OLEH Anatona
Fakultas Sastra Unand
Pendahuluan
Salah satu
antisipasi dalam menghadapi era informasi dan globalisasi sekaligus era otonomi
pada permulaan abad ke 21 ini, dari segi kebuda-yaan antara lain ialah
mempertahankan dan mengem-bangkan berbagai jenis kesenian tradisional yang ada
di daerah.
Upaya ini perlu dilakukan apabila kita tidak
menginginkan kesenian-kesenian lain yang terasa “asing” menjadi sangat dominan.
Upaya mempertahan-kan dan mengembangkan kesenian daerah ini penting dilakukan
karena ia tidak saja merupakan simbol ke-pribadian bangsa tetapi sekaligus
dapat pula menjadi aset bagi pembangunan daerah.
Sudah sejak lama masyarakat Sumatra Barat
khu-susnya penduduk Kota Padang mengenal salah satu bentuk kesenian tradisional
daerah ini yang disebut gamaik. Diperkirakan musik gamaik sudah ada dan
mengalami perkembangan selama lebih dari satu abad. Hal ini didasari oleh
penuturan dari sebagian besar musisi gamaik saat ini yang mewarisi musik ini
dari dua atau tiga generasi sebelumnya.
Sepanjang sejarahnya, musik gamaik telah
berhasil menunjukkan eksistensinya di antara berbagai jenis kesenian lainnya
yang ada di Kota Padang. Bahkan pada tahun tahun terakhir ini terlihat gejala
bahwa musik gamaik makin memperlihatkan sosoknya. Salah satu yang dapat
dijadikan indikator ialah sering dilang-sungkannya festival (perlombaan)
lagu-lagu gamaik. Hingga bulan Agustus selama tahun 2001 ini saja, sudah
dilaksanakan 4 kali festival lagu lagu gamaik di Sumatra Barat. Perlombaan ini
satu kali dilak-sanakan di Payakumbuh dan tiga kali di Padang. Selain itu,
upaya-upaya yang dilakukan oleh TVRI Stasiun Padang dalam
menayangkan musik gamaik secara rutin
pada siaran-siarannya dapat pula dilihat sebagai indikator tambahan.
Sementara untuk memenuhi permintaan
ma-syarakat dalam mengisi acara acara hiburan pada pesta- pesta perkawinan atau
perayaan-perayaan yang lain dan mengisi
siaran RRI Regional Padang serta be-berapa radio swasta, musik gamaik tetap saja berperan
aktif sebagaimana pada masa-masa sebelumnya. Be-gitu pula halnya dengan
rekaman. Ada sejumlah lagu gamaik yang telah direkam dalam bentuk kaset dan VCD.
Sisi lain, lagu-lagu gamaik sudah pula diprogram dan dinyanyikan melalui
iringan orgen tunggal. Keba-nyakan jenis hiburan orgen tunggal yang aktif
mengisi acara hiburan pada pesta pernikahan di hari Minggu dan pesta-pesta
lainnya di Kota Padang saat ini terbiasa pula membawakan lagu lagu gamaik.
Semua fenomena tersebut menjadi pertanda bahwa di tengah tengah ma-raknya
perkembangan bermacam-macam jenis musik lainnya, baik sesama musik tradisional
mau pun musik-musik yang lain, musik gamaik tetap mendapat tempat di hati warga
kota.
Asal-usul Gamaik
Tidak mudah memastikan dari mana musik gamaik
berasal mengingat data-data sejarah ke arah itu belum banyak ditemukan. Meski
demikian, usaha-usaha untuk mencari dan menemukan asal-usul gamaik tetap
dilakukan. Yusriwal dan kawan-kawan melalui karyanya yang berjudul “Konteks
Sosial Gamaik” men-coba mengaitkan sejarah asal-usul gamaik dengan tarian Balanse
Madam dan tari/lagu Kaparinyo. Seperti diketahui bahwa tarian
Balanse Madam dan terutama sekali tari/lagu Kaparinyo merupakan
bagian yang me-lekat pada musik gamaik. Menurut Yusriwal, keduanya jelas bukan
berasal dari dalam wilayah Nusantara, melainkan dari luar yaitu dari Portugis.
Konsekuen-sinya, asal-usul musik gamaik bisa ditelusuri hingga ke negara
Portugis di Eropa. Lebih jauh dipaparkan bah-wa dahulu ada orang-orang Padang
yang dibawa ber-layar hingga ke Portugis lalu belajar tarian Balanse Ma-dam di
sana. Ketika pulang, mereka inilah yang ke-mudian memperkenalkan dan
menyebarkan tarian ini kepada penduduk Kota Padang (Yusriwal dkk, 1997: 5 6).
Asal-usul musik gamaik juga bisa dihubungkan
de-ngan kawasan tanah Melayu, khususnya Sumatra Timur dan Riau. Di Sumatra
Timur termasuk Riau, hidup pula sebuah jenis kesenian tradisional yang mi-rip
sekali dengan musik gamaik. Kesenian dimaksud ialah Orkes Melayu (tradisional).
Bila diamati secara cermat, baik mengenai peralatan musik (instrumen), sebagian
irama dan lirik lagu, pantunpantun, tari- tarian, mau pun corak pakaian yang
dikenakan oleh para musisi gamaik, mirip sekali dengan unsur-unsur yang ada di
dalam musik orkes Melayu yang berkem-bang di pesisir timur pulau Sumatra itu.
Perbedaan yang menonjol, sebagian besar lagu-lagu gamaik dilan-tunkan dalam
bahasa Minang dan memiliki nada dasar mayor (Anatona, 1992).
Berlandaskan kepada kemiripan-kemiripan dari
un-sur-unsur yang ada pada ke dua jenis musik tradisional tersebut, timbul
asumsi bahwa musik gamaik adalah bagian atau merupakan salah satu cabang dari
Orkes Melayu. Jadi, asal-usul gamaik bisa pula ditelusuri hingga ke tanah
Melayu.
Kemungkinan para kaum imigran dan pedagang
pantailah yang pertama kali menyebarkan musik ini ke Kota Padang. Asumsi ini
menjadi kuat karena pada kenyataannya, musik gamaik yang ada di Padang juga
didukung oleh para musisi yang bila ditelusuri asal-usulnya merupakan kaum pendatang.
Sebagai kota pantai yang memiliki aktivitas perdagangan sejak abad ke 16,
Padang banyak dikunjungi oleh para pedagang dan imigran yang datang dari
berbagai penjuru, baik dari dalam mau pun luar Nusantara (Dobbin, 1992: 95
105). Kecuali itu, selain mengekspresikan lagu-lagu khas gamaik, musik gamaik
di Kota Padang sekaligus mampu pula membawakan lagu-lagu Melayu seperti yang
biasa ditampilkan oleh Orkes Melayu.
Peristiwa peristiwa yang dialami oleh kaum
pen-datang tersebut, tercermin pada pantun-pantun yang dilantunkan dalam lagu
gamaik. Sebagian dari syair lagu-lagu gamaik mengekspresikan tentang nasib dan parasaian.
Berikut ini adalah 3 contoh deskripsi
mengenai pantun nasib dan parasaian yang biasa dilantunkan pada lagu “Sarunai
Aceh”, “Tanjuang Harapan”, dan lagu “Melayu Sri Mersing”.
“Sarunai
Aceh”
Pupuik sarunai bansi rang Agam,
bansi rang Agam
dimainkan anak di parantauan
Maratok denai di tangah
malam, di tangah malam
Takana jo untuang parasaian
“Tanjuang
Harapan”
Luruih jalan pai ka Padang
Babelok jalan ka kampuang jao
Hari hujan payuang dikambang
Namunnyo badan basah juo
“Sri
Mersing”
Sri Mersing, lagu
Melayu
Nyanyian anak dari seberang
Bila kukenang masa yang lalu
Air mataku, jatuh berlinang
Balanse Madam
Seperti yang telah disinggung pada
pendahuluan bahwa tarian Balanse Madam sebetulnya merupakan bagian dari
musik gamaik, karena seluruh proses ta-rian ini diiringi oleh instrumen musik
gamaik. Dulu, pada saat setiap kali penampilan musik gamaik, maka biasanya di
sana juga ada tarian Balanse. Jadwal tarian ini adalah di tengah-tengah
durasi waktu. Maksudnya jika sebuah penampilan musik gamaik berlangsung antara
pukul 20.00 malam hingga 04.00 dini hari, maka tarian Balanse Madam ditampilkan
sekitar pukul 23.00 hingga 01.00. Dulu orang biasa bergamaik sampai pagi.
Memasuki tahun 1970 an secara
berangsur-angsur mulai terjadi perubahan jadwal penampilan musik ga-maik.
Mengingat profesi utama dan pekerjaan dari para musisi gamaik pada keesokan
harinya, maka sekarang jarang orang yang bergamaik sampai pukul 04.00, te-tapi
dibatasi hingga sekitar pukul 02.00 dengan dise-lingi istirahat sekitar 1 jam.
Pemangkasan waktu ini juga disebabkan karena tarian Balanse Madam tidak
ikut tampil. Hanya pada acara acara tertentu saja seka-rang tarian Balanse
Madam ditampilkan. Itu pun sangat tergantung dengan permintaan pihak yang
meng-undang (penyelenggara)
Sama seperti musik gamaik, belum dapat
dipastikan darimana sesungguhnya Balanse Madam berasal dan kapan pertama
sekali tari tarian ini masuk ke Kota Padang. Sejauh ini, jawaban yang ada atas
pertanyaan- pertanyaan tersebut lebih didasarkan kepada penu-turan lisan yang
diwariskan turun-temurun, khu-susnya yang berkembang di kalangan para musisi
gamaik. Berbagai informasi yang diperoleh dari bebe-rapa informan yang
diwawancarai menyebutkan bahwa tarian Balanse Madam memang berasal dari
Portugis. Sebagian lainnya menyebutkan berasal dari Spanyol. Kelihatannya
mereka sepakat bahwa tarian ini berasal dari Eropa. Pendapat seperti ini didasarkan
kepada dua hal. Pertama, kata Balanse Madam merupakan sebuah
istilah asing yang diduga berasal dari Portugis. Kedua, corak dan gaya
tari serta bahasa komando yang digu-nakan dalam tarian Balanse Madam juga
mengeks-presikan gaya Eropa.
Mengingat karena Balanse Madam semula adalah
bagian dari gamaik, maka sejarah perkembangan musik gamaik bisa ditelusuri
melalui penyebaran tari-tarian ini. Salah satu versi mengenai bagaimana cara
tari-tarian Balanse Madam masuk ke Kota Padang me-nyebutkan bahwa kesenian ini
masuk melalui aktivitas perdagangan. Para pedagang Eropa dulunya dengan
menggunakan kapal laut banyak yang singgah dan berlabuh di pelabuhan Muaro
Padang. Sebelum berope-rasinya pelabuhan laut Teluk Bayur (Emma Haven) pada
tahun 1879 pelabuhan Muaro memegang peranan yang sangat vital bagi lalu lintas
pelayaran di pantai barat Sumatra. Meski Yusriwal berpendapat bahwa ada orang
Padang yang dibawa ke Portugis, sebaliknya bisa jadi justru orang Portugis
sendirilah yang memperke-nalkan dan mengajarkan tarian ini kepada penduduk
Padang. Rusli Amran pernah menyinggung mengenai keberadan orang Portugis di
Padang pada masa lalu (Amran, 1988: 149).
Para musisi balanse biasanya membentuk
semacam “kongsi”. Pada periode sebelum kemerdekaan, kawa-san-kawasan seperti
Kampung Nias dan Pasar Miskin, merupakan pusat pusat kongsi tarian Balanse
Madam. Memasuki periode kemerdekaan, tempat tempat di se-panjang
rangkaian perbukitan Gunung Padang seperti Kampung Batu, Bukit Lubuk, Bukit
Karan, Bukit Datar, Bukit Air Manih, Bukit Gado-gado, dan Teluk Bayur, pernah
pula membentuk kongsi kongsi Balanse. Selain dalam kawasan Kota Padang
kongsi balanse ternyata juga terdapat di Kurao dan Rimbo Panjang Kenagarian
Koto Tangah, dan Tanjungbasung di Kenagarian Batanganai, Sungaibuluh. (Anatona,
1997: 16).
Pluralitas Etnis dalam Gamaik
Selain penduduk setempat, pada bagian 2 sudah
di-singgung bahwa musik gamaik di Kota Padang didu-kung oleh orang-orang yang
bila ditarik asal-usulnya merupakan kaum pendatang. Dalam sejarahnya, Padang merupakan
tempat tujuan para imigran dari berbagai suku bangsa (etnis). Kondisi demikian
ter-ekspresikan di dalam musik gamaik. Suatu hal yang sangat khas dalam gamaik
ialah bahwa musik ini didukung oleh orang-orang yang berasal dari berbagai
latar belakang etnis, sekaligus agama. Dengan kata lain, musik gamaik di Kota
Padang bukanlah menjadi dominasi satu etnis saja, melainkan gabungan dari
be-berapa etnis.
Sebagai kota pantai, sejak awal Padang dihuni
oleh penduduk dari berbagai latar belakang etnis, baik pen-duduk etnis
Minangkabau mau pun etnis-etnis lain yang datang dari berbagai kawasan. Kecuali
etnis Mi-nangkabau sebagai penduduk mayoritas, Padang juga dihuni oleh
masyarakat etnis Nias, Jawa, Keling, Cina, Arab, dan lain lain. Masing masing
etnis memiliki seja-rahnya tersendiri ketika masuk ke Kota Padang (Safwan,
1987:14).
Hingga sekarang, setidaknya ada tiga etnis
yang ter-libat aktif di dalam musik gamaik yaitu etnis Minang-kabau, etnis
Nias, dan etnis Keling (keturunan India). Selain itu, meski tidak dapat
dikategorikan aktif, bebe-rapa orang dari etnis keturunan Cina juga ada yang
turut ambil bagian dalam musik ini. Pada tahun 1960- an ada juga etnis
keturunan Arab yang aktif dalam mu-sik gamaik. Apa yang bisa ditarik dari
kondisi semacam ini ialah bahwa gamaik merupakan jenis musik yang sangat
terbuka bagi semua orang. Dengan kata lain, musik gamaik adalah milik dari
mayoritas etnis yang bermukim di Kota Padang.
Salah satu etnis yang cukup banyak mengambil
ba-gian dalam musik gamaik ialah etnis Nias. Dalam hal ini, mereka dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu etnis Nias asli dan etnis Nias keturunan
(per-anakan). Etnis asli maksudnya adalah mereka yang la-hir dan dibesarkan di
Pulau Nias lalu merantau ke Pa-dang. Sedangkan etnis Nias peranakan adalah
mereka yang lahir di Padang dan sebagian telah melakukan kawin campur dengan
etnis-etnis lain.
Keberadaan orang Nias di Kota Padang sudah
ber-langsung sejak abad ke 17. Ketika itu VOC membawa orang Nias ke Padang guna
dipekerjakan di berbagai tempat seperti pelabuhan, perkebunan, rumah tangga,
dan lain-lain. Proses ini terus berlanjut saat pemerin-tah Hindia Belanda mulai
berkuasa menggantikan VOC sejak tahun 1799. Pada tahun 1819 dari sekitar 10.000
total penduduk Kota Padang saat itu tercatat 1.500 di antaranya adalah orang
Nias. Setelah periode tersebut hingga sekarang orang Nias banyak yang merantau
ke Padang secara sukarela. Di Padang, orang Nias banyak yang menikah dengan
orang Eropa, Cina, Keling, mau pun dengan orang Minang sendiri.
Menurut Freek Colombijn, wanita Nias di
Padang banyak menikah dengan orang Cina, sedangkan kaum laki-lakinya cenderung
menikah dengan wanita Mi-nang (Colombijn, 1994: 56)
Hampir pada setiap kelompok gamaik yang ada
di kota ini, rata-rata separuh musisinya terdiri dari orang orang Nias, baik
asli mau pun peranakan. Selain itu, sejumlah kelompok-kelompok gamaik yang
pernah ada di kota ini banyak yang terbentuk di kawasan-kawasan pemukiman orang
Nias seperti Puruih, Tunggul Hitam, Olo, Seberang Palinggam, bukit-bukit rangkaian
Gu-nung Padang, dan lain lain (Anatona, 1996: 20).
Kenyataan ini kemudian memunculkan pendapat
bahwa musik gamaik itu seakan-akan musiknya orang Nias. Pendapat ini sama
sekali keliru. Meski orang Nias banyak yang berkecimpung dalam gamaik, bukan
ber-arti gamaik adalah kesenian milik etnis Nias, karena musik ini tidak
ditemukan di Pulau Nias. Selain itu, mereka bukanlah satu-satunya yang aktif
pada musik ini. Beberapa etnis lainnya di Kota Padang turut pula mengambil
bagian di dalam gamaik.
Kedua, ialah etnis Minangkabau.
Orang Minang yang melibatkan diri dalam musik gamaik berasal dari berbagai
tempat terutama dari daerah pesisir Sumatra Barat seperti Padang, Pariaman, dan
Pesisir Selatan. Selain itu juga ada yang berasal dari Solok, Payakum-buh dan
tempat-tempat lain. Sebagai penduduk mayo-ritas, sejak awal, etnis Minangkabau
bersama-sama dengan etnis lain turut bergabung di dalam musik gamaik, baik
sebagai musisi mau pun hanya sebagai penggemar. Orang-orang dari etnis
Minangkabau yang turut berkecimpung sebagai pemusik gamaik umum-nya terdiri
dari mereka yang memiliki profesi sebagai pemusik pula pada kelompok-kelompok
kesenian yang dikelola oleh lembaga-lembaga pemerintah mau pun swasta.
Sejumlah peniup terompet dan saxophon di PT
Semen Padang dan Korem Wirabraja adalah orang Minang yang turut bergabung di
dalam musik gamaik.
Ketiga, ialah etnis keturunan
India atau yang biasa disebut orang Keling. Menurut sejarahnya, orang Keling di
Kota Padang sudah ada sejak lama. Ber-dasarkan catatan tahun 1819, terdapat
sekitar 200 orang Keling yang menetap di Padang (Safwan, 1987: 14). Iskandar
mencatat bahwa orang Keling yang per-tama sekali datang ke Padang menikah
dengan wanita Islam dari Nias (Iskandar, 1998, 16).
Dibanding dengan dua etnis di atas, orang
Keling relatif lebih sedikit berkecimpung di dalam gamaik. Meski demikian,
posisi mereka di dalam musik gamaik tidak jauh berbeda dengan yang lainnya,
baik sebagai pemusik, penyanyi, atau hanya sebagai penggemar. Di antara orang
Keling tersebut, ada pula yang bergerak sebagai pengusaha entertainment gamaik.
Khusus yang terakhir ini, mereka menjadikan musik gamaik sebagai bagian dari
bisnis. Paket-paket dari kelompok Sumbar Indah dan Putera Minang
yang dikelola oleh orang Ke-ling di kota ini misalnya, menawarkan musik gamaik
sebagai bagian dari bisnis mereka yang lebih luas.
Hikagapa
Sejauh ini, ada tiga komponen yang terhimpun
di dalam musik gamaik. Tiga komponen itu terdiri dari pemusik gamaik, penyanyi
gamaik, dan penonton (pemirsa). Mirip dengan musik-musik lainnya, tiga komponen
ini berfungsi dan memiliki peranan yang sangat penting di dalam perkembangan
kesenian tradi-sional gamaik. Dapat dikatakan bahwa tiga komponen inilah yang
selama ini berperan terhadap maju-mundurnya musik gamaik di Kota Padang.
Dua komponen pertama yaitu pemusik dan
penyanyi gamaik adalah orang orang yang terlibat langsung dan aktif di dalam
gamaik. Beberapa di antara pemusik dan penyanyi yang memiliki kemampuan
manajerial biasa-nya akan terpilih sebagai ketua kelompok gamaik. Se-dangkan
komponen ketiga yaitu penonton merupakan gabungan dari orang-orang yang aktif
sebagai kom-ponen pertama dan kedua ditambah dengan orang- orang yang tidak
aktif, baik sebagai pemusik mau pun penyanyi. Yang terakhir ini dapat
diistilahkan sebagai penggemar gamaik.
Selama periode yang cukup panjang sebelum
terben-tuknya organisasi Hikagapa (Himpunan Kekeluargaan Gamaik Padang) pada
tahun 1997, masing-masing komponen tersebut cenderung berjalan sendiri-sendiri.
Kesatuan, kekompakan, dan kebersamaan di antara mereka diakui memang ada, tapi
masih bersifat instant atau sesaat. Persatuan mereka terlihat jelas
hanya pada saat pelaksanaan pertunjukan, tampil di pentas atau di atas
panggung. Dari segi waktu kekom-pakan ini hanya terbatas pada saat-saat jam
penampilan gamaik. Sehabis tampil, masing masing mereka pulang membawa kesan
sendiri-sendiri untuk kemudian ber-temu lagi pada lain penampilan.
Bertitik-tolak dari kondisi demikian, timbul
ide un-tuk membentuk sebuah organisasi yang mampu mewadahi sekaligus menjadi
mediator bagi orang-orang dari ketiga komponen di atas. Banyak hal-hal positif
yang sebetulnya bisa diraih dan dikembangkan para musisi serta penggemar
gamaik, baik saat tampil di panggung mau pun ketika berada di luar.
Adalah Tawanto Karim, tokoh yang pertama kali
me-munculkan ide pembentukan organisasi HIKAGAPA. Sejak tahun 1960 dan
dipercayakan pula memimpin orkes gamaik Gurindam Lamo (1981) hingga
sekarang secara konsisten ia telah memberikan perhatian yang besar terhadap
kemajuan musik gamaik di kota ini.
Tidak mengherankan bila akhirnya Tawanto
terpilih sebagai ketua HIKAGAPA yang pertama. Selama 4 tahun pertama sejak
berdiri pada tahun 1997 HIKA-GAPA telah memiliki anggota sekitar 75 kepala
keluarga.
Berikut adalah daftar kelompok gamaik yang
ada di Padang yang sebagian para musisinya bergabung dengan HIKAGAPA:
• Budi Sejati
• Budi Setia
• Dayuang Palinggam
• Ganto Gumarang
• Gurindam Lamo
• Gurindam Masa
• Gurindam Olo
• Ikatan Hati
• Kumbang Cari
• Panther
• Palito Hati
• Putera Minang
• Sampai Hati
• Selendang Delima
• Sumbar Indah
• Tikam Tuo
Penutup
Lahir dan berkembangnya musik gamaik di Kota
Padang bisa dilihat sebagai sebuah penjelmaan dari konsep local genius.
Local genius kira-kira sama artinya dengan keperibadian budaya bangsa (cultural
identity). Dalam aspek yang lebih khusus, local genius dapat
di-artikan sebagai suatu kemampuan dari sekelompok masyarakat dalam
memodifikasi berbagai bentuk kebu-dayaan yang ada, kemudian dijadikan sebagai
kebu-dayaan yang khas milik mereka (Ayatrohaedi, 1986:18 19). Dalam periode
yang cukup panjang, penduduk Kota Padang yang heterogen dengan latar belakang
etnis dan agama yang berbeda secara bersama-sama telah berupaya membangun dan
mengembangkan mu-sik tradisional gamaik. Meski musik ini diduga berasal dari
luar, tetapi kemudian dimodifikasi sedemikian rupa menjadi kesenian khas kota
ini.
Selama lebih dari satu abad, ternyata musik
gamaik selain berfungsi sebagai sarana hiburan dan seni, juga menjadi wadah
interaksi antaretnis. Kelompok gamaik selama ini menjadi wadah yang sangat
strategis sebagai tempat pertemuan, perkumpulan, dan pergaulan an-tara
orang-orang yang berasal dari berbagai etnis, agama, dan status di kota ini.
Setelah bertemu atau bergabung dan lebih-lebih ketika mereka mulai bereks-presi
di dalam musik gamaik, maka segala perbedaan yang ada sudah tidak kelihatan
lagi. Dalam situasi ini yang ada hanya kebersamaan. Sejak tahun 1997 kon-disi
seperti inilah yang antara lain diusahakan oleh organisasi HIKAGAPA untuk
dimapankan sehingga kebersamaan ini tidak hanya berlangsung hanya di saat-saat
pertunjukan saja, tetapi hal yang sama juga hendaknya terus berlangsung dalam
kehidupan sehari- hari.
Bagaimanapun gamaik adalah jenis musik
tradi-sional dan musik rakyat dengan segala kelebihan dan kekurangan. Hingga
sekarang musik ini memang ma-sih eksis, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa
suatu saat nanti berangsur-angsur justru menghilang. Gejala-gejala seperti
minimnya regenerasi, berkurang-nya pemusik inti seperti pemain biola dan
akordeon, dan tidak aktifnya sebagian kelompok-kelompok ga-maik yang ada,
menjadi ancaman bagi eksistensi ga-maik di masa mendatang. Untuk mencegah semua
itu, diperlukan usaha dan sokongan dari berbagai pihak. Para musisi dan
penggemar gamaik, khususnya yang tergabung dalam HIKAGAPA sudah berbuat, namun
itu belum memadai. Diharapkan betul dukungan dan so-kongan kongkret dari
berbagai lembaga, khususnya lembaga-lembaga pemerintah yang terkait untuk
mem-bina dan mengayomi musik ini secara berkesinam-bungan, sehingga
keberadaannya sebagai aset daerah betul-betul bisa lestari.
Disampaikan dalam Seminar ‘Revitalisasi
Seni-Budaya Pesisir’, dalam Program “Festival Pesisir” diselenggarakan oleh
Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB), Padang,
27 Agustus 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar