OLEH Anas Nafis
Rangkayo Rasuna Said |
Barangkali ada faedahnya, kalau kita memperbincangkan panggilan Rangkayo,
yang biasanya dilekatkan pada kaum perempuan yang sudah bersuami dalam kultur budaya
Minangkabau.
Sebagai contoh, waktu masih gadis ia bernama Jamilah. Setelah bersuami
ia dipanggil orang Rangkayo Jamilah. Demikian pula encik Rasuna Said, setelah
bersuami disebut Rangkayo Rasuna Said. Namun demikian banyak pula yang menyebutnya
Encik Rasuna Said.
Selain kata sebutan “rangkayo” untuk kaum perempuan di atas, banyak pula
kaum laki-laki bergelar rangkayo, misalnya (alm) Rangkayo Ganto Suaro yang
berasal dari Nagari Pilubang – Pariaman.
Sebagai diketahui panggilan di Luhak Nan Tigo Lareh Nan Duo kepada seorang
Penghulu ialah Datuk, sebab Datuk itu adalah gelar bagi seorang Penghulu di
Alam Minangkabau.
Adanya gelaran Datuk itu bukan dari masa Datuk Ketumanggungan dan Datuk
Perpatih yang membuat adat atau mengarang undang, akan tetapi jauh sebelum itu gelaran tersebut sudah ada juga di daerah
ini.
Di sebelah ke pesisir barat Minangkabau, di sebelah rantau ke
hilir, panggilan kepada Penghulu atau urang gadang ada pula yang disebut
Rangkayo. Misalnya di sebelah Tiku – Pariaman, ada panggilan Rangkayo Bandaro (Datuk
Bandaro), Rangkayo Di Malai (Datuk di Malai), Rangkayo Rajo Luangso (Datuk Rajo
Luangso).
Di sebelah ke timur, bagian rantau hilir ada tersebut Rangkayo
Syahbandar. Sedangkan panggilan kepada Raja Imbang Jayo di Sungai Ngiang adalah
Rangkayo Imbang Jayo.
Di sebelah ke Riau semua orang besar kerajaan dipanggilkan “Rangkayo”. Bahkan Bunda Kanduang dalam Tambo
Cindua Mato, raja perempuan di Pagarruyung menyapa “Rangkayo” kepada Datuk
Badaharo Penitahan Sungai Tarab. (Hikayat Cindua Mato – DT. Gadang, 1904).
Nyatalah kepada kita, bahwa panggilan “Rangkayo” itu takluk kepada
Raja-Raja, Orang Besar dan para Penghulu.
A.L. van Hasselt dalam bukunya “Midden
Sumatra” (Volksbeschijving) halaman 201 tahu 1882 menceritakan bahwa, anak
putri Pinang Masak yang menjadi raja di Ujung Jabung Jambi semua bergelar
“Orang Kaya”. Ada empat orang anaknya, pertama yang sulung bernama Orang Kaya
Pingi, kedua Orang Kaya Kadataran, ketiga Orang Kaya Itam dan yang keempat
seorang perempuan.
Dalam buku itu tertulis:
In de ouden
tijdbezaten de Djambiers geen vorst. Toen werd eene vrouw, Poetri Pinang Masaq,
tot vorstin verheven, omdat ze zeer rechtvaardig en moedig was, evenals een
kind van een djihin; en naar men zegt had ze een ongeevenaarden eetlust.
Geruimen tijd kater
kwan ere en zoon van den vorst van Turkijemer een vaartuig, dap op het eiland
Berhala stranded; de zoon van den Turkeschen vorst zette zich nadir op “t
eiland en kwam eenigen tijd daarna in het rijk Djambi, en het gedeelte dat
Oedjoeng Djaboeng genaad wordt. “Hij (Paduka Berhala) trouwde met Poetri Pinang
Masaq en werd door het volk Padoeka Berhala genoemd. Met zijn gemalin voerde hij
het bestuur over ‘t Djambische rijk. Zij schonk hem vier kinderen, waarvan het
oudste Oerang Kajo Pingi heette, het tweede
Oerang Kajo
Kadataran en het derde Oerang Kajo Itam, het jongste van een meisje.
Orang Kajo Itam nu
stichtte kwaad in het rijk va Djambi, om welke redden zijn twee broeders hem
wilden dooden; maar hij kon niet gedood worden, omdat hij zeer dapper en
onkwetsbaar. Weder eenigen tijd later vroeg de vorst van Madjahit (op Java) om
hulptroepen, daar hij oorlog wilde voeren; Orang Kajo Itam kreeg nu bevel om
den vorst van Madjapahit met hulptroepen bij te staan, maar tegelijkertijd
verzochtenn zijne broeders dien vorst om Orang Kajo te dooden ….
Jadi semua anak laki-laki Putri Pinang Masak
dengan Paduka Berhala raja Turki yang menjadi raja di Ujung Jabung – Jambi itu, semuanya bergelar “Orang Kaya”.
Tampak kepada kita bahwa panggilan Urang Kayo
atau Rangkayo itu takluknya bukan kepada sembarang orang saja, akan tetapi
kepada raja-raja.
Dahulu kala ketika adat berkuasa dan berpengaruh di Alam Minangkabau
ini, panggilan-panggilan secara adat teratur sekali, terletak pada tempatnya.
Sekarang jika muncul pertanyaan, adakah pada tempatnya kaum perempuan-disapa
dengan panggilan rangkayo? Barangkali banyak orang yang mendebat,
mempertahankannya. Namun semua itu bukan bersendi kepada adat atau bahasa, akan
tetapi debat kusir belaka.
Misalnya lagi, jikalau istri Datuk Itam dipanggilkan “rangkayo”, ia
dipanggil atau disapa orang dengan Rangkayo Datuk Itam.
“Rangkayo Datuk Itam”, arti sebenarnya bukan istri Datuk Itam. Kalau
dalam Bahasa Melayu, “Datuk Itam” itulah yang dipanggilkan “rangkayo”.
Apalagi jika isteri seorang wartawan dipanggilkan “rangkayo”, bukankah panggilan “rangkayo” tersebut
dipersarung-sarungkan saja ?
Siapa yang memulai dan dari mana asalnya maka sebagai cendawan tumbuh
timbulnya panggilan kepada kaum perempuan “Rangkayo” di Minangkabau,
wa’llahua’lam.
Kita tahu bahwa tulisan ini akan banyak dapat bantahan dari kiri kanan,
tetapi biarlah, karena kita berdiri kepada adat dan bahasa.
Kalau salah uraian atau pendapat ini, kita minta ahli adat dan ahli bahasa
Melayu Minangkabau membetulkannya dan bukanlah sembarang orang asal pandai
mengarang saja.
Disadur dari mingguan
1. Sinar Sumatra 8 September 1934 halaman 3 – 4.
2. Midden Sumatra – Volksbeschrijving Door : A.L. van Hasselt, lid der
Sumatra Expeditie – 1882.
Di novel karangan marah rusli_ mamak dan kemonakan, disebutkan rangkayo kepada istri "raja" dr indrapura. Soal perubahan itu, saya juga menduga terjadi pada pengunaan kata rang kayo yg merujuk pada kepemilikan benda kekayaan di kampuang kampuang_ orang bansaik, orang kayo.
BalasHapus