OLEH
Wisran Hadi
Wisran Hadi |
Memberikan/menganugerahkan gelar, apakah gelar
itu dalam tingkat/peringkat Sako, Pusako dan Sangsako kepada seseorang yang
non-Islam merupakan tindakan nyata dari para penghulu adat Minangkabau untuk
mengaburkan sekaligus menghilangkan adagium adat Minangkabau itu sendiri, Adat Basandi Syara’,Syara Basandi Kitabullah
(ABS-SBK). Hal itu terbukti dari tindakan para penghulu pengurus Kerapatan
Adat Nagari (KAN) Nan Salapan Suku Nagari Padang beserta Bundo Kanduangnya
dalam memberikan gelar kepada Wi Hook Cheng (Setia Budi) dengan gelar Datuk
Rajo Putih, kemudian kepada Ferryanto Gani dengan gelar Sutan Rangkayo Nan
Mudo.
Peristiwa yang menggoncangkan sendi-sendi
ABS-SBK ini telah dilaporkan beberapa surat kabar beberapa hari lalu.
ABS-SBK sebagai way of life masyarakat
Minangkabau yang terus diamalkan sampai sekarang adalah sebuah
bakuan/patron/rujukan dari kehidupan sosial-budaya masyarakat Minangkabau.
Dengan berpegang kepada ABS-SBK tersebut, berarti setiap orang Minangkabau
adalah seorang Islam yang taat. Bila gelar adat Minangkabau tersebut dalam
tingkat apapun diberikan kepada seseorang di luar Islam, maka tidak dapat
tidak, akan ada penghulu, sutan yang tidak beragama Islam. Jika hal ini terus
berlanjut, pemberian gelar dengan cara demikian sama dengan menghancurkan
ABS-SBK itu sendiri secara nyata, terencana dan tentu saja akan berakibat pula
kepada para anak kemenakan orang Minang itu sendiri nantinya. Artinya, Islam
atau tidak, Minang atau tidak, basuku atau tidak bukan lagi ukuran yang harus
dijadikan syarat utama dalam memilih pemimpin-pemimpin suku, datuk-datuk,
sutan-sutan bagi masa depan Minangkabau.
Kita sangat menghargai para tokoh,
pengusaha, jasawan dan orang-orang kaya dari etnis luar Minangkabau yang telah
memberikan sumbangsihnya dalam pembangunan bangsa ini. Kita tidak akan
menafikan jasa-jasa mereka semiangpun. Adat Minangkabau tidak mengajarkan orang
Minang untuk menghilangkan jasa orang lain. Akan tetapi tidak semua jasa harus
dibalas dengan memberikan gelar adat apakah itu sako, pusako atau sangsako.
Apalagi seperti gelar “Datuk” yang dianugerahkan kepada Wi Hook Cheng
(pengusaha, orang kaya Padang yang termashur).
Kita boleh saja beradu argumtasi tentang
bagaimana cara pemberian gelar, gelar
apa yang harus diberikan, siapa-siapa yang berhak memberikan gelar dan kepada
siapa gelar- tersebut diberikan. Akan tetapi, menjadikan seorang pemangku adat
Minangkabau yang berada di luar payung ABS-SBK benar-benar suatu tindakan yang
perlu direnungkan kembali. Apakah penghulu-penghulu yang tergabung dalam KAN
Nan Salapan Suku Nagari Padang sudah siap menerima kemenakannya nanti untuk
tidak beragama Islam? Atau, pertanyaan umum yang muncul dari peristiwa ini
adalah; apakah benar penghulu-penghulu dalam KAN Nan Salapan Suku itu teguh dan
menjalankan agama Islam? Atau memang para “nan gadang basa batuah” tidak perlu
lagi beragama Islam?
Dari langkah yang telah dilangkahkan KAN
Nan Salapan Suku Nagari Padang itu, secara tersirat tentu kita boleh
beribarat; ABS-SBK tidak selayaknya lagi
dijadikan ukuran dalam tatanan adat. Sebab yang menjadi ukuran kini adalah; urang nan baharato. Tidak perlu lagi
apakah dia babangso atau tidak, baugamo (Islam maksudnya) atau tidak.
Artinya, Pemda Sumatera Barat, DPRD, LKAAM, Bundo Kanduang, MUI tidak perlu
mengancang-ancang untuk membuat suatu aturan, simulasi atau peragaan untuk
masyarakat agar bisa menjalankan ABS-SBK.
Kita tidak mau sama sekali menjadikan agama
sebagai pemicu dari suatu gejolak sosial, tetapi dengan apa yang telah
dilakukan Pangulu-pangulu Padang yang tergabung dalam KAN Nan Salapan Suku
Nagari Padang, bukan tidak mungkin akan menimbulkan dampak yang tidak produktif
bagi masyarakat Minangkabau yang sudah tenang-tenang seperti sekarang.
Kita mengharapkan Penghulu Padang jangan
sampai manjagoan ula lalok. Indak ka takamehan dek pangulu tu sajo doh.
Semoga. ***
Catatan: Wisran Hadi lahir di Padang, Sumatera Barat, 27 Juli 1945– meninggal di Padang, Sumatera Barat, 28 Juni 2011 pada umur 65 tahun. Tulisan ini merupakan tulisan yang terakhir kali dikirimkan Wisran Hadi ke e-mail saya untuk dimuat di rubrik Refleksi Harian Haluan, yang saat itu saya sebagai redakturnya. Persis tulisan itu terbit, pada Selasa, 28 Juli 2011, Wisran Hadi meninggalkan kita selamanya. Beliau meninggal saat membaca tulisan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar