40 TAHUN TEATER MANDIRI
OLEH Afrizal Malna
Mau tidak mau, kesenian menurut saya
tetap membutuhkan posisi politik dalam masyarakat. Yang saya maksud dengan
posisi politik ini, adalah sebuah strategi
pembacaan yang menempatkan kesenian sebagai bagian dari pembentukan
kultur pembacaan dari masyarakat yang membaca. Melalui anggapan ini juga saya
menggunakannya sebagai sandaran dalam pembicaraan tentang Teater Putu Wijaya
ini.
Pembicaraan ini ingin saya sebut sebagai
eksplorasi pembacaan antara teater Putu Wijaya dengan bagaimana sejarah
dikonstruksi: Imajinasi sejarah yang berkembang dari distraksi politik terhadap
fakta, dan memformat sejarah sebagai fiksi. Dalam format ini bahasa Indonesia
digunakan sebagai teater dalam mengkonstruksi sejarah.
Eksplorasi ini untuk saya merupakan akibat-akibat
pembacaan yang memungkinkan saya membuat instalasi antara teater Putu Wijaya
dengan imajinasi sejarah itu. Saya harus melalui beberapa halte untuk masuk ke
dalam eksplorasi pembacaan ini. Bagaimana Putu Wijaya membangun bahasa
teaternya, merupakan halte utama yang harus saya lalui sebelumnya.
Stasiun
Keluarga Bahasa
PENTAS DIBAGI DALAM BEBERAPA BAGIAN.
DAERAH PENTAS UTAMA. PENTAS DEPAN DI KANAN. PENTAS DEPAN DI KIRI. PENTAS DEPAN
DI DEPAN PENTAS UTAMA YANG LETAKNYA LEBIH RENDAH DENGAN SEBUAH LUBANG BESAR DI
SAMPINGNYA.
LAMPU TERPUSAT KE TITIK-TITIK PEMAIN.
MENYALA/PADAM DENGAN CEPAT TANPA MEMPEDULIKAN KEWAJARAN, SESUAI DENGAN CERITA
YANG MELOMPAT DARI KE JADIAN KE JADIAN.
DI LATAR BELAKANG ADA LAYAR PUTIH
RAKSASA. UJUNGNYA TERJURAI DI LANTAI. UJUNG LAYAR INI BILA DITARIK KE DEPAN
BISA MENUTUP LUBANG SAMPAI KE PANGGUNG RENDAH DI DEPAN PANGGUNG UTAMA. LAYAR
DALAM PERTUNJUKAN DIKIBAS-KIBASKAN SESUAI DENGAN EMOSI ADEGAN UNTUK MEMBERIKAN
AKSENTUASI VISUAL.
PERTUNJUKAN DIMULAI DENGAN MEMPROYEKSIKAN
KE LAYAR FILM DENGAN GAMBAR CU GURU YANG MENGUCAPKAN MONOLOG SEPERTI YANG KEMUDIAN DIULANG DI AKHIR LAKON
INI.
GURU: (CLOSE UP ATAU SILHUET PROFIL
WAJAH) Berpuluh-puluh tahun aku berkoar-koar tentang budi-pekerti yang telah
dikesampingkan, tetapi tidak seorang pun yang menggubris. Semua orang melihat
pengorbanan dan pengabdian sebagai kebodohan, karena pergaulan, tuntutan
kehidupan, bahkan pembelajaran dari penguasa, semuanya memacu semangat bersaing
untuk merebut yang terbaik, menjadi orang yang nomor satu, tanpa peduli lagi
kepada nasib orang lain. Tata-krama, kasih-sayang apalagi gotongroyong dianggap
pemborosan, apalagi pengabdian kepada tanah air, negara dan bangsa sudah
dirasakan memuakkan.
Kutipan di atas merupakan bagian awal
naskah Putu Wijaya, Zetan, yang ditulis tahun 2006. Ruang pertunjukan disiasati
melalui kategorisasi jarak penglihatan dalam bentuk pembagian blok-blok
pemanggungan. Lalu layar putih yang bisa dimainkan entah untuk membuat vibrasi
ruang maupun untuk dimensi emosi pertunjukan yang dibutuhkan. Teks diletakkan
dalam strategi ruang seperti ini. Aktor kemudian berfungsi sebagai vokalisasi
teks dan menjalin seluruh elemen pertunjukan menjadi teks tontonan.
Penyutradaraan sejak awal telah dilakukan
sedemikian rupa terhadap teks ketika teks masih dalam status
“teks-yang-ditulis” dan belum menjadi “teks-yang-dipentaskan”. Teater sudah
berlangsung di tingkat naskah. Kutipan naskah itu sudah menjelaskan strategi
teks dan strategi pertunjukan dunia teater yang umum dilakukan Putu Wijaya.
Setting sebagai senirupa pembagian bloking untuk mendistribusi peran dan
peristiwa, memperlihatkan desain teater yang berpusat pada dirinya sendiri.
Konteks dan teks menjadi sebuah keluarga baru di atas panggung: Keluarga bahasa
dimana politik linguistik ada pada dirinya sendiri. Konteks tidak diposisikan
sebagai representasi dari realitas pertama agar teks bisa bergerak bebas
seperti halnya dengan aktor dan elemen-elemen pertunjukan lainnya. Pertunjukan
menjadi satu-satunya realitas di atas panggung. Tidak terpecah-pecah lagi.
Tidak terbagi-terbagi lagi. “Total” dalam istilah Putu sendiri. Pertunjukan
berada dalam satu stasiun. Pemencar atau frekuensi lain ditutup sedemikian rupa
untuk tidak bocor ke dalam pentas. Pembagian bloking tidak semata-mata berfungsi
sebagai strategi visual untuk distribusi peran dan peristiwa, tetapi juga untuk
membuat utuh stasiun itu.
Model keluarga bahasa dalam teater Putu
Wijaya seperti ini, membuat teks bisa nyelonong begitu saja, datang secara
mendadak, seperti sebuah pukulan yang tidak terduga. Tidak ada tanda-tanda lain
yang mengantar pukulan itu. Biasanya pukulan itu datang melalui sebuah proses
yang bisa dilihat pada konstruksi konteks yang melatarinya. Dalam dunia teater
Putu wijaya kelajiman seperti ini tidak ada. Bahasa di sini lebih diperlakukan
sebagai gerak daripada sebagai system komunikasi. Gerak yang bermain dalam
gradasi vokalitas yang bergantung dengan kualitas pernyataan yang akan
disampaikan. Dan bagaimana aktor meledakkan kata. Strategi teks yang datang secara
mendadak ini umumnya dipahami sebagai teknik terror dalam naskah maupun teater
Putu Wijaya. Emosi teks tidak dibangun dari alur teks, melainkan dari tingkat
pernyataan yang berada dalam teks. Keluarga bahasa seperti ini mulai menguat
dalam naskah-naskah Putu sejak Gerr dan Edan, yang kecenderungannya sudah
berlangsung sejak Putu menghasilkan naskah Anu (1974) dan Aduh (1975).
Gerombolan
Sebagai Distraksi Identitas
Naskah Aduh (1975) Putu Wijaya merupakan salah satu naskah berpotensi luas
untuk membaca dunia teater Putu Wijaya dan antropologi kontemporer kita. Naskah
ini merepresentasi masyarakat sebagai gerombolan yang sibuk dan saling
menyalahi ketika berhadapan dengan orang sakit, tanpa menangani orang sakit itu
sendiri. Erangan orang sakit itu bergerak bersama dengan berbagai aksi dan
siasat kelisanan dari gerombolan itu yang sibuk membicarakan berbagai aspek
dari kehadiran orang sakit itu tanpa menanganinya.
Putu Wijaya menemukan narasi dan teater
baru dari aksi dan siasat kelisanan itu yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Teater yang memiliki ketangkasan menangkap fenomena masyarakat lisan yang
bocor, dan mengubah kelisanan mereka menjadi “kelatahan sosial”. Masyarakat
lisan yang mulai korup terhadap diri dan lingkungan mereka sendiri. Mudah
terprovokasi, gampang panik, dan melakukan tindakan gokil. Masyarakat yang
tampak pandai menggunakan kata-kata, tetapi sekaligus memperlihatkan jalan
pikiran yang rusak dan sakit.
Kelisanan yang tidak segera menghasilkan
tindakan, dan mengubahnya menjadi aktifitas kelatahan. Aktifitas kelisanan itu
tidak pernah terukur dari tindakan yang dilakukan. Ruang kelisanan yang
berputar dalam dirinya sendiri dan pada gilirannya terperangkap dalam mekanisme
kelatahan. Ruang kelisanan yang kian jauh untuk mengalaminya dalam bentuk
tindakan. Rasionalisasi untuk
mengidentifikasi realitas dipelintir melalui mekanisme kelatahan itu. Setiap
nilai yang dimasukkan ke dalam mekanisme kelatahan ini, cenderung diterima
sebagai doktrin, sebagai keyakinan yang mengatasi realitasnya sendiri.
Aduh merupakan wacana yang
dihasilkan Putu Wijaya untuk membaca antropologi pemeranan dalam dunia teater
Putu Wijaya. Dunia teater yang
pernyataan yang bahwa manusia telah cacat. Manusia adalah cacat itu
sendiri. Cacat dalam dirinya sendiri dan cacat dalam hubungan-hubungan yang
dijalaninya. Dalam manusia yang cacat ini, biografi telah mati. Manusia hanya
menjalankan peran streotip. Bukan peran biografis, Peran lebih sebagai elemen,
dan bukan mahluk yang jadi. Maka memberi konstruksi biografis atau emosi ke
dalam peran dalam naskah-naskah Putu, cenderung beresiko menjadi peran yang
cerewet dan melelahkan. Dia seperti biografi yang dihidupkan di dalam kostum.
Antropologi pemeran teater Putu Wijaya
tidak lagi bermain di tingkat negosiasi eksistensial seperti terjadi pada
naskah Iwan Simatupang (Buah Delima dan Bulan Bujur Sangkar, 1960; RT.
Nol/RW.Nol, 1966; Petang di Taman, 1966; atau Kaktus dan Kemerdekaan, 1968).
Negosiasi eksistensial antara watak besar dan watak kecil dalam tokoh-tokohnya,
atau antara manusia sebagai mahluk bermukim dan sebagai mahluk yang berjalan.
Tokoh-tokoh Putu adalah tokoh yang riuh dengan gerombolannya sendiri. Tokoh
yang bisa mati berkali-kali dan hidup berkali-kali juga. Tokoh dari orang-orang
tak dikenal, yang namanya sering hanya disebut sebagai “Salah Seorang”, “Yang
Simpati”, “Pemilik Balsem” dan lain-lain. Tokoh yang tidak memiliki watak.
Perannya hanya dibatasi lewat pengertian yang dikandung pada nama-nama
pemeranan. Kebanyakan judul dari naskah Putu yang pendek-pendek, hanya satu
kata, menjadi tanda untuk manusia sebagai gerombolan yang tidak memiliki
keluarga semantiknya untuk menjelaskan dirinya sendiri.
Distraksi
Politik Identitas
Manusia sebagai gerombolan pada
gilirannya menawarkan pembacaan sebagai sebuah distraksi dari politik identitas
yang tidak mendapatkan kualitas dari ruang kultur yang menghidupinya. Identitas
tidak lagi berfungsi untuk menjelaskan realitas dan sejarahnya sendiri,
melainkan untuk memcahnya dan mengaburkannya terus-menerus.
Geografi ekonomi maupun geografi politik
Indonesia yang sudah sejak Abad 16 bergerak dalam perebutan terus-menerus
antara penguasaan sumber-sumber alam (Maluku untuk rempah-rempah, Jawa untuk
logistik, pertanian) dan penguasaan jalur perdagangan (Sumatra), merupakan
lalu-lintas dari berbagai kekuatan eksternal yang menciptakan realitas majemuk
sebagai akar sejarah yang pecah: Ekonomi majemuk, budaya majemuk, suku bangsa
majemuk, bahasa majemuk, agama majemuk (J.S. Furnivall, Hindia Belanda, Studi
Ekonomi Majemuk, Freedom Institute, Jakarta 2009).
Realitas majemuk itu hampir tidak pernah
mengalami kebersamaan sebagai realitas bersama. Karena kekuatan-kekuatan
eksternal justru masuk melalui konflik internal dari realitas majemuk itu
sendiri. Politik etis kolonial Belanda yang memisahkan KUHP untuk masyarakat
Eropa dan pribumi di Indonesia (Marieke Bloembegen, Polsi Zaman Hindia Belanda,
Penerbit Kompas, KITLV, Jakarta 2009), menciptakan tata ruang politik yang
melembagakan realitas majemuk itu untuk tidak pernah menjadi dan mengalami
realitas bersama. Realitas majemuk itu tetap dibiarkan hidup dalam akar yang
pecah. Dan diluaskan dalam pertentangan terus-menerus antara tradisi dan modern,
antara adat dan agama, antara keunikan individu dan moral umum. Pemecahan
realitas majemuk yang membuat proses pembentukkan kehidupan publik tidak sampai
kepada tingkat kualitas yang bisa diterima bersama.
Realitas bersama itu seakan-akan mulai mendapatkan
jahitan baru melalui bahasa Indonesia yang digunakan kian luas untuk komunikasi
antar suku atau antar komunitas. Tetapi sebenarnya bahasa Indonesia tidak
pernah tumbuh menjadi tubuh bersama sebagai “tubuh-Indonesia”. Bahasa Indonesia
tetap tumbuh dalam tubuh-suku-suku yang membawa sistem dan kode budayanya
masing-masing.
Gagasan-gagasan nasionalisme yang mulai
muncul di awal abad 20, berusaha menjahit realitas majemuk itu dan menghasilkan
Sumpah Pemuda. Tetapi bahasa yang sebenarnya menjadi pondasi penting untuk
nasionalisme ini justru harus mengalami ironi pada usia republik ini yang masih
muda melalui peristiwa-peristiwa di bawah ini:
Tahun 1946, satu tahun setelah
kemerdekaan, bahasa Indonesia mulai digunakan untuk melakukan dusta politik
dalam peristiwa penangkapan tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan (P.P.) yang tidak
bisa dipertanggung-jawabkan. Penangkapan di antaranya dilakukan terhadap
Abikoesno Tjokrosuedjoso, M. Jamin, Tan Malaka, Sukarni, Chaerul Saleh. Setahun
setelah peristiwa ini, tahun 1947, Amerika mulai memperlihatkan
campur-tangannya dalam menentukan eksistensi republik ini. Amerika sebagai ikon
dari kekuatan eksternal melalui Perang Dunia ke 2 yang memainkan peran penting
dalam tentara sekutu, masuk melalui posisinya sebagai ketua KTN (Komisi
Jasa-jasa Baik Tiga Negara) dalam perundingan Indonesia-Belanda. Perundingan
Indonesia-Belanda dilakukan di atas kapal Amerika USS Renville di Teluk Jakarta
(Agustus 1947). Delegasi Belanda justru diketuai oleh Kadir Wirjoatmodjo yang
melemahkan keutuhan bangsa Indonesia yang baru memerdekakan diri. Permainan
relitas majemuk dalam peristiwa ini kembali berlangsung dan dalam setting yang
lebih ironis: melakukan perundingan di atas kapal perang kekuatan eksternal.
Berturut-turut setelah peristiwa penangkapan
tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan, berlangsung berbagai peristiwa yang sulit
tidak dilihat sebagai bagian penting dari pembacaan politik sejarah. Pada tahun
1948, rasionalisasi dan rekonstruksi tentara Indonesia yang menjadi keputusan
presiden (4 Mei 1948), mulai membersihkan tentara dari unsur-unsur prograsif.
Antara lain dibunuhnya beribu-ribu prajurid dari Devisi IV (Kesatuan Panembahan
Senopati) di Solo. Ini merupakan awal terjadinya pembunuhan yang kita lakukan
terhadap bangsa sendiri, di samping cara-cara menghadapi pemberontakan daerah
terhadap pemerintahan pusat yang pernah terjadi. Model seperti ini menjadi
lebih canggih dan lebih rumit dilakukan pada tahun tahun 1965 melalui peristiwa
G.30.S yang “mem-PKI-kan” semua ikon-ikon publik maupun politik pendukung
Sukarno. Membangun ORBA di atas fiksi sejarah sebagai teater politik yang
traumatik. Ketika peristiwa ini terjadi, seluruh media massa dilarang terbit.
Peliputan dilakukan hanya melalui media-media militer. Buku-buku pelajaran
sejarah, setelah itu umumnya juga dikonstruksi oleh militer, dalam kepentingan
dan sudut pandang militer.
Rangkaian peristiwa itu memperlihatkan
kembali bagaimana politik eksternal dan politik internal berlangsung. Yaitu
dengan memasuki dan mendaya-gunakan ruang-ruang konflik internal dari realitas
majemuk itu sebagai laten bermata dua yang mudah dibakar setiap terjadinya
gejolak politik. Watak politik yang pada gilirannya mengubah realtas majemuk
kita menjadi negatif dan menjadi jerami kering yang mudah dibakar. Watak
politik yang terus meretakkan realitas kemajemukan dan kian menjadikan
kekerasan sebagai sumber daya yang bisa dimanfaatkan setiap saat. Model yang
juga kembali digunakan dalam peristiwa reformasi 1998 melalui “kerusuhan China”
sebagai korban.
Naskah paling awal yang ditulis Putu
Wijaya, tahun 1969, yaitu Dalam Cahaya Bulan. Naskah ini masih bermain dalam
medan wacana teater yang pernah ada sebelumnya. Konstruksi politik sejarah dan
politik bahasa yang dijalankan Orde Baru, seperti belum menjadi perhitungan
Putu pada masa ini, dan naskah-naskah selanjutnya seperti Lautan Bernyanyi
(1967) atau Bila Malam Bertambah Malam (1970). Tetapi setelah terbitnya naskah
Anu (1974) dan Aduh (1975), perubahan fundamental terjadi. Masa ini diwarnai oleh
peristiwa Malari yang terjadi pada tahun 1974. Wacana politik Orde Baru tampaknya lebih terungkap melalui peristiwa
Malari ini. Wacana politik yang dibangun melalui militerisasi yang dijalankan
di berbagai potensi konflik.
Masyarakat gerombolan dalam naskah-naskah
Putu Wijaya pada gilirannya memang memiliki ruang yang luas untuk dibaca
sebagai masyarakat yang lahir dari distraksi identitas dan distraksi sejarah
yang berlangsung sedemikian rupa, dan mendapatkan bentuknya yang paling canggih
pada peristiwa G.30.S sebagai skenario politik dan sejarah. Masyarakat
gerombolan yang kemudian hidup dalam kondisi amnesia sejarah dan berbagai
bentuk hubungan yang militeristik. Manusia gerombolan ini hidup sebagai
mayoritas yang dekaden, gokil dan saling sikat satu sama lainnya. Aduh, dalam strategi pembacaan seperti
ini, merupakan anak-kandung dari narasi sejarah Orde Baru sebagai
anak-yang-cacat. Dan kemudian melawan dengan kecacatannya sendiri. Dia tidak
lagi bermain dalam dataran narasi yang pintar, melainkan dalam narasi yang
bodoh. Istilah yang dipakai Putu Wijaya sendiri untuk menjelaskan sebagian
konsep teaternya sebagai “teater bodoh”.
Teater
Sang Penguasa yang Tak Terlihat
Manusia gerombolan dalam antropologi
teater Putu Wijaya, sebagai produk dari masyarakat yang mengalami distraksi
identitas dan sejarah, adalah gerombolan yang setiap saat bisa didaya-gunakan
oleh kekuatan apa pun. Mereka memang tidak lagi memiliki ikatan sejarah, tetapi
mereka memiliki ikatan emosi melalui doktrin yang mendasari keyakinan mereka.
Sejarah apa pun tidak pernah membuat doktrin ini hidup dalam tatanan yang lebih
rasional. Dia tetap hidup dalam dunianya yang tertutup. Artinya, sejarah tidak
pernah bisa masuk sebagai pengalaman bersama untuk menempuh hidup bersama yang
lebih baik. Manusia gerombolan ini hidup dalam semacam “teater kekuasaan” yang
tidak terlihat.
Yang menarik dari Putu Wijaya adalah
bagaimana “teater kekuasaan” yang tidak terlihat itu justru tergambarkan dengan
jelas dalam naskahnya Anu. Naskah ini terbit tahun 1974, setahun sebelum
terbitnya Aduh. Teater kekuasaan ini
muncul melalui tokoh Mas G dalam naskah Anu ini. Semua peran dalam naskah ini
menempatkan Mas G sebagai tokoh pusat yang tidak pernah tampak dalam
pertunjukan. Tetapi tokoh ini mengalami vokalisasi terus menerus oleh massa dan
melembaga dalam masyarakat di sekitarnya. Gosip berlangsung di mana-mana. Teror
logika dari ketakutan terhadap Mas G terjadi. Gosip yang mampu mengubah
kenyataan, kebenaran, dan kejujuran menjadi anu.
Anu merupakan semacam distraksi maupun
pelarian naratif dari dunia individu yang telah menjadi gerombolan. Individu
yang sebenarnya tidak pernah dianggap. Individu dan massa harus hidup dengan bahasa
yang tidak jelas sebagai pengucapan hidupnya sendiri, dan berada di bawah
kekuasaan yang menggantung mereka secara politis (massa mengambang). Setiap
terjadi proses individuasi dari gerombolan itu, munculnya individu dalam
realitas gerombolan, itu, individu tersebut cenderung menjadi bola permainan
gerombolan. Gerombolan itu akan menempatkan individu sebagai objek yang
dicurigai dan kemudian diperlakukan dengan cara tidak masuk akal.
Naskah-naskah Putu dalam strategi
pembacaan seperti ini, menurut saya menyimpan pesan penting bahwa sebuah bangsa
yang menggunakan identitas sebagai ruang konflik internal untuk kepentingan
politik (hegemoni ekonomi maupun budaya) yang dibiarkan berlangsung
terus-menerus sepanjang sejarahnya, akan menjadikan dirinya sendiri tidak lagi
sebagai sebuah bangsa, melainkan sebagai gerombolan yang tidak pernah tahu
siapa yang sedang menguasai dan membiarkannnya tetap berada dalam
“ruang-buta-politik”.
Estetika
Desakralisasi Kesenian
Bagaimanakah melihat teater Putu Wiajaya
justru dalam konteks Teater Mandiri yang dibentuk Putu Wijaya sendiri?
Pertanyaan ini penting, karena Teater Mandiri justru lahir dari sebuah proses
panjang dan radikal dalam menghasilkan 3 pertunjukan yang dilakukan tanpa
naskah. Yaitu pertunjukan Lho, Entah dan Nol, yang dipentaskan sekitar
pertengahan dekade ‘70-an.
Ketiga pertunjukan itu memperlihatkan
tubuh yang telah dilepaskan dari personifikasi sehari-harinya. Tubuh menjadi
liar, memiliki energi yang tidak lagi semata-mata bersifat kodrati, dan
terlempar dari rutin sehari-hari. Tubuh cenderung menjadi sosok mengerikan
seperti telah kehilangan ayah-ibu dari dunia manusia, dan hidup berkelompok di
antara berbagai benda dan kelompok tubuh lainnya. Mereka bergerak melalui
respons-respons intuitif, bergaul dengan bahaya. Juga bergaul dengan kesunyian
bahasa ketika mereka tidak lagi berada dalam bahasa verbal.
Seluruh peristiwa dalam pertunjukan Lho
(1975) hanya merupakan aksi (tanpa harus terjadi relasi) di mana aktor bisa
melenting di sana-sini dengan bambu-bambu panjang dan jaring, kadang-kadang
aktor muncul dari kerangka-kerangka besi penopang lampu atap Teater Arena TIM.
Bubuk tepung menyebar di mana-mana, gerobak sampah, atau permainan layar-layar
putih. Atau aktor yang berak memperlihatkan pantatnya di kolam depan Teater
Arena itu.
Adegan berak ini untuk saya sangat lucu.
Karena pada masa itu, untuk melihat pantat orang yang sedang berak, dengan
mudah dapat kita temukan di pinggir rel kereta api atau di berbagai sungai yang
melintasi Jakarta. Taik kering dan basah ada di mana-mana dalam lingkungan ini,
bersama lalat hijau dan bau yang tertinggal. Tetapi dalam pertunjukan itu tidak
ada taik kering, taik basah, lalat hijau atau bau. Ia menjadi lucu, karena
berak tanpa mengeluarkan taik, adegan ini berlangsung dalam kolam ikan di depan
bangunan berkaca Teater Tertutup.
Hampir seluruh aktor bermain dengan
totalitas mereka masing-masing.
Pertunjukan yang sangat maskulin, berotot. Gelombang enerji, ketegangan,
kreativitas dan kegilaan berlangsung dari adegan satu ke adegan berikutnya.
Totalitas aktor yang mampu mengatasi keraguan-raguan penonton dalam melihat apa
yang berlangsung di atas pentas. Penonton dibuat tidak memiliki kesempatan
untuk bernapas dan mempertanyakan apa yang berlangsug di atas pentas. Aktor-aktor
itu antara lain Kamsudi Merdeka, Joko Quartantyo, Anto Kribo, Alimin, Boyke
Roring, Reni Jayusman, Yose Rizal dll. Mereka melakukan eksplorasi bersama
skenografer Rudjito dan perupa Nashar.
Mata menjadi utama untuk menangkap
keseluruhan yang berlangsung dalam panggung. Mata penonton mulai dipecah,
dibiarkan memasuki ruang fragmentaris pertunjukan dengan meniadakan sentral.
Setiap mobilitas aktor berarti sama dengan terjadinya mobilitas ruang dan
waktu. Seluruh yang terjadi di atas pentas adalah denyut napas dan aliran darah
dari pertunjukan itu sendiri. Saya seperti bertemu dengan “darah teater” lewat
pertunjukan ini. Berbagai adegan yang “mencuri ruang” terjadi di mana-mana,
terutama yang dilakukan Kamsudi Merdeka dan Joko Quartantyo. Mereka berusaha
membuat pusat. Yang lain datang untuk membantu membangun pusat itu, tetapi
justru yang terjadi adalah “penyabotan ruang”, dan peristiwa bergerak lagi ke
arah yang lain.
Saya merasa tidak semata-mata sedang
menonton pertunjukan Putu waktu itu, Saya merasa justru sedang mengalami
aktualisasi diri, pembakaran imajinasi, bola-bola api imajinasi yang memenuhi
diri saya.
Ke tiga pertunjukan teater Putu Wijaya
ini (Lho, Entah dan Nol ), harus saya sebut merupakan “darah baru” dalam
teater, yang mengaliri kehidupan teater sepanjang bagian tengah akhir dekade
‘‘70-an di Jakarta. Pertunjukan yang juga bisa dibaca sebagai “teater kheos”
atau teater dari tubuh yang kheos. Mereka hampir selalu berlatih setiap malam
di halaman belakang TIM, ketika orang-orang mulai tertidur. Saya mengira-ira
bahwa eksplorasi yang mereka lakukan merupakan eksplorasi organik untuk mencari
tubuh arkhaik mereka. Darah baru yang tidak lahir dari desain, melainkan dari
eksplorasi organik seperti ini. Eksplorasi yang menemukan bentuk dan strukturnya
sendiri di luar desain. Ketiga pertunjukan ini, saya kira juga merupakan
pertunjukan kolaboratif antara Putu, seluruh pemain, Rudjito dan Nashar dan
menghasilkan pentas sebagai sebuah lukisan yang merajut berbagai dinding
peristiwa, sebagai sebuah konser yang hancur, prosa yang membakar dirinya
sendiri.
Sejak itu saya tidak pernah lagi melihat
teater sebagai peristiwa sastra semata. Saya mulai membaca teater melalui
respon tubuh saya atas pertunjukan yang sedang saya saksikan. Ketika tubuh
aktor hadir sebagai tubuh yang macet, tidak mampu merespon setiap denyut
kehidupan yang berlangsung di atas pentas, otomatis tubuh saya juga kehilangan
responnya sendiri terhadap pertunjukan itu. Saya seperti sedang berhadapan
dengan seseorang yang sedang berbicara, tetapi dirinya sendiri tidak ada di
sini.
Lewat pertunjukan Putu itu juga saya
melihat bahwa tubuh aktor lebih penting dari teater itu sendiri maupun dari
naskah yang sedang diperaninya. Tubuh aktor merupakan sihir bahasa.
Putu Wijaya harus menggunakan konsep
“Teater Bodoh” untuk ke tiga pertunjukan itu. Pertunjukan yang dicurigai
sebagai anti-komunikasi dan juga sebagai “teater sutradara”. Kesenian
kontemporer jadi semacam momok yang basis komunikasinya dicurigai. Putu melihat
teater bodoh ini sebagai sebuah gaya untuk menolak kesombongan dan
kecenderungan menggurui. Oleh karena itu ia terpaksa menjadi bodoh:
“Pikiran-pikirannya, renungannya, saran-sarannya, gagasannya ia pulas dengan
keluguan, kenaifan, goblog-goblogan.”
Lho, Entah dan Nol, muncul di tengah-tengah kian
kuatnya rejim Orde Baru menguasai wacana politik dan kehidupan sosial. Pada
masa ini juga muncul 2 kredo penting dari Nashar di seni rupa dan Sutardji
Calzoum Bachri lewat puisi di sekitar non-teknik, non-ide, non-konsep dan
membebaskan kata dari beban pengertian. Munculnya gerakan Puisi Mbeling yang
melakukan desakralisasi terhadap kesenian. Gerakan Senirupa Baru yang oleh Jim
Supangkat dilihat sebagai gerakan menentang elitisme kesenian seakan-akan
kesenian memiliki hak eksklusif untuk menempatkan dirinya dalam hirarki
tertinggi dalam kebudayaan. Slamet Abdul Sjukur yang mengembalikan musik ke
dalam dasarnya sebagai bunyi, Sardono W. Kusumo yang melihat kerja koreografi
tidak terbatas hanya kepada tubuh penari. Gerakan yang berlangsung satu kurun
dengan lahirnya, “puisi konkrit”, dan fenomena prosa maupun puisi yang dibawa
oleh Danarto, Budi Darma, Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri dan Sapardi
Djoko Damono setelah Iwan Simatupang dan Rendra.
Fenomena itu mendapatkan vokalisasinya
melalui para pembicara mereka yang kuat dari Umar Kayam, Goenawan Mohammad, DA.
Peransi, Sanento Yuliman, Syubah Asa, Bambang Bujono, Jim Supangkat dan Dami N.
Toda. Ekonomi Indonesia sedang menikmati bom minyak dan hutang luar negeri pada
masa ini.
Semua fenomena yang terjadi dalam
kesenian di atas, memperlihatkan satu kesibukan wacana untuk membaca kembali
bagaimana kita menempatkan kesenian dalam konstelasi jalinan nilai yang
berlangsung di sekitarnya. Pembacaan ini memang tidak dilanjutkan ke dalam
pembentukan infrastruktur yang memungkinkan wacana itu bergulir lebih jauh
menjadi lembaga pembacaan publik. Gerakan yang tampaknya harus tenggelam dalam
kondisi masyarakat gerombolan dalam konstelasi politik Orde Baru. Pendidikan-pendidikan
kesenian tetap membiarkan dirinya berada di bawah konstelasi politik ini,
bahkan kian jauh terseret ke dalamnya lewat proyek-proyek pariwisata
revitalisasi tradisi.
Lho, Entah dan Nol Teater Mandiri dalam konteks
desakralisasi wacana-wacana kesenian itu, saya kira menjadi ujung tombak paling
penting, karena ia tidak bersembunyi di balik wacana. Ia berhadapan langsung
dengan publik melalui pertunjukan yang mereka lakukan. Ketiga pertunjukan
inilah yang mengawali lahirnya wacana baru dalam teater sebagai apa yang
sekarang ini sering disebut sebagai “seni instalasi pertunjukan”, dan unsur
rupa yang juga menjadi bagian dari kerja penyutradaraan.
Cara
Keluar Meninggalkan Teater Kekuasaan
Instalasi pertunjukan Teater Mandiri
berhenti hanya pada ketiga pertunjukan itu. Setelah itu Putu kembali
menjalankan Teater Mandiri di bawah kepemimpinan narasi dari teks-teks yang
ditulis Putu. Cara yang terus dilakukan Putu hingga kini. Perubahan-perubahan
yang cukup signifikan seperti tidak pernah terjadi setelah itu, walaupun
situasi terus berubah, reformasi terjadi dan Suharto jatuh. Saya tidak tahu
bagaimana harus membaca strategi teater Putu Wijaya setelah reformasi
berlangsung, dan munculnya fenomena lain yang dibawa Teater Garasi maupun
senirupa kontemporer sekarang ini. Cara memandang senirupa misalnya, yang
sebelumnya dihegemoni melalui wacana-wacana seni lukis, kini sudah berubah
menjadi wacana-wacana dari berbagai bentuk ekspresi rupa dengan berbagai media.
Tidak lagi didominasi oleh lukisan atau patung.
Saya merasa teater bahasa yang diciptakan
Putu, ketika tidak mendapatkan pembacaan kritis dari lembaga publik maupun
lembaga kesenian, yang kian bergerak memerangkap dirinya sendiri dan tidak bisa
keluar dari perangkap itu.
Tahun lalu (Oktober 2010), dalam forum
Mimbar Teater Indonesia di Solo, Putu Wijaya sempat menceritakan dapur proses
latihan Teater Mandiri. Salah satu yang dinyatakan Putu adalah fenomena bahwa
aktor-aktornya tahu bagaimana harus masuk ke dalam panggung. Tetapi mereka
tidak tahu bagaimana caranya untuk keluar dari panggung. Fenomena ini untuk
saya menarik, mengesankan bagaimana aktor terbuka untuk memasuki peran yang
dimainkannya, tetapi tidak tahu caranya keluar dari peran itu sendiri.
Putu kemudian mengatasi masalah ini
dengan menciptakan pertunjukan dimana seluruh actor tetap berada dalam panging
dari awal sampai akhir, tidak ada adegan keluar-masuk. Cara ini juga memiliki
fungsi untuk menjaga konsentrasi pertunjukan: Semua actor dibuat sibuk di atas
panggung untuk menjaga ruang dan waktu pentas, juga konsentrasi mereka untuk
selalu berada dalam keadaan in-action.
Saya menduga antropologi lisan memiliki
ruang yang menghisap seperti yang terjadi di panggung pertunjukan Putu itu.
Setiap orang mudah untuk masuk ke dalam lingkungan lisan, lingkungan verbal,
dan kian terkait dengan nilai-nilai yang dibangun dalam komunitas verbal itu,
ia kian tidak tahu bagaimana caranya keluar dari lingkungan ini. Ia kian
menjadi “seorang-komunitas-verbal” daripada sebagai “seorang-yang-bermain”
dalam permainan lisan itu.
Permainan yang tetap terjaga sebagai
permainan, di mana setiap berlangsungnya konstruksi disertai dengan
dekonstruksi (pembongkaran), dan setiap abstraksi selalu juga terjadi distraksi
(cerita tidak terperangkap menjadi skenario), proses seperti ini mungkin bisa
memberikan celah untuk mencari pintu dan keluar dari hisapan lingkungan lisan
ini. Perangkap pemeranan maupun
perangkap narasi dari kecenderungan teater total yang dirancang Putu
dalam naskahnya, memang tidak memiliki jalan untuk aktor bisa keluar
meninggalkan panggung. Satu-satunya cara untuk keluar adalah dengan membuat
lampu menjadi black-out atau dengan menurunkan layar.
Kemungkinan lain dari jalan keluar itu
adalah aktor kembali kepada tubuh dan narasinya sendiri. Keluar dari teater
kekuasaan yang tak terlihat dan tak tersentuh dan kembali kepada diri sendiri.
Saya kira apa yang dialami actor-aktor Teater Mandiri, yang tidak tahu caranya
keluar dari panggung pertunjukan, kini dialami oleh Putu sendiri yang tidak
tahu caranya keluar dari teks-teks yang ditulisnya untuk bertemu dengan dunia
yang lain.
Kalau saya membaca kembali penggelan
naskah Zetan, yang saya kutip pada bagian awal pembicaraan ini, saya melihat
kemungkinan jalan ke luar itu adalah pada cara Putu Wijaya tidak lagi melihat
teater semata-mata sebagai realitas di atas panggung.
Dalam penggalan naskah Zetan itu, ada
teks yang disampaikan tokoh Guru seperti ini:
Berpuluh-puluh tahun aku berkoar-koar
tentang budi-pekerti yang telah dikesampingkan, tetapi tidak seorang pun yang
menggubris. Semua orang melihat pengorbanan dan pengabdian sebagai kebodohan,
karena pergaulan, tuntutan kehidupan, bahkan pembelajaran dari penguasa,
semuanya memacu semangat bersaing untuk merebut yang terbaik, menjadi orang
yang nomor satu, tanpa peduli lagi kepada nasib orang lain. Tata-krama,
kasih-sayang apalagi gotongroyong dianggap pemborosan, apalagi pengabdian
kepada tanah air, negara dan bangsa sudah dirasakan memuakkan.
Tokoh Guru ketika menyampaikan teks itu,
dirinya tidak hadir di atas panggung. Melainkan hadir dalam bentuk dokumentasi
melalui media video. Teks yang seakan-akan baru dinyatakan setelah peristiwa
yang melahirkan teks itu sendiri telah berlalu. Teks dari peristiwa yang telah
lampau.***
(Bahan diskusi 40 Tahun Teater Mandiri,
Dewan Kesenian Jakarta, TIM, 14 Juli 2011)
Sumber: http://www.dkj.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar