Minggu, 05 Oktober 2014

PISAHKAN PENGELOLAAN DARI PARIWISATA: Kebudayaan Urusan “Wajib”

OLEH Alfian Jamrah

DARI REDAKSI: Polemik tentang Perlu atau Tidak Perlunya Dinas Kebudayan
Tulisan Prof Dr Herwandi M Hum yang diturunkan di rubrik ini mengupas sengkarut masalah pengelolaan kebudayaan yang berada dalam satu dinas dengan pariwisata. Herwandi meminta agar kebudayaan dipisahkan dengan pariwisata dalam pengelolaannya. Artinya, pemerintah harus mendirikan Dinas Kebudayaan yang berdiri sendiri.
Berikut ini, ditulis Alfian Jamrah dihadirkan sebagai respons terhadap tulisan Herwandi sebelumnya. 
Alfian Jamrah bersetuju pemerintah mendirikan Dinas Kebudayaan dengan pembagian tugas pokok dan fungsi, sementara Sudarmoko, lebih menekankan pada aspek agar pemerintah memahami terlebih dahulu arti kebudayaan secara luas. Selamat mengikuti.*** 

Alfian Jamrah
Tulisan Profesor Herwandi perlu ditanggapi, terutama oleh orang-orang yang berkecimpung atau sekurang-kurangnya yang  terkait dengan bidang ini.  Pendapat tersebut ada benarnya meskipun pemerintah juga punya alasan tertentu untuk menyatakan tidak setuju.  Dapat dikatakan benar karena sesungguhnya kebudayaan itu termasuk urusan wajib oleh pemerintah, sedangkan pariwisata hanya termasuk urusan pilihan. 
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tanggal 15 Mei 2006 dinyatakan ada 25 macam urusan wajib, yaitu antara lain urusan pendidikan, kesehatan, tenaga kerja, pekerjaan umum, pemuda olahraga, perhubungan, lingkungan hidup, sosial dan kebudayaan. 

Sementara itu urusan pilihan ada 8 macam, yaitu pertanian, kehutanan, ehergi sumber daya mineral, kelautan perikanan, perdagangan, perindustrian, transmigrasi dan pariwisata.  Sedangkan pengertian urusan itu adalah tugas pemerintah yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan pemerintahan dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat. 
Kebudayaan Kapalo Galeh
Dengan demikian berarti idealnya pemerintah harus memberikan porsi yang lebih besar pada kebudayaan, baik dalam program, struktur organisasi maupun pendanaannya.  Seharusnya kebudayaan yang menjadi  “kapalo galeh”  dan pariwisata ikut di dalamnya. Akan tetapi secara proporsional diakui bahwa selama ini kebudayaan agak kurang dibicarakan atau sekurang-kurangnya agak tertinggal dibandingkan dengan pariwisata.  Kecuali oleh orang-orang yang punya perhatian, minat dan peduli terhadap kebudayaan tersebut. 
Pengalaman selama ini dalam struktur pemerintahan, memang kebudayaan belum pernah dijadikan lembaga khusus tersendiri dan selalu dicantolkan kepada lembaga lain.  Misalnya dulu pernah ada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan kemudian kini ada Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.  Bahkan di daerah juga ada yang digabungkan dengan urusan pemuda dan olahraga.
Kebudayaan Sangat Luas
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Herwandi bahwa kebudayaan itu adalah segala sesuatu  yang dihasilkan dari daya, cipta, karya dan karsa manusia, baik berupa benda (tengible) maupun tidak berupa benda (intengible).  Bahkan saya merasakan kebudayaan itu lebih luas lagi, pokoknya semua yang terkait dengan aktivitas keseharian manusia bisa dikatakan sebagai kebudayaan.  Mungkin aktivitas makan, berpakaian, berbicara, tidur, tegur sapa dan sopan santun juga bagian dari kebudayaan.  Jadi kegiatan seseorang mulai dari bangun tidur di pagi hari hingga tidur lagi di malamnya tidak terlepas dari kebudayaan.  Maaf!  Apakah toilet bersih itu bisa pula dimasukkan bagian dari kebudayaan,  maka manusia itulah yang kebudayaan.
Beberapa waktu yang lalu di suatu kabupaten ketika membentuk lembaga Dewan Kesenian pernah ditawarkan agar nama Dewan Kesenian diganti menjadi Dewan Kebudayaan.  Tapi timbul kegamangan karena katanya urusan kebudayaan terlalu luas dan sulit  untuk mengerjakannya,  sedangkan kesenian hanya bahagian dari kebudayaan tersebut.  Akhirnya yang dibentuk hanyalah Dewan Kesenian saja yang mengurus masalah seni budaya saja, itupun tugasnya sudah sangat banyak dan luas.
Apabila diuraikan satu persatu, maka urusan kebudayaan memang bermacam ragam, sebutlah seni tradisional, permainan anak nagari, prosesi adat, pencak silat, adat dengan segala macam pernak perniknya, tokoh-tokoh adat, budaya bercocok tanam dan banyak lagi yang lainnya.  Seni tradisional saja mungkin ratusan macam jumlahnya di Minangkabau ini karena berbeda pada setiap daerah.  
Pariwisata yang Berbudaya
Pemerintah tentu juga punya alasan untuk menggabungkan kebudayaan dengan pariwisata karena kedua bidang ini dipandang sejalan dan dapat saling mengisi.  Secara umum, konsepnya adalah untuk mewujudkan pariwisata yang berbudaya agar dalam mengembangkan kepariwisataan tetap berdasarkan aspek kebudayaan. Pariwisata jangan jalan sendiri karena apabila tidak dikontrol oleh nilai-nilai budaya, maka pariwisata akan lepas kendali.   Pemerintah tetap menjadikan kebudayaan sebagai tugas pokok atau urusan wajib dan hasil kebudayaan itulah yang dilihat oleh wisatawan.  Sambil kita menjaga, melaksanakan dan melestarikan kebudayaan maka orang lain datang untuk menyaksikan dan mengenalnya. 
Jadi yang terpenting itu adalah agar pemegang kekuasaan dan pelaku pariwisata tidak berfikir terbalik,  jangan sampai mengorbankan kebudayaan hanya untuk pariwisata yang mendatangkan keuntungan.  Jangan merubah apalagi meruntuhkan kebudayaan hanya demi wisatawan dan kepentingan lainnya.  Bahkan hendaknya wisatawan yang harus menyesuaikan diri dengan pola budaya setempat  dan hal itu tidak bisa ditawar-tawar lagi. Maka diperlukan komitmen pemerintah dan seluruh masyarakat untuk bersama-sama mengawal kebudayaan tersebut.
Alasan lainnya adalah untuk efisiensi dan efektivitas karena dengan satu lembaga saja tentu akan banyak terjadi penghematan, sesuai dengan kondisi keuangan negara/daerah.  Sinergisitas keduanya juga dapat diwujudkan sehingga kebudayaan bisa berkembang dan tersosialisasikan melalui kegiatan-kegiatan kepariwisataan.  
Harapan ke Depan
Pemikiran bernas  Herwandi perlu didukung agar nanti kebudayaan diurus oleh lembaga tersendiri.  Apalagi kita hidup di Sumatera Barat yang notabene dikenal sebagai daerah beradat dengan beragam budayanya, yakni Minangkabau.  Suatu waktu nanti mungkin saja di tingkat Provinsi Sumatera Barat dan di kabupaten/kota akan ada dinas kebudayaan sebagai lembaga tersendiri.  Hal ini sudah dilakukan oleh Provinsi Bali dan Daerah Istimewa Yogyakarta.  Sesungguhnya kita punya alasan yang kuat untuk merealisasikannya jika Sumatera Barat konsisten untuk melestarikan adat budaya Minangkabau tersebut.
Selama ini memang porsi kebudayaan jauh lebih kecil dibandingkan porsi pariwisata.  Kita belum banyak mempunyai kegiatan di bidang kebudayaan, selain Pekan Budaya Sumatera Barat.  Bagaimana dengan galanggang siliah baganti pencak silat, pelatihan pidato pasambahan, lomba pepatah petitih, pembinaan tokoh-tokoh adat, aktualisasi prosesi adat seperti acara baralek, turun mandi, maminang dan manjapuik marapulai serta yang lainnya.  Sanggar seni budaya dan kelompok permainan anak nagari jumlahnya ratusan unit di propinsi ini yang perlu dibina dan dikembangkan.  Nah. semoga nanti para pelaku kebudayaanpun akan tinggi aktivitasnya dan mendapat perhatian oleh pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...