OLEH Nasrul
Azwar
Penikmat
Kesenian
Kebudayaa n—termasuk kebudayaan Minangkabau—dapat dimaknai sebagai sistem
nilai yang fungsinya adalah mendorong dan membimbing masyarakatnya menjawab
tantangan yang mereka hadapi sepanjang masa. Sistem nilai tersebut merupakan
ciri identitas sebuah kelompok masyarakat budaya. Pada masyarakat Minangkabau
dicirikan dengan paham egalitarian yang hidup di dalam nagari-nagari.
Perbincangan yang berkaitan dengan masyarakat dan kebudayaan
Minangkabau—katakanlah itu seni tradisi Minangkabau—kerap berarti berbicara
mengenai tatanan masyarakat dengan struktur sosial, nilai-nilai, norma
tradisional yang sebagian masyarakat masih membayangkan sesuatu yang ideal dan
asli.
Sebagai peluang, globalisasi dimaknai sebagai proses integrasi internasional yang terjadi karena
pertukaran pandangan dunia,
produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya, membuka jalan bagi masyarakat untuk memeroleh
informasi yang demikian banyak. Globalisasi juga membuka demikian banyak
terbentuknya budaya global, yang di dalamnya juga berkembang budaya lokal.
Globalisasi dalam budaya Minangkabau memberikan dampak yang boleh dikatakan
cukup dahsyat terhadap kehidupan masyarakat, karakter individu dan juga
prilakunya. Kecenderungan otonomisasi diri—terutama bagi masyarakat Minangkabau
yang hidup di kota— dalam kehidupan sehari-harinya tampak telah melemahkan
ikatan adat dan nilai-nilai tradisional. Kehidupan sosial mereka telah
dipengaruhi kekuatan kebudayaan modern dan juga arus globalisasi.
Pada batas yang sederhana, globalisasi dapat dimaknai sebagai ancaman
dan sekaligus peluang. Sebagai ancaman, globalisasi membuka jalan bagi
ekspansi kekuatan kapitalis yang tak terbatas, juga globalisasi dapat
memperlebar jurang kesenjangan masyarakat. Globalisasi juga akan mengancam akar
kultural masyarakat sehingga tertutup dari berbagai akses karena lemahnya
daya dukung dan teknologi informasi.
Globalisasi ekonomi, informasi, dan budaya telah menciptakan sebuah dunia
yang tampak semakin kecil dan semakin kehilangan batas-batasnya. Pergaulan
antarmanusia dan antarbudaya, tidak saja meluas lingkup dan cakupannya—melewati
batas-batas geografi, negara, budaya dan agama—akan tetapi juga meningkat
intensitas dan kompleksitasnya.
Dunia kini dibentuk oleh kondisi kesalingbergantungan dan
kesalingterhubungan yang semakin kuat, sehingga perubahan di sebuah tempat kini
tidak bisa dipisahkan dari perubahan di tempat-tempat lainnya. Globalisasi
telah mengintegrasikan berbagai elemen dan kelompo-kelompok budaya—termasuk
budaya-budaya lokal—ke dalam sebuah wadah, yang disebut ‘budaya
global’ (global culture).
Meskipun demikian, integrasi budaya tersebut sebaliknya telah memunculkan
‘aksi balik’, berupa meningkatnya kesadaran eksistensial pada
budaya-budaya lokal, khususnya kesadaran tentang keberagaman,
perbedaan, dan identitas. Kesadaran tersebut telah
menarik isu globalisasi ke dalam sebuah bingkai ideologis, sebagai pertentangan
‘budaya global’ vs ‘budaya lokal’, yang selanjutnya menumbuhkan berbagai
sentimen ideologis, seperti: ‘proglobalitas’ vs ‘antiglobalitas’. Kebudayaan
yang kuat melihat globalisasi sebagai sebuah peluang bagi ekspansi dan
perluasan pengaruh budayanya, dan berupaya mendo-rong globalisasi ke arah
proses percepatannya; sebaliknya budaya yang (merasa dirinya) lemah, melihat
globalisasi justru sebagai sebuah ancaman terhadap eksistensi budaya mereka,
dan berupaya menolak proses perluasannya (Yasraf Amir Piliang, 2006).
Globalisasi tampaknya telah menghadapkan kebudayaan-kebudayaan lokal pada
situasi dilematis: antara tradisi dan perubahan, antara identitas dan
transformasi. Situasi dilematis ini muncul akibat sosok globalisasi itu sendiri
yang menampakkan ‘wajah ganda’.
Di satu sisi, globalisasi menciptakan integrasi, homogenisasi,
standardisasi, internasionalisasi, di dalam ‘dunia tanpa batas’; sementara di
sisi lain, globalisasi justeru telah menguatkan semangat desentralisasi,
penganekaragaman, pluralitas, tribalisme, sukuisme dan sektarianisme.
Situasi dilematis tersebut juga dihadapi oleh gerakan-gerakan ‘budaya
lokal’ di Indonesia, khususnya dalam upaya revitalisasi budaya. Di satu pihak,
semangat reformasi, otonomi, dan demokratisasi telah memunculkan berbagai
sentimen lokal (kesukuan, keagamaan, ras, dan kedaerahan), yang bahkan pada
titik yang ekstrim telah menyulut berbagai bentuk konflik dan kekerasan. Di
pihak lain, kehidupan sehari-hari masyarakat lokal justru sangat dipengaruhi oleh
pola-pola kehidupan masyarakat global dan budaya global. Pengaruh
tersebut telah merubah cara hidup, gaya hidup bahkan pandangan hidup
mereka, yang pada titik tertentu justru mengancam eksistensi warisan
adat, kebiasaan, simbol, identitas dan nilai-nilai budaya lokal.
Dalam situasi dilematis tersebut, upaya-upaya bagi revitalisasi
budaya-budaya lokal dalam konteks perkembangan budaya global, tampaknya harus
didukung oleh pemikiran, filosofi, visi dan strategi budaya yang cerdas dan
kreatif, sehingga globa-lisasi dapat dijadikan sebagai peluang bagi
pengkayaan budaya lokal di dalam kancah budaya global, tanpa harus meninggalkan
nilai-nilai kunci budaya lokal itu sendiri (Yasraf, 2003).
Dalam kondisi demikianlah kesenian Indonesia, termasuk Sumatera Barat tentunya, kini hidup.
Selain kesenian itu sendiri kehilangan maknawinya, para pelakunya pun telah
kehilangan isu dan aktuliasasi.
Kesadaran Kultural
Kesenian khusus yang berkembang di Sumatera Barat sudah terlempar dari
pusaran “Gerakan Sosial Baru”. Pelaku seninya hanya mengemas romantisme setiap
karyanya, terutama tari dan teater. Pengelusan seni tradisi berlangsung dengan
sangat menyebalkan.
Dalam perspektif glokalisasi, dalam kajian budaya hal ini bukan kontra
globalisasi, maka sebagian besar karya seniman teater dan tari, terutama era
media 2000-an hingga kini di Sumatera Barat, berada pada arus seolah-olah
berpikir lokal dalam wacana global, yang sebenarnya ia sedang mengulang seni
masa lalu semata.
Terkadang sebuah gagasan muncul, berangkat dari kecemasan. Kecemasan
bukan dalam pengertian “politik kekuasaan”, misalnya, tetapi cemas akan raibnya
aset dan kekayaan budaya manusia di atas muka bumi ini karena hanya soal
sepele: ketidakpedulian dan kehilangan akal sehat.
Minangkabau memiliki kekayaan budaya tradisi yang berlimpah. Setiap
nagari memiliki kekhasannya budaya dan tradisinya, sejak dari alat musik,
upacara adat, tari, tradisi lisan, dan lain sebagainya.
Kekayaan kultural yang melimpah itu, kini seperti artefak, dan malah
terkesan hilang dari kepemilikan masyarakat Minangkabau. Ada yang menyebut
penyebabnya kekayaan budaya tradisi kita itu, tergilas zaman dan tak mampu
bersaing. Ada juga yang menilai, sudah tak zamannya lagi “bertradisi”.
Gerakan Pemurnian Seni
Beberapa waktu lalu, digelar diskusi grup dengan topik “Revitalisasi Kaba
Menuju Seni Kontemporer”. Dialog ini melibatkan pelaku seni lintas usia dengan
persepsi dan perspektif yang bervariasi dalam menafsir “revitalisasi” itu.
Keluaran dari diskusi grup ini adalah karya pertunjukan berupa teater, musik,
dan drama monolog.
Yang ingin dikatakan bukan persoalan diskusi grupnya, tetapi
membincangan lebih luas perspektif kebudayaan dalam kerangka perkembangan seni
pertunjukan kontemporer di Sumatera Barat, serta isu-isu yang diangkat dari
pelbagai iven atau fesitval seni yang digelar di daerah ini, dan tentu saja
saya membacanya dari kacamata “revitalisasi kultural”. Selanjutnya, memberi
catatan kritis terhadap isu-isu yang diangkat dalam festival tersebut.
Kendati nyaris tak ada festival seni yang representatif
digelar di Sumatera Barat, kecuali Simfest Sawahlunto, dengan muskinya,
tentunya. Namun demikian, tampaknya, isu yang diangkat setiap festival, semisal
iven Pekan Budaya Sumatera, Festival Padang Bagalanggang, dan lain sebagainya,
tampaknya tak memberi arti apa-apa dan berkontribusi besar terhadap seni
pertunjukan itu sendiri.
Hal demikian bisa dimaklumi karena gelaran tersebut memang
tidak diproyeksikan dan dikesankan untuk mengangkat isu-isu penting kebudayaan
dan seni pertunjukan itu. Dengan arti kata, festival, seperti Padang
Bagalanggang yang akan digelar kedua kalinya, tak mendedahkan secara tajam
konsepsi garapan masing-masing peserta sehingga iven ini kehilangan
esensialisme strategis. Tentu saja perlu kegiatan ini sangat perlu dievaluasi
secara kritis.
Miskinnya gagasan yang muncul nyaris setiap karya seni
(teater dan tari) yang lahir dari rahim seniman di Sumatera Barat sejak medi0
2000-an, memang jadi soal penting. Kebanyakan karya yang muncul, khusus yang
akan diboyong untuk konsumsi penonton luar negeri, lebih mengedepankan
komodifikasi karya ketimbang kemurnian nilai-nilai.
Komodifikasi itu adalah proses yang diasosiasikan dengan
kapitalisme dimana objek, kualitas, dan tanda-tanda
diubah menjadi komoditas, yaitu sesuatu yang tujuan utamanya adalah terjual di
pasar.
Kesenian—mengutip sebuah kalimat
Sudarmoko dalam artikelnya—bukan lagi menjadi sebuah tempat dalam menemukan
kembali kemurnian nilai-nilai yang, mungkin saja, telah luntur dalam realitas.
Nilai holistik kesenian memang tak dapat disamakan dengan agama, misalnya, yang
memang memiliki jaminan atas kebenaran yang disampaikannya. Namun setidaknya
secara humanisme, kesenian masih menyimpan kejujuran yang sudah jarang
ditemukan. Dalam kesenian, dan demikian halnya teater dan tari, tujuan yang
ingin dicapai adalah pencerahan, katarsis, yang selama ini tereduksi dalam
kecamuk persoalan sehari-hari. Kehancuran nilai-nilai dan kebusukan perilaku
yang terbungkus dalam sebuah ‘kewajaran’ yang berlangsung dalam masyarakat
mendapatkan sebuah perenungan.
Dan memang itulah yang kurang pada saat
sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar