OLEH Anas Nafis
Di jaman penjajahan Belanda dulu, ada tiga tugu yang
menarik perhatian masyarakat kota Padang. Ketiga tugu tersebut ialah:
1.
Tugu peringatan mengenang Luitenant Kolonel A.T. Raaff,
2.
Tugu peringatan mengenang
Generaal Majoor A.F. Miechiels,
3.
Tugu peringatan berdirinya
Jong Sumatranen Bond.
Peresmian Tugu Jong Sumatranen Bond di Padang pada 6 Juli 1917 |
Dikatakan menarik perhatian oleh karena buatan dan
pemeliharaannya yang baik, lagi pula letak ketiga tugu itu di kawasan elite
pula.
Tugu pertama tempatnya di Plein
van Rome di lapangan depan Balaikota sekarang dan yang kedua di Taman
Melati sekarang. Sedangkan yang ketiga yaitu tugu Jong Sumatranen Bond
(Persatuan Pemuda Sumatera) yang sampai sekarang masih ada, yaitu di segi tiga
jalan di ujung kiri Taman Melati didekat gedung sekolah Roomsche Katholiek
di sebelah selatan Oranje Hotel (Hotel Muara sekarang). Masa ini dua tugu yang
disebutkan terdahulu sudah tidak ada lagi, karena dirobohkan oleh Pemerintah
Militer Jepang.
Siapa Letkol A.T. Raaff
A.T. Raaff menutup mata pada tanggal 17 April 1824,
karena diserang penyakit demam panas yang hebat (malaria ?) dan dimakamkan di
tepi laut Padang.
Untuk mengenang jasa-jasa A.T.
Raaff, Pemerintah Belanda mendirikan sebuah tugu di Plein van Rome
Padang dan tulang belulangnya dipindahkan dari tepi laut ke tugu tersebut.
Siapa Generaal Majoor A.F. Michiels
Adegan penting yang dimainkan setelah mendiang Raaff
dalam menanamkan bibit kekuasaan Pemerintah Belanda di Minangkabau, beralih
kepada Kolonel A.F. Michiels yang kemudian menjalankan pemerintahan militer di
Minangkanau dari tahun 1837 – 1849.
Penaklukan Bonjol dilakukan
oleh Michiels, sedangkan Tuanku Imam Bonjol dibuang ke pulau Jawa, lalu ke
Ambon dan akhirnya ke Manado.
Setelah menaklukkan Bonjol,
pangkatnya dinaikkan menjadi kolonel, lalu dengan bantuan regent Batipuah,
Halaban, Tanjung Alam dan Agam, Michiels berhasil menakukkan XIII Koto pada
bulan Februari 1838.
Pertempuran terakhir yang
dilakukan A.F. Michiels terhadap Padri ialah di Dalu-Dalu, di mana pasukan
Padri yang dipimpin Tuanku Tambusai dikalahkan.
Pada tanggal 29 November 1837
Michiels diangkat menjadi Gubernur Sipil dan Militer (Ciciel en Militair
Gouverneur) Minangkabau (bovenlanden) berkedudukan di Padang
Panjang.
Setelah Letkol J.J. Roegs
tewas dalam pertempuran melawan pasukan Aceh di Barus, dalam bulan April 1839
Michiels berhasil menalukkan Barus tanpa menunggu bantuan dari Batavia.
Kerena terdesak, orang-orang
Aceh di Singkel membakar rumah-rumah mereka sebelum melarikan diri ke Tarumun
melindungi diri, namun Michiles telah membuat perjanjian terlebih dahulu dengan
kepala-kepala anak negeri di kawasan itu. Dengan demikian boleh dikatakan
hampir seluruh pesisir barat jatuh di bawah
kekuasaan Pemerintah Belanda. Selain itu Michiels juga membuat perjanjian
dengan Kerinci.
Suatu hal yang sama sekali
tidak diduga oleh Michiels ialah pemberontakkan yang terjadi di Batipuah Padang
Panjang pada tahun 1841.
Pemberontakkan ini dikepalai
oleh Regent Batipuah dengan Datuk Pamuntjak Nan Satu. Untuk membendung agar
pemberontakan itu tidak mejalar ke nagari-nagari lain, Michiels mengirim surat
kepada kepala-kepala anak negeri di sekitar daerah pemberontakan tersebut, agar
mereka tetap setia pada pemerintah.
Waktu itu kawasan Guguk
Malintang dekat tangsi militer Belanda di Padang Panjang telah menjadi kancah
peperangan. Setelah berlangsung selama delapan hari, pemberontakan dapat
dipadamkan. Regent Batipuah ditangkap, lalu diasingkan ke pulau Jawa, namun
setahun kemudian ia berpulang. Sementara itu Datuk Pamuncak Nan Satu dibuang ke
Ambon.
Semenjak itu rakyat Batipuah
diwajibkan kerja rodi dan dilarang keras membuat bedil.
Dengan beslit tanggal 14
September 1843, Michiels dinaikkan pangkatnya menjadi Jenderal Major tituler.
Pada tahun 1844 Michiels
berhasil menekan pemberontakkan yang terjadi di Pauh yang dikenal perang Lubuak
Lintah.
Seterusnya di bawah
pimpinannya pula diadakan ekspedisi ke Sungai Pagu, Batang Taro, daerah pulau
Nias dan daerah Tapanuli.
Boleh dikatakan selama
bertugas di Sumatera Barat, Michiels senantiasa direpotkan dengan berbagai
pemberontakkan. Usai urusan Lubuak Lintah, bersambung pula dengan rencana
pemberontakkan di Padang Sidempuan, sementara itu Singkel diserang lagi oleh
orang Aceh dan bajak laut, lalu di Pariaman terjadi pula pemberontakan di bulan
Desember 1848.
Usai itu Pemerintah Belanda
menugaskan Michiels memimpin ekspedisi III di Bali. Dalam ekspedisi ini A.F.
Michiels tewas.
Untuk menghormati jasa-jasa
Michiels, oleh Pemerintah Belanda didirikan dua buah tugu. Satu di Batavia di
lapangan Waterloo (Pintu Air, sekarang Mesjid Istiqlal) dan sebuah lagi di
Padang. Sekarang kedua tugu itu sudah tidak ada lagi.
Tugu Jong Sumatranen
Bond
Berlain dengan dua tugu yang disebutkan terdahulu, yang
bagus, indah dan terpelihara dengan baik yang didirikan Pemerintah Belanda
untuk mengenang dua pahlawannya yang berjasa menundukkan kaum Padri, maka tugu
Jong Sumatranen Bond disingkat JSB adalah monumen mengenang berdirinya suatu
organisasi atau persatuan pemuda se-Sumatera sebagai cabang perhimpunan sejenis
di Pulau Jawa.
Sedang sebelum itu di pulau Jawa (baca Batavia) telah
lahir berbagai organisasi pemuda yang bersifat kedaerahan seperti Jong Ambon,
Jong Celebes, Jong Java, Jong Sumatra yang kemudian menjadi tunas pergerakan
kaum muda dalam mencapai kemerdekaan bangsa ini.
Kalau untuk mendirikan kedua tugu di atas dibiayai
sepenuhnya oleh Pemerintah Belanda, tugu JSB cabang Padang ini murni didirikan
dengan dana yang dihimpun para pemuda, terutama yang berhimpun dalam JSB.
Inilah satu-satunya tugu peringatan tertua di kota Padang
yang didirikan oleh bangsa sendiri dengan uang sendiri yang keberadaannya di
suatu wilayah yang strategis pula.
Peresmian tugu dilakukan
pada waktu berlangsungnya Kongres Pertama JSB pada tanggal 6 Juli 1919 di
Padang. Sedang sebelumnya peletakan batu pertama dilakukan oleh Mevrouw M.J.J.
Ahrends Overgauw istri tuan Ahrend yang waktu itu adalah Asisten Residen yang
merangkap sebagai Walikota Padang (Voorzitter Gemeente Padang).
Pada peresmian itu, selain para pemuda yang tergabung
dalam JSB, tokoh masyarakat seperti mantan Tuanku Panglima Regent Padang Marah
Oejoeb gelar Maharaja Besar, Haji Abdullah Ahmad dan lain-lain, dihadiri pula oleh
Asisten Residen Ahrend dan nyonya.
Pemuda Amir (kemudian menjadi Dr. Amir) tampil berpidato
secara menarik mengenai peranan pemuda di masa datang.
Sumpah Pemuda pada tahun 1928 yang melebur semua
organisasi yang bersifat kedaerahan seperti Jong Sumatra, Jong Java, Jong
Pasundan, Jong Celebes (Sulawesi) dll dan kemudian berhimpun ke dalam sebuah
wadah yang bernama Perhimpunan
Indonesia, mengimbas pula ke kota Padang. JSB yang semula diresmikan kan pada
tanggal 6 Juli 1917, ikut pula dibubarkan dan diganti pula dengan INDONESIA
MUDA. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 23 Maret 1930.
Dalam rapat pembubaran JSB yang berlangsung sejak siang
hingga larut malam, Mohamad Yamin berpidato secara panjang lebar yang menarik
perhatian pengunjung.
Masa itu tugu Jong Sumatranen Bond mendapat perubahan
pula. Sebagian dari tulisan yang terdapat di empat sisi bawah tugu dilenyapkan.
Jikalau semula tertulis:
·
MONUMENT J.S.B. 6 JULI 1917 – 5 SJAWAL 1335
·
TERSIARNJA PERGERAKAN ANAK SUMATRA
·
KEKALLAH AGAMA ISLAM
·
TER HERRINNERING V / H 1E KONGRES JONG
SUMATRANEN BOND.
Setelah tanggal 23 Maret 1930 itu, tiga di antara tulisan
itu dihapus dan yang tersisa hanyalah tulisan ketiga, yaitu “Kekallah Agama
Islam” saja.
Barangkali inilah satu-satunya tugu tertua yang merupakan
lambang persatuan bangsa yang didirikan untuk memperingati awal berdirinya
organisasi kepemudaan di nusantara ini.
Bagaimana Sekarang
Masa ini letak tugu itu masih tetap di sana juga, yaitu
di tengah pertigaan jalan, dekat sekolah Katholik, di seberang Hotel Muara, di
ujung Taman Melati. Dilihat dari jauh masih seperti dulu-dulu juga. Barangkali
bagi sopir-sopir menganggap tugu ini sama saja seperti banyak tugu lain di
simpang-simpang jalan kota Padang masa ini. Dipastikan pula banyak anggota masyarakat
teristimewa kaum mudanya, tidak tahu tugu apakah itu dan juga tidak mengerti
mengapa ada tulisan “Kekallah Agama Islam” dipahatkan disalah satu sisi tugu
tersebut.
Kalau dilihat secara lebih cermat, tampak tugu bersejarah
itu dirawat seadanya saja. Misalnya cara melaburnya berlepotan, kalimat
“Kekallah Agama Islam” ikut disaput kuas pula, sudut-sudut batang tugu yang
coal-coel tidak diperbaiki rapi, bola dipuncaknya dilepoh dengan cat hitam,
padahal semula bukan demikian. Demikian pula rantai pengamanannya, ya
begitulah. Tidak tampak keanggunan sedikit juga. Padahal dahulu hampir setiap
kejadian penting yang berkaitan dengan pergerakan bangsa ini, teristimewa di
kota Padang, para pemuda meluangkan waktu berkumpul di tugu tersebut. Bahkan
Bung Hatta ketika baru pulang dari Negeri Belanda, menyempatkan diri berkunjung ke sana.
Apakah tugu bersejarah itu
akan dibiarkan begitu saja? Jawabnya tentu saja
tidak! Karena itu melalui tulisan singkat ini penulis menghimbau siapa
saja yang peduli, menyingsingkan lengan baju menganggunkan tugu itu kembali. Mudah-mudahan.
Bahan Tulisan: Padang Gids – 1938 dsb.
Pusat Dokumentasi & Informasi
Kebudayaan Minangkabau Padang Panjang.
Padang Panjang, 19 Agustus 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar