CATATAN PEMENTASAN TEATER SIGN OUT
OLEH Nasrul Azwar
Pementasan Sign Out |
Sekelompok perempuan bak
peragawati di atas catwalk melenggok
bersama dentuman musik tekno yang melatarinya. Semua perempuan di atas panggung
dengan kilatan cahaya merepresentasikan tubuhnya dengan pakaian adat Minangkabau
yang telah dimodifikasi sedemikian rupa. Baju-baju berkelebat seperti menyindir
habis-habisan kepalsuan manusia di balik busana yang ia kenakan. Maka, cerita
teater selanjutnya berangkat dari sini.
Begitulah pembuka pertunjukan teater
berjudul Sign Out karya dan sutradara
Kurniasih Zaitun (Tintun) yang dihadirkan pada Selasa, 23 September 2014 di
Teater Hoerijah Adam ISI Padang Panjang.
Pertunjukan Sign Out yang merupakan program Hibah Cipta Perempuan (HCP) dari Yayasan Kelola, yang tujuannya meningkatkan kualitas karya perempuan seniman di Indonesia, membuka banyak
kemungkinan keberbagaian
tafsir terhadap pakaian adat, uniform,
simbol, dan sekaligus gugatan pada politisisasi pakaian itu sendiri.
Pakaian jadi pusat konflik dalam pertunjukan Sign Out. Selain itu, pakaian adat yang kerap dikenakan bundo
kanduang dalam tradisi adat Minangkabau, juga dipertanyakan fungsi sosialnya.
Saat tokoh bundo kanduang menyusur pentas selepas peragawati di
atas panggung menghilang, memberi ruang luas bagi penonton untuk membacanya
dalam perspektif kultural Minangkabau. Yang ingin dikatakan, sesungguhnya bundo
kanduang (representasi perempuan) berada pada posisi sosial dan kultur yang
oleng dan gamang.
Kontradiktif sosial dan kultural dalam Sign Out pun dipertajam dengan hadirnya seorang perempuan yang
dikesankan sebagai sosialita dengan penandaan demikian banyaknya memegang gadget dan kesibukannya menjawab telepon
masuk serta menghubungi relasi sosialnya. Tapi semua itu berujung pada
kepanikan psikologis yang dialami perempuan itu.
Menurut Tintun, pakaian identik dengan pencitraan dan prestise
bukan pada fungsinya yang selama ini dimaknai memberi identitas harkat,
martabat dan status sosial.
“Pakaian di Minangkabau menjadi sebuah identitas yang sangat erat
kaitannya dengan harkat, martabat dan status sosial. Bahkan ketika pakaian adat
digunakan, memberikan prestise tersendiri di lingkungan sosialnya. Namun tidak
sedikit “pakaian” adat di Minangkabau hanya dijadikan simbol untuk memberikan
ruang kekuasaan bagi orang-orang tertentu,” kata Tintun. “Sign Out bicara hal demikian.”
Pertunjukan Sign Out
memang dikesankan seperti kita membaca ilustrasi, menyaksikan klip video, dan
melihat frame lukisan. Salah satu yang menarik bagi saya ketika adegan
penembakan yang dilakukan seorang yang mengenakan baju dengan motif kotak-kotak
terhadap seorang yang memakai busana yang selalu dikenakan salah satu capres
dan Presiden Soekarno. Penembakan ini menggambarkan kekejaman politik identitas.
Klip-klip pada Sign Out
tak memberi pesan yang utuh dan verbalistis. Pesan tak disampaikan dengan
dialog verbal. Tak satu patah katapun muncul sepanjang pertunjukan Sign Out yang berdurasi 75 menit itu.
Kebocoran Kolaborasi
Masing-masing klip memang membangun ceritanya masing-masing. Jika
tak salah hitung, saya mencatat ada 9 klip yang muncul dalam Sign Out. Pakaian sebagai isu utama,
mengikat ketat setiap ilustrasi tentu saja tak menutup kebocoran yang terjadi
di atas panggung.
Kobocoran yang ingin saya katakan adalah terjadi beberapa kali
kesamaan gerak, adegan, dan permainan simbol di atas pentas, tak terkecuali
beberapa peristiwa yang dibangun tak memiliki urgensi dengan rangkaian
peristiwa lainnya.
Begitu juga dengan musik yang melatar Sign Out yang seolah melepaskan dirinya dengan semua pertunjukan. Ilustrasi musik sangat mudah
pula ditafsirkan, membangun ceritanya sendiri sehingga tak salah dikatakan, ada
pertunjukan musik dalam teater Sign Out.
Bagi saya, ini jadi sangat penting untuk jadi bahan diskusi ketika
tren yang disebut dengan kolaborasi seni lainnya dalam pertunjukan teater,
telah menafikan batasan teater itu sendiri. Pengertian pertunjukan teater
melebur dalam istilah yang kita kenal dengan seni pertunjukan semata.
Dalam Sign Out, bukan saja musik yang
terdengar “nyinyir”, seni tari (koreografi) juga menyita perhatian kendati tak
begitu dominan perannya. Kehadiran Ali Sukri, sosok koreografer muda yang baru
saja mengikuti American Dance
Festival, memperkaya simbol-simbol dan pesan yang disampaikan Sign Out.
Dengan bahasa tubuh yang lentur dan kaya gerak, Ali Sukri
berhasil menerjemahkan pakaian yang malafungsi di tengah kehidupan sosial
masyarakat. Pakaian tak semata memberi kekuasaan, misalnya, malah mempertegas
diri pemakainya sebagai orang yang memelihara kemunafikan. Di sini Sign Out menjadi sangat tajam.
Sebagian besar pertunjukan
teater yang disutradarai Kurniasih Zaitun, saya mengikutinya. Terakhir
pementasan Sebatas Kita (Off The Record) karya Wisran Hadi yang dipentaskan dalam Festival
Wisran Hadi di Taman Budaya Sumatra Barat pada tahun 2011. Walaupun sebagain
besar lagi, saya tak menontonnya.
Dalam catatan saya,
semenjak 1995 hingga kini, lebih kurang sekitar 22 seni pertunjukan ia sutradarai
dan sudah dipentaskan di pelbagai kota di Indonesia. Perjalanan panjang ini
sangat memungkinkan Tintun tercatat sebagai salah seorang perempuan sutradara
teater di Tanah Air yang hingga kini masih eksis.
Teater dan Antikata
Kecenderungan sebagai arus utama dalam
setiap penggarapan teater yang dilakukan Tintun selama ini—saya
menyebutnya—adalah nirkata. Dan ini juga terjadi pada Komunitas Seni Hitam
Putih di mana ia juga berproses di sini. Semua pertunjukannya, nyaris dihadirkan
dengan menafikan komunikasi verbal berupa dialog (kata-kata). Jika pun ada
kata-kata yang muncul, itu pun seperti seseorang mengucapkan potongan-potongan
kata-kata yang yatim- piatu. Tak berurat-berakar dalam konteks dialog.
Sign Out sudah mempertegas hal
itu. Tak satu pun ucapan yang keluar dari mulut para aktor. Peran mulut telah
digantikan dengan tubuh-tubuh aktor untuk berkomunikasi sesamanya dan juga
kepada penonton. Selain tubuh, properti
di atas panggung juga membuka luas kemungkinan-kemungkinan baru sebagai media
komunikasi dan penandaan.
Panggung dalam Sign Out sebagai ruang besar yang bisa menggerakkan semua unsur
pementasan teater. Posisi ruang, gerak dan otot tubuh aktor, multifungsi tiga
kamar ganti di atas pentas, dan sederet jemuran pakaian, bukan penanda yang
kosong. Semua properti panggung tampak hidup.
Jika dirunut ke belakang, konsistensi
garapan antikata ini memang identik dengan Komunitas Seni Hitam Putih. Selain
Tintun, dalam kelompok ini ada juga Yusril Katil yang tampak tak beranjak dari
konsep ini. Pilihan ini bukan serta merta diartikan mereka ini antinaskah. Bagi
mereka, naskah bukan lagi semata teks yang tertera di atas kertas dengan
arbitrernya. Tetapi, tubuh aktor dan properti di atas panggung adalah teks-teks
yang membahasakan dirinya.
Afrizal Malna dalam bukunya Perjalanan Teater Kedua Antologi Tubuh dan Kata (2010)
mengatakan, tubuh aktor seperti sebuah ikatan atau rajutan yang terkait antara
dirinya, teks dan ruang sebagai seluruh dramaturgi dari sebuah pertunjukan.
Teater menjadi sebuah laboratorium hidup untuk permainan politik identitas.
Sign Out tak bisa lepas dari
politik identitas itu. Politik identitas tersebut dideskripsikan dengan pakaian
adat yang acap dikenakan para datuk dan ninik mamak dalam upacara adat di
Minangkabau. Dalam realitas politik identitas, pakaian kebesaran itu, sebagai memberi
status sosial bagi yang mengenakannya. Di atas panggung teater, pakaian itu
seperti bahan lelucon yang sarkastis.
Pilihan antikata yang dilakukan Tintun
dalam Sign Out tentu memiliki konsekuensi terhadap artistik
panggung. Pencahayaan seperti bersetubuh dengan setiap gerak dan ekspresi tubuh-tubuh
aktor dan benda-benda.
Para aktor yang sulit dilacak predikat
dan identitas sosialnya, membuka penekanan makna pada pakaian yang dikenakan.
Pakaian menjadi kata kunci dari rangkaian pementasan. Pakaian di atas panggung
merajut perpidahan “cerita”. Capaian artistiknya berada pada posisi yang matang
dan penuh perhitungan.
Kebanyakan garapan teater di Sumatera
Barat, khusus kelompok yang bukan berasal dari kampus seni, elemen pencahayaan
terasa bukan sesuatu yang penting bagi mereka. Para sutradaranya meremehkan
artistik panggung. Memang, tentu saja, ini yang membedakan antara sutradara
yang bersekolah dengan otodidak yang mengandalkan “filing”.
Sign Out yang didukung 43 orang
ini, dibuka oleh barisan peragawati dengan busana adat yang beragam, dan
ditutup dengan adegan yang sama diikuti musik yang sama pula.
Sign
Out tak menawarkan jawaban
yang konkret, tapi memberi pilihan-pilihan dan prediksi terhadap kemungkinan
bahwa pakaian bukan semata identitas sosial, tapi juga sebagai alat kekuasaan.
Dan tatanan sosial akan kacau jika pakaian pertukar fungsi. Teater (seni) mampu
menangkap hal demikian, politik tentu saja tidak. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar