OLEH Zelfeni Wimra
Peneliti pada Majelis Sinergi Islam
dan Tradisi (Magistra) Indonesia, Padang
Selalu menjadi
perbincangan hangat terkait bagaimana memberi tafsir pada falsafah Minangkabau:
Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi
Kitabullah. Akan tetapi, secara utuh, dalam pemahaman kolektif masyarakat
Minang, belum dapat diurai dan diungkai ke dalam bentuk yang komprehensif,
apakah sesungguhnya syara’ itu?
Pengertian Syara’
Syara’ secara bahasa
(etimologi) adalah sebuah jalan lurus menuju sumber air untuk kebutuhan minum
bagi orang yang tinggal di gurun. Syara’
berarti solusi bagi kebutuhan seseorang akan air. Singkatnya, tanpa air orang
yang tinggal di gurun tidak akan bisa melangsungkan hidupnya. Hukum alamnya
demikian. Sedangkan makna akhir (terminologi) syara’ (lebih tepat menggunakan syari’ah) adalah titah Allah kepada
hamba-Nya dalam seluruh aspek perbuatan seperti aqidah, ibadah, mu’amalah, dan akhlak.
Pertanyaan yang
muncul kemudian adalah: aspek mana saja dari syara’ yang menjadi sendi adat di Minangkabau? Apakah semua aspek
dari syara’: aqidah, ibadah,
mu’amalah, dan akhak ataukah salah satu aspek saja? Sepertinya, pertanyan ini
tidak bisa dijawab dengan cepat. Sebab, kekuatan Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK) ini belum
sampai pada tingkat yang sudah bisa dijadikan sumber hukum adat. ABSSBK hanya
falsafah yang kalau ditelusuri sejarahnya, belum bisa dipastikan, kapan dan
atas dasar apa sesungghnya falsafah ini disosialisasikan? Siapa saja pihak yang
berkompeten hadir dalam forum penetapannya? Serta sejumlah pertanyaan lain yang
mungkin muncul atas hal ihwal ABSSK ini.
Penyebab kemungkinan
munculnya sejumlah pertanyaan tersebut terkait dengan perkembangan pengertian syara’ itu sendiri telah mengalami
perkembangan. Terhadap aspek ibadah dan muamalah, secara khusus sudah ada
kajiannya berupa fikih. Sementara, terhadap aspek aqidah berkembang menjadi
ilmu kalam (theologi) yang membahas
relasi hamba dan Tuhan. Sedangkan dalam aspek akhlak, berkembang menjadi ilmu
tasawuf. Jadi, sekali lagi, aspek syara’
mana yang menjadi sendi adat dalam konteks ABSSBK tersebut?
Barangkali sangat
perlu kembali mengungkainya sehingga terbentuk kerangka budaya atau hukum yang
jelas dari ABSSK ini. Sebagai pendekatan awal, dapat didekati melalui
pengenalan secara mendalam terhadap orientasi dari syara’ tersebut. Sebagai sebuah sistem, Syara’ tidak tercipta secara kebetulan, tetapi dengan asas dan
tujuan untuk mewujudkan maksud-maksud tertentu yakni mencapai mashlahat atau kesejahteraan bagi
manusia. Mashlahat ada yang bertujuan
untuk mewujudkan manfaat, kebaikan, kesenangan untuk manusia yang disebut
(membawa manfaat) dan ada juga yang
bertujuan untuk menghindarkan manusia dari kerusakan (menolak kerusakan). Adapun yang menjadi ukuran
untuk menentukan baik-buruknya (manfaat dan mafsadat) sesuatu yang dilakukan
adalah apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia (secara
berurutan disebut kebutuhan primer, sekunder, dan tertier).
Orientasi Syara’
Orientasi syara’ atau dalam penamaan pakar ushul
fikih maqashidu al-syari’ah, tidak
dapat dipahami kecuali dengan mengetahui apa yang dimaksud oleh syara’ dalam teks yang menjadi dalil
penetapannya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Maksud syara’ itu bertujuan untuk memelihara akal, agama, jiwa, keturunan,
dan harta yang dikenal dengan Dharuriah al-Khamsah.
Adapun pengertian maqashid
al-syari’ah secara terminologi telah dikemukakan oleh beberapa ulama ushul
fikih seperti al-Ghazali, al-Syathibi, Abdul Wahab Khalaf yang secara
komprehensif dapat diredaksikan begini: Tujuan yang dikehendaki pembuat
Syara’ dan rahasia-rahasia yang ditetapkan-Nya pada setiap hukum dari
hukum-hukum-Nya. Prinsipnya adalah
memberlakukan suatu hukum yang bertujuan untuk kemasalahatan bagi hamba Tuhan
baik di dunia dan akhirat dengan cara meraih kemanfaatan dan menolak
kemudharatan. Pengertian ini didekati dengan ilmu ushul fikih yang melingkupi
aspek ibadah dan muamalah. Pengertian ini tentu akan berkembang bila didekati
dari aspek Aqidah dan Akhlak.
Dapat dijabarkan,
bahwa, tujuan dari perntah pelaksanaan Shalat adalah untuk mengingat atau terus
berintegrasi dengan Allah melalui sejumlah ibadah, berdasarkan firman-Nya: laksanakanlah shalat untuk mengingatku. Berikutnya
terdapat rahasia dari shalat, yakni mencegak perbuatan keji dan munkar,
berdasarkan firman-Nya: Sesungguhnya
shalat mencegah perbuatan keji dan munkar.. Menurut pandangan Syathibi, tak
satu pun titah Allah yang tidak mempunyai tujuan dan rahasia yang tersembunyi
di dalamnya, serta Allah tidak mungkin membebankan sesuatu yang tidak dapat
dilaksanakan hamba-Nya.
Cara Mengetahui Orientsi Syara’ (Maqashid
Syari’ah)
Pandangan ulama
tentang bagaimana upaya mengetahui maqashid al-syari’ah oleh manusia seperti
dikemukakan al-Syathibi terbagi menjadi tiga kelompok dengan corak pemikiran
yang berbeda: Pertama, Zhahiriyah,
memahami bahwa mengetahui
orientasi syara’ adalah dengan merujuk langsung kepada teks syara’
yang akan dijadikan dalil sebuah hukum. Paham ini bisa pula dikatakan tekstualis,
cenderung menutup pemaknaan kontekstual. Terhadap corak ini diasumsikan
menstimulasi kelahiran paham fundamental.
Corak kedua, menggali dan memahami
orientasi syara’ tidak semata teks, tetapi melalui makna batin
teks (bathiniyah). Menurut paham ini, maksud pembuat syara’ tidak
terdapat dalam bentuk teks dan tidak pula sesuatu yang dipahami dari teks syara’
tersebut. Maksud pembuat syara’ adalah sesuatu yang berada di balik struktur
teks. Salah satu pendekatan yang dipakai adalah dengan qiyas, yakni dengan
tidak memandang stuktur teks semata. Apabila terdapat pertentangan antara teks
dengan konteks yang bersifat rasional, maka yang didahulukan makna konteks secara
rasional.
Ketiga, dikenal dengan ulama rashikhun fi
al-‘ilmi, yakni para pakar yang
memandang menggali secara sunguh-sunguh
tujuan atau oreintasi syara’ melalui teks syara’ sesuai dengan kapasitas keilmuwannya. Proses penggalian
pakar ini terhadap apa sesungguhnya orientasi syara’, tidak pula merusak teks syara’
dengan makna yang dicari-cari dari teks. Teks dan konteks disinergikan secara
harmoni tanpa ada perselisihan dan pertentangan.
Corak yang ketiga ini dianggap
lebih sesuai dalam mencari bentuk syara’
karena dalam mencari orientasi syara’
yang mendatangkan mashlahah
(kesejahteraan) manusia dan menolak segala bentuk kerusakan tidak terbatas pada
teks syara’ saja dan tidak pula
dengan pertimbangan akal semata. Apabila memandang dengan teks semata, akan melahirkan kesimpulan yang
menjauh dari konteks. Tentu cara ini tidak dapat menjadi sendi pada adat
Minangkabau yang pada beberapa konteksnya berbeda dengan teks syara’. Di Minangkabau, terdapat
beberapa persoalan yang tidak ditunjuki langsung oleh teks syara’. Begitu juga halnya dengan hanya menggunakan akal potensial
semata, akan membawa sesuatu yang tidak sesuai dengan tujuan syara’ yang sebenarnya. Hal ini
disebabkan bahwa pada umumnya kecenderungan akal manusia mengatakan sesuatu itu
baik apabila sesuai dengan akalnya, begitu pula akan dikatakan tidak bermanfaat apabila bertentangan
dengan akalnya.
Sekadar mengupayakan jawaban terhadap aspek syara’ mana yang menjadi sendi adat Minangkabau, langkah pertama
adalah dengan mendudukkan prinsip dari syara’
itu sendiri. Prinsip utama dari syara’
adalah tercapainya kemashlahatan dan terhindarnya kerusakan dari kualitas hidup
manusia. Langkah selanjutnya, adalah menentukan aspek syara’ mana saja yang akan menjadi sendi adat. Saya setuju,
keseluruhan aspek syara’ secara
harmoni dijadikan sendi adat. Tidak terbatas pada aspek ibadah dan mu’amalah
saja sebagaimana cenderung dipahami di Minangkabau ketika memahami falsafah
ABSSBK. Sebab bila terbatas pada aspek ibadah dan mu’amalah semata, akan memicu
keterbatanan pemahaman pada sisi normatif; boleh tidak boleh; atau halal dan
haram semata. Penafisran kembali terhadap teks syara’ dengan pendekatan yang kompetitif sesuai kepakaran
masing-masing penafsir harus terjadi terus-menerus. Akal sebagai potensi yang
diberikan kepada manusia sekaligus wahyu dan hadits sebagai teks syara’ semestinya bersinergi sehingga
dapat dijadikan sendi adat di Minangkabau. Keberlanjutan proses menggali syara’ yang kontekstual ini merupakan
kerja yang mutlak terjadi. Tentunya tetap pada rambu-rambu yang dipesankan Ali
bin Abu Thalib: lau kana ad-din bi
al-ra’yi, lakana mishu al-haffaini asfal (kalau saja beragama itu semata
dengan penalaran semata, maka menyapu sepatu mestinya pada bagian telapaknya). Wa Allahu A’lamu bi al-Shawab. n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar