OLEH Ediwar
Dosen STSI (ISI) Padangpanjang
Piaman
tadanga langang
Baindang
mangkonyo rami
Tuan
kanduang tadanga sanang
Bao
tompanglah badan kami.
Demikian
ungkapan yang pernah terlontar oleh pemain indang ketika berlangsungnya
pertunjukan. Biasanya pantun yang lebih po-puler adalah penggunaan batabuik mangkonyo rami, tapi bagi pemain indang merefleksikannya pada per-tunjukan indang.
pertunjukan. Biasanya pantun yang lebih po-puler adalah penggunaan batabuik mangkonyo rami, tapi bagi pemain indang merefleksikannya pada per-tunjukan indang.
Hal
ini karena kenyataanya ketika alek indang (tradisi baindang)
masyarakat selalu ramai mengunjungi tempat pertunjukan. Seni pertunjukan indang
dipandang bagian dari kehidupan masyarakat. Ia hadir di tengah-tengah
masyarakat, oleh masyarakat, dan juga untuk masyarakat.
Mencermati
ranah pesisir Sumatra Barat dari dulu hingga sekarang masih banyak menyimpan
ragam ke-senian yang dipengaruhi oleh budaya Islam, seperti zikir, barzanji,
tabuik, salawaik, dabuih, indang dan sebagainya. Kondisi kesenian itu di era
globalisasi sekarang sangat bervariasi, ada yang berkembang baik dan ada pula
yang mengalami kemunduran menuju kepunahan. Salah satu kesenian ranah pesisir
yang cukup penting mendapat catatan pada “Festival Pesisir 2001” ini adalah
indang Pariaman. Keberadaan keseni-an indang yang ada sekarang merupakan
perwujudan dari kesenian indang masa
lampau yang bergulir men-jadi seni pertunjukan rakyat masyarakat Pariaman.
Untuk melihat kesenian indang masa kini, sudah barang tentu akan berhubungan
dengan suatu proses perjalanan panjang kehidupan sosial budaya masya-rakat
Pariaman masa lampau. Dalam hal ini penulis akan melihat indang sebagai budaya
Islam yang hidup di surau, seni pertunjukan rakyat, dan prospek masa datang.
Kesenian Indang dalam Konteks
Budaya Surau
Kesenian
indang adalah salah satu kesenian yang bernapaskan Islam di Minangkabau.
Kehadirannya me-rupakan realisasi dari sistem pendidikan tradisional di surau
dalam rangka mengembangkan ajaran agama Islam oleh ulama-ulama atau guru-guru
agama. Ke-senian ini awalnya dibawa ulama-ulama Islam dari Aceh ke Pariaman,
kemudian mengalami akulturasi dengan kebudayaan Minangkabau. Tujuan utama dari
kesenian ini adalah sebagai sarana pengembangan ajaran agama Islam kepada
masyarakat.
Berbagai
pendapat tentang sejarah masuknya agama Islam dan kebudayaannya ke Minangkabau
cukup beragam juga, namun berdasarkan informasi umum menunjukkan, bahwa agama
Islam sudah mulai diper-kenalkan oleh pedagang-pedagang dan penyiar agama Islam
sekitar abad 14. Agama Islam masuk dari Aceh melalui pesisir Barat pulau
Sumatra dan lebih ber-kembang di Ulakan-Pariaman, yang merupakan kota pelabuhan
Aceh yang terpenting waktu itu di Minang-kabau (HAMKA, 1982:3-5). Kemudian dari
ranah Pariaman ini pulalah agama Islam bergerak ke daerah darek. Akhirnya
Aceh menjadi penting bagi orang Minangkabau yang datang ke sana untuk belajar
agama Islam, karena di samping adat dirasakan ke-agungannya, juga mempunyai
banyak persamaan dengan tradisi adat Minangkabau. Kebudayaan yang masuk ke
Minangkabau itu masih dipengaruhi oleh Islam dan anasir-anasir kepercayaan dan
kebudayaan bangsa-bangsa yang dilaluinya, seperti kebudayaan Persi, India, Aceh, dan baru
kemudian berakulturasi pula dengan kebudayaan setempat (Pariaman).
Dalam
kaitan ini, proses akulturasi merupakan proses perubahan akibat terjadinya
penyatuan kebu-dayaan, di mana komunitas kebudayaan lebih maju akan
mempengaruhi komunitas kebudayaan yang lebih sederhana. Sebagai contoh adalah
kuatnya pe-ngaruh modus-modus musik Islam pada nyanyian indang, seperti maqam,
iqa’at, avaz, dan musik-musik gambus. Maqam merupakan ciri
yang dapat menggam-barkan tangga nada, struktur interval, ambitus, dan
sebagainya. Maqam sering disajikan dalam
struktur interval urutan nada naik (assending) mau pun
turun (discending) dalam urutan yang berbeda. Iqa’at adalah ide tentang
modus-modus atau pola-pola ritme pada musik Islam, seperti pola-pola ritme yang
terdapat pada musik gambus. Avaz adalah ciri musik yang diper-gunakan dalam
musik Islam dalam bentuk melodi yang bergerak secara bebas tanpa birama.
Kemudian modus-modus itu berpadu dengan budaya musik Minang-kabau.
Kuatnya
pengaruh kebudayaan Islam dalam sanu-bari masyarakat Pariaman, maka setiap
kegiatan senantiasa dijiwai oleh pandangan Islam. Hal ini menunjukkan bahwa
pertumbuhan dan perkembangan suatu kesenian dalam lingkungan suatu masyarakat
yang umumnya memeluk agama Islam, sudah barang tentu, keseniannya akan
bernapaskan Islam pula, walau pun unsur-unsur tradisi ikut menjiwai kesenian
itu (Kuntowijoyo, 1986/1987:24).
Pada
umumnya orang Pariaman berpendapat bahwa kehadiran kesenian indang merupakan
realisasi dari sistem pendidikan surau secara tradisional, khususnya cara-cara
berzikir, mengaji sifat Tuhan, riwayat Nabi dan Syekh. Pengajian ini dilagukan
sambil duduk bersila yang sangat rapat sambil mengoyangkan badan ke kiri, ke
kanan, ke depan, dan ke belakang.
Tumbuh
dan berkembangnya kesenian indang yang merupakan musik yang sangat kuat
pengaruh musik-musik Islam telah memberikan petunjuk kepada kita bahwa kesenian
ini merupakan produk budaya Islam dan Minangkabau. Nyanyian-nyanyian itu
diiringi dengan instrumen rapa’i atau rebana. Penggunaan rapa’i (rebana ukuran
kecil ) merupakan alat musik membrannofon yang cukup berkembang di penjuru
dunia yang mayoritas memeluk agama Islam. Surau yang pertama kali menggunakan
rapa’i itu adalah di surau Tanjungmedan. Hal ini dilakukan atas inisiatif
seorang guru surau Dalin Naaman. Salah satu syair lagu indang menyebutkan:
Bermula di Tanjuangmedan,
Talatak dakek nagari Ulakan,
Nama beliau Dalin Naaman,
Pakaro indang mulo didendangkan,
Kalau saorang jikok dikaji,
Para ulama atau pawarih Nabi,
Manuruik caro tiok nagari,
Manarangkan agamo jalan ilahi,
Sabaleh sahabat nan maikuti,
Mangambangkan agamo dengan rapa’i
Sajian
kesenian indang mulanya dibagi atas kelom-pok-kelompok. Masing-masing kelompok
terdiri dari 7 (tujuh) orang pemain yang kesemuanya laki-laki, masing-masing
pemain memegang satu buah rapa’i. Mereka duduk secara bersyaf bersila yang
sangat rapat, dengan pakaian rapi dan kain sarung. Ketujuh orang itu disebut
anak indang yang dipimpin oleh seorang guru yang disebut tukang zikir (tukang dikie).
Sebagai tukang zikir pertama adalah Dalin Naaman, sehingga anak indang atau
murid-muridnya sering disebut anak Dalin Naaman.
Pada
awalnya rapa’i yang digunakan sebagai peng-iring lagu indang adalah rapa’i
ukuran besar (rebana), akan tetapi karena kesenian indang terus berkembang
dengan melahirkan gerak-gerak tari yang makin rumit dan cepat, sehingga seniman
indang dan guru-guru surau menggunakan rapa’i ukuran kecil agar dapat
di-gunakan lebih lincah dan cepat dalam menari, sebagai-mana syair berikut:
Bahasa Pariaman
Agamo Allah dikambangkan
Nan ajaran Nabi Nuhammad
Halal jo haram pabedokan
Syari’at ta’at baibadat
Adat syarak samo sajalan,
Kalat syari’at bahakikat,
Banamo indang di Piaman,
Sabab sudah baralah
tampek.
Dari Aceh ke Pariaman,
Nan tujuan barubah tidak,
Gunonyo indang didirikan,
Ka panyokong adaik dengan
syarak.
Ka panyokong adaik jo
syarak,
Usah mato buto sabalah,
Tahu di duya kok bamain,
Kampuang akhirat tampek
pindah.
Kalat syari’at bahakikat,
Banamo indang di Piaman,
Sabab sudah baralah
tampek.
Dari Aceh ke Pariaman,
Nan tujuan barubah tidak,
Gunonyo indang didirikan,
Ka panyokong adaik dengan
syarak.
Ka panyokong adaik jo
syarak,
Usah mato buto sabalah,
Tahu di duya kok bamain,
Kampuang akhirat tampek
pindah.
Bahasa Indonesia
Sebelum indang dinamakan,
Dari sejarah di
dengarkan,
SyekhAbdul Kadir yang
ditauladan,
Tempat tinggalnya di
India.
Tempat tinggalnya di
India
Kampung kecilnya Jailani
Adam Salhi nama buya
Nama Ibu Siti Magribi
Nama Ibu Siti Magribi
Sebelas sahabat yang
mengikuti
Menagajarkan syariat Nabi
Dengan alar namanya
Rapa’i
Sampai ke Aceh permulaan
Tujuannya belum berubah
Syari’at nabi diajarkan
Mengembangkan agama Allah
Agama Allah dikembangkan
Ajaran Nabi Muhammad
Halal dengan haram
dibedakan
Syariat ta’at beribadat
Adat dan syarak sejalan
Kalat syari’at berhakikat
Bernama indang di Pariaman
Sebab sudah berubah
tempat
Dari Aceh ke Pariaman
Yang tujuannya tidak
berubah
Gunanya indang didirikan
Untuk penunjang adat
dengan agama
Untuk penunjang adat dan
agama
Jangan mata buta sebelah
Di dunia tempat bermain
Di Akhirat tempat pindah
Syair
di atas menggambarkan bahwa indang berasal dari kesenian rebana. Semula
dikembangkan oleh Syekh Abdul Kadir Jailani, kemudian dilanjutkan ke Aceh, dan
dari Aceh berkembang pula ke Pariaman.
Jenis kesenian rebana itu di Pariaman lama kelamaan berubah nama menjadi
kesenian indang, dengan nama instrumen musik rapa’i.
Menariknya
cara penyajian indang di surau Tan-jungmedan tersebut, memberikan inspirasi
bagi surau-surau lainnya untuk meniru, seperti surau Kuraitaji dan surau
Rambai. Masing-masing surau itu mem-punyai seorang tukang zikir. Untuk
mempererat hubungan antara ketiga kelompok tersebut, mereka saling berkunjung
dalam rangka silaturahmi untuk memperdalam ilmu keagamaan, terutama dalam
mengaji sifat Tuhan, riwayat Nabi atau pujian kepada Allah. Kelompok-kelompok
itu menyajikan kemam-puan masing-masing secara bergantian dihadapan guru
(syekh). Akhirnya tercipta indang tigosagi (segitiga) di daerah
Padangparia-man. Munculnya indang tigosagi itu mengantarkan mereka saling
berkunjung dalam rangka silaturrahmi. Mereka berkunjung untuk uji kemampuan
bidang agama, yaitu dengan cara; satu kelompok menyampaikan sebuah riwayat
sambil mela-kukan gerak tari dan bernyanyi, menyampaikan ri-wayat nabi, sifat
Tuhan, dan sebagainya. Kemudian di-lanjutkan oleh kelompok lainnya. Bagi
kelompok yang tidak bisa melanjutkan riwayat itu dianggap kalah da-lam
permainan indang (alah kalai indangnyo). Sistem kunjung berkunjung gaya
indang Pariaman itu disebut dengan manapa (bertandang). Keberhasilan
kelompok indang mencerminkan kesuksesan guru dalam men-didik muridnya di surau.
Kalau suatu kelompok tidak mampu menjawab pertanyaan akan dipertanyakan
ke-mampuan guru dalam mendidik murid-muridnya di surau yang dia bina.
Penyajian
indang pada zaman surau ini selalu me-ngumandangkan syair-syair yang
berorientasi pada ke-agamaan. Setiap penyajian selalu dimulai dengan bas-malah
dan do’a. Mereka seakan tapakur menyatukan diri menghadap Tuhan, karena di
dalam Islam kebuda-yaan itu harus berlandaskan tauhid yang murni dalam
masyarakat. Taufik Ismail menyebutkan, bahwa dalam misi dakwah harus
berdasarkan tauhid, dengan niat lillahi ta ala, dan harus memenuhi
syarat-syarat keseni-an, seperti puitisasi sehingga orang yang membaca atau
mendengar merasa tertarik. Cara demikian adalah sa-lah satu dakwah (1984:70).
Berdasarkan
uraian di atas, jelas bahwa kesenian indang punya misi untuk mengembangkan
ajaran aga-ma Islam dengan ketulusan hati. Pemain indang harus mampu memaparkan
ajaran Islam itu sesuai menurut etika dan estetika Islam.
Ini mengandung arti bahwa segala
daya upaya manusia di dalam mencipta “kein-dahan” selalu berlandaskan kepada
moral Islam, yaitu nilai-nilai baik dan buruk menurut etika dan estetika Islam
(Sidi Gazalba, 1975:17). Oleh karena itu, peranan guru-guru surau dan muridnya
dalam menyajikan indang bukanlah
sebagai satu kebutuhan hiburan saja, lebih dari itu mengajak umat kepada
kebaikan, dan menghindarkan diri dari
kemudharatan.
Tradisi Baindang dalam Konteks
Pertunjukan Rakyat
Perkembangan
sosial budaya masyarakat Padang-pariaman khususnya, dan Sumatra Barat pada
umum-nya, dari waktu ke waktu semakin mengalami peru-bahan, baik sistem
politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya secara tidak langsung akan ikut
mempe-ngaruhi keberadaan kesenian indang yang hidup di surau-surau itu.
Salah
satu pengaruh besar terhadap keberadaan ke-senian indang di surau adalah
berkembangnya sistem pendidikan baru di Sumatra Barat, yaitu hadirnya
sekolah-sekolah madrasah setingkat lebih maju dari sistem surau, di mana cara
dakwah Islam berubah men-jadi bentuk ceramah, atau pidato yang didukung oleh
buku-buku, dan murid-murid duduk di atas bangku dengan sistem kelas (Mahmud
Yunus, 1979:66). Se-dangkan di surau memberikan pelajaran secara lisan yang
dinyanyikan dengan manghapalkan tutur guru, seperti Madrasah Adabiyah (1909) di
Padang, Madrasah School di Batusangkar, dan beberapa madrasah lain-nya.
Pada
tahun 1917 kelompok indang dari surau Koto-marapak mengambil alternatif dengan
menyusun lagu yang tidak menyebut masalah agama saja, tapi juga ma-salah adat
istiadat, ekonomi, sosial, dan sebagainya. Hal ini dilakukan agar kesenian
indang tetap hidup baik dalam masyarakat yang berubah, sehingga sajian indang lebih memperluas persoalan-persoalan
yang hendak disampaikan kepada masyarakat. Hal ini ter-ungkap dalam syair
berikut.
Di tahun tujuah baleh
mulo dicubo,
Mamasiahkan indang balunlah lamo,
Parakaro nabi kami tak
baco,
Kami maradatkan bungo ka
bungo.
Digubahnya
teks kesenian indang tersebut, lambat laun unsur-unsur keagamaan yang semula
menjadi topik utama mengalami pergeseran dan perkem-bangan. Hal ini pada
awalnya menimbulkan persoalan baru bagi pencinta kesenian indang di surau, dari satu pihak ada yang menyetujui atas inisiatif
pembaharuan, dan dipihak lain ada yang ingin mempertahankan nilai-nilai
keagamaan. Pada akhirnya terdapat dua je-nis kesenian indang, yaitu kesenian
indang yang tetap mempertahankan nuansa keagamaan yang dipertun-jukan di surau,
dan kesenian indang yang bersifat du-niawi dipertunjukan di luar surau. Dari
kedua jenis itu pada akhirnya lebih berkembang pada jenis kese-nian indang yang
banyak menyampaikan masalah ke-duniawian, dan inilah yang menjadi seni
pertunjukan rakyat.
Tradisi
baindang dalam kontek pertunjukan rakyat selalu disajikan tiga kelompok
indang yang bertan-ding. Posisi tempat duduk ketiga kelompok memben-tuk segitiga. Sajian ketiga kelompok
ini disebut sapa-naiak indang (satu kali sajian indang). Ketiga kelompok
indang tersebut melaksanakan pentas selama dua ma-lam berturut-turut.
Masing-masing kelompok duduk bersila dan berderet dengan jalan menghimpitkan
paha kanan pada paha kiri temannya. Ketiga kelompok indang melakukan
tanya-jawab atau sindir-menyindir berbagai persoalan yang terjadi saat
pertunjukan ber-langsung.
Jumlah
pemain indang setiap kelompok sekitar 8
hingga 22 orang, dengan ketentuan; satu orang ber-tindak sebagai tukang dikie
(tukang zikir), dan se-lebihnya berjumlah ganjil duduk berderet di depan tukang
zikir itu, yaitu Tukang aliah, tukang apik, tukang pangga,
dan tukang palang.
Tukang
aliah, biasa juga disebut tukang karang, karena dia adalah pembantu utama
tukang zikir dalam mengarang syair dan pantun untuk menyindir, me-nanya, dan
menjawab pertanyaan yang diajukan oleh tukang aliah pihak lawan. Pantun dan
syair oleh tu-kang aliah ini diikuti oleh anggotanya secara bersama-sama.
Selain itu juga bertugas mengawali dan meng-akhiri pertunjukan, menentukan pola
tabuhan rapa’i, menentukan arah gerak tari, serta peralihan lagu. Posisi duduk
dari tukang aliah ini adalah paling tengah dari susunan anak indang.
Tukang
apik, terdiri dari dua orang yang mengapit kedudukan tukang aliah kesenian
indang. Satu orang di antaranya bertugas meningkah atau memberi variasi bunyi
rapa’i yang ditabuh tukang aliah. Sedangkan satu orang lagi bertugas menabuh
rapa’i dengan pola yang berbeda dengan tukang apik pertama.
Tukang
pangga, terdiri dari dua orang atau tiga orang yang duduk disebelah kiri dari
tukang apik ba-gian paling kiri, dan di kanan tukang apik sebelah ka-nan.
Tukang pangga biasanya terdiri dari remaja-re-maja berumur sekitar 12 (dua
belas) sampai 17 (tujuh belas) tahun. Mereka adalah pemanis (memperindah)
susunan anak indang lainnya, dan biasanya juga dise-but dengan predikat
bungo nan salapan (bunga yang kedelapan). Pola tabuhan rapa’i sama dengan
tukang apik kedua.
Tukang
palang, terdiri dari beberapa orang anak-anak berumur antara 7 (tujuh) sampai
12 (dua belas) tahun. Mereka sebagai generasi penerus indang. Mula-mula sebagai
pengikut dan lama-kelamaan meningkat pada tingkat lebih tinggi. Mereka duduk
paling ujung dalam bermain indang. Pola tabuhan rapa’i sama de-ngan tukang apik
kedua.
Selain
anggota-anggota pemain di atas, juga terdapat tugas lain yang dijabat oleh
orang tertentu, dan dia adalah termasuk bagian penting dalam anggota indang
yang disebut dengan tuo indang.
Tuo
indang adalah orang yang bertugas menjaga ke-selamatan anggota pemain secara
keseluruhan baik lahir mau pun batin. Karena baindang merupakan per-tandingan,
maka sering terjadi juga saling menguji ke-mampuan ilmu-ilmu kebatinan yang
tidak dapat di-lihat dengan mata. Dalam bahasa daerah Minangkabau diungkapkan menjago
angin nan kabasiua, manjago ombak nan kabadabue, (menjaga anak indang dari
berbagai kemungkinan yang mengganggu kelancaran pertunjukan, baik lahir mau pun
batin).
Indang dan Strategi
Pengembangan
Kesenian
indang dewasa ini sesungguhnya mengalami perkembangan yang cukup menjanjikan
masa depan positif. Dampaknya sangat dirasakan masyarakat Padangpariaman hingga
kini, yaitu dengan semakin banyaknya kelompok-kelompok indang atas binaan
nagari. Setiap adanya kegiatan alek nagari, selalu ra-mai dikunjungi anak-anak
indang, baik yang ikut pentas mau pun yang tidak.
Secara
kualitas, materi sajian indang terus meng-alami perkembangan, yaitu dengan
semakin kayanya lagu-lagu, gerak dan persoalan-persoalan yang diba-wakan. Semuanya itu bertujuan untuk
menyesuaikan dengan selera masyarakat penikmat kesenian ini. Ke-mudian, secara
kuantitas kesenian indang sudah mampu menembus ruang yang lebih besar dalam
per-tunjukannya. Kesenian ini tidak hanya dipertunjukan di wilayah budaya
Padangpariaman saja, tapi lebih dari sudah ada yang ditampilkan di
daerah-daerah lain, seperti Padang, Jakarta, Pakanbaru, dan Medan. Artinya,
kesenian indang tidak hanya untuk kebutu-han pertunjukan dalam rangka alek
nagari, akan tetapi juga dapat dipertunjukan di luar konteks tersebut, seperti
untuk kepentingan hajatan keluarga, kepen-tingan pemerintah, dan kepentingan
hiburan lainnya.
Kenyataan
yang kita lihat dari setiap adanya alek nagari, ternyata kesenian indang bukan
jenis kesenian yang kaku. Pelaku kesenian ini lebih terbuka untuk membuka diri
untuk berkembang. Indang yang ber-gerak dari surau menjadi kesenian rakyat
menunjukan bahwa kesenian indang bukanlah kesenian yang kaku, tetapi kesenian
yang hidup senapas dengan tradisi-tradisinya yang luwes. Di dalamnya ada
unsur-unsur konservatif kuat dan bertahan, dan unsur-unsur prog-resif dapat
mengembangankan diri dari cerminan alam yang selalu berubah mengikuti zaman.
Namun dalam penerimaan unsur-unsur baru selalu berpedoman pada nan elok
dipakai, nan buruak dibuang (baik dipakai, buruk dibuang). Hal ini sesuai
dengan konsep peru-bahan menurut adat Minangkabau yang berbunyi: Usang-usang
dipabaharui, lapuak-lapuak dikajangi, nan elok dipakai, nan buruak dibuang, kok
singkek diuleh, panjang mintak dikarek, nan umpang mintak disisik (Usang-usang
diperbaharui, lapuk-lapuk diperbaiki, yang baik dipakai, yang buruk dibuang,
jika pendek ditambah, panjang minta dipotong, jika kurang minta disisik)
(Nasroen, 1957:. 40-41)
Sebagai
akibat dari proses ketidakkakuan ini adalah terjadinya pengembangan bentuk dan
isinya. Bentuk pertunjukan semula dalam bentuk segitiga, namun su-dah ada yang
hanya satu kelompok (satu sanding saja). Hal ini menunjukkan bahwa dalam proses
perjalanan-nya, kehidupan kesenian indang akan mengalami berbagai perubahan
pengembangan berupa penam-bahan-penambahan unsur-unsur baru dan pelepasan
unsur-unsur lama, baik melalui penemuan mau pun peminjaman secara selektif.
Bagi unsur-unsur lama yang dikira dapat dimanfaatkan dan sesuai menurut selera
zamannya akan tetap terpakai dan dikembang-kan, dan bagi yang sudah tidak cocok
akan terlepas sendirinya dalam konteks pertunjukan zaman yang di-laluinya.
Demikian juga dari segi isi, kesenian indang sudah menampakkan materi sajian
kepada masalah yang disesuaikan dengan selera pasar.
Upaya
untuk menghidupkan kesenian indang ada-lah suatu usaha yang amat perlu dilakukan
oleh sese-orang, kelompok, pemerintah dan lainnya agar kese-nian itu hidup dan
berkembang dengan baik di tengah-tengah
masyarakat pendukungnya demi peningkatan kualitas dan kuantitas kesenian
tersebut, sehingga ke-senian indang dapat dipertahankan keberadaannya di tengah
gejolak silang budaya yang menggebu-gebu. Dalam hal ini perlunya upaya
pengembangan-pengem-bangan dengan cara memberi napas baru yang kreatif sesuai
dengan perkembangan selera masa kini. Tentu saja adanya pelaku yang
menjalankannya, apakah itu individu, lembaga, kelompok masyarakat, pengusaha
dan sebagainya.
Tentu
akan timbul pertanyaan, siapa yang berhak mengembangkan serta bagaimana untuk
membina dan mengembangkannya? Sebagainya jawabannya adalah masyarakat itu
sendiri bersama-sama dengan unsur-unsur terkait di lingkungannya. Karena indang
sebagai kesenian rakyat tumbuh dan berkembang di ling-kungan masyarakatnya,
alam sekitarnya, dan seluruh aspek kehidupannya sebagai totalitas yang utuh
dalam ikatan komunal yang akrab.
Mempertahankan
agar kesenian indang hidup se-cara berkelanjutan sesungguhnya sangat terkait
juga dengan tungku nan tigo sajarangan (alim ulama, cerdik pandai, ninik
mamak) secara terus menerus mendo-rong dan memberi arahan kepada generasi muda
dan anak kemenakannya. Anak-anak usia sekolah dianjur-kan untuk pandai bermain
indang. Di setiap nagari dianjurkan untuk memiliki kelompok indang.
Dalam
perkembangnya, semenjak tahun 1970-an kehidupan sosial budaya masyarakat
Sumatra Barat se-cara perlahan-lahan mengalami perubahan menuju si-kap
masyarakat pada pola perilaku budaya modern. Per-sentuhan kebudayaan memberi
pengaruh besar bagi kehidupan masyarakat, baik faktor dari dalam mau pun dari
luar yang meningkat dengan majunya dunia tek-nologi, komunikasi dan informasi,
hingga mengantar-kan terjadinya suatu pergulatan budaya pribumi de-ngan budaya
yang datang.
Hal
ini secara tidak langsung memberikan dampak bagi keberadaan kesenian indang.
Sebagian masya-rakat berpandangan bahwa dengan meningkatnya in-tensitas
kontak-kontak budaya akan menghancurkan tradisi-tradisi yang dianggap sudah
mapan—termasuk indang—yang punya nilai filosofi tinggi, karena de-ngan masuknya
budaya lain, kita akan berhadapan langsung dengan suatu kebudayaan asing
termasuk gaya hidup yang didemonstrasikan oleh pendatang. Di pihak lain ada
yang menyatakan bahwa dengan ma-suknya budaya luar mendorong kita untuk lebih
kreatif dan peduli membuat kesenian itu hidup seiring de-ngan perkembangan
zaman. Untuk menghidupkan ke-senian indang memerlukan pergumulan dan per-juangan
dalam kurun waktu yang cukup panjang. Keberanian dan kreativitas seniman untuk
mengem-bangkan kesenian indang sangat membantu kemung-kinan terwujudnya suatu
alternatif baru, agar kesenian indang tidak tergilas habis oleh budaya yang
datang.
Gejala
lain yang sudah mulai terlihat sekarang ada-lah munculnya kelompok-kelompok
indang berorien-tasi pasar. Kesenian jenis ini sengaja dikemas menjadi seni
komersial oleh seniman-seniman indang dan pe-lindung seni untuk memenuhi selera
pasar, yaitu pe-ngembangan kesenian indang dari konvensi-konvensi kerakyatan
menjadi seni kemasan. Kesenian indang jenis ini tidak harus dipertandingkan
antara tiga ke-lompok, melainkan satu kelompok saja. Pemainnya tidak hanya
laki-laki tapi juga wanita-wanita cantik. Kostum lebih divariasikan dengan
warna-warni yang terbuat dari bahan yang bagus. Jenis kesenian ini banyak
dimanfaatkan masyarakat untuk memeriahkan berbagai acara adat istiadat, seperti
acara helat kawin, meresmikan pengangkatan penghulu, memeriahkan berbagai acara
kenegaraan, dan sebagainya.
Fenomena
kesenian indang yang berorientasi pasar ini garapannya lebih memperhatikan
selera massa. Se-niman mengemas aspek musikal kesenian indang de-ngan
mengadopsi lagu-lagu yang ngetop masa kini, se-perti dangdut dan pop daerah,
sehingga seniman yang berorientasi pasar ini seakan mempunyai semboyan makin
banyak penggemarnya makin besar peluang pasarnya. Dengan demikian, kesenian
indang ke-masan orientasi pada pengaruh kepentingan ekonomi (Umar Kayam, 1994:
159).
Fenomena
lain adalah dikembangkannya kesenian indang untuk kepentingan kepariwisataan.
Di sini ke-senian indang sengaja dikemas untuk selera penik-matnya yang baru,
dengan sendirinya garapannya di-sesuaikan dengan selera wisatawan itu, baik
lokal mau pun mancanegara. Di sini muncul penggarapan bentuk pertunjukan, pola
lantai, gerak, musik dan lagu-lagu yang dibawakan, agar wisatawan yang
menikmati juga merasa puas menyaksikan kesenian indang ini. De-ngan perubahan
itu, tontonan ini menjadi lebih mena-rik dengan indikasi makin banyaknya
penikmat kese-nian ini. Atas dasar hal tersebut dapat disimpulkan bah-wa
garapan baru ini merupakan salah satu komoditas wisata di Sumatra Barat.
Bentuk
pertunjukan indang yang mereka selengga-rakan hanya sasandiang atau satu
kelompok indang saja, dengan durasi pertunjukan sekitar satu jam. Pe-mainnya
tidak hanya laki-laki, tapi ada juga kelompok
indang wanita. Pertimbangan yang mendasar secara umum dari pemerintah
daerah adalah untuk menum-buhkan minat anak-anak didik mempelajari kesenian
indang, memberikan hiburan kepada pengunjung obyek wisata, dan sekaligus
sebagai salah satu upaya menarik wisata atau sebagai paket wisata.
Apabila
dibandingkan antara kesenian indang ke-masan dengan kesenian indang sebagai
seni pertun-jukan rakyat, tampak jelas perbedaan mendasar dan cenderung ke arah
pendeglarasian substansi indang itu sendiri. Kalau pertunjukan indang hanya
dila-kukan dengan satu kelompok indang saja, maka prinsip utama yang hilang
adalah keindahan sastra da-lam bentuk debat. Di sini tidak terjadi saling
melon-tarkan dan menjawab pertanyaan, sindir menyindir dalam bentuk sinisme dan
sarkasme serta perum-pamaan-perumpamaan
yang ditujukan kepada masing-masing lawan tandingnya. Justru yang muncul
hanyalah indang yang bersifat monolog. Kalau indang bersifat monolog, maka
indang itu sudah kehilangan tradisi pembagian waktu (tidak ada galegek sanjo,
galegek larut malam, galegek hari akan siang)
Walaupun
telah terjadi berbagai alternatif pengem-bangan kesenian indang ke arah pasar
dan seni wisata dewasa ini, namun suatu hal yang menggembirakan adalah dengan
tidak mengurangi aktivitas tradisi baindang pada acara-acara alek nagari dalam
pertun-jukan rakyat. Masyarakat masih mempunyai antusias ingin menyaksikan seni
debat ini. Mereka masih tetap menjagokan kelompok-kelompok indang kesukaan-nya.
Akan tetapi kelompok-kelompok indang dalam konteks kerakyatan ini tetap pula
berusaha meningkat-kan kualitas penyajiannya, yaitu memasukkan lagu-lagu dan
persoalan-persoalan baru yang diminati selera generasi sekarang.
Kesimpulan
Kesenian
indang adalah salah satu kesenian yang bernapaskan Islam di Sumatra Barat.
Kesenian ini pada awalnya hidup dan berkembang di lingkungan surau, dan
difungsikan sebagai salah satu upaya pengem-bangan ajaran agama Islam.
Lama-kelamaan kesenian ini mengalami perkembangan menjadi kesenian rakyat yang
dipertunjukan di luar surau yaitu di laga-laga.
Keluarnya
kesenian dari lingkungan surau, dan menjadi kesenian rakyat, fungsi kesenian
ini juga mengalami pergeseran, yaitu menjadi hiburan untuk memeriahkan berbagai
acara dan upacara, seperti adat istiadat dan alek nagari.
Penyajian
indang dalam konteks pertunjukan rakyat sifatnya adalah bertanding antara tiga
kelompok. Ketiga kelompok itu membentuk segitiga. Masing-masing bertanya jawab
secara bergantian. Bagi ke-lompok yang tidak mampu menjawab pertanyaan
di-anggap kalah dalam pertunjukan.
Perkembangan
selanjutnya adalah munculnya ke-senian indang yang berorientasi pasar dan salah
satu komoditas pariwisata. Kesenian indang mulai diungkit eksistensinya menjadi
seni pertunjukan ‘komersial’ ter-masuk untuk kepentingan pariwisata.
Disampaikan dalam Seminar ‘Revitalisasi
Seni-Budaya Pesisir’, dalam program “Festival Pesisir” diselenggarakan oleh
Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB), Padang, 27 Agustus 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar