OLEH Hanafi
Mahasiswa PhD,
University of Melbourne, Australia
Jikalau kita menoleh
sejarah para tokoh Minang di masa lalu seperti H Agus Salim, M Hatta, Tan
Malaka, dan lain-lain, tentu kita akan ingat mereka juga sebagai urang Minang yang bisa mengkomunikasikan
ide dan pendapatnya ke dunia internasional melalui bahasa asing.
Haji Agus Salim sebagai
contoh, menguasai tujuh bahasa asing secara aktif dan mampu meredam cemeeh atau
cemoohan orang-orang asing terhadap jenggotnya di forum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) yang menirukan suara kambing ketika beliau naik podium
dengan fasih menyuruh ‘kambing-kambing’ yang ada di forum manusia tersebut
untuk dikeluarkan. Tindakan itu merupakan kombinasi kuat antara keterampilan
berbahasa asing dan kecerdikan beliau akibat tempaan alam dan budaya
Minangkabau. Pertanyaannya sekarang adalah: apakah ranah Minang masih akan
menghasilkan generasi cerdik pandai yang fasih berbahasa asing?
Cemooh
Orang Minang
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, ‘cemooh’ didefinisikan sebagai “tindakan mengejek, menyindir,
mengolok-olok, menertawakan untuk menghinakan”. Dengan demikian tindakan
mencemooh seseorang bisa diartikan sebagai tindakan fisik dan psikologis yang
bertujuan menghina seseorang berdasarkan ketidaksukaan terhadap orang tersebut.
Sepintas, kelihatannya tindakan cemooh ini adalah hal sepele dan tidak perlu dibahas
lebih jauh apalagi harus ditampilkan di media massa. Tapi benarkah ‘mencemooh’
adalah tindakan yang sepele?
Untuk melihat bahwa cemooh
itu memberi efek merusak yang massal, mari kita lihat contoh kasus berikut.
Setelah diberitahu oleh
dosennya bahwa menguasai keterampilan bercakap-cakap dalam bahasa Inggris itu
harus dilakukan secara aktif dan berkesinambungan dalam jangka waktu yang lama,
dua mahasiswa, A dan B, membuat kesepakatan untuk berlatih menggunakan bahasa
Inggris dimanapun mereka bertemu. Besoknya, mereka bertemu di kampus dan
langsung cas cis cus praktik bahasa Inggris. Namun, teman-teman mereka memberi
reaksi yang tidak mendukung. Bagi yang tidak begitu kenal dekat dengan mereka,
akan melayangkan pandangan sinis dan raut wajah masam, serta akhirnya membuang
muka.
Bagi teman-teman yang
kenal dengan mereka akan berkomentar: “wow, ado bule lokal di siko mah”, “mimpi
pai ka hollywood ang tadi malam yo?”, “oeh, makan roti jo keju ang tadi pagi
yo”, dan lain-lain. Akibatnya, si B yang kurang percaya diri mulai goyah tapi si
A yang fokus dengan pencapaian dan resisten dengan tantangan tidak ambil peduli
dan terus saja mengajak B untuk berbicara dalam bahasa Asing.
Namun, akhirnya si B tidak
tahan dan memutuskan tidak meneruskan usaha belajar tersebut dengan alasan
“tidak enak dengan teman-teman”. Si A mengerti dan mencari teman praktek yang
lain. Singkat cerita, begitu tamat kuliah, si B melamar ke perusahaan asing
yang akhirnya menyatakan akan menerimanya dengan gaji awal 5 juta / bulan jika dia
lulus tes bahasa Inggris aktif (berbicara). Tentu saja si B gagal karena
kemampuan berbicara dalam bahasa asing tidak bisa dibangun dalam waktu semalam,
seminggu atau sebulan, secara malas-malasan pula. Sementara si A, dengan
kegigihannya berpraktek, diterima dan diberi beasiswa untuk melanjutkan
pendidikannya bahkan sampai S3 di luar negeri.
Cerita di atas merupakan
kisah yang barangkali sudah biasa dialami oleh orang Minang namun jarang
disorot sebagai akibat fatal dari sikap memandang enteng peristiwa budaya yang sepele.
Sumbernya adalah dari resistensi Minangkabau yang homogen ketika berhadapan
dengan yang berbau bahasa asing.
Jika kita melihat
kembali ke awal cerita, kedua mahasiswa itu sama-sama berniat kuat untuk
berinvestasi demi masa depannya dengan menguasai bahasa Inggris, namun hanya
satu yang punya resistensi kepribadian yang kuat terhadap respons negatif
lingkungannya.
Jika kita melebarkan
pandangan ke, katakanlah, mahasiswa di Kota Padang saat ini, berapakah
mahasiswa yang setipe dengan si A?
Saya berspekulasi
jumlahnya barangkali 1 banding 100. Namun, yang 100 orang itu bukannya tidak
memiliki niat yang sama dengan si A. Kalau ditanya mengenai pentingnya
menguasai bahasa Inggris untuk masa depan mereka, saya yakin bahwa mereka 100% sangat
ingin menguasainya. Tetapi, bagaimana mungkin mereka akan bersungguh belajar
menguasainya jika dari awal saja mereka sudah mencemooh teman yang berkomitmen
untuk belajar?
Di sinilah sebetulnya
titik kritis dan menentukan yang berkontribusi terhadap kemunduran mahasiswa di
ranah Minang dalam menguasai bahasa asing. Ketika usaha mencapai keterampilan
berbahasa asing disikapi oleh kebanyakan mahasiswa dan lingkungan sekitar dengan
tatapan sinis serta cemoohan, mereka sebetulnya telah memperangkap dirinya
dalam jebakan kemunduran. Karena setiap cemoohan yang dilontarkan kepada orang
lain akan memberi efek balik kepada diri sendiri, yaitu paranoia terhadap
cemoohan serupa. Artinya, seseorang yang mencemooh orang lain biasanya akan
ingat dengan cemoohannya dan akan selalu bertindak agar dia tidak mendapat
cemoohan serupa dari orang lain.
Jika hipotesa ini kita
pakaikan ke kasus A & B tadi, maka teman-teman mereka yang mencemooh tadi
juga tidak akan berpraktik bahasa Inggris karena tidak mau dicemooh balik.
Hasilnya bisa ditebak, semuanya tidak akan bisa menguasai bahasa asing tersebut
secara mantap, bahkan mungkin tidak sama sekali. Bagaimana jika ternyata
beberapa dari teman-teman A & B yang mencemooh tadi bernasib beruntung
bekerja sebagai pengajar di sekolah atau perguruan tinggi (PT). Bukan tidak
mungkin mereka juga akan menularkan budaya cemooh ini secara lebih luas ke anak
didik/mahasiswa mereka. Bukankah ini berarti kemunduran masal bagi orang
Minangkabau itu sendiri?
Kalau dibandingkan
dengan daerah lain, sikap cemooh memang lebih membudaya di ranah Minang. Lihatlah
masyarakat di kota-kota yang lebih heterogen seperti Jakarta, Bandung,
Yogyakarta, tidak terlihat budaya cemooh ini dilakukan terhadap orang-orang
yang sedang belajar bahasa asing sehingga kemampuan berbahasa asing merupakan
suatu kewajaran dan kelumrahan.
Tapi coba tengok di
ranah Minang, budaya cemooh sepertinya bahkan telah diinstitusionalkan. Beberapa
koran harian Minangkabau memiliki kolom yang khusus mengomentari isu yang
sedang hangat. Komentar-komentar singkat tersebut rata-rata tidak lebih dari
sekedar cemoohan ketimbang nasehat atau saran konstruktif. Jelas ini
bertentangan dengan ajaran Islam menjadi fondasi adat Minangkabau.
Ajaran yang dimaksud
adalah untuk berkata benar dan baik atau, jika tidak ada yang benar dan baik
untuk dikatakan, memilih untuk diam. Sayangnya hal ini sepertinya malah dilanggar
oleh institusi corong informasi di tanah urang
awak ini.
Masih dalam rangka
memperingati hari guru, pengentasan budaya cemoohan ini juga harus menjadi
agenda setiap guru, pengajar, dan pendidik. Jika seorang guru sudah terlanjur
terjebak dengan budaya cemooh, tentu dia mesti berhenti meneruskan budaya
negatif tersebut melalui anak didiknya dan memberi nasehat bahwa cemooh itu
sama berbahayanya dengan merokok. Dia enak untuk dinikmati tetapi mematikan dan
meracuni orang lain dalam usaha mencapai kemajuan.
Jika kita ingin Ranah
Minang menghasilkan generasi seperti H Agus Salim, M Hatta, dan Tan Malaka
lagi, maka selain merubah perilaku sosial kita terhadap siapa saja yang
berlatih menggunakan bahasa asing, kita juga harus mengubah pola pengajaran terhadap
generasi muda sehingga mereka lebih
nyaman dan terfasilitasi dalam usaha belajarnya tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar