OLEH H. Kamardi Rais
Datuk Panjang Simulie
Bentangan tulisan ini memaparkan
aturan dan tata cara perkawinan di Minangkabau, Sumatera Barat.
Minangkabau sebagai satu-satunya daerah di Indonesia yang menganut sistem
kekerabatan matrilineal, garis keturunan menurut ibu.
Sistem kekerabatan matrilineal di
dunia ini yang masih bertahan sampai sekarang hanya sekelompok kecil komunitas
masyarakat di tepi danau Nyasa di Afrika. Sedangkan menurut Moh Yamin di dalam
bukunya 6000 Tahun Sang Merah Putih konon keturunan pelaut orang Minang yang
tinggal sampai abad ke-10 di Madagaskar juga menganut sistem kekerabatan
matrilineal.
Setelah Minangkabau, penganut sistem
kekerabatan matrilineal yang terbesar itu adalah, Negeri Sembilan, Malaysia,
yang terkenal dengan Adat Perpatih.
Adat dapat diartikan sebagai norma,
aturan, dan tatacara. Adat sebagai budaya adalah tradisi, kebiasaan, dan adat
istiadat.
Bagaimana tata cara dan adat
istiadat perkawinan yang berlaku di ranah Minang, Sumatera Barat?
Terlebih dahulu perlu dijelaskan
beda antara Minangkabau dengan Sumatera Barat. Minangkabau adalah wilayah
etnis-geneologis dari salah satu suku bangsa di Indonesia yang kulturnya dan
sistem sosialnya dapat dibedakan dengan suku atau etnis lainnya. Sedangkan
Sumatera Barat adalah nama dari salah satu wilayah administrasi pemerintahan.
Suku Minangkabau itu mendiami
sebagian besar daerah Sumatera Barat dan sebagian kecil berada di luar daerah
administrasi pemerin-tahan Sumatera Barat, seperti di daerah tetangganya yang
terdekat seperti Riau, Jambi, dan Bengkulu.
Di dalam Tambo, batas-batas
Minangkabau disebutkan sebagai berikut:
“…dari
Riak nan berdebur di Sikilang Air Bangis, di Sasak Rando Manjo sampai ke Tapan
Indrapura, di Teratak Air Hitam berbatas dengan Raja Syair Alam di Muko-Muko,
lalu Durian Ditekuk Rajo, berbatasan dengan Jambi, sampai ke Rantau Kurang Esa
Dua Puluh dan digenapkan dua puluh dengan Muaro di Sijunjung, di dalamnya
terletak Sipisak Pisau Hanyut di Silukah Pinang Tungga, dihilirnya Rantau
Singingi. Paranap dengan Cerenti, sampai ke Sialang berlantak besi, di Pintu
Raya Hilir, di dalamnya XII Koto Kampar termasuk Kuok, Bangkinang, Solo, Air
Tiris dan Rumbio. Ke Utara tegak berdiri gunung Mahalintang dan Gunung Sahilan.
Seluruhnya disebut rantau dalam tiga kabung air; sungai yang airnya deras
bernama Batanghari, sungai yang airnya keruh bernama Batang Kuantan dan sungai
yang airnya tenang itulah Batang Kampar dan Sungai Siak...”
Sumatera Barat sekarang adalah nama
sebuah propinsi yang terletak di pantai barat pulau Andalas atau Sumatera. Nama
tersebut sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Wilayah itu disentuh oleh van
Guverneur van Sumatra’s Westkust. Daerahnya meliputi Residensi Sumatera Barat,
Tapanuli, dan Pulau Banyak (1847-1912). Semenjak tahun 1912, menjadi nama dari
Residentie Soematera Westkust atau Keresidenan Sumatera Barat.
Di pedalaman Sumatera Barat terletak
pusat Minangkabau yang disebut Luhak nan Tigo. Karena terletak di pedalaman,
disebut juga darek atau darat. Pariangan-Padangpanjang di kaki Gunung Merapi
adalah sebuah nagari tertua dan Pagaruyung di kaki Bukit Batu Patah sebagai
pusat kerajaan.
Minangkabau
dan Adatnya
Minangkabau, tidaklah banyak
meninggalkan sejarah tertulis, baik ditinjau dari segi adat dan budayanya
maupun ditinjau dari segi sistem pemerintahan atau kekuasaan, kurang
meninggalkan sejarah tertulis dibanding suku bangsa lainnya di dunia.
Para ahli berpendapat karena orang
Minangkabau tidak punya aksara untuk mencatatkan berbagai peristiwa yang
terjadi atau yang berlaku sepanjang sejarah kehidupannya.
Budaya Minang hadir di tengah
masyarakat sebagai budaya oral, budaya lisan, dari mulut ke mulut. Inilah yang
dikatakan: setitik berpantangan hilang, sebaris berpantang lupa. Dari ninik
turun ke mamak, dari mamak ke kemenakan.
Setelah Islam masuk ke Minangkabau
sekitar abad ke-13 atau sebelumnya, orang Minang mulai belajar membaca kitab
suci Al- Qur’an. Sekaligus mereka harus pandai membaca dan menulis huruf Arab.
Hal itu pulalah kemudian yang melahirkan tulisan yang disebut sebagai huruf
Arab Melayu atau huruf Jawi. Sejak itu pulalah diper-kirakan kitab-kitab Tambo
banyak ditulis dari tutur paparan orang-orang tua.
Dalam hal ini, kita harus berpegang
teguh pada pesan dan pendapat dari seorang budiman cendikiawan kelahiran
Minangkabau Dr. H. Mohammad Hatta, Proklamator Kemerdekaan R.I.
Dalam Seminar Sejarah dan Kebudayaan
Minangkabau di Batusangkar tahun 1970 dikemukakannya, “Para leluhur kita telah
mewariskan kepada kita sesuatu yang amat berharga dan sangat monumental yakni
adat dan budaya Minangkabau itu sendiri. Manakala kita dapat memahami dan
mengamalkannya ternyata ajaran adat Minangkabau itu sifatnya sangat universal.”
Meskipun Tambo tidak memberikan data
dan fakta, namun bila kita mampu menganalisis hakekat kata-kata melereng yang
terdapat dalam Tambo, maka tak dapat tidak kita akan memperoleh butiran adat
yang kadangkala juga menggambarkan latarbelakang sejarah.
Saya ambil sebagai contoh:
Minangkabau dengan adatnya sering disebut sebagai adat lamo pusako usang. Hal
ini menggambarkan bahwa adat itu sudah lama umurnya, lama dipakai dan
turun-temurun sampai ke masa kita. Pusaka atau warisan itu bukan barang yang
datang secara tiba-tiba. Tapi suatu warisan pusaka yang betul-betul sudah lama
dan bernilai tinggi.
Betapapun usangnya adat itu, yang
menjadi pertanyaan di tengah masyarakat, terutama di kalangan peneliti, ialah
sejak kapan adat itu berdiri. Ada pantun di dalam Tambo.
Di
mano titiak palito
Di
baliak telong nan batali
Dari
mano asa niniak kito
Dari
puncak gunuang Marapi
(Dimana
titik pelita
Dibalik
tanglung yang bertali
Dari
mana turunnya nenek kita
Dari
puncak Gunung Merapi)
Dari struktur pantun tersebut, di
samping persamaan bunyi (a-b/a-b), sampirannya pun mengandung arti yang dalam.
Di mano titik pelita? Dijawab oleh baris kedua, di baliak telong nan batali.
“Tanglung” atau telong adalah lampu
minyak dari Cina yang dijinjing untuk menerangi jalan di waktu malam untuk
melihat air sawah, ke warung atau ke jamban, ke bilik tandas (tandeh) dan
lain-lain.
Secara hakiki “tanglung” adalah
kiasan lambang kebudayaan Cina. Sedang budaya nenek moyang orang Minang berada
di balik budaya Cina. Artinya budaya Minangkabau lebih tua dari budaya
“tanglung”, budaya Cina.
Tambo menyebut juga, “…kutiko maso
dahulunyo, batigo rajo naiak nobat, Partamo, Rajo Alif nan turun ka banur
Ruhum, kaduo, Rajo Dipang nan turun ka banur Cino, katigo, Maharajo Dirajo nan
manapek ka pulau Paco nangko. Katigonyo anak Sultan Iskandar Zulkarnain..”
Dalam bahasa Indonesia, “… Ketika
masa dahulunya, bertiga raja naik nobat (naik tahta). Pertama: Raja Alif yang
berkuasa di benua Rum, kedua: Raja Dipang yang berkuasa di benua Cina dan yang
ketiga: Maharajadiraja yang menepat ke Pulau Perca ini. Ketiganya adalah putra
Iskandar Zulkarnain yang Agung atau Alexander The Great.
Kisah yang disampaikan Tambo itu
merupakan kebenaran sejarah masa lalu. Artinya antara budaya Romawi Timur ada
hubungannya dengan sejarah Minangkabau.
Pertama, pelayar Minangkabau pada
abad ke-3 SM pernah bertemu dengan pasukan Iskandar Zulkarnaini di Lembah Indus
di bawah pimpinan Onesecritus. Kemudian melahirkan kisah hubungan dengan
Iskandar Zulkarnaini.
Kedua, duta Rachias dari pantai
barat Sumatera pernah berkunjung ke istana Cladius di Romawi Timur pada abad
kedua Masehi. Duta itu tidak lain berasal dari Minangkabau.
Demikian juga halnya hubungan antara
Minangkabau dan Cina sekitar abad ke-7, ketika It Sing pulang pergi ke Cina
singgah di Malayu belajar petatah-petitih yang tidak lain adalah budaya
Minangkabau.
Jadi, kisah Tambo dapat ditelusuri
dengan bercermin ke masa lampau menelusuri kehidupan nenek moyang orang
Minangkabau. Bukankah adat itu merupakan jawaban atas tantangan terhadap alam
dan sejarahnya dalam dinamika masyarakat Minangkabau?
Kisah-kisah itu tetap diucapkan di
dalam pidato-pidato adat, pelewaan penghulu, atau pidato sakti “pati ambalau”,
upacara menaiki rumah gadang atau panganugerahan gelar sangsako adat kepada
seseorang.
Apakah nama Minangkabau sudah ada
pada waktu itu? Artinya sekitar 300 tahun SM? Para ahli sependapat, perpindahan
bangsa-bangsa dari “tanah basa” sudah
berlangsung sejak 2000 SM. Mereka bertolak dari Vietnam sekarang. Bangsa-bangsa
itu berasal dari rumpun bangsa Astronesia. Mereka itu pendukung kebudayaan neolitikum,
pada zaman prasejarah.
Pada umumnya sungai-sungai yang
berhulu di pedalaman Sumatera Barat bermuara ke Selat Malaka (ke timur)
bagaikan ular raksasa yang sedang menganga. Sungai-sungai itu adalah Siak,
Kampar, Indragiri (Batang Kuantan) dan Batanghari. Melalui sungai-sungai itulah
rombongan perpindahan bangsa-bangsa itu dari India belakang atau tanah basa
tersebut. Mereka memudiki sungai-sungai tersebut sampai pedalaman Minangkabau.
Peninggalan zaman perunggu yang
dikenal dengan nama kebudayaan Dongson ditemukan di Kerinci, Bangkinang, dan
sebagiannya di dekat Batusangkar. Dongson adalah suatu tempat di selatan Hanoi
yang dipakai sebagai ciri kebudayaan zaman perunggu di Asia Tenggara.
Sementara itu, menurut pendapat
Profesor Purbatjaraka, kata Minangkabau berasal dari kata “Minanga Kanwar” yang
artinya sungai kembar, Kampar Kiri dan Kampar Kanan.
Tapi menurut kisah dalam Tambo, kata
Minangkabau berasal kisah mengadu kerbau. Dari kata menang kerbau
(“manangkabau”) atau “mainang kerbau” yang lama kelamaan menjadi Minangkabau.
“Peristiwa adu kerbau ini terjadi
ketika ekspedisi Pamalayu untuk menundukkan orang-orang Melayu dengan
menawarkan adu kerbau. Rombongan yang datang dari Jawa telah siap dengan seekor
induk kerbau betina yang panjang tanduknya sedepa. Dalam peristiwa itu, kerbau
orang Melayu yang menang dengan kecerdikan nenek moyang orang Minang. Orang
Minangkabau tidak mencarikan kerbau yang sepadan dengan kerbau dari Jawa, tapi
mengusahakan seekor anak kerbau yang erat menyusu. Kerbau kecil itu dipisahkan
dari induknya selama seminggu dan diberi tanduk yang terbuat dari besi runcing.
Ketika pertandingan dimulai anak kerbau tersebut dilepaskan dan langsung
berlari mengejar induk kerbau besar tersebut untuk menyusu. Ketika menyusu
itulah tanduk runcing anak kerbau itu menembus perut kerbau dari Jawa. Maka
menanglah kerbau orang Minang.
Sejak itulah nama suku bangsa yang
bermukim di lembah atau di kaki Gunung Merapi, Singgalang dan Sago itu disebut
Minangkabau yang berasal dari kata
“manang-kabau” atau “mainang kabau”.
Demikianlah Minangkabau dengan
adatnya sepanjang sejarah yang diungkapkan dalam pantun berikut ini.
Anak
itiak anak ayam
Bulu
bagaluang di pungguangnyo
Kaciak
sagadang bijo bayam
Bumi
jo langik dikanduangnyo
Dalam
bahasa Indonesia:
Anak
itik anak ayam
Bulu
bergelung di punggungnya
Kecil
sebesar biji ayam
Bumi
dan langit dikandungnya
Akhirnya, saya inginkan
mengemukakannya di sini bahwa Minangkabau telah berdiri dengan adatnya sebagai
norma yang mengatur tata kehidupan masayarakatnya, baik secara individual
(orang perorangan) maupun secara berkeluarga.
Di dalamnya termasuk aturan
perkawinan, semenda menyemenda, dan lain-lain yang berlaku dan sudah menjadi
budaya di Minangkabau (Sumatera Barat) dari dahulu sampai sekarang.
Adat Perkawinan
di Minangkabau
Marilah kita coba untuk mengemukakan
beberapa kata-kata yang gandung ungkapan adat tentang hidup di alam
Minangkabau:
Hiduik
di alam Minangkabau
Basuku
basako, baadat balimbago
Bakorong
bakampuang
Bamamak
bakamanakan
Barumah
batanggo, baipa babisan
Hiduik
sumando manyumando
Baanak
bakaturunan
Babako
babaki, baandan pasumandan
Maso
ketek diasuah ditimang
Disuruah
mangaji baraja sumbayang
Dari
kaciak dinantikan gadang
Dipandang
anak, dipandang kemanakan
Limbago
umua alah cukuik
Alah
tibo mungkin jo patuik
Pandang
jauh dilayangkan
Pandang
dakek ditukiakkan
Kok
aka alah manjala
Kok
budi alah marangkak
Batamu
mamak samo mamak
Mamak
di siko jo mamak pek etan
Kak
lai batamu rueh jo buku
Lai
sajodoh lai sajudu
Dek
adat basandi syarak
Syarak
basandi kitabullah
Syarak
mangato, adat mamakai
Kawin
jo niniak mamak
Nikah
jo si parampuan
Utang
syarak tangguangan ibu bapo
Utang
adat baban niniak mamak
Ujuangnyo
duduak basandiang di palaminan
Bajalin
bakulindan kaduonyo
Lanjutannyo
sumando manyumando bak sigai mancari
anau
Sigai
baranjak anau tatap
Kabau
tagak kubangan tingga,
luluak
nan dibao sado nan lakek di badan.
Tapatan
tingga, pambao kumbali.
Suarang
dibagi, sakutu dibalah.
Itulah adat kito nan dipaturun dipanaikkan,
nan
diico nan bapakai, sabarih bapantang lupo.
Satitiak
bapantang hilang
Samo
naiak bak piapuang
Samo
turun bak kapocong
Tapakai
juo dari dahulu sampai kini.
Uraiannya, sebagai orang Minang
harus bersuku bersaka (sako). Artinya hidup dalam kelompok seketurunan mulai
dari nenek perempuan atau menurut garis ibu (matrilineal). Dari suku awal atau
induk suku, Koto-Piliang, Bodi Caniago. Keempat suku induk yang dibangun oleh
Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sabatang tersebut kini telah banyak
pecahannya.
Menurut L.C. Westenenk dalam bukunya
De Minangkabausche Nagari, pecahan suku yang empat itu sudah lebih dari seratus
suku, antara lain: Melayu, Bendang, Kampai, Mandahiling, Jambak, Guci, Pisang,
Pitapang, Payobadar, Domo, Panai, Balaimansiang, Sikumbang, Simabur, Salo,
Kutianyir, Supanjang, Sumagek, dan lain-lain.
Jadi, salah satu dari keempat suku
itu disebut suku yang artinya seperempat bagian dari satu kelompok. Setelah
mengelompok dalam satu suku dari suatu keturunan menurut garis nenek atau ibu
maka harus ada sakonya. Dalam bahasa Sanskerta kata sako berasal dari kata saka
yang artinya leluhur, tiang utama, pimpinan dalam suku atau di dalam kaum. Sako
artinya tonggak tuo atau tiang utama dari rumah gadang atau rumah bagonjong
Minangkabau. Itulah yang disebut penghulu dengan gelar datuk, misalnya Datuk
Paduko Marajo, Datuk Rangkayo Basa, dan lain-lain.
Beradat berlembaga artinya hidup
dalam lingkungan norma-norma adat, mengikuti pola, acuan, bentuk, model
aturan-aturan adat. Pola itu yang diwariskan oleh nenek moyang disebutkan
limbago.
Di dalam Tambo disebutkan: “Disusun
tangkai ciek-ciek, dilukih limbago, dipakaikan adat, basauah lalu ka lautan.”
Maksudnya, disusun tangkai satu persatu menurut bidangnya masing-masing,
dilukis bentuknya atau lembaga. Kemudian dipakaikan adat, bersauh lalu ke
lautan. Adakalanya batas-batas tertentu dan ada kalanya lepas bebas dengan
sifatnya yang universal.
Berkorong berkampung, bermamak
berkemenakan artinya setiap persukuan itu menempati korongnya yakni yang
merupakan bahagian atau se-sudut dari kampung. Hubungan kekerabatan yang
berlaku tetap bermamak dan berkemenakan.
Selanjutnya, anak dan kemenakan yang
manakala umurnya sudah cukup, baik pria maupun wanita, sudah mungkin dan patut,
diusahakan untuk berumah tangga (nikah kawin) sesuai dengan syariat Islam.
Proses ini yang disebut syarak mangato adat mamakai.
Menurut aturan perkawinan
(kawin-mawin) di Minangkabau dilakukan di luar kerabat yang disebut eksogami.
Mereka dilarang kawin sesuku. Orang dari suku Caniago tidak boleh kawin atau
nikah dengan orang suku Caniago pula. Sistem ini dipakai untuk mengekalkan
kekerabatan matrilineal (garis keturunan menurut ibu). Selain itu adalah untuk
menjaga keutuhan hubungan suku agar suku tidak punah atau retak.
Bila terjadi perkawinan sesuku,
seandainya dalam membina rumah tangga datang musibah seperti terjadi krisis
antara suami dan istri yang berakhir dengan perceraian (talak), mengakibatkan
retak pula hubungan antara rumah (kaum) laki-laki dengan rumah (kaum) si istri.
Padahal mereka berasal dari satu suku yang dianggap berdunsanak (bersaudara).
Pada dasarnya, adat Minangkabau itu
adalah adat Islami, adat basandi syarak , syarak basandi Kitabullah. Syarak
mangato, adat mamakai. Seluruh larangan agama Islam untuk kawin menjadi
larangan juga bagi adat. Namun, adat menambah larangan untuk kawin se-suku.
Kalau terjadi seperti itu, maka kedua laki-istri itu dinyatakan telah melanggar
adat dan mereka dihukum buang, diusir dari kampung (nagari). Terhadap kaum
kerabatnya, menurut sistem matrilineal, dikenakan juga sanksi adat. Mereka tak
dibawa sehilir semudik, sehutang sepiutang. Kalau kaumnya mendapatkan musibah
seperti kematian, mereka tak akan dikunjungi oleh orang kampung itu. “Di kabar
buruk tak akan berhambauan,” kata pepatah. Bila kaum itu mengadakan helat
(pesta) perkawinan atau kenduri, masyarakat pun dilarang atau tidak boleh
memenuhinya. “Tak ada dikabar baik berhimbauan,” kata pepatah. Biasanya kedua
suami istri itu segera meninggalkan kampung dan hidup di rantau selamanya
seperti di Jawa, Medan, Sulawesi, dan lain-lain. Keadaan yang seperti itu
dikiaskan oleh pantun tukang dendang:
Tinggi
malanjuiklah kau batuang
Indak
ka den tabang-tabang lai
Tingga
mancaguiklah kau kampuang
Indak
den ka pulang-pulang lai
(tinggi
melanjutlah kau betung
indak
denai tebang-tebang lagi
tinggal
mencagutlah kau kampung
kami
tidak akan pulang-pulang lagi)
Sementara itu, kaumnya yang tinggal
di kampung akan menderita batin selama bertahun-tahun karena dipencil oleh
masyarakat, tidak dibawa sehilir mudik, sehutang sepiutang. Setelah 5 tahun
sampai 10 tahun telah berlalu, kaum itu akan bermohon kepada ninik mamak dalam
nagari yang tergabung dalam Kerapatan Adat Nagari, kiranya sanksi adat yang
telah dijalaninya selama berapa tahun itu dapat dicabut kembali atau dimaafkan.
Permohonan itu biasanya disidangkan
oleh Kerapatan Adat Nagari dan kemudian menetapkan keputusannya. Sanksi adat
itu dicabut kembali dengan syarat kaum itu mengundang seluruh kaum masyarakat
nagari dalam suatu perjamuan (helat-jamu) di rumah kaum tersebut. Adat diisi
limbago dituang. Ketika itu penghulu pucuk (pucuk adat) mengumumkan hukuman
buang tersebut mulai saat itu dicabut. Kaum itu dibawa kembali sehilir mudik,
sehutang sepiutang.
Kadangkala ada syarat tambahan agar
kaum tersebut membayar denda dengan membuat sebuah gerbang masjid atau kulah
untuk beruduk dan bersuci. Namun pada umumnya kedua suami istri tersebut tetap
tinggal di kampung orang dan jarang yang pulang.
Apa yang dikatakan “Sigai mencari
enau?” Sigai adalah sebatang bambu (betung) yang dipasak atau dipalang tempat
berpijak seperti tangga ketika memanjat pohon enau (arenga pinnata). Adagium
adat itu mengandung arti suami pulang ke rumah istri atau tinggal di rumah
kerabat istrinya. Inilah ciri perkawinan “matrilokal”. Ia menjadi sumando dari
kerabat istrinya.
Kedudukan orang sumando (semenda) di
Minangkabau dikatakan, “kalau mencencang tidaklah putus,” sebab yang berkuasa
di dalam kaum istrinya adalah mamak rumah atau tungganai, lelaki tertua di
dalam kaum si istri. Seorang semenda ibarat abu di atas tunggul. Artinya, bila
datang angin kencang abu akan terbang. Tapi jangan pula diartikan seorang suami
di Minangkabau tidak bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anak.
Seorang semenda terhadap kaum
istrinya disebut sebagai condong yang akan menopang, singkat yang akan
mengulas, panjang yang akan mengerat. Seorang semenda adalah kawan berunding dan
bermusyawarah, beriya-berbukan oleh mamak rumah, saudara lelaki dari istri.
Tugas seorang semenda terhadap anak-anaknya berlaku fatwa adat yang dirangkum
dalam sebuah pantun.
Kaluak
paku kacang balimbiang
Timpurung
lenggang-lenggangkan
Dibawo
manurun ka Saruaso
Anak
dipangku kamanakan dibimbing
Orang
kampuang dipatenggangkan
Tenggang
nagari jan binaso
(relung
pakis kacang belimbing
tempurung
lenggang-lenggangkan
Dibawa
menurun ke Suruasa
Anak
dipangku kemenakan dibimbing
Orang
kampung dipertenggangkan
Tengganglah
nagari jangan binasa)
Jadi orang yang paling dekat kepada
anak adalah seorang ayah. Dialah yang memangkunya. Peranan ayah dalam sebuah
rumah tangga sangat dominan. Di kampung istrinya, kedudukannya sebagai ayah
memangku anaknya. Artinya, ia bertanggung jawab terhadap anaknya. Sedangkan di
dalam kaumnya, ia berkedudukan sebagai mamak yang punya kemenakan yang akan
dibimbingnya.
Di dalam perjalanan sejarah hukum
perkawinan menurut adat di Minangkabau, alim ulama dan cerdik pandai banyak
menentang kawin sesuku. Tiga unsur kepemimpinan di Minangkabau disebut sebagai
tungku tigo sejarangan yang terdiri dari ninik mamak, alim ulama dan cerdik
pandai.
Menurut Buya Prof. Dr. Hamka, pada
suatu kali di tahun 1936, Diadakanlah rapat besar di Maninjau. Hadir
wakil-wakil tungku tigo sejarangan dari setiap nagari di tepian tasik yang
indah itu. Kebetulan, nagari-nagari di Maninjau masyarakatnya kuat beragama dan
Maninjau terkenal sebagai gudang ulama. Seperti Inyiak De-er (Doktor H. Abdul
Karim Amrullah, ayah Buya Hamka), Dr. Moh. Natsir tokoh Islam nasional dan
internasional, Buya A. R. Sutan Mansur, Ketua Umum Pusat Pimimpinan
Muhammadiyah seluruh Indonesia dan Hamka sendiri.
Rapat besar itu membicarakan agenda
membuka atau membolehkan kawin sesuku di Maninjau dengan alasan agama Islam
membolehkan atau tidak melarang kawin sesuku. Menurut Buya Hamka, walaupun
sudah ada keputusan bersama yang membolehkan kawin sesuku, namun tak seorangpun
yang mau mempraktikkannya. Berbagai alasan dikemukakan, ada yang mengatakan,
“kembang pipinya, merasa jijik kalau akan kawin-mawin dengan dunsanak, saudara
sesuku.” Dengan orang semenda pun pergaulan kita sudah terbatas. Hubungan
dengan orang semenda, suami adik, suami kemenakan, dan sebagainya, secara
timbal balik terjadi hubungan keseganan (eversion relationship) atau
berbasa-basi.
Kalau seorang sumando sedang mandi
di pencoran, di sungai atau di tepi danau, maka kita akan menjauh dan tak mau
sama-sama mandi dengan orang sumando tersebut. Begitu pula sebaliknya.
Adat
Minangkabau Didirikan Atas Budi dan Akhlak yang Mulia
Tumanggung
membeli padi
Dijemur
di atas bawak
Kalau
hidup tidak berbudi
Apalah
guna badan awak
nan
kurik kundi
nan
merah saga
nan
baik budi
nan
indah bahasa
Dari kecil, setiap anak Minangkabau
telah diberi pendidikan budi pekerti. Kalau ingin masuk ke rumah saudara kita
hendaklah mendehem (batuk-batuk) terlebih dahulu sebagai isyarat supaya adik,
kakak atau kemenakan perempuan kita mengemasi dirinya, merapikan pakaiannya,
mungkin orang sumando sedang istirahat, sedang santai bersama istrinya di atas
rumah, dan sebagainya.
Upaya untuk menghapus larangan adat
kawin se-suku, bukan saja melalui rapat-rapat nagari, tapi juga melalui
buku-buku roman di zaman Pujangga Baru yang ditulis oleh para pengarang
kelahiran Minangkabau. Larangan itu dianggap sebagai kekangan terhadap
masyarakat Minangkabau yang dianggap sudah kuno dan kolot. Padahal, adat
Minangkabau itu adat yang bersendikan syarak, syarak bersendi Kitabullah.
Noor St. Iskandar, seorang putra
Minangkabau, pada tahun 1928 mengarang buku romannya yang terkenal Salah Pilih.
Pengarang menjalin ceritanya dengan amat mengasyikkan dengan tokohnya Asri
tidak dibolehkan kawin dengan Asnah yang sesuku dengan Asri.
Begitu juga Buya Hamka. Di waktu
mudanya mengarang roman yang berjudul, Dijemput
Mamak (1930) yang membuka wacana tentang masalah itu. Noor St. Iskandar
kembali menampilkan Karena Mertua
(1938). Kemudian buku roman Hamka (1938) yang membuat orang berurai air mata
bila membaca Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijk, yang ingin mendobrak kebiasaan larangan kawin-mawin dengan orang dari
suku bangsa lain. Tokohnya Zainuddin yang ibunya orang Makassar tapi ayah
Zainuddin orang Minang. Zainuddin menjalin hubungan asmara dengan Hayati
terkendala oleh larangan adat, “Ke mana anak akan berbako?” Bako adalah
keluarga pihak ayah yang terjalin dalam babako-babaki. Walaupun Zainuddin
seorang anak pisang orang Minangkabau, ia tetap saja dianggap orang Bugis
Makassar.
Kemanapun orang Minang pergi atau
sudah lama hilang di rantau dilamun zaman atau masa, namun sukunya tak pernah
akan hilang. Berbeda dengan suku Jawa, begitu putranya menikah berarti mereka
telah membangun sebuah keluarga baru. Orang Minang, biarpun di kawin dengan
gadis Irian, tanah Papua, namun ia tetap sebagai anggota kaum dari ibunya.
Pada tahun 1912 terbit di Padang
sebuah surat kabar Oetoesan Melajoe. Dan
satu grup dengan Oetoesan Melajoe terbit pula surat kabar Soenting Melajoe,
Akhbar Kaum Perempuan dipimpin oleh Rohana Koedoes, dari Koto Gadang,
Bukittinggi. Rohana Koedoes adalah kakak satu ayah dari Sjahrir, mantan Perdana
Menteri Republik Indonesia dan pahlawan Nasional.
Mahjoeddin Dt. Sutan Maharajo
melalui media yang beliau pimpin berpolemik dengan seorang wartawati, Saadah
Alim, dalam surat kabarnya Soeara Perempuan yang terbit tahun 1917 di Padang.
Yang diperbincangkan adalah tentang kaum perempuan Minangkabau agar keluar dari
kekangan adat, misalnya dalam bercintaan harus punya perantara, tak boleh
berkhalwat antara bujang dan gadis (berduaan saja). Maksud kekangan adat atau
sikap orang-orang tua Minangkabau seperti itu agar bara api asmara anak muda
itu jangan sampai membakar. Artinya jangan melewati batas yang berakibat bisa
jatuh ke jurang dosa menurut agama. Cara melepaskan rindu dalam percintaan dulu
hanya melalui surat-surat cinta. Dengarlah sebuah pantun di bawah ini.
Petang
Kamis malam Jumat
Pasang
lilin diujung lidi
Tepuk
bantal panggil semangat
Semoga
bertemu dalam mimpi
Supaya
dua pantun seiring:
Gulai
talas sayur kentang
Masakan
anak Kuala Nyiur
Adik
emas hamba loyang
Dapatkah
kita campur baur?
Wartawati kedua sesudah Rohana
Koedoes adalah Saadah Alim yang mendapat serangan sengit dari wartawan Datuk
Sutan Maharajo gara-gara wartawati Saadah Alim menggunakan kata “merdeka” di
dalam tulisannya. Padahal yang dimaksud Saadah Alim adalah agar kaum perempuan
(gadis-gadis) punya kebebasan untuk mengembangkan dirinya.
Dalam percaturan antara kaum adat,
dengan ulama dan cadiak pandai mengenai larangan kawin se-suku, tampaknya
pendirian kaum adat tetap bertahan sampai sekarang. Pelanggaran adat kawin
se-suku di Minangkabau sedikit sekali terjadi. Sebabnya setiap orang Minang
merasa masih tetap berdunsanak (bersaudara) di antara mereka yang se-suku.
Boleh kawin se-suku, tapi berlainan mamak. Artinya sako mamak tetap berbeda dengan sako mamak calon
istri, tapi nikah-kawin antarsuku bangsa, seperti suku Jawa, Sunda, Bugis,
Aceh, bahkan orang asing pun sudah banyak terjadi kini di Minangkabau.
Nikah-Kawin
Sebelum nikah kawin dilaksanakan,
didahului oleh beberapa kegiatan berupa sudi jo siasek (selidik dan siasat),
budi dirangkakkan, akal dijalankan, pengenalan dan kesepakatan. Tujuannya untuk
mencari kata sepakat, tanda bertemu ruas dengan buku. Begitu juga dalam
pelaksanaannya. Bila calon mempelai berasal dari nagari yang berbeda, sehingga
harus dirundingkan lebih dahulu tatacara pelaksanaan mengenai adat-istiadat
yang berlainan. Kata sepakat harus didapat dari kata adat lain padang lain
belalang, lain lubuak lain ikannyo, lain nagari lain adatnyo.
Kegiatan yang mendahului nikah-kawin
adalah:
1. Manapiak bandua,
yaitu menjumpai keluarga. Pada umumnya keluarga wanita yang datang ke rumah
pihak keluarga laki-laki untuk memperkenalkan diri dan menyam-paikan maksud,
kiranya kedua keluarga dapat disatukan erat melalui perkawinan anak kemenakan
keluarga tersebut.
2. Pinang-meminang,
berupa permintaan persetujuan secara resmi atas perkawinan anak kemenakan kedua
keluarga. Pinang meminang merupakan wujud bentuk kesopanan yang tinggi.
Walaupun yang akan menikah dua orang anak manusia, tapi pada hakikatnya
pertautan hubungan antara dua kerabat keluarga, seperti kata adat, “Nikah
dengan si parampuan, kawin dengan niniak mamak”.
3. Anta ameh dan
mambuek janji, yaitu kegiatan pertunangan atau timbang tando. Kedua belah pihak
mengadakan pertemuan di rumah kerabat perempuan untuk melaksanakan pertukaran
tanda perkawinan akan dilangsungkan. Biasanya berupa cincin emas, sehingga
disebut “tukar cincin”. Apabila seseorang telah memakai cincin tersebut,
berarti dia sudah ada yang punya, dan tidak boleh diganggu lagi.
4. Nikah-kawin, yaitu
pelaksanaan perkawinan secara adat dan agama Islam. Kedua belah pihak
menyelenggarakan acara helat sesuai kemampuan dan kesepakatan. Pelaksanaan
upacara adat sejak “manapiak bandua” (menepuk bandul) sampai “timbang tando”
dilaksanakan atas persetujuan dan dihadiri ninik mamak. Sedangkan
penyelenggaraan akad-nikah dilakukan oleh bapaknya menurut ketentuan ajaran
agama. Sesuai kata adat:
Pulang ka bako
rumah Bapak
Di parak tumbuah
capo,
Utang adat
dijunjuang Mamak
Utang syarak baban
Ibu-Bapo
Syarat-syarat administrasi dan
pencatatan nikah dilakukan menurut ketentuan undang-undang perkawinan. Dengan
demikian, perkawinan di Minangkabau dilaksanakan menurut adat, syarak dan
undang atau peraturan.
5. Japuik-anta
(jeput-antar), yaitu menjemput marapulai (mempelai) oleh keluarga wanita ke
rumah kerabat laki-laki. Menjemput mempelai ini biasanya membawa persyaratan
yang telah disepakati sebelumnya.
6. Menjalang,
manjanguak kandang (melihat kedu-dukan) yaitu pihak keluarga laki-laki datang
ke rumah keluarga perempuan melihat keadaan kemenakan mereka.
Upacara
Adat (Helat Nikah)
Pelaksanaan upacara adat tidak
selamanya dalam bentuk dan ruang lingkup yang sama. Secara umum upacara adat
diselengga-rakan sesuai kemampuan penyelenggara. Apabila si penyelanggara orang
berada dan dari keturunan penghulu pucuk atau raja, maka dilaksanakan upacara
secara besar dan biaya banyak. Tapi kalau tidak sanggup dilaksanakan secara
sederhana saja.
Ada empat macam tata cara adat dalam
pesta pernikahan:
1. Baciluikkan aia,
yaitu melaksanakan doa atau upacara secara kecil-kecilan yang terdiri dari
anggota keluarga serumah atau tetangga dekat bersama seorang Malin (ulama)
untuk membaca doa, lalu acara selesai.
2. Pangkeh pucuak atau
pangkas pucuk, yaitu memotong seekor kambing untuk perjamuan. Helat atau
upacara ini sudah mengundang orang sekaum dan sekampung dan karib baid.
3. Kabuang batang atau
penggal pohon, yaitu melaksanakan upacara yang sudah agak besar dengan memotong
sapi. Upacara yang menengah. Undangan yang hadir sudah banyak dengan mengundang
ke nagari atau luhak lain, handai tolan, orang terkemuka, dan lain-lain.
4. Lambang urek
(lembang urat atau bongkar akar), yaitu pelaksanakan helat atau upacara yang
paling meriah dengan menyembelih seekor kerbau. Balambang urek ini dilakukan
untuk upacara Batagak gala penghulu, atau pernikahan putri bangsawan, orang
berpangkat. Di beberapa daerah helat ini disebut “alek mamacah pinggan” atau
“dunia mangirok daun”. Pada masa dulu menjemput anak engku Demang, Komis,
Klerk, Nagari hoofd, Penghulu Pucuk dan lain-lain. Pada setiap tingkat upacara
tersebut menampilkan kesenian seperti, gendang dan talempong, musik gambus, saluang,
rabab, dan gamat.
Pelaminan
dan Antakesuma Suji
Perlengkapan pesta pernikahan (alek
kawin) yang utama adalah pelaminan. Dulu, belum dibedakan antara kamar
penganten dengan pelaminan, antara keduanya setali. Lamin arti sebenarnya
adalah tempat duduk raja, sekarang digunakan sebagai tempat duduk kedua
penganten. Mempelai merupakan raja sehari, maka ia didudukkan di singasana yang
disebut pelaminan.
Menurut aturan adat lama, yang boleh
memakai pelaminan adalah adat alek kabuang batang dan lambang urek saja. Tapi
sekarang aturan tersebut sudah dilanggar orang. Baralek menyembelih seekor
kambing pun, bahkan membeli bantai (daging) di pasar orang sudah memakai
pelaminan. Siapa pun boleh memakai pelaminan, tapi terasa agak janggal bila
tidak tepat pemakaiannya.
Pelaminan dengan antakesuma sujinya
indah dipandang mata. Antakesuma disulam dengan aneka benang emas dan perak.
Suji adalah sulam, bordir (embroidery).
Pelaminan sarat dengan sulam
berwarna-warni, merah nyala, kuning emas, warna perak, hitam berselang-seling.
Di dalam ragam hias itu ada lambang-lambang yang disebut kaluak paku (relung
pakis), pucuak rabuang (pucuk rebung), itiak pulang petang (itik pulang
petang), bada mudiak (ikan bada mudik), dan lain-lain. Ada tirai,
langit-langit, daredeng (ondas), dan lain-lain, tempat duduk penganten
(mempelai dan anak dara) dapat oleh bantal seraga (surago) yang oleh kebanyakan
orang disebut sebagai banta gadang.
Urang
Padang mahanyi banang
Dikumpa-kumpa
dilipek
Dilipek
patah tigo
Rundiang
amuah dirantang panjang
Elok
dikumpa naknyo singkek
Singkek
sado kapaguno
Tambilang
di tapi tabek
Tasanda
di batang sungkai
Alah
dibilang sado nan dapek
nan
tingga untuak urang pandai
Banyak
siriah di balai
Sado
iko nan masuak di carano
Banyak
ilmu dek urang pandai
Sado
iko dapek de ambo. *
Artikel merupakan bagian dari tulisan yang dimuat
pada buku “Mesin Ketik Tua (Paparan, Ulasan, dan Komentar Wartawan Tua) karya
H. Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie yang diterbitkan Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM)
pada 2005 yang dieditori Nasrul Azwar. Tulisan-tulisan yang dihadirkan,
masih aktual dan relevan dengan kondisi kekinian.
H. Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie lahir di
Payakumbuh 12 Maret 1933 meninggal di RS Selasih Padang,
Sabtu, 25 Oktober 2008, pukul 22.20 WIB setelah menjalani perawatan karena
berbagai penyakit yang diderita. Pada akhirnya hayatnya ia masih mengemban
sebagai Pucuk Pimpinan LKAAM Sumatera Barat.
Kamardi Rais meniti dunia kewartawanan pertama kali
di Harian Penerangan yang terbit di
Padang pada 1954-1955, setelah itu berpe-tualang ke Mingguan Massa di Palembang tahun 1955-1956, Harian Res-Publika di Padang (1962-1965), Harian AB Edisi Padang (1967-1972), Redaktur Harian Semangat Padang (1972-1987), Harian Pikiran Rakyat, Bandung (1978-1984), Pemimpin Redaksi Harian
Semangat, Padang, (1987-1990),
Pemimpin Redaksi Majalah Adat &
Budaya Limbago (1987-1992). Selain itu, pada 1977-1981 sebagai Bendahara
PWI Cabang Sumatera Barat, dan Ketua PWI
Cabang Sumatera Barat pada 1981-1989.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar