Minggu, 28 September 2014

Tradisi Baindang dan Pengaruh Budaya Islam di Pesisir Sumatra Barat

OLEH Ediwar 
Dosen STSI (ISI) Padangpanjang

Piaman tadanga langang
Baindang mangkonyo rami
Tuan kanduang tadanga sanang
Bao tompanglah badan kami.
Demikian ungkapan yang pernah terlontar oleh pemain indang ketika berlangsungnya
pertunjukan. Biasanya pantun yang lebih po-puler adalah penggunaan batabuik mangkonyo rami, tapi bagi pemain indang merefleksikannya pada per-tunjukan indang.

Hal ini karena kenyataanya ketika alek indang (tradisi baindang) masyarakat selalu ramai mengunjungi tempat pertunjukan. Seni pertunjukan indang dipandang bagian dari kehidupan masyarakat. Ia hadir di tengah-tengah masyarakat, oleh masyarakat, dan juga untuk masyarakat.
Mencermati ranah pesisir Sumatra Barat dari dulu hingga sekarang masih banyak menyimpan ragam ke-senian yang dipengaruhi oleh budaya Islam, seperti zikir, barzanji, tabuik, salawaik, dabuih, indang dan sebagainya. Kondisi kesenian itu di era globalisasi sekarang sangat bervariasi, ada yang berkembang baik dan ada pula yang mengalami kemunduran menuju kepunahan. Salah satu kesenian ranah pesisir yang cukup penting mendapat catatan pada “Festival Pesisir 2001” ini adalah indang Pariaman. Keberadaan keseni-an indang yang ada sekarang merupakan perwujudan dari kesenian  indang masa lampau yang bergulir men-jadi seni pertunjukan rakyat masyarakat Pariaman. Untuk melihat kesenian indang masa kini, sudah barang tentu akan berhubungan dengan suatu proses perjalanan panjang kehidupan sosial budaya masya-rakat Pariaman masa lampau. Dalam hal ini penulis akan melihat indang sebagai budaya Islam yang hidup di surau, seni pertunjukan rakyat, dan prospek masa datang.
Kesenian Indang dalam Konteks Budaya Surau
Kesenian indang adalah salah satu kesenian yang bernapaskan Islam di Minangkabau. Kehadirannya me-rupakan realisasi dari sistem pendidikan tradisional di surau dalam rangka mengembangkan ajaran agama Islam oleh ulama-ulama atau guru-guru agama. Ke-senian ini awalnya dibawa ulama-ulama Islam dari Aceh ke Pariaman, kemudian mengalami akulturasi dengan kebudayaan Minangkabau. Tujuan utama dari kesenian ini adalah sebagai sarana pengembangan ajaran agama Islam kepada masyarakat.
Berbagai pendapat tentang sejarah masuknya agama Islam dan kebudayaannya ke Minangkabau cukup beragam juga, namun berdasarkan informasi umum menunjukkan, bahwa agama Islam sudah mulai diper-kenalkan oleh pedagang-pedagang dan penyiar agama Islam sekitar abad 14. Agama Islam masuk dari Aceh melalui pesisir Barat pulau Sumatra dan lebih ber-kembang di Ulakan-Pariaman, yang merupakan kota pelabuhan Aceh yang terpenting waktu itu di Minang-kabau (HAMKA, 1982:3-5). Kemudian dari ranah Pariaman ini pulalah agama Islam bergerak ke daerah darek. Akhirnya Aceh menjadi penting bagi orang Minangkabau yang datang ke sana untuk belajar agama Islam, karena di samping adat dirasakan ke-agungannya, juga mempunyai banyak persamaan dengan tradisi adat Minangkabau. Kebudayaan yang masuk ke Minangkabau itu masih dipengaruhi oleh Islam dan anasir-anasir kepercayaan dan kebudayaan bangsa-bangsa yang dilaluinya, seperti  kebudayaan Persi, India, Aceh, dan baru kemudian berakulturasi pula dengan kebudayaan setempat (Pariaman).
Dalam kaitan ini, proses akulturasi merupakan proses perubahan akibat terjadinya penyatuan kebu-dayaan, di mana komunitas kebudayaan lebih maju akan mempengaruhi komunitas kebudayaan yang lebih sederhana. Sebagai contoh adalah kuatnya pe-ngaruh modus-modus musik Islam pada nyanyian indang, seperti maqam, iqa’at, avaz, dan musik-musik gambus. Maqam merupakan ciri yang dapat menggam-barkan tangga nada, struktur interval, ambitus, dan sebagainya. Maqam sering  disajikan  dalam  struktur  interval  urutan nada naik (assending) mau pun turun (discending) dalam urutan yang berbeda. Iqa’at adalah ide tentang modus-modus atau pola-pola ritme pada musik Islam, seperti pola-pola ritme yang terdapat pada musik gambus. Avaz adalah ciri musik yang diper-gunakan dalam musik Islam dalam bentuk melodi yang bergerak secara bebas tanpa birama. Kemudian modus-modus itu berpadu dengan budaya musik Minang-kabau.
Kuatnya pengaruh kebudayaan Islam dalam sanu-bari masyarakat Pariaman, maka setiap kegiatan senantiasa dijiwai oleh pandangan Islam. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan suatu kesenian dalam lingkungan suatu masyarakat yang umumnya memeluk agama Islam, sudah barang tentu, keseniannya akan bernapaskan Islam pula, walau pun unsur-unsur tradisi ikut menjiwai kesenian itu (Kuntowijoyo, 1986/1987:24).
Pada umumnya orang Pariaman berpendapat bahwa kehadiran kesenian indang merupakan realisasi dari sistem pendidikan surau secara tradisional, khususnya cara-cara berzikir, mengaji sifat Tuhan, riwayat Nabi dan Syekh. Pengajian ini dilagukan sambil duduk bersila yang sangat rapat sambil mengoyangkan badan ke kiri, ke kanan, ke depan, dan ke belakang.
Tumbuh dan berkembangnya kesenian indang yang merupakan musik yang sangat kuat pengaruh musik-musik Islam telah memberikan petunjuk kepada kita bahwa kesenian ini merupakan produk budaya Islam dan Minangkabau. Nyanyian-nyanyian itu diiringi dengan instrumen rapa’i atau rebana. Penggunaan rapa’i (rebana ukuran kecil ) merupakan alat musik membrannofon yang cukup berkembang di penjuru dunia yang mayoritas memeluk agama Islam. Surau yang pertama kali menggunakan rapa’i itu adalah di surau Tanjungmedan. Hal ini dilakukan atas inisiatif seorang guru surau Dalin Naaman. Salah satu syair lagu indang menyebutkan:
            Bermula di Tanjuangmedan,
            Talatak dakek nagari Ulakan,
            Nama beliau Dalin Naaman,
            Pakaro indang mulo didendangkan,
            Kalau saorang jikok dikaji,
            Para ulama atau pawarih Nabi,
            Manuruik caro tiok nagari,
            Manarangkan agamo jalan ilahi,
            Sabaleh sahabat nan maikuti,
            Mangambangkan agamo dengan rapa’i
Sajian kesenian indang mulanya dibagi atas kelom-pok-kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 7 (tujuh) orang pemain yang kesemuanya laki-laki, masing-masing pemain memegang satu buah rapa’i. Mereka duduk secara bersyaf bersila yang sangat rapat, dengan pakaian rapi dan kain sarung. Ketujuh orang itu disebut anak indang yang dipimpin oleh seorang guru yang disebut tukang zikir (tukang dikie). Sebagai tukang zikir pertama adalah Dalin Naaman, sehingga anak indang atau murid-muridnya sering disebut anak Dalin Naaman.
Pada awalnya rapa’i yang digunakan sebagai peng-iring lagu indang adalah rapa’i ukuran besar (rebana), akan tetapi karena kesenian indang terus berkembang dengan melahirkan gerak-gerak tari yang makin rumit dan cepat, sehingga seniman indang dan guru-guru surau menggunakan rapa’i ukuran kecil agar dapat di-gunakan lebih lincah dan cepat dalam menari, sebagai-mana syair berikut:
Bahasa Pariaman          
Agamo Allah dikambangkan
Nan ajaran Nabi Nuhammad
Halal jo haram pabedokan
Syari’at  ta’at baibadat

Adat syarak samo sajalan,
Kalat syari’at bahakikat,
Banamo indang di Piaman,
Sabab sudah baralah tampek.

Dari Aceh ke Pariaman,
Nan tujuan barubah tidak,
Gunonyo indang didirikan,
Ka panyokong adaik dengan syarak.

Ka panyokong adaik jo syarak,
Usah mato buto sabalah,
Tahu di duya kok bamain,
Kampuang akhirat tampek pindah.

Kalat syari’at bahakikat,
Banamo indang di Piaman,
Sabab sudah baralah tampek. 
Dari Aceh ke Pariaman,

Nan tujuan barubah tidak,
Gunonyo indang didirikan,
Ka panyokong adaik dengan syarak. 
Ka panyokong adaik jo syarak,

Usah mato buto sabalah,
Tahu di duya kok bamain,
Kampuang akhirat tampek pindah.        

Bahasa Indonesia

Sebelum indang dinamakan,
Dari sejarah di dengarkan,
SyekhAbdul Kadir yang ditauladan,
Tempat tinggalnya di India.

Tempat tinggalnya di India
Kampung kecilnya Jailani
Adam Salhi nama buya
Nama Ibu Siti Magribi

Nama Ibu Siti Magribi
Sebelas sahabat yang mengikuti
Menagajarkan syariat Nabi
Dengan alar namanya Rapa’i

Sampai ke Aceh permulaan
Tujuannya belum berubah
Syari’at nabi diajarkan
Mengembangkan agama Allah

Agama Allah dikembangkan
Ajaran Nabi Muhammad
Halal dengan haram dibedakan
Syariat ta’at beribadat

Adat dan syarak sejalan
Kalat syari’at berhakikat
Bernama indang di Pariaman
Sebab sudah berubah tempat

Dari Aceh ke Pariaman
Yang tujuannya tidak berubah
Gunanya indang didirikan
Untuk penunjang adat dengan agama

Untuk penunjang adat dan agama
Jangan mata buta sebelah
Di dunia tempat bermain
Di Akhirat tempat pindah

Syair di atas menggambarkan bahwa indang berasal dari kesenian rebana. Semula dikembangkan oleh Syekh Abdul Kadir Jailani, kemudian dilanjutkan ke Aceh, dan dari Aceh berkembang pula ke Pariaman.  Jenis kesenian rebana itu di Pariaman lama kelamaan berubah nama menjadi kesenian indang, dengan nama instrumen musik rapa’i.
Menariknya cara penyajian indang di surau Tan-jungmedan tersebut, memberikan inspirasi bagi surau-surau lainnya untuk meniru, seperti surau Kuraitaji dan surau Rambai. Masing-masing surau itu mem-punyai seorang tukang zikir. Untuk mempererat hubungan antara ketiga kelompok tersebut, mereka saling berkunjung dalam rangka silaturahmi untuk memperdalam ilmu keagamaan, terutama dalam mengaji sifat Tuhan, riwayat Nabi atau pujian kepada Allah. Kelompok-kelompok itu menyajikan kemam-puan masing-masing secara bergantian dihadapan guru (syekh). Akhirnya tercipta indang tigosagi (segitiga) di daerah Padangparia-man. Munculnya indang tigosagi itu mengantarkan mereka saling berkunjung dalam rangka silaturrahmi. Mereka berkunjung untuk uji kemampuan bidang agama, yaitu dengan cara; satu kelompok menyampaikan sebuah riwayat sambil mela-kukan gerak tari dan bernyanyi, menyampaikan ri-wayat nabi, sifat Tuhan, dan sebagainya. Kemudian di-lanjutkan oleh kelompok lainnya. Bagi kelompok yang tidak bisa melanjutkan riwayat itu dianggap kalah da-lam permainan indang (alah kalai indangnyo). Sistem kunjung berkunjung gaya indang Pariaman itu disebut dengan manapa (bertandang). Keberhasilan kelompok indang mencerminkan kesuksesan guru dalam men-didik muridnya di surau. Kalau suatu kelompok tidak mampu menjawab pertanyaan akan dipertanyakan ke-mampuan guru dalam mendidik murid-muridnya di surau yang dia bina.
Penyajian indang pada zaman surau ini selalu me-ngumandangkan syair-syair yang berorientasi pada ke-agamaan. Setiap penyajian selalu dimulai dengan bas-malah dan do’a. Mereka seakan tapakur menyatukan diri menghadap Tuhan, karena di dalam Islam kebuda-yaan itu harus berlandaskan tauhid yang murni dalam masyarakat. Taufik Ismail menyebutkan, bahwa dalam misi dakwah harus berdasarkan tauhid, dengan niat lillahi ta ala, dan harus memenuhi syarat-syarat keseni-an, seperti puitisasi sehingga orang yang membaca atau mendengar merasa tertarik. Cara demikian adalah sa-lah satu dakwah (1984:70).
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa kesenian indang punya misi untuk mengembangkan ajaran aga-ma Islam dengan ketulusan hati. Pemain indang harus mampu memaparkan ajaran Islam itu sesuai menurut etika dan estetika  Islam.  Ini mengandung arti bahwa  segala daya upaya manusia di dalam mencipta “kein-dahan” selalu berlandaskan kepada moral Islam, yaitu nilai-nilai baik dan buruk menurut etika dan estetika Islam (Sidi Gazalba, 1975:17). Oleh karena itu, peranan guru-guru surau dan muridnya dalam menyajikan   indang bukanlah sebagai satu kebutuhan hiburan saja, lebih dari itu mengajak umat kepada kebaikan, dan menghindarkan  diri dari kemudharatan.
Tradisi Baindang dalam Konteks Pertunjukan Rakyat
Perkembangan sosial budaya masyarakat Padang-pariaman khususnya, dan Sumatra Barat pada umum-nya, dari waktu ke waktu semakin mengalami peru-bahan, baik sistem politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya secara tidak langsung akan ikut mempe-ngaruhi keberadaan kesenian indang yang hidup di surau-surau itu.
Salah satu pengaruh besar terhadap keberadaan ke-senian indang di surau adalah berkembangnya sistem pendidikan baru di Sumatra Barat, yaitu hadirnya sekolah-sekolah madrasah setingkat lebih maju dari sistem surau, di mana cara dakwah Islam berubah men-jadi bentuk ceramah, atau pidato yang didukung oleh buku-buku, dan murid-murid duduk di atas bangku dengan sistem kelas (Mahmud Yunus, 1979:66). Se-dangkan di surau memberikan pelajaran secara lisan yang dinyanyikan dengan manghapalkan tutur guru, seperti Madrasah Adabiyah (1909) di Padang, Madrasah School di Batusangkar, dan beberapa madrasah lain-nya.
Pada tahun 1917 kelompok indang dari surau Koto-marapak mengambil alternatif dengan menyusun lagu yang tidak menyebut masalah agama saja, tapi juga ma-salah adat istiadat, ekonomi, sosial, dan sebagainya. Hal ini dilakukan agar kesenian indang tetap hidup baik dalam masyarakat yang berubah, sehingga sajian  indang lebih memperluas persoalan-persoalan yang hendak disampaikan kepada masyarakat. Hal ini ter-ungkap dalam syair berikut.
Di tahun tujuah baleh mulo dicubo,
Mamasiahkan indang balunlah lamo,
Parakaro nabi kami tak baco,
Kami maradatkan bungo ka bungo.

Digubahnya teks kesenian indang tersebut, lambat laun unsur-unsur keagamaan yang semula menjadi topik utama mengalami pergeseran dan perkem-bangan. Hal ini pada awalnya menimbulkan persoalan baru bagi pencinta kesenian indang di surau, dari  satu pihak ada yang menyetujui atas inisiatif pembaharuan, dan dipihak lain ada yang ingin mempertahankan nilai-nilai keagamaan. Pada akhirnya terdapat dua je-nis kesenian indang, yaitu kesenian indang yang tetap mempertahankan nuansa keagamaan yang dipertun-jukan di surau, dan kesenian indang yang bersifat du-niawi dipertunjukan di luar surau. Dari kedua jenis itu pada akhirnya lebih berkembang pada jenis kese-nian indang yang banyak menyampaikan masalah ke-duniawian, dan inilah yang menjadi seni pertunjukan rakyat.
Tradisi baindang dalam kontek pertunjukan rakyat selalu disajikan tiga kelompok indang yang bertan-ding. Posisi tempat duduk ketiga kelompok  memben-tuk segitiga. Sajian ketiga kelompok ini disebut sapa-naiak indang (satu kali sajian indang). Ketiga kelompok indang tersebut melaksanakan pentas selama dua ma-lam berturut-turut. Masing-masing kelompok duduk bersila dan berderet dengan jalan menghimpitkan paha kanan pada paha kiri temannya. Ketiga kelompok indang melakukan tanya-jawab atau sindir-menyindir berbagai persoalan yang terjadi saat pertunjukan ber-langsung.
Jumlah pemain indang setiap kelompok  sekitar 8 hingga 22 orang, dengan ketentuan; satu orang ber-tindak sebagai tukang dikie (tukang zikir), dan se-lebihnya berjumlah ganjil duduk berderet di depan tukang zikir itu, yaitu Tukang aliah, tukang apik, tukang pangga, dan tukang palang.
Tukang aliah, biasa juga disebut tukang karang, karena dia adalah pembantu utama tukang zikir dalam mengarang syair dan pantun untuk menyindir, me-nanya, dan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh tukang aliah pihak lawan. Pantun dan syair oleh tu-kang aliah ini diikuti oleh anggotanya secara bersama-sama. Selain itu juga bertugas mengawali dan meng-akhiri pertunjukan, menentukan pola tabuhan rapa’i, menentukan arah gerak tari, serta peralihan lagu. Posisi duduk dari tukang aliah ini adalah paling tengah dari susunan anak indang.
Tukang apik, terdiri dari dua orang yang mengapit kedudukan tukang aliah kesenian indang. Satu orang di antaranya bertugas meningkah atau memberi variasi bunyi rapa’i yang ditabuh tukang aliah. Sedangkan satu orang lagi bertugas menabuh rapa’i dengan pola yang berbeda dengan tukang apik pertama.
Tukang pangga, terdiri dari dua orang atau tiga orang yang duduk disebelah kiri dari tukang apik ba-gian paling kiri, dan di kanan tukang apik sebelah ka-nan. Tukang pangga biasanya terdiri dari remaja-re-maja berumur sekitar 12 (dua belas) sampai 17 (tujuh belas) tahun. Mereka adalah pemanis (memperindah) susunan anak indang lainnya, dan biasanya juga dise-but dengan predikat bungo nan salapan (bunga yang kedelapan). Pola tabuhan rapa’i sama dengan tukang apik kedua.
Tukang palang, terdiri dari beberapa orang anak-anak berumur antara 7 (tujuh) sampai 12 (dua belas) tahun. Mereka sebagai generasi penerus indang. Mula-mula sebagai pengikut dan lama-kelamaan meningkat pada tingkat lebih tinggi. Mereka duduk paling ujung dalam bermain indang. Pola tabuhan rapa’i sama de-ngan tukang apik kedua.
Selain anggota-anggota pemain di atas, juga terdapat tugas lain yang dijabat oleh orang tertentu, dan dia adalah termasuk bagian penting dalam anggota indang yang disebut dengan tuo indang.
Tuo indang adalah orang yang bertugas menjaga ke-selamatan anggota pemain secara keseluruhan baik lahir mau pun batin. Karena baindang merupakan per-tandingan, maka sering terjadi juga saling menguji ke-mampuan ilmu-ilmu kebatinan yang tidak dapat di-lihat dengan mata. Dalam bahasa daerah Minangkabau diungkapkan menjago angin nan kabasiua, manjago ombak nan kabadabue, (menjaga anak indang dari berbagai kemungkinan yang mengganggu kelancaran pertunjukan, baik lahir mau pun batin).
Indang dan Strategi Pengembangan
Kesenian indang dewasa ini sesungguhnya mengalami perkembangan yang cukup menjanjikan masa depan positif. Dampaknya sangat dirasakan masyarakat Padangpariaman hingga kini, yaitu dengan semakin banyaknya kelompok-kelompok indang atas binaan nagari. Setiap adanya kegiatan alek nagari, selalu ra-mai dikunjungi anak-anak indang, baik yang ikut pentas mau pun yang tidak.
Secara kualitas, materi sajian indang terus meng-alami perkembangan, yaitu dengan semakin kayanya lagu-lagu, gerak dan persoalan-persoalan  yang diba-wakan. Semuanya itu bertujuan untuk menyesuaikan dengan selera masyarakat penikmat kesenian ini. Ke-mudian, secara kuantitas kesenian indang sudah mampu menembus ruang yang lebih besar dalam per-tunjukannya. Kesenian ini tidak hanya dipertunjukan di wilayah budaya Padangpariaman saja, tapi lebih dari sudah ada yang ditampilkan di daerah-daerah lain, seperti Padang, Jakarta, Pakanbaru, dan Medan. Artinya, kesenian indang tidak hanya untuk kebutu-han pertunjukan dalam rangka alek nagari, akan tetapi juga dapat dipertunjukan di luar konteks tersebut, seperti untuk kepentingan hajatan keluarga, kepen-tingan pemerintah, dan kepentingan hiburan lainnya.
Kenyataan yang kita lihat dari setiap adanya alek nagari, ternyata kesenian indang bukan jenis kesenian yang kaku. Pelaku kesenian ini lebih terbuka untuk membuka diri untuk berkembang. Indang yang ber-gerak dari surau menjadi kesenian rakyat menunjukan bahwa kesenian indang bukanlah kesenian yang kaku, tetapi kesenian yang hidup senapas dengan tradisi-tradisinya yang luwes. Di dalamnya ada unsur-unsur konservatif kuat dan bertahan, dan unsur-unsur prog-resif dapat mengembangankan diri dari cerminan alam yang selalu berubah mengikuti zaman. Namun dalam penerimaan unsur-unsur baru selalu berpedoman pada nan elok dipakai, nan buruak dibuang (baik dipakai, buruk dibuang). Hal ini sesuai dengan konsep peru-bahan menurut adat Minangkabau yang berbunyi: Usang-usang dipabaharui, lapuak-lapuak dikajangi, nan elok dipakai, nan buruak dibuang, kok singkek diuleh, panjang mintak dikarek, nan umpang mintak disisik (Usang-usang diperbaharui, lapuk-lapuk diperbaiki, yang baik dipakai, yang buruk dibuang, jika pendek ditambah, panjang minta dipotong, jika kurang minta disisik) (Nasroen,  1957:. 40-41)
Sebagai akibat dari proses ketidakkakuan ini adalah terjadinya pengembangan bentuk dan isinya. Bentuk pertunjukan semula dalam bentuk segitiga, namun su-dah ada yang hanya satu kelompok (satu sanding saja). Hal ini menunjukkan bahwa dalam proses perjalanan-nya, kehidupan kesenian indang akan mengalami berbagai perubahan pengembangan berupa penam-bahan-penambahan unsur-unsur baru dan pelepasan unsur-unsur lama, baik melalui penemuan mau pun peminjaman secara selektif. Bagi unsur-unsur lama yang dikira dapat dimanfaatkan dan sesuai menurut selera zamannya akan tetap terpakai dan dikembang-kan, dan bagi yang sudah tidak cocok akan terlepas sendirinya dalam konteks pertunjukan zaman yang di-laluinya. Demikian juga dari segi isi, kesenian indang sudah menampakkan materi sajian kepada masalah yang disesuaikan dengan selera pasar.
Upaya untuk menghidupkan kesenian indang ada-lah suatu usaha yang amat perlu dilakukan oleh sese-orang, kelompok, pemerintah dan lainnya agar kese-nian itu hidup dan berkembang dengan baik di  tengah-tengah masyarakat pendukungnya demi peningkatan kualitas dan kuantitas kesenian tersebut, sehingga ke-senian indang dapat dipertahankan keberadaannya di tengah gejolak silang budaya yang menggebu-gebu. Dalam hal ini perlunya upaya pengembangan-pengem-bangan dengan cara memberi napas baru yang kreatif sesuai dengan perkembangan selera masa kini. Tentu saja adanya pelaku yang menjalankannya, apakah itu individu, lembaga, kelompok masyarakat, pengusaha dan sebagainya.
Tentu akan timbul pertanyaan, siapa yang berhak mengembangkan serta bagaimana untuk membina dan mengembangkannya? Sebagainya jawabannya adalah masyarakat itu sendiri bersama-sama dengan unsur-unsur terkait di lingkungannya. Karena indang sebagai kesenian rakyat tumbuh dan berkembang di ling-kungan masyarakatnya, alam sekitarnya, dan seluruh aspek kehidupannya sebagai totalitas yang utuh dalam ikatan komunal yang akrab.
Mempertahankan agar kesenian indang hidup se-cara berkelanjutan sesungguhnya sangat terkait juga dengan tungku nan tigo sajarangan (alim ulama, cerdik pandai, ninik mamak) secara terus menerus mendo-rong dan memberi arahan kepada generasi muda dan anak kemenakannya. Anak-anak usia sekolah dianjur-kan untuk pandai bermain indang. Di setiap nagari dianjurkan untuk memiliki kelompok indang.
Dalam perkembangnya, semenjak tahun 1970-an kehidupan sosial budaya masyarakat Sumatra Barat se-cara perlahan-lahan mengalami perubahan menuju si-kap masyarakat pada pola perilaku budaya modern. Per-sentuhan kebudayaan memberi pengaruh besar bagi kehidupan masyarakat, baik faktor dari dalam mau pun dari luar yang meningkat dengan majunya dunia tek-nologi, komunikasi dan informasi, hingga mengantar-kan terjadinya suatu pergulatan budaya pribumi de-ngan budaya yang datang.
Hal ini secara tidak langsung memberikan dampak bagi keberadaan kesenian indang. Sebagian masya-rakat berpandangan bahwa dengan meningkatnya in-tensitas kontak-kontak budaya akan menghancurkan tradisi-tradisi yang dianggap sudah mapan—termasuk indang—yang punya nilai filosofi tinggi, karena de-ngan masuknya budaya lain, kita akan berhadapan langsung dengan suatu kebudayaan asing termasuk gaya hidup yang didemonstrasikan oleh pendatang. Di pihak lain ada yang menyatakan bahwa dengan ma-suknya budaya luar mendorong kita untuk lebih kreatif dan peduli membuat kesenian itu hidup seiring de-ngan perkembangan zaman. Untuk menghidupkan ke-senian indang memerlukan pergumulan dan per-juangan dalam kurun waktu yang cukup panjang. Keberanian dan kreativitas seniman untuk mengem-bangkan kesenian indang sangat membantu kemung-kinan terwujudnya suatu alternatif baru, agar kesenian indang tidak tergilas habis oleh budaya yang datang.
Gejala lain yang sudah mulai terlihat sekarang ada-lah munculnya kelompok-kelompok indang berorien-tasi pasar. Kesenian jenis ini sengaja dikemas menjadi seni komersial oleh seniman-seniman indang dan pe-lindung seni untuk memenuhi selera pasar, yaitu pe-ngembangan kesenian indang dari konvensi-konvensi kerakyatan menjadi seni kemasan. Kesenian indang jenis ini tidak harus dipertandingkan antara tiga ke-lompok, melainkan satu kelompok saja. Pemainnya tidak hanya laki-laki tapi juga wanita-wanita cantik. Kostum lebih divariasikan dengan warna-warni yang terbuat dari bahan yang bagus. Jenis kesenian ini banyak dimanfaatkan masyarakat untuk memeriahkan berbagai acara adat istiadat, seperti acara helat kawin, meresmikan pengangkatan penghulu, memeriahkan berbagai acara kenegaraan, dan sebagainya.
Fenomena kesenian indang yang berorientasi pasar ini garapannya lebih memperhatikan selera massa. Se-niman mengemas aspek musikal kesenian indang de-ngan mengadopsi lagu-lagu yang ngetop masa kini, se-perti dangdut dan pop daerah, sehingga seniman yang berorientasi pasar ini seakan mempunyai semboyan makin banyak penggemarnya makin besar peluang pasarnya. Dengan demikian, kesenian indang ke-masan orientasi pada pengaruh kepentingan ekonomi (Umar Kayam, 1994: 159).
Fenomena lain adalah dikembangkannya kesenian indang untuk kepentingan kepariwisataan. Di sini ke-senian indang sengaja dikemas untuk selera penik-matnya yang baru, dengan sendirinya garapannya di-sesuaikan dengan selera wisatawan itu, baik lokal mau pun mancanegara. Di sini muncul penggarapan bentuk pertunjukan, pola lantai, gerak, musik dan lagu-lagu yang dibawakan, agar wisatawan yang menikmati juga merasa puas menyaksikan kesenian indang ini. De-ngan perubahan itu, tontonan ini menjadi lebih mena-rik dengan indikasi makin banyaknya penikmat kese-nian ini. Atas dasar hal tersebut dapat disimpulkan bah-wa garapan baru ini merupakan salah satu komoditas wisata di Sumatra Barat.
Bentuk pertunjukan indang yang mereka selengga-rakan hanya sasandiang atau satu kelompok indang saja, dengan durasi pertunjukan sekitar satu jam. Pe-mainnya tidak hanya laki-laki, tapi ada juga kelompok  indang wanita. Pertimbangan yang mendasar secara umum dari pemerintah daerah adalah untuk menum-buhkan minat anak-anak didik mempelajari kesenian indang, memberikan hiburan kepada pengunjung obyek wisata, dan sekaligus sebagai salah satu upaya menarik wisata atau sebagai paket wisata.
Apabila dibandingkan antara kesenian indang ke-masan dengan kesenian indang sebagai seni pertun-jukan rakyat, tampak jelas perbedaan mendasar dan cenderung ke arah pendeglarasian substansi indang itu sendiri. Kalau pertunjukan indang hanya dila-kukan dengan satu kelompok indang saja, maka prinsip utama yang hilang adalah keindahan sastra da-lam bentuk debat. Di sini tidak terjadi saling melon-tarkan dan menjawab pertanyaan, sindir menyindir dalam bentuk sinisme dan sarkasme serta perum-pamaan-perumpamaan  yang ditujukan kepada masing-masing lawan tandingnya. Justru yang muncul hanyalah indang yang bersifat monolog. Kalau indang bersifat monolog, maka indang itu sudah kehilangan tradisi pembagian waktu (tidak ada galegek sanjo, galegek larut malam, galegek hari akan siang)
Walaupun telah terjadi berbagai alternatif pengem-bangan kesenian indang ke arah pasar dan seni wisata dewasa ini, namun suatu hal yang menggembirakan adalah dengan tidak mengurangi aktivitas tradisi baindang pada acara-acara alek nagari dalam pertun-jukan rakyat. Masyarakat masih mempunyai antusias ingin menyaksikan seni debat ini. Mereka masih tetap menjagokan kelompok-kelompok indang kesukaan-nya. Akan tetapi kelompok-kelompok indang dalam konteks kerakyatan ini tetap pula berusaha meningkat-kan kualitas penyajiannya, yaitu memasukkan lagu-lagu dan persoalan-persoalan baru yang diminati selera generasi sekarang.
Kesimpulan
Kesenian indang adalah salah satu kesenian yang bernapaskan Islam di Sumatra Barat. Kesenian ini pada awalnya hidup dan berkembang di lingkungan surau, dan difungsikan sebagai salah satu upaya pengem-bangan ajaran agama Islam. Lama-kelamaan kesenian ini mengalami perkembangan menjadi kesenian rakyat yang dipertunjukan di luar surau yaitu di laga-laga.
Keluarnya kesenian dari lingkungan surau, dan menjadi kesenian rakyat, fungsi kesenian ini juga mengalami pergeseran, yaitu menjadi hiburan untuk memeriahkan berbagai acara dan upacara, seperti adat istiadat dan alek nagari.
Penyajian indang dalam konteks pertunjukan rakyat sifatnya adalah bertanding antara tiga kelompok. Ketiga kelompok itu membentuk segitiga. Masing-masing bertanya jawab secara bergantian. Bagi ke-lompok yang tidak mampu menjawab pertanyaan di-anggap kalah dalam pertunjukan.
Perkembangan selanjutnya adalah munculnya ke-senian indang yang berorientasi pasar dan salah satu komoditas pariwisata. Kesenian indang mulai diungkit eksistensinya menjadi seni pertunjukan ‘komersial’ ter-masuk untuk kepentingan pariwisata.

Disampaikan dalam Seminar ‘Revitalisasi Seni-Budaya Pesisir’, dalam program “Festival Pesisir” diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB), Padang, 27 Agustus 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...