OLEH Yulizal Yunus
Ketua Lembaga Penelitian
IAIN Imam Bonjol
Sumatera Barat berkepentingan dengan penelitian “perspektif
agama, isu sosial kemanusiaan” dalam penguatan perencanaan dan pelaksanaan
keseluruhan sistem pembangunan daerah. Di antara indikasinya isu sosial
kemanusiaan itu sering mencuat dalam berbagai event pembicaraan perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan, seperti event yang dilaksanakan Bappeda bersama
Dinas, Badan, Kantor dan Bagian, serta lembaga non pemerintah (NGO). Terakhir
isu itu menonjol mencuat dalam beberapa kali “Diskusi Kelompok Terpokus” (FGD) Bappeda
diselenggarakan Dewan Riset Daerah Sumatera Barat yang bertugas memberi masukan
kepada Gubernur Sumatera Barat.
Pertama PGD Dewan
Riset–Bappeda Sumatera Barat 27 Juni 2011 dengan topik “Strategi
Pembangunan Pendidikan di Sumatera Barat”, kedua pada iven 20 Juli 2011 topik “Adat
Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah”. Bahkan sebelumnya pada iven FGD
Dewan Riset Daerah, 24 Februari
2011 agenda “Penyempurnaan Jakstrasa Iptek Daerah Provinsi Sumatera Barat 2011
– 2015” banyak muncul isu sosial kemanusiaan.
Dalam pemahaman yang
lebih luas, isu sosial kemanusiaan mucul bersamaan dengan penyadaran pentingnya
riset bagi peningkatan produk dalam kerangka pembangunan ekonomi secara luas. Tidak
saja di berbagai event daerah, tetapi juga di media. Misalnya Edison Munaf
(Guru Besar Universitas Andalas, Editorial Board Asian Journal of Chemisry
yang terbit di India - Haluan 18 Juli 2011) menulis: “Mengukur
Kekuatan Riset Indonesia”, ia menggarisbawahi pemikiran Presiden Susilo Bambang
Yudhyono yang sering mengemukakan keinginan, pemikiran, atau kebijakan
bahwa pembangunan nasional Indonesia harus berbasis ilmu pengetahuan (knowledge
base). Tujuannya agar daya saing produk industri Indonesia, dapat
ditingkatkan menjadi produk yang mempunyai daya saing dan nilai jual tinggi
yang bertumpu pada penggunaan tenaga kerja terampil dan teknologi yang mumpuni
dan relevan serta ramah lingkungan.
Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia
memiliki kearifan, di samping riset soal produk, justru juga menawarkan riset/ penelitian
“paradigma agama dengan isu sosial kemanusiaan”, di samping “penelitian yang
menjawab masalah sosial keagamaan dan kehidupan beragama” yang dilakukan Perguruan
Tinggi Agama dalam Kementerian Agama RI. Dalam event Temu Konsultasi Jarlit (Jaringan
Penelitian) diikuti Lemlit (Lembaga Penelitian) PTAI (Perguruan Tinggi Agama
Islam) se Indonesia yang penulis hadiri di Puri Garden, Semarang 21-23 Juli
2011, muncul pertanyaan tentang “posisi penelitian agama” di Kementerian Negara
Ristek.
Pertanyaan penting itu direspon nara sumber Dr.
Roosmalawati Rusman Ketua Komite Sosial Kemanusiaan DRN (Dewan Riset Nasional)
dalam rangkaian presentasinya “Agenda Riset Nasional Bidang Sosial Budaya”.
Katanya, posisi agama itu perspektif (sudut pandang) sedangkan isu
penelitiannya adalah sosial kemanuisaan (soskem). Isu soskem ini satu dari 9
prioritas riset dalam agenda riset nasional 2010 – 2014, di mana 8 lainnya
adalah (1) ketahanan pangan, (2) kesehatan dan obat, (3) energi, (4) teknologi
dan manajemen transportasi, (5) TIK, (6) HAMKAM, (7) material maju, (8) sains
dasar. Fokus isu penelitian sosial kemanusiaan dipososikan pada tiga aspek: (1)
meningkatkan kualitas pembangunan dan pembangunan masyarakat maritime, (2)
program pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan pada masyarakat miskin/
terpinggirkan, (3) pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Dari iven daerah Sumatera Barat dan nasional tadi teramati,
tidak sedikit isu sosial kemanusian yang muncul dan penting diteliti dalam
perspektif agama, bagi memperkuat keseluruhan sistem pembangunan di daerah,
baik sistem sosial termasuk adat, sistem ekonomi, sistem politik, sistem ilmu
pengetahuan dan teknologi termasuk pendidikan, sistem filsafat masyarakat misalnya
ABS – SBK di Sumatera Barat, sistem seni dan sistem religi (bentuk keberagamaan
masyarakat) termasuk paham dan kerukunan kehidupan beragama.
Di antara isu sosial dan kemanusiaan yang menarik
diteliti muncul pada event FGD Dewan Riset Daerah, 24 Februari 2011 agenda “Penyempurnaan
Jakstra IPTEK Daerah Provinsi Sumatera Barat 2011 – 2015”. Isu itu misalnya dalam
menindaklanjuti ”jakstra iptek” (kebijakan strategis ilmu pengetahuan dan
teknologi) bidang agama, yang menarik diteneliti seperti aspek pemberdayaan SDM
tokoh agama dan sosial budaya dengan keterlibatan dengan pembangunan agama–adat
dan budaya lokal Sumatera Barat, juga penelitian tentang penguatan kelembagaan
keagamaan dan kebudayaan di Sumatera Barat dan kontribusikan kepada daerah.
Demikian pula isu yang berkaitan dengan upaya peningkatan
kualitas pendidikan agama, adat dan budaya, banyak yang menarik untuk diteliti
Sumatera Barat diusulkan di antaranya (a) ”pemahaman, paham dan kerukunan,
serta penghayatan, pengamalan dan pengembangan nilai-nilai keagamaan serta
pengaruhnya terhadap peningkatan kualitas kehidupan beragama dan budaya”, (b) ”kinerja
perencanaan (performance plan) dan kinerja hasil (performance result)
pelaksanaan kebijakan pembangunan bidang agama di Sumatera Barat”, (c) ”warisan
budaya bangsa di Sumatera Barat dalam bentuk warisan kekayaan intelektual
ulama/ tokoh Islam dalam memperkaya input pengambil kebijakan pembangunan agama
di Sumatera Barat”, (d) keterlibatan fungsionaris tungku tigo sajarangan (ninik
mamak/LKAAM, ulama MUI dan cadiak pandai/ Perguruan Tinggi/ Pemda) dalam
mengatasi koflik masyarakat adat dan agama di Sumatera Barat”, (c) Kontribusi
infak, sadekah, zakat (selama ramadhan saja misalnya) dalam meringankan beban
pembangunan agama menanggulangi sosial kemanusiaan seperti kemiskinan, dll.
Banyak lagi isu sosial dan kemanusiaan, yang Sumatera
Barat amat berkepentingan untuk menelitinya sejalan dengan kebijakan strategi
iptek daerah. Manfaatnya dapat mempermudah pemahaman dan memajukan serta men-supply
iptek kepada masyarakat. Justru iptek sulit dimengerti dan dimanfaatkan masyarakat
daerah yang berbeda dan tingkat pendidikan yang bervariasi. Pada kondisi inilah
diperlukan kontribusi riset (penelitian) sosial kemanusiaan dalam perspektif
agama sehingga teknologi yang ditemukan dan yang akan dikembangkan sebagai
hasil penelitian dapat mempunyai nilai manfaat yang maksimal dan dapat diterima
oleh masyarakat daerah sesuai dengan situasi, kondisi, budaya dan tingkat sosial
masyarakat. Justru UUD-45 hasil amandemen mengamanatkan bahwa pemerintah berkewajiban
memajukan iptek dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa
untuk memajukan peradaban bangsa serta kesejaheraan umat manusia.
Secara faktual penelitian bidang iptek dari perspektif
agama dengan isu sosial kemanusiaan terkesan perhatian peneliti agama dan
sosial masih kurang melakukan penelitiannya bersifat disipliner. Tunggulah dulu
isu sosial kemanusiaan soal penanganan korban gempa yang sering menghajar
daerah ini, “tentang kebijakan pembangunan sosial, budaya dan agama, masih
besar tabungan pertanyaan publik”. Di antaranya bagaimana performance
(kinerja) “perencanaan (plan)”, kinerja “hasil” (result), kinerja
“proses” dan kinerja “bengkalai” dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan agama
dan sosial kemanusiaan serta budaya, hampir-hampir tidak diteliti. Justru tidak
pula banyak diketahui publik unsur mana yang merencanakannya, yang jelas
pelaksanaan planning itu dipastikan oleh Pemdaprov dan Pemdakab/kota.
Biasanya pada pembuatan dan pelaksanaan kebijakan /perencanaan itu, sering
muncul pertanyaan yang dirasa manusiawi, (1) unsur mana yang diuntungkan/ yang
merasa diuntungkan kebijakan atau (2) unsur mana pula yang dirugikan/ yang merasa
dirugikan, meskipun sebuah kebijakan pembangunan secara ideal disediakan
sebesar-besarnya bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat seluruhnya.
Karenanya penelitian untuk kasus kebijakan penting bagi
Sumatera Barat, khusus dalam paradigma agama dengan isu sosial kemanusiaan. Penelitian
ini dimungkinkan berorientasi pada kebijakan terkait dengan perajutan
kebangsaan dalam pilar birokrasi. Meskipun penelitian ini tidak secara kuat memberikan
“solusi”, namun yang jelas dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam memperkaya
“artikulasi fenomena” serta dapat mempromosikan “pembelajaran kolektif”, yang
tentu saja amat kontributif nantinya bila diperlukan advokasi dan revisi
kebijakan di daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar