OLEH Hajizar Koto
Dosen STSI Padangpanjang
Latar
belakang kehadiran tradisi musik rabab di Nusantara memiliki hubungan dengan
sejarah perkembangan agama Islam.
Perkembangan agama Islam dari tanah Arab ke
Nusantara umumnya dibawa oleh bangsa Persia dan bangsa-bangsa sekitar-nya,
seperti Moroko, Turki, dan India Gujarat India. Mereka ini dikenal dengan
pedagang-pedagang Arab saja.
Latar Belakang Tradisi Musik
Rabab di Nusantara
Bangsa Persia merupakan bangsa yang besar dan
ter-kenal di bawah naungan kerajaan Assyiraa dan Babilonia, sedangkan bangsa
Arab semenjak Zaman Jahiliyah telah terkenal dengan kegigihan dan
kepah-lawananya dalam berperang. Menurut C Israr (1978: 62): “Suatu kenyataan
yang tidak dapat dimungkiri dalam sejarah bahwa bangsa Arab yang sederhana itu
telah menaklukan bangsa Persia yang berkebudayaan tinggi dan tertua. Bangsa
Persia kalah, tetapi kebudaya-annya masih tetap hidup. Menjadilah ia
unsur-unsur yang segar dalam perkembangan kebudayaan Islam.
Pada zaman Abbasiyah masalah kesenian mulai
mendapat perhatian. Seni Persia lama kembali memper-lihatkan diri dalam
bentuknya yang baru, sesuai de-ngan jiwa dan semangat Islam, sehingga banyak
mun-cul seniman-seniman besar Islam yang berbangsa Persia.
Menurut Amir Hoesin (1975: 419): “Instrumen
mu-sik penting yang dijumpai kaum muslimin, ialah yang dinamakan dengan “rabab”
(Maroko). Rabab ini pun tidak satu saja bentukya, tetapi terdapat berbagai
rupa. Ada semacam rabab yang dinamakan kamanja. Ada pula yang bernama ghisak.
Dari rabab kaum muslimin ini orang Italia menciptakan biola.
William P Malm (1977:64) juga menyatakan,
Kamanchay (Kamanche), terdapat di Turki dan Persia yaitu sebuah alat gesek
dengan 3 atau 4 tali yang juga ditemukan pada arah ke pedalaman Eropa yang juga
banyak alat musik lira dan jenis alat gesek lainnya di Eropa Timur dan Yunani.
Instrumen ini juga salah satu dari leluhur penting “Rebec” orang Eropa yang
akhirnya berkembang menjadi biola Barat. “Diterang-kan lagi (1977: 68) bahwa,
keluarga alat musik chordophone sangat penting pada musik Islam. Istilah
yang paling umum dipakai untuk alat musik gesek klasik adalah kamanja. Itu
mungkin rabab yang berarti 1 sampai 4 yang dipegang dalam posisi tegak lurus
seperti kamanchay Persia.
Kata rabab merupakam istilah yang sudah umum
dipakai dalam bahasa Melayu. Namun banyak juga etnik di Nusantara ini memakai nama yang bervariasi rabab (berbagai sub-etnik Melayu, Betawi,
Sunda, Jawa, Bali). Rabba atau atau dodo rabba (Sulawesi Tenggara), gesok-gesok
(Sulawesi Selatan), arababu (Minahasa, Sulawesi Utara, dan Maluku), heo di Nusa
Tenggara Timur, murbab (Batak Karo), hereubab (Aceh), dan is-tilah rabab lebih
sesuai dengan dialek bahasa Mi-nangkabau.
Setiap jenis tradisi musik rabab yang hidup
pada berbagai etnik itu memiliki ciri khasnya masing- masing, sesuai dengan
latar belakang kehadiran, konsep organologi, konsep musikal, konsep ensambel
dan materi musikal, serta konsep penyajiannya. Salah satu gambarnya dalam
Ensiklopedia Umum (AG Pringgodigdo,1973: 1119 1120) dideskripsikan: rebab
instrumen gesek di dalam orkes gamelan Jawa/ Sunda. Lehernya panjang dibuat
dari kayu atau tanduk. Pada ujungnya, terdapat dua semat suara untuk masing-
ma-sing kedua dawainya. Pada bahagian bawah terdapat badan rabab yang terbuat
dari kayu atau tempurung. Pada sisi sebelah depan (sisi dawai) badan itu
ditutup dengan sehelai kulit tipis. Kedua dawai itu diganjal dengan semacam
sisiran tepat di atas kulit tersebut. Bila dawainya digesek, maka getarannya
langsung di-salurkan ke badan tadi yang berfungsi sebagai reso-nator. Rabab
dimainkan dengan sebagai tongkat gesek
yang rambutnya ditegangkan oleh pemainnya sendiri dengan jari-jarinya. Peranan
rabab dalam orkes game-lan adalah sebagai pembawa hiasan pada lagu utama, yang
dimainkan oleh saron. Rabab berasal dari Arab. Di Indonesia, ia tersebar luas
di mana-mana.
Dalam hal ini tentu saja setiap etnis akan
memiliki deskripsi tradisi musik rabab yang spesifik. Pada prin-sipnya, semua
instrumen rebab berfungsi melodius yang menggunakan teknik collaparte
(Karl Edmund Prier SJ, 1991: 179) yaitu alat musik suara, yang juga dinyanyikan
dan juga termasuk memiliki unsur ins-trumental bagian teknik instrumental
menirukan vo-kal: dalam komposisi musik instrumental diambil-alih teknik
komposisi vokal; garis melodius, firasering sesuai dengan nafas waktu nyanyi.
Jenis bentuk vokal menjadi teladan untuk jenis instrumental.
Kehadiran instrumen rebab cukup penting dalam
membangun komposisi musik berbagai ensambel mu-sik etnik di Nusantara ini,
seperti rebab pada gamelan Jawa, rabab pada gamelan Sunda, dan lain lain, bahkan dalam pertunjukan teater tradisi Mak
Yong Me-layu terdapat struktur penyajian awalnya adegan “Lagu Menghadap Rabab”
yang merupakan bagian yang dianggap sakral. Sedangkan seniman tradisi
Minang-kabau hanya memungsikan instrumen rebab sebagai pengiring kaba
(cerita) yang dituturkan atau meng-iringi aneka pantun yang didendangkan.
Tradisi Musik Rabab Piaman Segi Perkembangan
Istilah rabab bukanlah bahasa Minangkabau
asli, dan bukan pula istilah bahasa Melayu rabab, tetapi ber-asal dari istilah
instrumen rabab milik bangsa Maroko yang pernah mengembangakan agama Islam di
Sumatra (Aceh). Menurut HAMKA (1968: 35), pengaruh Aceh besar sekali di
Pariaman, sehingga jelas sampai sekarang pada gelar yang dipakai orang Pariaman
me-nerima gelar keturunan dari ayahnya, bukan dari ma-maknya; tiga gelar yang
terkenal sekarang, Sidi, Bagindo, dan Sutan. Sidi gelar
Rasulullah sebagai Sayid dan Syarif. Sampai sekarang di Maroko
keturunan-keturunan Sayid masih disebut Sidi. Bagindo gelar raja-raja dan
Sultan gelar keturunan bangsawan. Se-mua dipanggil Ajo.
Menurut MD Mansoer (12-19), Pariaman sebagai
kota dagang di pesisir yang merupakan kesatuan politis-ekonomi, di samping itu
juga peranannya dalam bidang kultur historis. Seiring dengan perkembangan ini
agama dan kebudayaan Hindu-Budha dan Islam, berkembang pula melalui daerah
pesisir ini. AA Navis juga menyatakan (1986: 264) bahwa kesenian yang hi-dup di
wilayah pesisir kelihatan lebih beragam. Dapat dilihat pula bahwa ragam-ragam
kesenian “pesisiran” itu banyak dapat pengaruh dari kebudayaan Islam dan Barat.
Ironisnya, struktur orgonologi rabab Piaman
yang memiliki tiga buah tali tidak menyerupai rabab Maroko tetapi mirip dengan
instrumen kamanja (kamanchay) dari Persia yang badan resonator suaranya
menyerupai separuh batok (tempurung) kelapa. Dengan demikian terdapat
kemungkinan bahwa badan rabab Piaman yang terbuat dari tempurung kelapa adalah
meniru kamanja tersebut.
Daerah Pariaman memang terkenal dengan
tana-man kelapa, tetapi bukanlah satu-satunya musisi daerah
Pariaman-Minangkabau yang membuat musik rabab dari tempurung kelapa. Raden
Machjar Angga Koesoemadinata, dalam bukunya “Ilmu Seni Laras” (Ilmu Musik
Indonesia Asli) (1969:96) menerangkan, rebab itu sebetulnya bukan waditra
Indonesia asli, me-lainkan berasal dari Persia, datang ke Indonesia agaknya
bersama-sama dengan agama Islam. Rabab cara Indonesia (Jawa, Sunda, dan
lain-lain) bentuk ber-lainan dengan nenek moyangnya, ialah widitra-gesek yang
bernama “rabab”, akan tetapi dalam prinsipnya sama: keduanya berbadan-raras
yang idang mukanya diperbuat dari selaput tembolok kerbau atau lembu.
Selaput ini dinamai wangkis atau babat. Badan-raras rabab itu
terdiri dari separuh atau setengah tempurung nyiur (batok kelapa) yang pada
bibirnya dibentangi wangkis. Di Jawa Barat, bahkan di masa sekarang ni, juga di
Jawa Tengah, tempurung nyiur itu diganti oleh kayu nangka (Artocarpus
Integrifolia) yang dilukiskan sebagai tempurung separuh. Akan tetapi walaupun
bahannya bukan tempurung, bukan batok, nama bahagian rabab itu tetap batok.
Kemudian Margaret J Kartomi (1985) juga
meng-informasikan tentang instrumen “gesok-gesok” yang bertali dua (jenis rabab
di Sulawesi Selatan) terbuat dari batok kelapa, yaitu serupa sekali dengan
struktur organologi rabab Piaman. Begitu juga Ismail seorang musisi dan pakar
teater Mak Yong dari Kelantan, Malaysia (wawancara, September 1999) juga
mengakui bahwa pada awalnya instrumen rabab Melayu yang digunakan sebagai
instrumen musik utama dalam per-tunjukan Mak Yong adalah juga terbuat dari
tempu-rung kelapa.
Tradisi musik rabab merupakan salah satu
genre seni pertunjukan tradisional yang sudah cukup lama menjadi primadona di
hati masyarakat Minangkabau, sebagaimana tergambar dalam ungkapan, bapupuik
jo batalempong, basaluang jo barabab sarato bagandang basaliguri (berpuput
dan bertalempong, bersaluang dan berabab, serta bergendang bersaliguri).
Dalam kehidupan masyarakat Minangkabau
ter-dapat empat jenis seni partunjukan tradisional rabab: rabab Piaman dari
daerah Pariaman Minangkabau, rabab Pasisia dari daerah Pesisir Selatan
Minangkabau, rabab Darek dari daerah Luhak Minangkabau, dan rabab Badoi dari
daerah Sawahlunto Sijunjung.
Mengamati lintasan perkembangan agama Islam
di Minangkabau dan ditambah pula dengan sifat suka merantau masyarakat Pariaman
ke segala pelosok Mi-nangkabau, terutama pada pasar di nagari-nagari, maka
mereka yang berdomisili di rantau tersebut sering me-ngundang tukang
rabab Piaman untuk hajatan ke-luarga.
Dalam hal ini tentu saja masyarakat di
lingkungan pertunjukannya itu akan ikut berapresiasi dengan tra-disi musik
rabab Piaman hingga ada yang betul-betul menyukainya, dan langsung belajar
rabab Piaman ter-sebut, sebagimana yang terjadi di daerah Talang, Solok.
Pada awal perkembangannya, kehidupan rabab
Piaman dijumpai pada semua daerah yang pernah men-jadi media hiburan utama bagi
beberapa daerah di Luhak dan rantau Kubung Tigo Baleh, serta Alam Serambi
Sungai Pagu. Namun lokasi kehidupan yang sangat mentradisi bagi masyarakat
pendukungnya hanya berada pada daerah Padangpariaman. Firdaus Dt Batuah (68 th)
seorang seniman tradisi di Desa Aro, Talang, Solok mengatakan, adanya rabab
Piaman di Talang sangat berhubungan dengan kesukaan me-rantau orang Pariaman itu
sendiri. Di nagari Talang pernah berdomisili beberapa keluarga masyarakat
Pariaman, dan mereka itu mengundang kesenian rabab Piaman yang tukang rababnya
bernama Tando ke nagari Talang. Salah seorang seniman yang berbakat dari Talang
bernama Syamsinir (Inyiak Baluik) langsung belajar rabab Piaman tersebut sampai
mahir memainkan rabab Piaman. Semenjak itulah rabab Piaman digemari masyarakat
Talang. Namun konsep musikal rabab Piaman dicampur dengan dendang- dendang
Talang dan Cupak.
Selanjutnya Rafiloza SSn memberi tahu bahwa
jenis tradisi musik rabab yang dikenal masyarakat Muarola-buah yang pertama
sekali ialah rabab Piaman. Penam-pilan rabab Piaman yang pertama di daerah itu
juga berhubungan dengan undangan terhadap tukang rabab Piaman oleh beberapa keluarga
yang berasal dari Pariaman yang telah berdomisili di Muarolabuah. Oleh karena
masyarakat Muarolabuah tidak suka dengan materi teks dari kaba (cerita kisah)
maka penampilan rabab Piaman di daerah tersebut berkembang dengan teks-teks
pantun saja. Dendang ini disajikan secara bersahut-sahutan oleh para pendendang
dengan me-lodi lagu-lagu yang dimiliki oleh masyarakat Muarola-buah. Jadi
konsep musikal rabab Piaman menyesuai-kan diri dengan lingkungan tradisi musik
masyarakat yang ada di Muarolabuah. Kesenian rabab Piaman ini sempat hidup
beberapa periode di daerah tersebut sampai masuk pula pengaruh rabab Pasisia
yang akhirnya me-matikan kehidupan rabab Piaman di daerah Muarola-buah.
Di samping itu Etek St Malano (80 th) juga
menyak-sikan di Luhak Tanahdata umumnya dan di nagari Bungatanjung, Kecamatan
Batipuh khususnya, pernah berkembang instrumen rabab Piaman, namun konsep
musikalnya sudah disesuaikan dengan dendang- dendang daerah Darek, sehingga
dikenal dengan ke-senian rabab Darek. Sampai sekarang pun masih bisa disaksikan
konstruksi instrumen rabab Darek yang sama dengan rabab Piaman, namun hanya
bertali dua.
Bahkan tukang rabab Bangkinang, Zainal Abidin
Dt Domo Sati (70 th) memberitahu bahwa instrumen rabab Bangkinang ini dibuatnya
sendiri yaitu meniru bentuk rabab Bangkinang kepada seniman Minangkabau yang
merantau di Pekanbaru, yang sering memainkan rabab Piaman. Setelah berdomisili
di Bangkinang, instrumen rabab yang dibuat ini digunakan untuk mengiringi
lagu-lagu yang terdapat di daerah Bangkinang dan se-kitarnya. Walaupun
begitu, rabab Bangkinang ini tetap bisa
memelodikan dan mengiringi lagu atau dendang tradisi yang terdapat di
Minangkabau.
Dengan demikian, instrumen rabab Piaman
diyakini sebagai yang tertua di Minangkabau, dan menjadi cikal-bakal lahirnya
berbagal tradisi musik rabab pada berbagai tempat di Minangkabau, karena rabab
Piaman pernah disajikan pada berbagal konteks pertunjukan di luar daerah Piaman
sendiri.
Aspek Penyajian
Tradisi musik rabab Piaman menyajikan dua
bagian materi yang berbeda: Bagian pertama atau bagian dendang,
menyajikan materi teks yang bersumber dari pantun yaitu disajikan dari pukul
20.00 hingga 24.00 malam, sedangkan bagian kedua atau bagian kaba menyajikan
materi teks yang berasal dari naskah kaba (cerita klasik) Minangkabau yaitu
disajikan dari pukul 24.00 tengah malam sampai pukul 5.00 subuh. Penyajian
bagian kedua inilah yang menjadi materi utama dalam tradisi musik rabab Piaman.
Materi utama dari penyajian tradisi musik
rabab Piaman ialah menuturkan naskah kaba Minangkabau dengan lagu-lagu yang
khas Piaman, seperti “Sultan Gando Hilang”, “Siti Baheram” dan lain sebagainya.
Di sini tukang rabab langsung berperan sebagai penutur teks kaba yang diwarisi
dari gurunya masing masing.
Karakter melodi lagu-lagu yang diiringi
dengan instrumen rabab Piaman disesuaikan dengan suasana alur kaba yang
disajikan.
Terdapat 14 buah lagu dalam tradisl rabab
Piaman: 1) “Duak Adang Puti Bungsu”, 2) “Ruek Api Si Puntuang”, 3) “Endek
Ambacang”, 4) “Lagu Karin”, 5) “Bukik Kudung”, 6) “Sikudarang”, 7) “Kumbang
Cari”, 8) “Dageran atau Degran”, 9) “Talu”, 10) “Rantak Kudo”, 11) “Dayuang
Piaman/Dodeman”, 12) “Lagu Indang”, 13) “Kurembang Kaba”, dan 14) “Lagu
Panjang”.
Selain dari lagu lagu di atas, dewasa ini
tukang rabab bersaudara Mayor dan Monen (sekitar 45 tahun) yang merupakan
generasi terakhir pewaris permainan rabab Piaman, sudah mulai memasukkan lagu
atau dendang saluang Darek ke dalam penyajian rabab Piaman, se-perti dendang
“Mudiak Arau”, “Talago Buni”, “Lubuak Sao” dan sebagainya.
Lagu nomor 1 s/d 9 hanya diperuntukan bagi
teks pantun belaka, atau belum lagi menuturkan teks kaba. Bagian materi yang
disajikan dengan teks pantun, tam-paknya telah dipengaruhi oleh sistem
penyajian sa-luang Darek, di mana pada
bagian pertama ini, “Lagu Sikudarang” merupakan lagu yang digemari oleh
peng-gemarnya. Kemudian dilajutkan dengan penyajian ba-gian kaba yang
berlangsung dari pukul 24.00 malam
sampai pukul 5.00 pagi dengan materi utama teks kaba. Lagu yangg digunakan pada
bagian ini ialah “Kurembang Kaba” dan “Lagu Panjang”. Dengan demikian terdapat
tiga lagu utama dalam seni pertun-jukan rabab Piaman, yaitu 1) “Sikudarang”, 2) “Kurembang Kaba”,
dan 3) “Lagu Panjang”.
Dewasa ini terdapat juga penyajian rabab
Piaman oleh dua orang tukang rabab, namun salah seorang saja yang memainkan
instrumen rabab. Di sini kedua sa-ling bergantian melagukan materi pantun yang
berba-lasan atau semacam tradisi berjualan pantun. Tukang rabab pertama
mengemukakan suatu masalah yang langsung dijawab tukang rabab kedua, begitu
sebalik-nya.
Kadang-kadang kedua seniman itu sama-sama mengemukan
seni pantun jenaka yang menggelitik pera-saan penonton. Penyajian pada bagian
kaba pun ke-duanya saling bergantian
bermain rabab dan melagu-kan teks kaba. Namun
tidak selalu pihak keluarga yang berhajat mengundang dua orang tukang
rabab Piaman untuk memeriahkan acaranya.
Kehadiran rabab Piaman pada berbagai konteks
upa-cara dalam masyarakat Piaman diistilahkan dengan “bungo alek”, artinya
kehadiran tradisi musik rabab Piaman membawa suasana gembira dan semarak
terha-dap upacara dan acara tersebut.
Lokasi pertunjukan rabab Piaman pernah
mengalami perkembangan yang baik sekali. Umumnya para orang tua di daerah
Pesisir Selatan, Kubuang Tigobaleh, Alam
Serambi Sungaipagu, dan Luhak Nan Tigo, serta daerah Pasaman pernah menikmati
penyajian rabab Piaman di daerahnya masing-masing. Lagu “Ratok Pariaman” atau
“Piaman Lamo” adalah bercikal bakal dari lagu rabab Piaman. Begitu tertariknya
terhadap lagu terse-but sehingga berbagai jenis tradisi musik Minangkabau
memakai lagu “Pariaman Lamo” sebagai salah satu lagu dari kesenian mereka,
seperti “Sijobang” dari dae-rah “Limo Puluah Koto”, “Salawat Dulang” dari
daerah Solok dan Tanahdata, saluang Darek dan rabab Darek dari daerah luhak Minangkabau,
dan rabab Pasisia dari daerah Pesisir Minangkabau, serta teater tradisional
randai yang hidup di segala kawasan Minangkabau. Walaupun demikian, karakter
molodi dan teksnya telah disesuaikan dengan karakter masing-masing jenis
ke-senian yang memakai lagu tersebut.
Tradisi Musik Rabab Pasisia Segi
Perkembangan
Instrumen musik rabab Pasisia mempunyai 4
buah tali sama dengan jumlah tali biola, tetapi tali nomor empat hanya
berfungsi sebagai pembantu getaran ta-linya yang lain (sympathetic string).
Struktur organo-loginya mirip sekali dengan keman dari Turki, atau rabab dari
Maroko, atau biola Barat. Walaupun demi-kian, disebabkan daerah Pesisir Selatan
Minangkabau cukup lama dipengaruhi oleh Portugis dan Belanda, maka peniruan
terhadap biola sangat mungkin terjadi oleh seniman Pesisir Selatan tersebut.
Sampai sekarang sebagian masyarakat di Pesisir Selatan tetap menyebut-nya
instrumen tersebut dengan istilah biola, tetapi bu-kanlah instrumen musik biola
yang dijadikan rabab Pasisia, karena warna bunyi atau karakter musikal bio-la
kurang cocok untuk melahirkan melodi lagu-lagu berkarakter Pesisir Selatan.
Masyarakat Pesisir Selatan memiliki persepsi
yang menarik tentang, segi latar belakang, kehadiran tradisi musik rabab
Pasisia yang berhubungan dengan eksis-tensi seni tutur kaba, yang dikenal
dengan “Basi-kambang” yang telah mentradisi dalam kehidupan ma-syarakat Pesisir
Selatan. Menurut Bachtiar (1994: 8-10) bahwa dendang “Sikambang” merupakan
visuali-sasi penderitaan hidup dalam sejarah yang panjang di Pesisir Selatan,
karena daerah ini telah lama menjadi jajahan, baik yang datang dari luar
(Portugis dan Belanda), mau pun dari
dalam (Aceh). Akibat yang di-timbulkan penjajahan ini pulalah mengilhami
tercip-tanya kekhasan lagu-lagu “Sikambang” yaitu irama sedih tentang nasib
selalu tertekan, baik sebagai ke-luarga bangsawan yang lari dari Pagaruyung mau
pun sebagai rakyat biasa.
Penderitaan ini lebih dirasakan lagi bagi
seseorang yang berstatus sebagai pembantu (Sikambang), seperti yang terdapat
dalam kisah “Nan Gombang” dan “Sutan Pangaduan”. Memang awal abad ke 16
(sesudah mem-berikan pukulan hebat pada gabungan angkatan laut negara-negara
Islam di Lautan Arab tahun 1510), Portugal (Portugis) merajai pelayaran di
bagian Barat dan Utara Samudera Indonesia hampir seabad (Mansoer, 1976).
Pada awalnya dendang-dendang “Sikambang” ini
disajikan oleh tukang kaba tanpa iringan rabab. Sete-lah instrumen rabab
Pasisia ditampilkan waktu meng-iringi dendang-dendang “Sikambang”, maka
musisi-nya langsung berperan sebagai tukang dendang de-ngan materi teks (cerita
klasik) bersumber dari teks kaba (cerita
klasik) Minangkabau. Bentuk penyajian seperti inilah yang diutamakan dengan
tradisi musik rabab Pasisia.
Berkembang pada geografis Pesisir Selalan
Minang-kabau yang meliputi lingkungan daerah sepanjang pantai dari nagari
Siguntua Tuo sampai nagari Tapan (berbatas dengan daerah Kerinci), nagari
Lunang dan Silantik (berbatas dengan daerah Bengkulu).
Bersumber dari kekayaan konsep melodi dendang
“Sikambang” dalam membawakan kaba, dan ditambah dengan lagu khas Pesisir
Selatan yang membawakan pantun-pantun bertema jenaka atau muda-mudi serta
diiringi dengan melodi instrumen rabab Pasisia yang memiliki jangkauan melodi (range)
yang luas, ternyata terdapat sambutan yang luar biasa oleh masyarakat dari
berbagai pelosok Minangkabau.
Dewasa ini, masyarakat yang biasa menikmati pe-nyajian rabab Piaman
sudah beralih untuk menikmati penyajian tradisi musik rabab Pasisia, sepeti
daerah Talang Solok, Muarolabuah, daerah Luhak Minang-kabau, bahkan daerah
Piaman sendiri sudah menjadi lokasi pertunjukan rabab Pasisia yang potensial.
Tukang rabab Pasisia sendiri tidak saja
berasal dari daerah Pesisir Selatan, tetapi ada yang berasal dari dae-rah
Padang, Lubukaluang, Solok, Payakumbuh,
dan sebagainya. Bahkan tukang rabab dari Pesisir Selatan sendiri sudah
berdomisili di luar daerah Pesisir Selatan. Salah satu penyebab adanya tukang
rabab Pasisia ber-domisili di luar daerah Pesisia ialah karena sudah se-makin
luasnya lokasi daerah pertunjukan rabab Pasisia, sehingga masyarakat
penikmatnya makin hari semakin bertambah jumlahnya. Sukses perkembangan rabab
Pasisia memang berawal darl hasil kreativitas si senimannya sendiri, akhirnya
tradisi musik rabab Pasisia ini menjadi salah satu jenis kesenian tradisi yang sangat populer di daerah budaya
Minangkabau sekarang ini.
Aspek Penyajian
Konsep penyajian rabab Pasisia yang asli
adalah me-makai dendang dendang “Sikambang” dalam memba-wakan teks kaba
Minangkabau. Namun berlatar bela-kang dari tuntutan unsur hiburan untuk
generasi muda, maka jadilah penyajiannya menjadi dua bagian. Bagian pertama,
atau bagian gembira membawakan pantun-pantun jenaka dan muda-mudi yang
disajikan semenjak pukul 20.00 malam hingga pukul 24.00 tengah malam. Penyajian
bagian ini mendapat sam-butan yang hangat dari para generasi muda, dan
anak-anak, karena memiliki nilai hiburan yang tinggi. Sedangkan bagian kedua
atau bagian kaba menu-turkan teks kaba yang dimulai dari pukul 24.00 tengah
malam sampai pukul 05.00 subuh. Biasanya penyajian seperti ini mayoritas
diminati oleh generasi tua.
Menurut pengamatan Suryadi (1995:3) bahwa
kenyataan di lapangan juga menunjukkan bahwa tra-disi rabab Pasisia mendapat
sambutan yang semakin luas oleh masyarakatnya (baik di daerah Pesisir Selatan –
wilayah aslinya – mau pun di luar wilayah itu) dan tampaknya kaba-kaba yang
diceritakan dalam rabab Pasisia juga semakin bertambah, sekarang banyak
di-ceritakan kaba-kaba baru yang menggambarkan kehidupan masyarakat Minang
modern, misalnya, “Kaba Zanzami” dan “Kaba Marlani” yang dibukukan Suryadi
(1993) dan “Kaba Abidin dan Bainar” yang diteliti Gusti Arni (1995).
Kemudian ditambahkan bahwa kaba-kaba yang
di-ceritakan dalam rabab Pasisia kelihatan disesuaikan dengan realitas kekinian
khalayaknya. Dengan kata lain, penampil rabab Pasisia lebih akomodatif terhadap
khalayaknya apabila dibandingkan dengan penampil rabab Piaman (Suryadi: 1995).
Edi Setyawati mengutip Hanser (1981: 140-141) bahwa evolusi gaya dibentuk oleh
pergeseran dalam pasaran kesenian. Aspek gaya memang menjadi prinsip utama
dalam pengembangan penyajian rabab Pasisia, terutama dalam masalah ka-rakter
lagu dan gerak tubuh (gesture) dalam penyaji-annya.
Repertoar lagu-lagu tradisi rabab Pasisia pun
juga dicampur dengan irama pop Minang, dangdut dan dendang Darek Minangkabau.
Alat musik ditambah dengan rebana atau gendang dan pemain pun di-tambah
jumlahnya menjadi 2 atau 3 orang, bahkan pe-main atau penyanyi wanita pun
dipakai.
Sehubungan dengan ini, Umar Kayam (1981: 38
39) menyatakan, kesenian tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat. Sebagai
salah satu bagian yang penting dari kebudayaan, kesenian adalah ungkapan
krea-tivitas dari kebudayaan itu sendiri. Masyarakat yang menyangga kebudayaan
dan dengan demikian juga kesenian mencipta, memberi peluang untuk bergerak,
memelihara, menularkan, mengembangkan untuk ke-mudian menciptakan kebudayaan
lagi.
Penyajian rabab Pasisia pada bagian gembira
dipecah menjadi tiga sub-bagian: 1. “Raun sabalik” yang biasa disebut
ragam Pasisia berirama lagu lagu pop Minang dan dangdut. 2. “Basulo
basi” disebut juga kasiah bajujuik, yaitu merupakan pemakaian irama
“Si-kambang” yang membawakan pantun dan syair tentang asmara, 3.
“Ginyang balantak” yang dikenal dengan sabatang tubuah atau “Ginyang Mak
Taci” karena semua sampiran pantun adalah tentang batang tubuh ma-nusia.
Tema pantun sub-bagian ini berisikan sindiran
dan cemooh tentang kejanggalan, kelucuan cara hidup dan kehidupan manusia,
dibawakan dalam pantun jawab- berjawab. Kalau perlu melibatkan audience,
sehingga audience merasa terlibat dalam permainan (Bakhtiar 1994: 15
16). Struktur penyajian sub-bagian “Raun Sabalik”, “Basulo Basi”, dan “Ginyang
Balantak” me-rupakan bentuk pengembangan rabab Pasisia dari segi aspek
musikalnya. Pengembangan aspek musikal rabab Pasisia otomatis menaikkan jumlah
penampilan pada berbagai konteksnya dan sekaligus menaikkan tingkat
komersialnya.
Fakta yang Merisaukan dan yang
Menggembirakan
Dewasa ini peranan bungo alek (bunga
helat) yang pernah dirasakan nikmatnya oleh tradisi musik rabab Piaman,
sekarang telah berubah. Masyarakat pendu-kungnya telah ingin menukar selera
jiwanya. Pada dasarnya upacara/acara seremoni dalam kehidupan masyarakat
Pariaman masih memerlukan suasana gembira dan semarak, tetapi mereka tidak merasa
terhibur lagi dengan alunan lagu dan penuturan tukang rabab Piaman gaya lama
yang dirasakan mo-noton pada masa sekarang. Bukti rabab Pariaman tidak lagi
kuat keterikatannya dengan konteks upacara adat masyarakat pendukungnya dapat
dilihat pada perkem-bangannya yang semakin surut sebagai tanda-tanda kepunahan.
Tukang rabab Mayor dan Monen mengalami
sendiri bahwa sesudah tahun 1980-an perkembangan rabab Piaman mengalami
kemunduran yang cukup drastis. Dewasa ini hanya upacara helat perkawinan yang
se-ring dimeriahkan dengan kesenian rabab Piaman, se-dangkan upacara atau
acara-acara lainnya tidak per-nah lagi mengundang rabab Piaman, termasuk
kemun-duran di daerah Padangpariaman itu sendiri. Generasi muda pun tidak ada
lagi yang mau belajar rabab Pia-man.
Hasil pengamatan Suryadi (1995: 3) juga
menunjuk-kan demikian. Di samping semakin berkurangnya pe-waris aktif kesenian
ini rabab Piaman, khalayaknya pun, generasi muda Pariaman sangat kurang. Dulu
beberapa daerah di Kabupaten Padangpariaman memiliki banyak tukang rabab.
Sekarang ini tidak ada lagi tukang rabab, kecuali di daerah Lubuakaluang yang
masih memilki beberapa orang tukang rabab muda. Berkurangnya minat untuk
mempelajari rabab Piaman adalah fenomena umum yang juga tampak pada kehidupan
tradisi apa saja di dunia dan itu dise-babkan oleh perubahan nilai di dalam
masyarakat.
Secara teoritis, perubahan kebudayaaan
berkaitan erat dengan perubahan pola kebutuhan masyarakat pendukung kebudayaan
itu kebutuhan biologis, sosio-logis dan pasikologis, secara sederhana dapat
dikata-kan bahwa kebudayaan selalu berubah mengiringi pe-rubahan yang terjadi
pada kebutuhan hidup masya-rakat, baik yang disebabkan penetrasi kebudayaan
du-nia luar ke dalam budaya itu sendiri, atau karena terja-dinya orientasi baru
dari kalangan internal masya-rakat pendukung kebudayaan itu sendiri (Sairin, 1992: 42).
Sampai sekarang penyanyi rabab Piaman masih
sebagaimana adanya menurut cara lama, tidak ada suasana musikal baru
yang cukup berarti sebagai daya tarik terhadap generasi mudanya.
Sebetulnya tradisi bukan sesuatu yang tak
dapat di-ubah, tradisi justru diperpadukan dengan aneka ragam perbuatan munusia
dan diangkat dalam keseluruhan-nya. la juga mengatakan bahwa kebudayaan
merupa-kan cerita tentang perubahan: riwayat manusia yang selalu memberi wujud
baru kepada pola-pola kebuda-yaan yang sudah ada. Manusialah yang membuat
se-suatu dengan itu: ia menerimanya, menolaknya atau mengubahnya. Kebudayaan
dan tradisi merupakan ketegangan antara imanensi dengan transendensi. Hidup
manusia berlangsung di tengah-tengah arus proses kehidupan (imanensi), tetapi
selalu juga muncul dari arus alam
raya itu untuk menilai alam sendiri dan mengubahnya (Van Peursen, 1988: 15).
Pada kenyataannya, bahwa seni tradisi yang
masih memiliki pendukung adalah penyajian seni tradisi yang sudah memberikan
suasana musikal yang baru dan bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan
apresiasi masyarakat pendukungnya.
Para seniman rabab Pasisia telah berbuat
seperti de-mikian. Dampak positif terhadap perkembangannya yang dinamis ialah
bertambah kuatnya eksistensi rabab Pasisia dan bertambah tinggi tingkat
komersialnya se-bagai salah satu tradisi musik di Minangkabau umum-nya dan
khususnya dalam kehidupan masyarakat Pesi-sir Selatan sebagai pendukung
utamanya. Di sini Kato mengingatkan (1992:153) bahwa yang menjadi chellenge
bagi orang Minangkabau dari masyarakat yang datang adalah bagaimana orang
Minangkabau bisa melindungi gaya dinamisme yang menyesuaikan diri pada zaman
dan kondisi yang berubah.
Dengan demikian, penyajian tradisi rabab
Piaman yang tidak dinamis hanya dapat memenuhi selera ge-nerasi tua untuk
bernostalgia. Senimannya akan ber-angsur-angsur ditinggalkan pendukungnya
generasi muda, dan bukti menunjukkan bahwa tradisi musik rabab Piaman tidak
sanggup lagi menjadi tuan rumah di rumahnya sendiri. Hanya upacara helat kawin
saja yang masih mengundang rabab Piaman, dan konteks upacara lainnya sudah
pindah mencari hiburan baru yang bernilai kekinian seperti rabab Pasisia.
Penyajian tradisi musik rabab Pasisia
menuntut su-paya pemain harus hafal banyak repertoar lagu dengan teks pantun
atau pun prosa liris kaba, dan harus mem-peragakannya dengan keterampilan
tinggi, sehingga pemain profesionallah yang sanggup memuaskan ha-rapan
panonton. Artinya terdapat sifat kompetitif yang ketat.
Meskipun begitu, memang cukup mencegangkan
bahwa ternyata di daerah Pesisir Selatan terdapat ra-tusan tukang rabab Pesisia
yang berdomisili dari daerah Siguntua sampai daerah Silauik (berbatas dengan
daerah Bengkulu) yang hidup dari hasil barabab. Padahal mereka ini belajar
bermain rabab lebih banyak diawali dengan iseng-iseng saja sebagai pengisi
waktu senggang, tetapi akhirnya berubah menjadi tukang rabab profesional
(Bahctiar, 1994: 18-19). Sementara seniman rabab Piaman tidak sanggup lagi
mengan-dalkan mata pencahariannya dari hasil barabab saja, dan harus bertani,
berdagang, atau pun buruh agar me-menuhi kebutuhan hidup keluarga. Dengan demikian generasi muda
yang hidup dalam suasana modern dan membutuhkan suasana alam yang dinamis akan
ber-tambah enggan mewarisi tradisi musik rabab Piaman.
Mursal Esten memberi pandangan (1994: 3)
bahwa semakin luas dan semakin berkembang suatu ma-syarakat (tradisional),
dalam arti bahwa masyarakat tra-disional itu semakin besar bersentuhan dengan
masya-rakat yang lain, maka semakin besar kemungkinan untuk longgar pula sistem
yang mengikat para warga masyarakatnya. Tradisi menjadi lebih bervariasi.
Antara berbagai variasi itu akan selalu ada faktor yang meng-ikat dan merupakan
benang merah yang menghubung-kan variasi yang satu dengan yang lain. Akan
selalu ada rujukan, apakah suatu gejala atau nilai budaya masih dalam ruang
lingkup tradisi dan bukan.
Dewasa ini, mayoritas masyarakat Pesisir
Selatan, menyukai penyajian rabab Pasisia. Dukungan ma-syarakat itu sangat
berhubungan dengan lestarinya pe-warisan lagu-lagu “Sikambang” asli yang khas
Pesisir Selatan. Kemudian konsep musikal yang asli itu di-kembangkan lagi
dengan suasana musikal baru (vokal dan instrumenen, bahkan musisinya) yang
sesuai de-ngan selera, generasi muda masa kini, sehingga tra-disi musik rabab
Pasisia sudah bisa menjadi tuan rumah di Alam Minangkabau.
Saran
Saran ini meminjam sebuah pandangan seorang
pe-ngamat seni budaya yang menyatakan, bahwa di dalam menghadapi
perubahan-perubahan, sikap yang terbaik adalah terbuka dan berusaha menjadi
subjek di dalam proses tersebut. Sikap defensif, tertutup, dan mengiso-lasi
diri, selain akan merugikan secara kultural juga akan sia-sia. Tradisi sebagai
kekayaan budaya meru-pakan modal utama dalam menghadapi tantangan-tan-tangan
masa depan. Akan tetapi modal utama itu hanya akan berharga dan bermanfaat bila
mana dilihat secara, kritis dan kreatif. Kualitas manusia, merupakan kunci
dalam menjadikan tradisi sebagai sesuatu yang berhar-ga dan bermanfaat sebagai
sesuatu yang menjadi baha-gian dari masa kini atau bahkan masa depan (Mursal
Esten, 1994: 13 14). Tradisi musik rabab Piaman yang menunjukan indikasi
kepunahan diharapkan melaku-kan pengembangan kreatif, baik dilakukan oleh
seni-mannya sendiri atau pun melalui kreativitas seniman non-Pariaman, tentu
saja memakai filter keminangka-bauan. Filter jenis ini juga yang mesti
dicermati secara bijaksana oleh seniman rabab Pasisia agar roda, norma-norma
kehidupan khas Minangkabau tetap berjalan pada relnya.***
Disampaikan dalam Seminar ‘Revitalisasi Seni-Budaya Pesisir’, dalam
program “Festival Pesisir” diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB), Padang, 27 Agustus 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar