangkabau, sehingga hak-hak komunal atas tanah masih ada, seperti ulayat
suku, paruik, kaum dan nagari. Awalnya semua tanah adalah hak komunal dari
persekutuan hukum adat, dengan prinsip tanah nan sabingkah, rumpuik nan saalai
pangulu nan punyo.
Mamaklah yang mengurus dan mengatur pencadangan,
pemanfatan, penggunaan, pemberian izin, dsb. terhadap bidang-bidang tanah
ulayat. Akibatnya mamak dihormati kamanakan, karena hidup kamanakan tergantung
mamak. Dengan masuknya sistem kewarisan individual Islam yang memperkenalkan
hak milik, muncul keinginan sebagian anak Minang untuk memiliki secara
individual bidang tanah persekutuan.
Ganggam bauntuak yang pada asasnya hanya hak pakai,
diperlakukan seperti hak milik oleh anggota kaum yang perempuan. Pemanfaatannya
tidak lagi di bawah kontrol mamak, seolah-olah mamak tidak lagi punya hak atas
tanah itu. Mamak baru dibawaserta kalau tanah akan digadaikan. Akibatnya,
martabat mamak di mata kamanakan menjadi luntur. Terjadi pula individualisering
lahan, menjadi lahan kecil-kecil yang dikelola secara individual, sehingga
tidak mungkin dikembangkan menjadi usaha skala besar dengan teknologi tinggi.
- Hukum Ekonomi
Awalnya suku, paruik, kaum dan nagari itu merupakan
lembaga ekonomi. Niniak mamak, pangulu, dan nagari mengatur pengelolaan
irigasi, jalan, turun ke sawah, pasar, dsb. secara tradisional.
Walaupun nagari mendirikan pasar nagari, pasar serikat,
dsb. namun sistem perdagangan yang dipakai adalah sistem pasif. Anak nagari
membawa produknya ke pasar lokal, menunggu datangnya konsumun, pedagang antar
kota, antar pulau dan eksportir. Pihak luar datang secara aktif dan
langsung dengan lembaga yang kuat
seperti VOC, NV, Fa, CV, dsb. dengan berbagai model marketing sehingga
merekalah yang menentukan harga, baik harga jual produk maupun harga kebutuhan
anak nagari. Akibatnya apa yang dijual anak nagari murah dan apa yang mereka
beli mahal.
Inilah yang perlu kita fikirkan mengatasinya, dengan
membentuk Badan Usaha Nagari dan kosorsiumnya untuk memasarkan produk anak
nagari secara aktif sampai ke konsumen, di dalam maupun luar negeri. Jika tidak
kehidupan anak nagari tidak akan mengalami perubahan. Allah mengingatkan bahwa
merubah nasib harus dengan berkaum.
- Hukum
Perjanjian
Dalam kehidupan sehari-hari, perjanjian-perjanjian tetap
dilaksanakan menurut hukum adat, seperti perjnjian jual beli, sewa menyewa,
bagi hasil, pinjam meminjam, salang pinjam (gadai), tuka imbuah, dsb. baik dalam transaksi tanah
maupun yang bukan tanah. Paling-paling ke dalam transaksi adat itu ditambahkan
kewajiban ijab kabul di antara para pihak, namun itupun tidak terlaksana.
Dengan munculnya Bank Syariah di Mianngkabau, seolah-olah digunakan hukum
Islam.
Namun setelah diteliti, ternyata maksud sesungguhnya
adalah agar orang Islam yang memandang bunga
adalah haram mau berhubungan dengan bank. Kalau dalam perjanjian kredit
dikatakan perjanjian bagi hasil, namun ternyata hanya bagi untung saja. Padahal
bagi hasil sesungguhnya adalah bagi untung rugi. Kalau untung sama untung, rugi
sama rugi. Tetapi bank syariah, tetap menuntut debitur untuk membayar bagian
hasil yang telah ditetapkan lebih dulu, walaupun si debitur mengalami kerugian dalam usahanya.
- Hukum
Administrasi Pemerintahan (adat)
Ketentuan hukum mengenai kewenangan memimpin dalam
masyarakat Minang tetap seperti sediakala, menggunakan hukum adat, misalnya
tentang syarat, kewenangan, dan kekuasaan pangulu, anggota dan pimpinan
Kerapatan Adat Nagari, mamak kepala waris, tungganai, dsb.
Ke dalam struktur pemerintahan adat telah dimasukkan
unsur syarak, seperti adanya imam, malin, labai dan katik dalam jabatan adat
sebagai jabatan di bidang keagamaan. Dalam sistem ketatanegaraan RI kewengangan
persekutuan hukum adat untuk mengurus kepentingan masyarakat setempat diakui
dan dihormati seperti dimuat dalam Pasal 18 B UUD 1945 dan Pasal 1 ayat 12 UU
No. 32/2004.
Karena itu melalui Perda No. 9 Tahun 2000 tentang
Pemerintahan Nagari telah terjadi pelanggaran HAM di Sumatera Barat, karena
perda ini mencampuri kewenangan nagari dalam mengurus kepentingan
masyarakatnya. Karena itu, sistem pemerintahan nagari harus dikembalikan sesuai
dengan asas otonomi asli, asas pengakuan persekutuan hukum adat sebagai
pelaksana pemerintahan terendah seperti yang ditetapkan UU No. 32/2004, dengan
menetapkan KAN sebagai pelaksana pemerintahan terendah, memilih calon Wali
Nagari untuk dipilih anak nagari dan ditetapkan Bupati melalui SK pengangkatan
Wali Nagari.
Literatur
Aritonang; Burhanuddin (Penghimpun dan Editor)
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman; Pustaka Pergaulan, Jakarta, 2004
Asymuni A.Rahman; Drs. H. Kedudukan Adat Kebiasaan (‘Urf)
Dalam Hukum Islam Penerbit CV. Bina Usaha; Yogyakarta; 1983
Darwis Thaib Dt. Rajo Pangulu Seluk Beluk Adat
Minangkabau NV Nusantara Bukittinggi, 1965
Hamka Dt. Indomo Islam dan Adat Minangkabau, Penerbit PT
Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985
Prins; J Pengaruh Kristen Terhadap Hukum Adat Terjemahan
: Prof. Dr. Koentjaraningrat dari Judul Aslinya : Christelijke Beinvloeding van
Adatrecht Pernerbit Bhratara; Jakarta 1973
Schrieke; BJO. Pergolakan Agama di Sumatera Barat :
Sebuah Sumbangan Bibliografi Terjemahan Soegarda Poerbakawatja dari Judul :
Bijdrage tot de Bibliografie van huidige godsdienstige beweging ter Sumatra’s
Westkust Penerbit Bhratara, Jakarta,
1973
Yayasan Citra Budaya Indonesia Menelusuri Sejarah
Minangkabau; Himpunan Makalah dalam Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau
di Batu Sangkar 1970
tar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar