Minggu, 28 September 2014

Tradisi Musik Gamaik dan Pluralitas Masyarakat di Kota Padang

OLEH Anatona
Fakultas Sastra Unand
Pendahuluan
Salah satu antisipasi dalam menghadapi era informasi dan globalisasi sekaligus era otonomi pada permulaan abad ke 21 ini, dari segi kebuda-yaan antara lain ialah mempertahankan dan mengem-bangkan berbagai jenis kesenian tradisional yang ada di daerah.
Upaya ini perlu dilakukan apabila kita tidak menginginkan kesenian-kesenian lain yang terasa “asing” menjadi sangat dominan. Upaya mempertahan-kan dan mengembangkan kesenian daerah ini penting dilakukan karena ia tidak saja merupakan simbol ke-pribadian bangsa tetapi sekaligus dapat pula menjadi aset bagi pembangunan daerah.

Sudah sejak lama masyarakat Sumatra Barat khu-susnya penduduk Kota Padang mengenal salah satu bentuk kesenian tradisional daerah ini yang disebut gamaik. Diperkirakan musik gamaik sudah ada dan mengalami perkembangan selama lebih dari satu abad. Hal ini didasari oleh penuturan dari sebagian besar musisi gamaik saat ini yang mewarisi musik ini dari dua atau tiga generasi sebelumnya.
Sepanjang sejarahnya, musik gamaik telah berhasil menunjukkan eksistensinya di antara berbagai jenis kesenian lainnya yang ada di Kota Padang. Bahkan pada tahun tahun terakhir ini terlihat gejala bahwa musik gamaik makin memperlihatkan sosoknya. Salah satu yang dapat dijadikan indikator ialah sering dilang-sungkannya festival (perlombaan) lagu-lagu gamaik. Hingga bulan Agustus selama tahun 2001 ini saja, sudah dilaksanakan 4 kali festival lagu lagu gamaik di Sumatra Barat. Perlombaan ini satu kali dilak-sanakan di Payakumbuh dan tiga kali di Padang. Selain itu, upaya-upaya yang dilakukan oleh TVRI Stasiun Padang dalam menayangkan  musik gamaik secara rutin pada siaran-siarannya dapat pula dilihat sebagai indikator tambahan.
Sementara untuk memenuhi permintaan ma-syarakat dalam mengisi acara acara hiburan pada pesta- pesta perkawinan atau perayaan-perayaan  yang lain dan mengisi siaran RRI Regional Padang serta be-berapa radio  swasta, musik gamaik tetap saja berperan aktif sebagaimana pada masa-masa sebelumnya. Be-gitu pula halnya dengan rekaman. Ada sejumlah lagu gamaik yang telah direkam dalam bentuk kaset dan VCD. Sisi lain, lagu-lagu gamaik sudah pula diprogram dan dinyanyikan melalui iringan orgen tunggal. Keba-nyakan jenis hiburan orgen tunggal yang aktif mengisi acara hiburan pada pesta pernikahan di hari Minggu dan pesta-pesta lainnya di Kota Padang saat ini terbiasa pula membawakan lagu lagu gamaik. Semua fenomena tersebut menjadi pertanda bahwa di tengah tengah ma-raknya perkembangan bermacam-macam jenis musik lainnya, baik sesama musik tradisional mau pun musik-musik yang lain, musik gamaik tetap mendapat tempat di hati warga kota.
Asal-usul Gamaik
Tidak mudah memastikan dari mana musik gamaik berasal mengingat data-data sejarah ke arah itu belum banyak ditemukan. Meski demikian, usaha-usaha untuk mencari dan menemukan asal-usul gamaik tetap dilakukan. Yusriwal dan kawan-kawan melalui karyanya yang berjudul “Konteks Sosial Gamaik” men-coba mengaitkan sejarah asal-usul gamaik dengan tarian Balanse Madam dan tari/lagu Kaparinyo. Seperti diketahui bahwa tarian Balanse Madam dan terutama sekali tari/lagu Kaparinyo merupakan bagian yang me-lekat pada musik gamaik. Menurut Yusriwal, keduanya jelas bukan berasal dari dalam wilayah Nusantara, melainkan dari luar yaitu dari Portugis. Konsekuen-sinya, asal-usul musik gamaik bisa ditelusuri hingga ke negara Portugis di Eropa. Lebih jauh dipaparkan bah-wa dahulu ada orang-orang Padang yang dibawa ber-layar hingga ke Portugis lalu belajar tarian Balanse Ma-dam di sana. Ketika pulang, mereka inilah yang ke-mudian memperkenalkan dan menyebarkan tarian ini kepada penduduk Kota Padang (Yusriwal dkk, 1997: 5 6).
Asal-usul musik gamaik juga bisa dihubungkan de-ngan kawasan tanah Melayu, khususnya Sumatra Timur dan Riau. Di Sumatra Timur termasuk Riau, hidup pula sebuah jenis kesenian tradisional yang mi-rip sekali dengan musik gamaik. Kesenian dimaksud ialah Orkes Melayu (tradisional). Bila diamati secara cermat, baik mengenai peralatan musik (instrumen), sebagian irama dan lirik lagu, pantun­pantun, tari- tarian, mau pun corak pakaian yang dikenakan oleh para musisi gamaik, mirip sekali dengan unsur-unsur yang ada di dalam musik orkes Melayu yang berkem-bang di pesisir timur pulau Sumatra itu. Perbedaan yang menonjol, sebagian besar lagu-lagu gamaik dilan-tunkan dalam bahasa Minang dan memiliki nada dasar mayor (Anatona, 1992).
Berlandaskan kepada kemiripan-kemiripan dari un-sur-unsur yang ada pada ke dua jenis musik tradisional tersebut, timbul asumsi bahwa musik gamaik adalah bagian atau merupakan salah satu cabang dari Orkes Melayu. Jadi, asal-usul gamaik bisa pula ditelusuri hingga ke tanah Melayu.
Kemungkinan para kaum imigran dan pedagang pantailah yang pertama kali menyebarkan musik ini ke Kota Padang. Asumsi ini menjadi kuat karena pada kenyataannya, musik gamaik yang ada di Padang juga didukung oleh para musisi yang bila ditelusuri asal-usulnya merupakan kaum pendatang. Sebagai kota pantai yang memiliki aktivitas perdagangan sejak abad ke 16, Padang banyak dikunjungi oleh para pedagang dan imigran yang datang dari berbagai penjuru, baik dari dalam mau pun luar Nusantara (Dobbin, 1992: 95 105). Kecuali itu, selain mengekspresikan lagu-lagu khas gamaik, musik gamaik di Kota Padang sekaligus mampu pula membawakan lagu-lagu Melayu seperti yang biasa ditampilkan oleh Orkes Melayu.
Peristiwa peristiwa yang dialami oleh kaum pen-datang tersebut, tercermin pada pantun-pantun yang dilantunkan dalam lagu gamaik. Sebagian dari syair lagu-lagu gamaik mengekspresikan tentang nasib dan parasaian.
Berikut ini adalah 3 contoh deskripsi mengenai pantun nasib dan parasaian yang biasa dilantunkan pada lagu “Sarunai Aceh”, “Tanjuang Harapan”, dan lagu “Melayu Sri Mersing”.
“Sarunai Aceh”
Pupuik sarunai bansi rang Agam,
bansi rang Agam
dimainkan anak di parantauan
Maratok denai di tangah
malam, di tangah malam
Takana jo untuang parasaian

“Tanjuang Harapan”

Luruih jalan pai ka Padang
Babelok jalan ka kampuang jao
Hari hujan payuang dikambang
Namunnyo badan basah juo

“Sri Mersing”

Sri Mersing, lagu Melayu
Nyanyian anak dari seberang
Bila kukenang masa yang lalu
Air mataku, jatuh berlinang
Balanse Madam
Seperti yang telah disinggung pada pendahuluan bahwa tarian Balanse Madam sebetulnya merupakan bagian dari musik gamaik, karena seluruh proses ta-rian ini diiringi oleh instrumen musik gamaik. Dulu, pada saat setiap kali penampilan musik gamaik, maka biasanya di sana juga ada tarian Balanse. Jadwal tarian ini adalah di tengah-tengah durasi waktu. Maksudnya jika sebuah penampilan musik gamaik berlangsung antara pukul 20.00 malam hingga 04.00 dini hari, maka tarian Balanse Madam ditampilkan sekitar pukul 23.00 hingga 01.00. Dulu orang biasa bergamaik sampai pagi.
Memasuki tahun 1970 an secara berangsur-angsur mulai terjadi perubahan jadwal penampilan musik ga-maik. Mengingat profesi utama dan pekerjaan dari para musisi gamaik pada keesokan harinya, maka sekarang jarang orang yang bergamaik sampai pukul 04.00, te-tapi dibatasi hingga sekitar pukul 02.00 dengan dise-lingi istirahat sekitar 1 jam. Pemangkasan waktu ini juga disebabkan karena tarian Balanse Madam tidak ikut tampil. Hanya pada acara acara tertentu saja seka-rang tarian Balanse Madam ditampilkan. Itu pun sangat tergantung dengan permintaan pihak yang meng-undang (penyelenggara)
Sama seperti musik gamaik, belum dapat dipastikan darimana sesungguhnya Balanse Madam berasal dan kapan pertama sekali tari tarian ini masuk ke Kota Padang. Sejauh ini, jawaban yang ada atas pertanyaan- pertanyaan tersebut lebih didasarkan kepada penu-turan lisan yang diwariskan turun-temurun, khu-susnya yang berkembang di kalangan para musisi gamaik. Berbagai informasi yang diperoleh dari bebe-rapa informan yang diwawancarai menyebutkan bahwa tarian Balanse Madam memang berasal dari Portugis. Sebagian lainnya menyebutkan berasal dari Spanyol. Kelihatannya mereka sepakat bahwa tarian ini berasal dari Eropa. Pendapat seperti ini didasarkan kepada dua hal. Pertama, kata Balanse Madam merupakan sebuah istilah asing yang diduga berasal dari Portugis. Kedua, corak dan gaya tari serta bahasa komando yang digu-nakan dalam tarian Balanse Madam juga mengeks-presikan gaya Eropa.
Mengingat karena Balanse Madam semula adalah bagian dari gamaik, maka sejarah perkembangan musik gamaik bisa ditelusuri melalui penyebaran tari-tarian ini. Salah satu versi mengenai bagaimana cara tari-tarian Balanse Madam masuk ke Kota Padang me-nyebutkan bahwa kesenian ini masuk melalui aktivitas perdagangan. Para pedagang Eropa dulunya dengan menggunakan kapal laut banyak yang singgah dan berlabuh di pelabuhan Muaro Padang. Sebelum berope-rasinya pelabuhan laut Teluk Bayur (Emma Haven) pada tahun 1879 pelabuhan Muaro memegang peranan yang sangat vital bagi lalu lintas pelayaran di pantai barat Sumatra. Meski Yusriwal berpendapat bahwa ada orang Padang yang dibawa ke Portugis, sebaliknya bisa jadi justru orang Portugis sendirilah yang memperke-nalkan dan mengajarkan tarian ini kepada penduduk Padang. Rusli Amran pernah menyinggung mengenai keberadan orang Portugis di Padang pada masa lalu (Amran, 1988: 149).
Para musisi balanse biasanya membentuk semacam “kongsi”. Pada periode sebelum kemerdekaan, kawa-san-kawasan seperti Kampung Nias dan Pasar Miskin, merupakan pusat pusat kongsi tarian Balanse Madam. Memasuki periode kemerdekaan, tempat tempat di se-panjang rangkaian perbukitan Gunung Padang seperti Kampung Batu, Bukit Lubuk, Bukit Karan, Bukit Datar, Bukit Air Manih, Bukit Gado-gado, dan Teluk Bayur, pernah pula membentuk kongsi kongsi Balanse. Selain dalam kawasan Kota Padang kongsi balanse ternyata juga terdapat di Kurao dan Rimbo Panjang Kenagarian Koto Tangah, dan Tanjungbasung di Kenagarian Batanganai, Sungaibuluh. (Anatona, 1997: 16).
Pluralitas Etnis dalam Gamaik
Selain penduduk setempat, pada bagian 2 sudah di-singgung bahwa musik gamaik di Kota Padang didu-kung oleh orang-orang yang bila ditarik asal-usulnya merupakan kaum pendatang. Dalam sejarahnya, Padang merupakan tempat tujuan para imigran dari berbagai suku bangsa (etnis). Kondisi demikian ter-ekspresikan di dalam musik gamaik. Suatu hal yang sangat khas dalam gamaik ialah bahwa musik ini didukung oleh orang-orang yang berasal dari berbagai latar belakang etnis, sekaligus agama. Dengan kata lain, musik gamaik di Kota Padang bukanlah menjadi dominasi satu etnis saja, melainkan gabungan dari be-berapa etnis.
Sebagai kota pantai, sejak awal Padang dihuni oleh penduduk dari berbagai latar belakang etnis, baik pen-duduk etnis Minangkabau mau pun etnis-etnis lain yang datang dari berbagai kawasan. Kecuali etnis Mi-nangkabau sebagai penduduk mayoritas, Padang juga dihuni oleh masyarakat etnis Nias, Jawa, Keling, Cina, Arab, dan lain lain. Masing masing etnis memiliki seja-rahnya tersendiri ketika masuk ke Kota Padang (Safwan, 1987:14).
Hingga sekarang, setidaknya ada tiga etnis yang ter-libat aktif di dalam musik gamaik yaitu etnis Minang-kabau, etnis Nias, dan etnis Keling (keturunan India). Selain itu, meski tidak dapat dikategorikan aktif, bebe-rapa orang dari etnis keturunan Cina juga ada yang turut ambil bagian dalam musik ini. Pada tahun 1960- an ada juga etnis keturunan Arab yang aktif dalam mu-sik gamaik. Apa yang bisa ditarik dari kondisi semacam ini ialah bahwa gamaik merupakan jenis musik yang sangat terbuka bagi semua orang. Dengan kata lain, musik gamaik adalah milik dari mayoritas etnis yang bermukim di Kota Padang.
Salah satu etnis yang cukup banyak mengambil ba-gian dalam musik gamaik ialah etnis Nias. Dalam hal ini, mereka dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu etnis Nias asli dan etnis Nias keturunan (per-anakan). Etnis asli maksudnya adalah mereka yang la-hir dan dibesarkan di Pulau Nias lalu merantau ke Pa-dang. Sedangkan etnis Nias peranakan adalah mereka yang lahir di Padang dan sebagian telah melakukan kawin campur dengan etnis-etnis lain.
Keberadaan orang Nias di Kota Padang sudah ber-langsung sejak abad ke 17. Ketika itu VOC membawa orang Nias ke Padang guna dipekerjakan di berbagai tempat seperti pelabuhan, perkebunan, rumah tangga, dan lain-lain. Proses ini terus berlanjut saat pemerin-tah Hindia Belanda mulai berkuasa menggantikan VOC sejak tahun 1799. Pada tahun 1819 dari sekitar 10.000 total penduduk Kota Padang saat itu tercatat 1.500 di antaranya adalah orang Nias. Setelah periode tersebut hingga sekarang orang Nias banyak yang merantau ke Padang secara sukarela. Di Padang, orang Nias banyak yang menikah dengan orang Eropa, Cina, Keling, mau pun dengan orang Minang sendiri.
Menurut Freek Colombijn, wanita Nias di Padang banyak menikah dengan orang Cina, sedangkan kaum laki-lakinya cenderung menikah dengan wanita Mi-nang (Colombijn, 1994: 56)
Hampir pada setiap kelompok gamaik yang ada di kota ini, rata-rata separuh musisinya terdiri dari orang orang Nias, baik asli mau pun peranakan. Selain itu, sejumlah kelompok-kelompok gamaik yang pernah ada di kota ini banyak yang terbentuk di kawasan-kawasan pemukiman orang Nias seperti Puruih, Tunggul Hitam, Olo, Seberang Palinggam, bukit-bukit rangkaian Gu-nung Padang, dan lain lain (Anatona, 1996: 20).
Kenyataan ini kemudian memunculkan pendapat bahwa musik gamaik itu seakan-akan musiknya orang Nias. Pendapat ini sama sekali keliru. Meski orang Nias banyak yang berkecimpung dalam gamaik, bukan ber-arti gamaik adalah kesenian milik etnis Nias, karena musik ini tidak ditemukan di Pulau Nias. Selain itu, mereka bukanlah satu-satunya yang aktif pada musik ini. Beberapa etnis lainnya di Kota Padang turut pula mengambil bagian di dalam gamaik.
Kedua, ialah etnis Minangkabau. Orang Minang yang melibatkan diri dalam musik gamaik berasal dari berbagai tempat terutama dari daerah pesisir Sumatra Barat seperti Padang, Pariaman, dan Pesisir Selatan. Selain itu juga ada yang berasal dari Solok, Payakum-buh dan tempat-tempat lain. Sebagai penduduk mayo-ritas, sejak awal, etnis Minangkabau bersama-sama dengan etnis lain turut bergabung di dalam musik gamaik, baik sebagai musisi mau pun hanya sebagai penggemar. Orang-orang dari etnis Minangkabau yang turut berkecimpung sebagai pemusik gamaik umum-nya terdiri dari mereka yang memiliki profesi sebagai pemusik pula pada kelompok-kelompok kesenian yang dikelola oleh lembaga-lembaga pemerintah mau pun swasta.
Sejumlah peniup terompet dan saxophon di PT Semen Padang dan Korem Wirabraja adalah orang Minang yang turut bergabung di dalam musik gamaik.
Ketiga, ialah etnis keturunan India atau yang biasa disebut orang Keling. Menurut sejarahnya, orang Keling di Kota Padang sudah ada sejak lama. Ber-dasarkan catatan tahun 1819, terdapat sekitar 200 orang Keling yang menetap di Padang (Safwan, 1987: 14). Iskandar mencatat bahwa orang Keling yang per-tama sekali datang ke Padang menikah dengan wanita Islam dari Nias (Iskandar, 1998, 16).
Dibanding dengan dua etnis di atas, orang Keling relatif lebih sedikit berkecimpung di dalam gamaik. Meski demikian, posisi mereka di dalam musik gamaik tidak jauh berbeda dengan yang lainnya, baik sebagai pemusik, penyanyi, atau hanya sebagai penggemar. Di antara orang Keling tersebut, ada pula yang bergerak sebagai pengusaha entertainment gamaik. Khusus yang terakhir ini, mereka menjadikan musik gamaik sebagai bagian dari bisnis. Paket-paket dari kelompok Sumbar Indah dan Putera Minang yang dikelola oleh orang Ke-ling di kota ini misalnya, menawarkan musik gamaik sebagai bagian dari bisnis mereka yang lebih luas.
Hikagapa
Sejauh ini, ada tiga komponen yang terhimpun di dalam musik gamaik. Tiga komponen itu terdiri dari pemusik gamaik, penyanyi gamaik, dan penonton (pemirsa). Mirip dengan musik-musik lainnya, tiga komponen ini berfungsi dan memiliki peranan yang sangat penting di dalam perkembangan kesenian tradi-sional gamaik. Dapat dikatakan bahwa tiga komponen inilah yang selama ini berperan terhadap maju-mundurnya musik gamaik di Kota Padang.
Dua komponen pertama yaitu pemusik dan penyanyi gamaik adalah orang orang yang terlibat langsung dan aktif di dalam gamaik. Beberapa di antara pemusik dan penyanyi yang memiliki kemampuan manajerial biasa-nya akan terpilih sebagai ketua kelompok gamaik. Se-dangkan komponen ketiga yaitu penonton merupakan gabungan dari orang-orang yang aktif sebagai kom-ponen pertama dan kedua ditambah dengan orang- orang yang tidak aktif, baik sebagai pemusik mau pun penyanyi. Yang terakhir ini dapat diistilahkan sebagai penggemar gamaik.
Selama periode yang cukup panjang sebelum terben-tuknya organisasi Hikagapa (Himpunan Kekeluargaan Gamaik Padang) pada tahun 1997, masing-masing komponen tersebut cenderung berjalan sendiri-sendiri. Kesatuan, kekompakan, dan kebersamaan di antara mereka diakui memang ada, tapi masih bersifat instant atau sesaat. Persatuan mereka terlihat jelas hanya pada saat pelaksanaan pertunjukan, tampil di pentas atau di atas panggung. Dari segi waktu kekom-pakan ini hanya terbatas pada saat-saat jam penampilan gamaik. Sehabis tampil, masing masing mereka pulang membawa kesan sendiri-sendiri untuk kemudian ber-temu lagi pada lain penampilan.
Bertitik-tolak dari kondisi demikian, timbul ide un-tuk membentuk sebuah organisasi yang mampu mewadahi sekaligus menjadi mediator bagi orang-orang dari ketiga komponen di atas. Banyak hal-hal positif yang sebetulnya bisa diraih dan dikembangkan para musisi serta penggemar gamaik, baik saat tampil di panggung mau pun ketika berada di luar.
Adalah Tawanto Karim, tokoh yang pertama kali me-munculkan ide pembentukan organisasi HIKAGAPA. Sejak tahun 1960 dan dipercayakan pula memimpin orkes gamaik Gurindam Lamo (1981) hingga sekarang secara konsisten ia telah memberikan perhatian yang besar terhadap kemajuan musik gamaik di kota ini.
Tidak mengherankan bila akhirnya Tawanto terpilih sebagai ketua HIKAGAPA yang pertama. Selama 4 tahun pertama sejak berdiri pada tahun 1997 HIKA-GAPA telah memiliki anggota sekitar 75 kepala keluarga.
Berikut adalah daftar kelompok gamaik yang ada di Padang yang sebagian para musisinya bergabung dengan HIKAGAPA:
• Budi Sejati
• Budi Setia
• Dayuang Palinggam
• Ganto Gumarang
• Gurindam Lamo
• Gurindam Masa
• Gurindam Olo
• Ikatan Hati
• Kumbang Cari
• Panther
• Palito Hati
• Putera Minang
• Sampai Hati
• Selendang Delima
• Sumbar Indah
• Tikam Tuo
Penutup
Lahir dan berkembangnya musik gamaik di Kota Padang bisa dilihat sebagai sebuah penjelmaan dari konsep local genius. Local genius kira-kira sama artinya dengan keperibadian budaya bangsa (cultural identity). Dalam aspek yang lebih khusus, local genius dapat di-artikan sebagai suatu kemampuan dari sekelompok masyarakat dalam memodifikasi berbagai bentuk kebu-dayaan yang ada, kemudian dijadikan sebagai kebu-dayaan yang khas milik mereka (Ayatrohaedi, 1986:18 19). Dalam periode yang cukup panjang, penduduk Kota Padang yang heterogen dengan latar belakang etnis dan agama yang berbeda secara bersama-sama telah berupaya membangun dan mengembangkan mu-sik tradisional gamaik. Meski musik ini diduga berasal dari luar, tetapi kemudian dimodifikasi sedemikian rupa menjadi kesenian khas kota ini.
Selama lebih dari satu abad, ternyata musik gamaik selain berfungsi sebagai sarana hiburan dan seni, juga menjadi wadah interaksi antaretnis. Kelompok gamaik selama ini menjadi wadah yang sangat strategis sebagai tempat pertemuan, perkumpulan, dan pergaulan an-tara orang-orang yang berasal dari berbagai etnis, agama, dan status di kota ini. Setelah bertemu atau bergabung dan lebih-lebih ketika mereka mulai bereks-presi di dalam musik gamaik, maka segala perbedaan yang ada sudah tidak kelihatan lagi. Dalam situasi ini yang ada hanya kebersamaan. Sejak tahun 1997 kon-disi seperti inilah yang antara lain diusahakan oleh organisasi HIKAGAPA untuk dimapankan sehingga kebersamaan ini tidak hanya berlangsung hanya di saat-saat pertunjukan saja, tetapi hal yang sama juga hendaknya terus berlangsung dalam kehidupan sehari- hari.
Bagaimanapun gamaik adalah jenis musik tradi-sional dan musik rakyat dengan segala kelebihan dan kekurangan. Hingga sekarang musik ini memang ma-sih eksis, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa suatu saat nanti berangsur-angsur justru menghilang. Gejala-gejala seperti minimnya regenerasi, berkurang-nya pemusik inti seperti pemain biola dan akordeon, dan tidak aktifnya sebagian kelompok-kelompok ga-maik yang ada, menjadi ancaman bagi eksistensi ga-maik di masa mendatang. Untuk mencegah semua itu, diperlukan usaha dan sokongan dari berbagai pihak. Para musisi dan penggemar gamaik, khususnya yang tergabung dalam HIKAGAPA sudah berbuat, namun itu belum memadai. Diharapkan betul dukungan dan so-kongan kongkret dari berbagai lembaga, khususnya lembaga-lembaga pemerintah yang terkait untuk mem-bina dan mengayomi musik ini secara berkesinam-bungan, sehingga keberadaannya sebagai aset daerah betul-betul bisa lestari.

Disampaikan dalam Seminar ‘Revitalisasi Seni-Budaya Pesisir’, dalam Program “Festival Pesisir” diselenggarakan oleh Dewan Kesenian  Sumatra Barat (DKSB), Padang, 27 Agustus 2001



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...