OLEH Anas Nafis
Maraknya
keinginan “kembali ke surau” belakangan
ini, ada baiknya kita telaah terlebih dahulu apa yang terjadi selama menjalani
pendidikan surau jaman dulu, teristimewa mengenai perkembangan karakter para
remaja selama bermukim dan belajar di lembaga pendidikan tradisionil
tersebut.
Ada baiknya pula sebelum sampai kepada
yang dimaksud, kita kutipkan arti kata “surau” yang bersua dalam berbagai kamus
dan buku dibawah ini.
Arti Kata Surau
“Indak surau bakeh nyo mangaji
lai” (tiada surau tempat ia mengaji lagi). Maksud
peribahasa ini ialah mengenai seseorang yang telah pandai atau mengenai suatu
barang yang sangat bagus tiada bandingnya.
“Bak ayam naiak ka surau. Bak
batandang ka surau” (Bagai ayam naik ke surau. Bagai bertandang ke
surau). Maksudnya jamu tidak mendapat apa-apa, baik berupa minuman apalagi
makanan di tempat yang didatangi, karena surau tidak mempunyai dapur untuk
memasak, karena perempuan tidak ada yang tinggal di sana. Jadi tidak ada remah
yang akan di makan ayam atau makanan yang akan disungguhkan kepada tamu.
Demikian
antara lain tertulis dalam kamus susunan M. Thaib Gelar ST. Pamoentjak,
terbitan Balai Poestaka Batavia 1935.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S.
Purwadarminta – Balai Poetaka 1984 “surau” diartikan sebagai tempat sembahyang
(sholat), mengaji dan langgar.
Gerard Moussay dalam Dictionnaire Minangkabau
Indonesien – Francais 1995 mengatakan: “Surau
adalah tempat belajar agama; surau digunakan juga sebagai asrama bagi remaja
yang mulai tumbuh dewasa”.
Bagaimana tingkah polah remaja dalam pergaulan
sehari-hari di surau tersebut, digambarkan Gerard Moussay dalam kamusnya sbb:
“Sacaro diam-diam awak lah mulai marokok mintak
pado kawan samo gadang di surau; bilo lampu lah padam tampak lah bakilekan api
rokok, saraiknyo ditunggu dulu guru mangaji lah mandanguang karuahnyo” (Secara
diam-diam awak telah mulai merokok minta pada kawan sama besar di surau;
bila lampu telah padam, tampak telah berkilatan api rokok, syaratnya ditunggu
dulu guru mangaji sudah berdengung keruhnya).
Sedangkan A.A. Navis dalam buku “Alam Terkembang
Jadi Guru” – Pustaka Grafitipers 1984 halaman 189-190 mengatakan: “Surau
fungsinya semula sebagai asrama laki-laki duda dan bujangan. Lambat laun
fungsinya menjurus sebagai tempat pendidikan agama Islam. Akhirnya surau lebih
terkenal sebagai tempat pendidikan agama Islam yang menyediakan asrama bagi
siapa saja yang datang belajar, sehingga ulama-ulama muda yang memperoleh pendidikan
dari sana disebut “orang surau”. Surau demikian tak obahnya seperti pesantren
di Jawa. Surau yang masih tetap berfungsi seperti asalnya masih ada hingga
kini”.
Ada berbagai
macam nama surau, misalnya:
1.
Surau
Kaum yang didirikan oleh kaum.
2.
Surau
Dagang biasanya yang dimanfaatkan oleh para pedagang kermalaman, umumnya
berlokasi dekat pasar.
3.
Surau Gadang adalah mesjid.
4.
Surau Anjuang atau Surau Bertingkat yang dinamakan
pula Surau Balenggek.
5.
Surau Galapuang maksudnya surau yang terdapat di
kampung Galapuang.
6.
Surau Tuanku Tak Makan di Ulakan Pariaman. Mungkin
karena sang Tuanku yang mengajar di surau itu sering berpuasa, maka bernamalah
surau tersebut seperti demikian. Dan sebagainya.
Hidup Berkaum-kaum
Orang Minangkabau “doeloe” hidup
berkaum-kaum, bersuku-suku menurut
keturunan ibu1 yang
disebut matrilineal. Suku pihak ibunyalah yang dilekatkan pada anak-anak mereka
dan bukanlah suku dari pihak ayah atau kaum ayahnya.
Garis keturunan ini amat penting karena
menyangkut sako2 dan pusako
kaum atau suku tersebut.
Semasa kecil, anak laki-laki maupun
perempuan dibesarkan oleh ibu-ibu atau kaum mereka di sebuah rumah keluarga
yang disebut Rumah Gadang.
Sepintas perempuan Minangkabau lebih diuntungkan
dengan harta kaum mereka seperti, rumah, sawah-ladang, ulayat, ternak
dan sebagainya yang tidak boleh digadaikan apalagi dijual tanpa kesepakatan
seluruh anggota kaum yang telah balig serta seizin penghulu. Namun kenyataannya
mereka dipimpin oleh seorang laki-laki yang disebut mamak yaitu mamak kapalo warih (mamak kepala waris)
atau tungganai. Mamak inilah yang bertanggung-jawab pada keselamatan dan
kesejahteraan kaumnya, termasuk menjaga keselamatan harta pusaka yang dipusakai
secara turun temurun.
Sedangkan sang suami yang menjadi semenda ke rumah
itu, bertanggung-jawab pula pada keselamatan dan kesejahteraan kaum atau
sukunya.
Pada
dasarnya hubungan sepasang suami isteri ialah atas dasar atau pertimbangan
pihak si perempuan atau kaumnya untuk keturunan. Karena itu calon suami menjadi
orang yang dipilih dan dilamar ataupun orang jemputan, dilakukan atau inisiatip kaum si perempuan.
Selama berumah tangga
ketidak tergantungan pada suami, menjadikan seorang perempuan Minangkabau
tumbuh menjadi seseorang yang mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri yang
kuat dan mampu berdiri sendiri tanpa mengharapkan bantuan laki-laki yang
menikahinya, termasuk membesarkan anak-anak hasil perkawinan mereka. Ia sudah
punya rumah, yaitu Rumah Gadang dan ia berhak mendiaminya bersama anak-anaknya.
Ia punya sawah ladang, walau milik bersama, ia berhak mengerjakan dan mencicipi
hasinya bersama anak-anaknya.
Jadi, selain
sehari-hari mengurus anak-anak yang masih kecil, perempuan Minangkabau telah
terbiasa berkerja apa saja seperti ke sawah, ke ladang, menyulam atau menjahit,
membuka warung dan sebagainya. Ia merasa tidak wajib menggantungkan hidup
termasuk untuk kepentingan anak-anaknya kepada sang suami yang semula dipilih
lalu dilamar ataupun dijemput tersebut. Dengan kata lain, secara materi untuk
nafkah sehari-hari untuk anak-anaknya, bolehlah dikatakan ia merasa tidak bergantung
dan berhutang budi kepada orang yang menikahinya.
Demikian pula dalam
berbagai kegiatan lain, ia lebih bebas, lebih aktif serta lebih percaya diri.
Misalnya di bidang ekonomi, agama, bahkan kegiatan dalam bidang politik
sekalipun.
Apa Kata Orang Belanda
Mengenai pendidikan anak-anak
Minangkabau “tempo doeloe”, Encyclopaedie van Nederlandsch Indie – 1918
mengatakan:
Pendidikan
dalam arti yang sebenarnya sedikit sekali dialami anak-anak. Sejak kecil mereka
sudah harus berusaha mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan sebagai
kepala keluarga. Hal mana disebabkan karena kekuasaan seorang ayah dalam
keluarga matrilineal tidak banyak memberi arti terhadap pertumbuhan sang anak.
Untuk
beberapa tahun si anak hidup tanpa mengecap pendidikan yang baik, kecuali
sedikit kepandaian membaca dan menulis huruf Arab-Melayu.
Walau
demikian, mereka sangat peka terhadap ilmu pengetahuan. Keinginan belajar bagi
orang Minangkabau sangat besar. Di sekolah-sekolah mereka tidak kalah
dibandingkan dengan orang Eropah. Mereka sangat berbakat untuk ilmu-ilmu
seperti berhitung, ilmu bumi, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu binatang, ilmu alat,
terutama sekali menulis dan menggambar …... “
Tidak Dalam
Pengawasan Orang Tuanya Lagi
“Doeloe” bila seorang anak laki-laki telah berusia
sepuluh tahun atau lebih, ia diserahkan oleh orang tua serta mamaknya kepada
seorang guru agama yang mengajar di sebuah surau.
Artinya, kalau selama ini sang anak di
bawah asuhan dan pengawasan orang tua dan mamaknya, kini berpindah kepada
“buyanya” yaitu guru yang mengajar agama
di surau.
Dengan kata lain, di jaman “doeloe”
seorang bocah atau laki-laki muda Minangkabau telah menginjak umur sekitar 10
tahun, ia tidak tinggal di Rumah Gadang bersama ibunya lagi, akan tetapi pindah
ke surau ke tempat di mana laki-laki muda atau sebaya lainnya mondok.
Tinggal di Rumah Gadang bersama saudara
perempuan serta kerabat lain, ia sudah canggung. Lagi pula merupakan aib bagi
anak laki-laki yang mulai beranjak remaja masih tinggal di rumah orang tuanya
di mana bersama saudaranya yaitu anak-anak perawan yang mulai beranjak dewasa
pula.
Jadi semenjak tinggal di surau bersama
teman-temannya, berarti ia terlepas sudah dari kungkungan dan pengawasan ibu
dan keluarganya. Pulang ke rumah orang tuanya, barangkali untuk makan atau
untuk bersalin saja.
Sekolah Agama Zaman Dulu
Data-data berikut memberi gambaran betapa pesatnya
pendidikan model surau Minangkabau masa lampau tersebut.
Satu setengah abad yang lalu orang Belanda
menamakan “surau” adalah Indische Scholen (sekolah orang melayu) atau Godsdientscholen (sekolah agama).
Tuan AWP Verkerk Pistorius dalam tulisannya yang
dimuat dalam TNI – 3 jrg, 1868 (II) berjudul “De Priester En Zijn Invloed Op
De Samenleving In De Padangsche Bovenlanden”. (Pengaruh Para Ulama Dalam
Masyarakat Minangkabau) mengatakan antara lain,
Informasi yang diperolehnya, menyebutkan bahwa pada
saat itu amat banyak surau di Minangkabau. Yang ia maksud dengan Indische Scholen (Sekolah Orang Malayu)
atau Godsdienscholen (Sekolah Agama) ialah “surau”.
Demikian pula dalam buku “LAND EN VOLK VAN
SUMATRA” door Lekkerkerker – E.J. Brill – Leiden 1916, pada Halaman 166 –
167, tertulis:
Sekolah Kelas Dua /Sekolah Anak Negeri
Sekolah
Berbahasa Asing
Pada tahun 1911, H. Abdullah Ahmad mendirikan
sebuah sekolah agama di Kampung Dobi Padang. Di sekolah itu murid-murid yang
belajar mengaji duduk di atas bangku dan menulis di meja.
Selain belajar Agama dan Huruf Arab-Melayu di
sekolah ini murid-muridnya belajar pula Huruf Latin seperti yang diajarkan di
sekolah-sekolah milik pemerintah.
Pada tahun 1914 sekolah ini dialihkan ke “Sjarikat
Oesaha” dan dalam tahun itu juga diajarkan pula “Bahasa Belanda”. Tidak lama
kemudian sekolah ini dipindahkan ke Kampung Sebelah.
Pada tahun 1916 sekolah Adabiah memperoleh subsidi
(bantuan) dari Pemerintah. Pada tahun itu juga Sjarikat Oesaha mendirikan dua
sekolah lagi, yaitu “Froberschool” (Taman Kanak-Kanak) dan Sekolah Gadis
(Sekolah untuk anak-anak perempuan). Pada tahun 1924 “Sekolah Gadis” bertukar
nama dengan “Adabiah II” atau “Adabiah School II”.
Sekolah-sekolah Lain
Kemudian di kota Padang muncul pula
sekolah agama yang memakai nama asing seperti “Islamic College” atau “Normaal
Islam”.
Demikian pula di Padang Panjang, ada “Thawalib
School”, ada “HIS Muhammadiyah” (Holland Inlandsche School met de
Quran Muhammadiyah), ada pula “Diniyah School Putra-Putri” yang
didirikan H. Zainuddin Labay.
Tahun 1923 encik Rahmah el Yunusiah
mendiri sekolah agama khusus putri dan diberi nama “Diniyah School Putri”.
Semua sekolah di atas mengcopy model
sekolah Belanda, bahkan nama sekolahnya disesuaikan pula.
Penulis mula berkenalan dengan bangku
sekolah ialah di Frobelschool Muhammadiyah (Sekolah Taman Kanak-Kanak
Muhammadiyah) pada tahun 1937 di Jalan Bunian Payakumbuh. Kemudian berlanjut ke
HIS Muhammadiyah Padang Panjang. Disekolah ini penulis belajar Bahasa Belanda.
Gurunya engku Sjahrial asal Koto Gadang yang sekalian merangkap sebagai Kepala
Sekolah.
Jebolan sekolah yang meniru model Barat
inilah yang melahirkan apa yang kemudian disebut “Kaum Muda”. Sebaliknya
mubalig yang memperoleh pendidikan ala surau dijuluki “Kaum Tua”.
Sebagaimana diketahui, sebuah Rumah Adat
adalah merupakan rumah keluarga atau tempat berhimpunnya seluruh anggota
keluarga suatu kaum.
Barangkali saja sebagian anggota keluarga atau kaum
itu berada di perantauan, namun pada saat-saat tertentu mereka pulang ke
kampung halaman tercinta, berkumpul dan bertemu kembali dengan semua sanak
famili termasuk orang sekampung dan sekalian memperkokoh kembali ikatan
kekeluargaan mereka yang sebelum dianggap mulai longgar.
Masa ini pulang ke kampung atau pulang bersama (pulang
basamo) ini dilakukan pada saat-saat tertentu, misalnya bulan puasa dan
sekalian berlebaran di kampung atau pada waktu anak-anak mereka libur sekolah.
Karena itu Rumah Gadang merupakan pula sebagai penghubung
emosional antara yang merantau dan kampung halamannya. Meskipun ia telah menyesuaikan diri dengan masyarakat di perantauan,
hubungan batin dengan suku atau kaum ibunya tidak mungkin putus. Pulang ke
kampung bagi orang Minangkabau mempunyai arti yang dalam lagi istimewa yang
dikuatkan pula oleh kebudayaan mereka, yaitu suatu kebudayaan yang utuh dan
kukuh.
Padang,
Maret 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar