OLEH Kamardi Rais Datuak Panjang Simulie
Masjid di Pesantren Batu Ampa |
seorang penasihat pemerintah Belanda,
Prof. Dr. Snouck Hurgronje (1875-1936)
menuliskan kesan-kesannya tentang pondok pesantren di Jawa.
Katanya, pesantren itu tidak lebih dari
sebuah gedung berbentuk empat persegi. Biasanya dibangun dari bambu, tetapi di
desa yang makmur tidak jarang bangunan itu dari kayu.
Tangga pondok dihubungkan ke sumur oleh
seleret batu titian, sehingga santri-santri yang kebanyakannya tidak bersepatu
dapat mencuci kakinya sebelum naik ke pondok masing-masing.
Batu air dideretkan dari kulah
(sumur untuk beruduk para santri) dengan jarak sepelangkahan menuju gedung
pesantren (surau). Para santri itu melangkah dari batu ke batu agar kakinya
tidak terinjak najis.
Tulisan Prof. Snouck tersebut, meski bagaimanapun
akuratnya pastilah berbau sinisme yang terbawa oleh sifat kolonialisme
pemerintahan Belanda. Di sini penulis hendak membandingkan dengan sebuah pondok
pesantren yang barangkali dapat digolongkan tertua di daerah Sumatera Barat
(Minangkabau). Yang penulis maksudkan adalah Pondok Pesantren Syekh Abdur
Rahman di Batuhampar, Kabupaten 50 Kota, yang dewasa ini dilanjutkan oleh
Perguruan Islam Al-Manar, yang dipimpin oleh cucu Alamarhum, Syekh Dhamrah
Arsyadi.
Pondok pesantren, menurut istilah Minangkabau
disebutkan “surau”. Surau Syekh Abdur Rahman di Batuhampar amat berke-mungkinan
sekali dibangun pada awal abad ke-19 atau sezaman dengan gerakan pembaharuan di
Minangkabau, setelah pulangnya Haji Miskin Pandai Sikek dan kawan-kawannya dari
Mekah. Atau sezaman dengan gerakan Paderi yang dipimpin oleh Malin Besar yang
kemudian masyhur dengan Tuanku Imam Bonjol. Syekh Abdur Rahman adalah datuk
atau kakek dari Bapak Dr. H. Mohammad Hatta, bekas wakil presiden, tokoh
Proklamator R.I.
Bangunan
abad ke-19
Penulis merasa amat berbahagia sekali dapat
berkunjung ke pesan-tren tersebut pada penghujung bulan Juli 1976. Kompleks
pesantren yang luasnya tidak kurang dari 2 hektar itu, sampai sekarang masih
berdiri bangunan-bangunan tua di abad ke-19, seperti sebuah surau gadang
(masjid) dengan menaranya yang terbuat dari batu, mirip dengan bangunan Kutub
Minar di Delhi yang dibangun di awal abad ke-12 M.
Pesantren (surau) Syek Abdur Rahman
terletak di nagari Batuhampar (50 Kota) sekitar 11 km dari Kota Payakumbuh atau
22 km dari Kota Bukittinggi.
H. M. Samah (98 tahun) yang penulis
wawancarai mengatakan bahwa ia telah mendapat surau itu berdiri sejak almarhum
Tuan Syekh Abdur Rahman. Tahun berapa didirikan, ia sendiri tidak tahu. Orang
tua itu hanya mengatakan bahwa yang diganti baru atapnya dan dindingnya yang
sudah keropos. Atapnya pada masa tuan Syekh Abdur Rahman adalah ijuk, sekarang
diganti dengan atap seng. Lain dari itu tidak ada yang diganti. Demikian
diterangkan oleh H. M. Samah yang barangkali satu-satunya orang Batuhampar yang
sempat bertemu dengan Syekh Abdur Rahman. Tidak jauh dari masjid itu, berdiri dengan anggunnya sebuah kubah, juga
dari batu dan masih terpelihara dengan baik.
Di dalam kubah itulah terbaringnya jasad
ulama, mulai dari almarhum Syekh Abdur Rahman, pendiri pesantren tersebut
sampai kepada syekh-syekh yang lain, anak-anak, dan cucunya yang melan-jutkan
pengabdian dari amaliah beliau, antara lain Syekh Arsyad, Syekh Ahmad, Syekh
Arifin (cucu Syekh Abdur Rahman atau kakak dari Syekh Dhamrah Arsyadi) yang
masih hidup sekarang.
Di mejannya ditandai dengan serban dan
kopiah haji sebagai tanda bahwa yang berkubur itu adalah berpredikat syekh
(ulama). Sementara di luar kubah, terbaring jasad N. Moh. Djamil, ayah
Proklamator Kemerdekaan R.I. Dr. H. Moh. Hatta.
Kenapa ayah Dr. Moh. Hatta tidak di dalam
kubah?
Menurut H. M. Samah karena H. Djamil itu
wafat dalam usia muda. Jadi almarhum belum sempat sampai ke tingkat syekh
seperti saudaranya yang lain. Ayah Hatta tersebut adalah yang paling jumbang
(ganteng) di antara putra-putra Syekh Abdur Rahman yang lain sehingga ia diberi
nama Djamil (indah, ganteng).
Di sinilah penulis hendak membandingkan
dengan kesan-kesan yang ditulis oleh Prof. Snouck Hurgronje bahwa bangunan
pesantren (surau) itu bukan saja dari bambu atau kayu, malah ada juga dari batu
yang sampai pada zaman kita ini masih belum kalah gaya dari konstruksi
bangunannya, yakni Pesantren (Surau) Syekh Abdur Rahman.
Sampai sekarang belum kita temui suatu
catatan yang pasti tentang sejarah hidup almarhum Syekh Abdur Rahman Batuhampar
itu. Yang kita temukan hanya pada kulit-kulit buku yang ditulis oleh putra
almarhum, Syekh Arsyad, dalam bahasa Melayu huruf Arab. Catatan-catatan yang
sifatnya sporadis itulah yang dikumpulkan/disimpan oleh Syekh Dhamrah Arsyadi
yang diperlihatkan kepada penulis pada waktu kunjungan tersebut.
Catatan itu menyebutkan bahwa almarhum
Syekh A. Rahman Batuhampar wafat pada tahun 1317 H tanggal 10 bulan Rajab,
dalam usia yang sangat tua sekali, 120 tahun. Konon, menurut H. M. Samah ada 11
tahun lamanya almarhum tinggal di tempat tidur. Artinya, tidak bisa berjalan
lagi karena sangat tuanya.
Seorang ahli hisab di Payakumbuh, Arius
Syaichi, telah menco-cokkan tahun-tahun wafat almarhum (1317 H. 10 Rajab)
dengan tahun Masehi adalah tanggal 23 Oktober 1899. Jika usianya waktu wafat
adalah 120 tahun, maka berartilah almarhum lahir pada tahun 1779 M.
47 tahun
Meningglkan Kampung
Dari catatan lain disebutkan pula bahwa
almarhum setelah tamat mengaji Al-Quran dalam usia 15 tahun, meninggalkan
Batuhampar, pergi menunut ilmu agama pada seorang ulama di Galogandang,
Batusangkar. Puas di Galogandang, ia pun berkelana sampai ke Aceh Selatan dan
berguru pada seorang ulama tua di Tapak Tuan.
Dari Tapak Tuan almarhum berangkat
menunaikan rukun Islam kelima ke Tanah Suci. Ia bermukim di Mekah selama 8
tahun sambil memperdalam ilmunya, terutama ilmu tasawuf. Setelah itu pulang ke
Tanah Air, tapi tak sampai ke desa tempat lahirnya, Batuhampar, karena ia
membantu gurunya di Tapak Tuan. Setelah menyalin Kitab Suci Al Quran dengan
tulisan tangan tamat 30 juz, ia kembali naik haji ke Mekah. Entah berapa lama
pula almarhum bermukim di Mekah, untuk yang kedua kalinya itu, tak ada
catatannya.
Yang jelas pulang dari Mekah yang kedua
kalinya barulah almarhum sampai ke desa kelahirannya, Batuhampar, setelah
terlebih dahulu singgah pula di Tapak Tuan (Aceh Selatan) dan Galogandang
(Batusangkar) dalam masa 47 tahun. Begitu sampai di Batuhampar kabar beritanya
telah tersiar ke mana-mana. Dari mulut ke mulut diperbincangkan orang, bahwa
seorang-orang alim telah pulang dari Mekah. Maka, berdatanganlah orang ke
Batuhampar hendak mengaji kepada beliau atau ingin memperdalam ilmu tasawuf
kepadanya. Konon, muridnya yang tertua adalah adalah Syekh Salim Batu Bara,
orang Mandahiling (Tapanuli Selatan)
yang ayahnya orang Pangkalan (Payakumbuh). Syekh Salim Batu Bara yang mendapat
ijazah pertama dari almarhum Syekh Abdur Rahman mengembangkan ilmunya pula di
nagari Andalas, Kecamatan Luhak, 50 Kota.
Sejak itu masyhurlah ke seantaro tempat di
Sumatera bahagian tengah ini, Syekh Abdur Rahman dengan pesantrennya di
Batuhampar. Sehingga berdatanganlah anak siak (santri di Jawa) dari berbagai
pelosok dan setiap kelompok kampung atau nagari dari mana mereka datang, lalu
membangun surau untuk tempat tinggal. Sampai sekarang masih ada surau-surat
tersebut, ada yang bernama Surau Muko-Muko (Bengkulu Utara), Surau Tarusan,
Surau Pariaman, Surau Kacang (Solok), Surau Kamang, Surau Andaleh, dan
lain-lain.
Berdasarkan catatan-catatan dari almarhum
Syekh Arsyad, putra almarhum Syekh Abdur Rahman tersebut atau ayah dari Syekh
Dhamrah Arsyadi, pelanjut pesantren yang sekarang, dapatlah kita menduga bahwa
pesantren tersebut dibangun mungkin sezaman dengan H. Miskin Pandai Sikek. H.
Piobang Payokumbuah, H. Sumaniak Batusangkar atau Engku nan Pahit di Aitabik.
Dan jika benar pula keterangan dari hasil
wawancara penulis dengan H. M. Samah (98 tahun) bahwa almarhum Syekh Abdur
Rahman mulai mengembangkan ilmu tasawuf di Batuhampar, ketika almarhum telah
berumur 45 tahun, maka berarti almarhum mulai membuka pesantrennya pada tahun
1824 atau 3 tahun setelah Perang Paderi dicetuskan oleh Tuanku Imam Bonjol.
Mana yang benar antara keterangan 47 tahun
meninggalkan kampung atau dalam usia beliau 45-47 tahun, baru mulai mendirikan
pesantren Batuhampar tersebut, diharapkan suatu penelitian yang cermat akan
menetukan kelak.
Demikianlah laporan penulis dalam hasil
peninjauan singkat ke Batuhampar pada penghujung Juli tahun 1976. Pesantren
tersebut, kini masih ada, dilanjutkan oleh Syekh Dhamrah Arsyadi (59 tahun)
cucu dari almarhum Syekh Abdur Rahman. Di samping murid-muridnya menyauk ilmu
tasawuf, Tharikat Naksyabandiah, maka Syekh Dhamrah bersama dengan kakaknya,
Syekh Arifin (almarhum) sejak tahun 1943 mendirikan Madrasah Tarbiyah
Islamiyah, Al Manar di kompleks pesantren itu juga. Sekarang murid madrasah
tersebut lebih kurang 175 orang yang terdiri dari tsanawiyah dan aliyah.
Karena pesantren tersebut dapat dikatakan
yang tertua di Sumatera Barat sebagai lembaga pendidikan Islam dengan sistem
surau, di mana syekh sebagai sentral figur, hendaknya dapat dipugar kembali
dengan mengumpulkan dana dari umat Islam serta dengan bantuan pemerintah.
Sebuah Yayasan Pesantren Syekh Abdur Rahman, semoga dapat dibentuk. *
Harian Haluan, 11 Agustus 1976
Baca juga artikel terkait: Baliau Batu Ampa, Lupa Jalan ke Batu Ampa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar