OLEH Anas Nafis
Masuknya Agama Islam ke suatu daerah yang tidak didukung bukti-bukti
yang baik, mustahil dapat dijadikan catatan sejarah secara meyakinkan.
Di jaman dahulu bila seorang ulama berhasil atau jauh lebih baik dalam
mengajar dan mendidik ummat dari para pendahulunya, baik yang sudah meninggal
ataupun semasa hidupnya, tidak saja dianggap ulama besar, makamnya pun ramai
dikunjungi orang, bahkan dikeramatkan.
Demikian pula anggapan masyarakat terhadap Syekh Abdurrauf Singkel Aceh
dan Syekh Burhanuddin yang disebut pula "Tuanku Di Ulakan Pariaman".
Syekh Abdurrauf yang berasal dari desa Singkil Aceh, sedangkan
Syekh Burhanuddin dari desa pantai
Ulakan Pariaman, tidak saja mempunyai tingkat derajat kepopuleran yang hampir
sama, tetapi juga dikategorikan ke tingkat yang lebih tinggi, karena keduanya
adalah murid dan penganut setia ajaran Syekh Ahmad al-Kusyasi Medinah.
Keduanya diberi kuasa mengembangkan Agama Islam di daerah mereka
masing-masing.
Jadi Syekh Burhanuddin adalah murid setia Syekh Abdurrauf sedangkan
Syekh Abdurrauf sendiri adalah murid yang setia pula dari Syekh Ahmad
al-Kusyasi di Medinah.
Banyak orang beranggapan bahwa Syekh Burhanuddin-lah yang mengembangkan
Agama Islam di Minangkabau, walau sebenarnya agama ini sudah ada juga beberapa
abad sebelumnya.
Dalam buku "De Atjehers" karangan DR. C. Snouck Hurgronye
tidak ada disebut mengenai "curriculum vitae" Syekh Abdurrauf ini.
Demikian pula disertasi Dr. Douwe Adolf
Rinkes (Abdoelraoef van Singkel -
1909), sedikit sekali disinggung tentang orang keramat dari desa Ulakan ini.
Juga dalam kebanyakan literatur lama
disebutkan hanya sebatas peninggalan dan sedikit tentang ajaran yang beliau
kembangkan.
Sebagai dikatakan di atas, sebagian besar orang Minangkabau jaman dulu
percaya awal masuknya Agama Islam ke daerah ini ialah dari Ulakan Pariaman yang
dibawa oleh Syekh Burhanuddin dari Aceh. Kemudian dikembangkan oleh murid-murid beliau di
kampung Kapeh-Kapeh Koto Baru dekat Padang Panjang ke sepenjuru Minangkabau.
Lahirnya ungkapan yang mengatakan "Adat menurun, Syarak
mendaki", tidak lepas dari anggapan masuknya Agama Islam melalui Ulakan
tersebut. Maksudnya, Syarak itu naik dari daerah pantai menuju ke pedalaman
Minangkabau (pegunungan) sedangkan Adat Minangkabau datang atau menurun
dari Pariangan Padang Panjang ke daerah
pesisir.
Dalam majalah “Pemimpin Kita” No. 2 – 1929 dikatakan, masa itu Mesjid
Pamansiangan dekat Kapeh-Kapeh merupakan pusat pengembangan ajaran Tuanku Di
Ulakan. Sayang mesjid tersebut, demikian pula sejumlah besar buku pelajaran
Agama Islam bertulisan tangan ludes dimakan api ketika berkecamuk Perang
Paderi.
Petunjuk mengenai riwayat Syekh Burhanuddin ini lebih banyak diperoleh
dari keberadaan mesjid dan makam-makam di komplek pemakaman Ulakan itu sendiri. Makam-makam tersebut dinamakan pula
"Tuanku-Tuanku Nan Balinduang",
namun tanpa tulisan, gambar maupun penanggalan. Sedangkan
kisah mengenai keberadaan makam-makam tersebut lebih banyak diperoleh
dari cerita-cerita lisan semata.
Boleh jadi karena sulit membuat liang lahat di desa pantai itu, ada pula seorang Tuanku dimakamkan pakai
keranda. Tuanku ini disebut Tuanku Nan
Bakarando. Beliau adalah anak
angkat Syekh Burhanuddin.
Ada pula cerita lain mengatakan, ketika ia meninggal dunia liang
lahatnya begitu sempit karena terletak di antara dua makam lainnya, sehingga
terpaksa beliau dimakamkan memakai peti atau keranda.
Anak Tuanku Nan Bakarando bernama "Muhamad Saliah Aia Angek".
Ia gugur dekat Bonjol tatkala Perang Paderi. Waktu itu ia berpihak pada urang
putiah atau Belanda. Anak Muhamad Saliah bernama "Tuanku Kali Nan Mudo". Konon kabarnya ia berumur panjang.
Tuanku Nan
Berempat
Syekh Burhanuddin wafat tanggal 15 Syafar 1116 H atau tanggal 19/20 Juni
1704 di desa Ulakan Pariaman.
Seperti umumnya orang masa dahulu, tanggal kelahiran Syekh ini pun tidak
diketahui. Sungguhpun demikian naskah "Salasilah" menyebutkan
Syekh Burhanuddin berasal dari desa nelayan Ulakan.
Seperti disebutkan di atas, Syekh Burhanuddin adalah murid setia Syekh
Abdurrauf di Singkil Aceh. Tiga puluh tahun lamanya beliau berguru di negeri
tersebut. Sedang Syekh Abdurrauf yang anak Ali Fansuri ini menimba ilmu agama
selama sembilan belas tahun pada Syekh Ahmad al-Kusyasi di Medinah.
Dr. Ph. S. van Ronkel berhasil menemukan naskah penting SALASILAH di
Ulakan dengan bantuan Controleur (Tuanku
Mandua) Pariaman W. Dominicus.
Naskah inilah yang menjadi bahan utama bagi Dr. Ronkel menulis karangan
berjudul "Het Heiligdom
te Oelakan" (Makam Suci
di Ulakan) yang dimuat dalam VBG, deel - LVI -1914 setebal 36 halaman.
Naskah asli Salasilah itu
sendiri tebalnya 22 halaman, berukuran kertas 17 x 10,5 cm bertulisan
Arab gundul berbahasa Melayu -
Minangkabau logat Pariaman.
Selain menyelidiki dan mengumpulkan berbagai keterangan di lapangan, Dr.
Ronkel juga menelaah "De Atjehers"
karangan Dr. C. Snouck Hurgronje dan buku "Abdoel Raoef van
Singkel" karangan Douwe Adolf Rinkes tahun 1909 yang merupakan Academisch
Proefschrift. Bahkan Dr. Ronkel sampai pula ke mesjid Taluak dekat Bukit
Tinggi, di sana ia menemukan naskah karangan Syekh Abu Abdullah Muhammad Ibn
Hazin.
Dari sekian banyak murid Syekh Burhanudin, hanya empat orang saja yang
masyhur. Mereka itu adalah:
1) Tuanku Bayang (Painan), ahli syaraf.
2) Tuanku Tigo Baleh
(Solok), ahli nahu.
3) Tuanku Padang Ganting (Tanah Datar), ahli fikih.
4) Tuanku Koto Tangah (Agam), ahli tafsir.
5) Mereka disebut pula “Tuanku Nan Barampek”. Dalam buku-buku adat lama
disebut: Syaraf di Bayang, Nahu di Kubung.
1)
Fiki di Padang Ganting.
2)
Tafsir di Agam.
(Majalah “Pemimpin Kita” No. 2 – 1929).
Diberondong Marsose
Urutan kulipah (khalifah) sepeninggal Tuanku di negeri Ulakan
sebagaimana tertulis pada bagian akhir naskah Salasilah itu adalah: 1) Syekh
Abdurrahman, 2) Syekh Khairuddin, 3) Syekh Jajaluddin, 4) Syekh Idris, 5) Syekh Abdul
Mukhsin, 6) Syekh Habibullah, 7) Syekh Sulthan al-Kusyai, 8) Fakir Nan Daif ini adanya.
Dr. van Ronkel memastikan "Fakir Nan Daif" itu ialah Abdul
Majid bin Ibn. Latif. Pangkat kulipah selanjutnya disandang oleh Abdul
Rahim Tapakis dan setelah itu Zainul
Abidin Tambat.
Jadi naskah Salasilah tersebut ditulis oleh kulipah yang ke
delapan. Dr. Ronkel memperkirakan pada tahun 1864. Juga dikatakan bahwa makam
yang bersisian dengan orang suci itu (Syekh Burhanuddin), ialah Syekh Idris dan
Syekh Abdurrahman. Tetapi nama mereka tidak tercantum di batu nisan makam-
makam itu.
Makam "Tuanku-Tuanku Nan Balinduang" pernah cacat diberondong
peluru marsose Belanda. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 20 Mei 1909.
Waktu itu sepasukan marsose (pasukan istimewa Belanda) berpatroli sampai
ke makam suci tersebut. Ketika itu masyarakat di sana sedang merayakan
Maulid dengan membantai beberapa ekor
kerbau tanpa membayar pajak ternak potong kepada pemerintah.
Seperti yang menjadi pemicu Perang tahun 1908 di Sumatera Barat, karena
diberlakukannya pajak ternak potong sebesar 2% yang ditentang oleh masyarakat, dengan alasan bahwa binatang itu
dipotong bukanlah untuk dijual di pasar-pasar akan tetapi untuk
parayaan Maulid (Agama), maka bentrokan pun tidak dapat dihindarkan. Maka
terjadilah perlawanan dari pihak masyarakat yang dipimpin oleh SIDI JAMADIN bersama DATUK
BUDIANG. Korban di pihak rakyat yang 45 orang.
Het Rijk van Bittertong – 1932.
Setiap tahun pada tanggal wafat Syekh Burhanuddin, berduyun-duyun orang
datang berziarah ke makam beliau. PAI BASAPA (pergi bersyafar), kata orang Minangkabau.
Sebahagian besar pengikut Syekh Burhanuddin jaman dulu beranggapan bahwa dengan
tujuh kali pai basapa (pergi bersyafar), sama artinya dengan sekali
pergi haji ke Tanah Suci Mekah.
Makam orang suci itu berada dalam sebuah bangunan batu beratap seng,
bentuknya mirip mesjid bergaya Minangkabau berlokasi di desa Tanjung Medan
Ulakan Pariaman.
Ada beberapa orang kulipah dimakamkan dalam bangunan tersebut
bersisian dengan makam beliau. Karena di bawah satu atap, dinamakan oranglah
makam Tuanku-Tuanku Nan Balinduang (Tuanku Yang Berlindung).
Selain mesjid, banyak pula surau dibangun di komplek pemakaman tersebut.
Masing-masing surau itu diberi nomor dan papan nama. Yang nomor 2 bernama
"Surau Tuanku Tak Makan".
Boleh dikatakan setiap hari makam beliau tidak pernah sepi dari pengunjung, konon pula pada Hari-Hari Besar
Islam dan pada saat "Hari Basapa". Tentu saja peluang demikian
dimanfaatkan orang, ditandai banyaknya orang berjualan makanan dan minuman di
kawasan itu. Misalnya makanan khas daerah pantai daerah itu seperti rakik
maco, rakik udang, sala lauak busuak dan lain-lain sebagainya. Bahkan tidak
kurang pula yang berjualan busana
muslim, mukena, tikar pandan untuk
sholat dan tidur dsb. Tak obahnya mirip sebuah pasar tradisonil. Apalagi ketika
hari “basapa” yang dipadati ribuan pengunjung.
Hanya saja air bersih yang sulit diperoleh di kawasan itu dan juga
tempat peziarah membuang hajat.
Belajar Sambil Bermain
Banyak cerita menarik yang diriwayatkan mengenai Tuanku Di Ulakan ini.
Konon tatkala beliau kembali ke kampung halamannya Ulakan seusai menuntut ilmu
selama 30 tahun di Tanah Aceh, keluarlah anak nagari menyongsong dengan membawa berbagai makanan lezat seperti
nasi kunyit singgang ayam (ayam panggang).
Tatkala beliau menyantap singgang ayam tersebut, tahu-tahu terselip
digiginya. Beliau menganga, maka tampak seperti lautan saja dalam mulut orang
suci itu. Syekh Burhanuddin mohon maaf, lalu mengatakan bahwa ayam yang
dimakannya itu adalah ayam bacakau saja alias ayam curian atau mungkin
pula ayam yang disembelih tanpa syaratnya.
Kemudian beliau menyuruh mengumpulkan anak-anak untuk diajar mengaji.
Sebagai balas budi, orang tua anak-anak itu acap membawa makanan untuk beliau
seperti samba randang kandiak
(rendang daging babi) dan samba randang mancik (rendang daging tikus)
dsb.
"Makan sajolah dek awak!" (makan sajalah oleh kalian)
ujar beliau. Lalu beliau berpesan:
"Apa-apa yang dikatakan oleh anak-anak kalian tidak baik, jangan
lakukan!"
Kalau masa kini methode pendidikan moderen bagi anak-anak disebut “leeren en speelen” atau belajar sambil
bermain, maka Syekh kita ini di masa silam telah melakukannya. Misalnya bermain
gundu, membuat layangan dan sebagainya membaca doa terlebih dahulu.
Demikian masa awal beliau mendidik dan mengajarkan Agama Islam bagi
anak-anak di daerah tersebut.
Syekh Burhanuddin tidak mempunyai putra. Sebagai gantinya beliau
mengadopsi dua anak laki-laki (anak
angkat) asal Ulakan masing-masing bernama Jalaluddin dan
Abdurrahman. Apakah beliau pernah menikah tidak
diperoleh keterangan.
Dalam naskah Salasilah dikisahkan sebab musabab beliau ini tidak
berputra tersebut.
Pada suatu hari tatkala Syekh
Burhanuddin masih di Aceh, ia diminta gurunya Syekh Abdurrauf menjaga
dua putrinya. Karena itu bergerak-gerak syahwatnya, lalu ditapuangnya
(dihantamnya) dengan batu, karena itu beliau jatuh pingsan. Itulah sebabnya
beliau tidak berputra.
Berikut kita salinkan sepenuhnya “Naskah Salasilah” seperti apa yang
ditulis kembali oleh Dr. Ph. S. van
Ronkel dalam VBG - LVI - 1914 yang
semula bertulisan Arab – Melayu dengan pengantar berbahasa Belanda berjudul
HET HEILIGDOM TE OELAKAN.
Pasal Pada Menyatakan Salasilah Tuan Syekh Abdurrauf Tatkala Menuntut
Ilmu Kepada Syekh Ahmad Al-Kusyasi.
Alhamdulillah Washalati Washalamu ali Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam.
Amma Baqdu.
Adapun kemudian dari pada itu, maka inilah kabar Syekh Abdurrauf orang
negeri Samkari ibnu Ali Fansyuri tatkala menuntut ilmu ke negeri Medinah kepada
Tuanku Syekh Ahmad al-Kusyasi. Berapa lama masa beliau di sanan, sampai
sembilan belas tahun. Adapun nan dikaji di sanan surat al-Baqarah.
Adapun kerja beliau, habis tahun berganti tahun gembala onta, petang dan
pagi mendukung-dukung guru beliau Tuanku Ahmad
al-Kusyasi dari atas rumah hingga ke jenjang Surau Gadang, yakni mesjid
tempat orang menuntut ilmu. Demikianlah kerja beliau. Berbalik pulang berdukung
pula senantiasa, berbalik pula gembala onta.
Lalu berkata Tuanku Ahmad al-Kusyasi kepada Syekh Abdurrauf:
"Berbaliklah engkau pulang ke Tanah Jawi. Islamkanlah orang Tanah
Jawi (Nusantara)".
Lalu menangis Syekh Abdurrauf, karena ilmu belum sebeberapa lagi,
menangis senantiasa.
Dalam masa itu bulan baik haripun baik. Keluarlah orang Medinah
berhimpun ke negeri Mekah. Meminta ijinlah Syekh Abdurrauf kepada gurunya.
Tiada beroleh ijin pergi ke negeri Mekah. Jadi menangis pula
Syekh Abdurrauf.
Berkata pula gurunya:
"Apa pula ditangiskan. Lebih pula Mekah pada kubur Nabi Muhammad
SAW".
Jadi telah senang dalam hati.
Jadilah Syekh Ahmad al-Kusyasi menyuruh menjemput sekalian kitab pada
Syekh Abdurrauf ke surau gadang.
Jadi dibawanya oleh Syekh Abdurrauf ke surau kecil. Jadi mengaji samo
surang (sendiri-sendiri). Diajarkan oleh Syekh Ahmad al-Kusyasi sekalian kitab.
Diisyaratkan kepada Syekh Abdurrauf, jadi disimpan malah semuanya oleh
Syekh Abdurrauf. Jadi diantarkan kitab semuanya ke surau gadang.
Hari pagi hendak pula mengaji Syekh Abdurrauf ke surau gadang. Jadi
berdukung Syekh Ahmad al-Kusyasi tiba di halaman surau. Disuruh menengadalah
oleh Syekh Ahmad al Kusyasi, Syekh Abdurrauf ke atas langit. Jadi benderanglah
semuanya lalu ke lawha mahfuzh.
Lalulah Ahmad al-Kusyasi ke atas surau gadang. Syekh Abdurrauf pergi
mengembala onta. Lalu berkata Syekh Ahmad al-Kusyasi:
"Hai Abdurrauf, bilang-bilang juga onta kita".
Dalam itu artinya, tatkala mengembala onta menengok pula Syekh Abdurrauf
ke atas langit. Seperti demikian itu pula kemudian berbalik pulang.
Bertanyalah Ahmad al-Kusyasi kepada Syekh Abdurrauf:
"Apa-apa makanan yang istimewa dalam negeri engkau" ?
Maka menjawab Abdurrauf:
"Durian yang istimewa dalam Tanah Jawi, ya Tuanku".
Maka menyuruhlah Syekh Ahmad al-Kusyasi kepada Syekh Abdurrauf menjemput
durian itu. Maka diberikan beliau sayak
(tempurung) sebuah untuk berlayar. Sebentar jadi kembali terbawa buah
durian.
Kemudian dari itu maka berkehendak jua Syekh Abdurrauf hendak pergi ke
Mekah.
Jadi disuruh oleh Syekh Ahmad al-Kusyasi pergi bertarak ke hulu negeri
Mesir ke dalam kawah batu. Maka pergilah
beliau. Sampailah dua belas bulan bertarak.
Tiada hujan selama beliau
bertarak itu. Keluh kesahlah orang
negeri Mesir, tiada boleh menuntut. Teranglah akan habis mati sekalian binatang
dalam negeri Mesir.
Kemudian datanglah mimpi kepada Raja Mesir:
"Ada orang siak di hulu negeri Mesir ini dalam kawah batu. Jikalau
beliau kasihan boleh pinta. Insya Allah".
Maka menyuruhlah Raja menjemput orang siak itu ke dalam kawah batu itu.
Diseru beliau, tiada menjawab. Sampai sekali dua kali menjemput, telah ampai
sepuluh kali tiada juga terbawa.
Maka rapatlah orang negeri Mesir. Sekalian syekh-syekh, laki-laki berarak dan zikir dan tasbih serta salawat
zikirullah. Maka terbawalah beliau, lalu ke rumah Raja.
Maka ikrarlah Raja Mesir serta katanya:
"Jikalau boleh pinta kami, kami beri emas Tuanku setinggi tegak.
Jikalau mungkir kami, tiadalah kami bertuhan di Allah dan tiada kami
berpenghulu Nabi".
Maka dikeluarkanlah isi negeri sekalian serta binatang ke tengah padang. Maka sembahyanglah Syekh
Abdurrauf. Setelah takbir beliau, guruhpun berdentum-dentum, hujanpun runtuh
seperti batang kerambil. Maka habislah lari orang yang banyak pulang. Seperti
laut dalam negeri itu. Disempurnakan jua sembahyang dengan khotbah.
Maka disonsong oranglah beliau, tiada basah sedikit jua.
Maka ditimbun orang emas setinggi tegak, dihadiahkanlah kepada beliau.
Dikata Syekh Abdurrauf kepada orang Mesir:
"Tidak hamba akan membawa emas semiang jua. Hanya sebuah petaruah
hamba. Jikalau akan pergi naik haji, orang yang pergi naik haji sedekahkanlah.
Sebuah lagi petaruah hamba,
jikalau kemari orang Tanah Jawi, sapa dan siasat. Itulah petaruh hamba, karena
hamba orang Tanah Jawi".
Kemudian kembalilah Syekh Abdurrauf ke negeri Medinah.
Maka bertanyalah Syekh Ahmad al-Kusyasi:
"Adakah terkabul pinta engkau, hai Abdurrauf"?
Maka menjawab Syekh Abdurrauf:
"Ya, Tuanku Insya Allah, karena telah taat orang Mesir
semuanya".
Dihimpunkanlah oleh Syekh Ahmad al-Kusyasi segala orang Tanah Besar,
sekaliannya memegang syariat Nabi Muhammad dan orang Mekah, Medinah, Mesir,
Kufah dan orang Rum dan orang Cina, semuanya orang Tanah Sebelah, tiada terbilang negerinya, ke negeri
Medinah sekalian yang mengikut agama Nabi Muhammad. Mengajarlah Syekh Abdurrauf
sekedar masanya.
Jadi dipilihkanlah oleh Syekh Ahmad al-Kusyasi sekalian kitab yang
baik akan dibawa Syekh Abdurrauf
ke Baruah Angin.
Jadi berpetaruhlah Syekh Ahmad
al-Kusyasi kepada Abdurrauf:
"Jikalau sampai engkau ke negeri Acas, datang orang berlima orang.
Yang berlima dibawa kitab masing-masing.
Orang Ulakan, yaitu Syekh Burhanudin akan diberi kitab.
Jikalau hendak pergi naik haji ke Mekah, jangan diberi pergi Syekh
Burhanudin. Di sana ilmu yang akan diputuskan. Tumpahkanlah di sana ilmu semuanya. Kakinya tinggi dari
bumi, yakni pangkat martabatnya tinggi dilebihkan Tuhan.
Lagi bangsanya namanya Burhanudin orang Ulakan sudah memegang petaruh
Syekh Abdurrauf dari pada gurunya Syekh Ahmad al-Kusyasi".
Maka menurunlah Syekh Abdurrauf ke negeri Samkari. Orang Samkari belum
Islam, maka kembalilah Syekh Abdurrauf.
Adapun Syekh Burhanudin seperti laku Syekh Abdurrauf pula tatkala
di negeri Medinah kepada Syekh Ahmad al Kusyasi.
Maka ditunggui sudut mesjid nan empat sudut. Orang yang berlima, yang
berempat diam dalam mesjid empat sudut.
Syekh Burhanudin mendukung Syekh Abdurrauf di rumah ke surau hingga
halaman. Pergi pula mengembala ternak Syekh Abdurrauf.
Adapun nan dikaji oleh Syekh Burhanudin surat al-Fatihah, tiada berasak
sekedar lamanya.
Dhahir dan keramat Syekh Abdurrauf, Islamlah orang Samkari, berkat
keramat beliau selama beliau dalam negeri Acas.
Adapun Syekh Burhanudin selama di negeri Acas, menggali-gali tanahnya
berkeliling mesjid Syekh Abdurrauf.
Lalu beliau uji segala orang surau oleh Syekh Abdurrauf.
Beliau mencampakkan kotak kapur beliau ke dalam cirit yang banyak manjadi (banyak sekali).
Beliau suruh selam kepada segala orang surau. Tiada mau orang surau
menyelam, karena itu beliau suruh Syekh Burhanudin. Lalu beliau selam oleh
Syekh Burhanudin kotak kapur itu.
Lama berkelamaan sampai beliau tiga puluh tahun lama diam di Acas.
Disuruh bertarak oleh Syekh Abdurrauf, Syekh Burhanudin ke hulu negeri
Acas dua belas bulan.
Maka kembalilah masuk negeri Acas. Maka disuruh jemputlah kitab yang
banyak di atas mesjid, dibawa ke atas surau kecil. Maka dikajilah kitab yang
banyak itu sebaris-sebaris (oleh) Syekh Burhanudin.
Maka disimpan masuk kembali, lalu dikembalikan ke mesjid. Maka naiklah
Syekh Abdurrauf didukung oleh Syekh Burhanudin. Maka naiklah Syekh Burhanudin
serta Syekh Abdurrauf.
Disuruh duduk Syekh Burhanudin di kiri Syekh Abdurrauf. Maka mengaji
orang dalam mesjid. Maka bertanyalah Syekh Abdurrauf kepada orang yang berempat
serta orang yang banyak. Tiada tahurusi
(terjawab) tanya beliau.
Menghadap beliau Syekh Burhanudin. Tiada pikir sudah maklum sekalian
kitab yang ditaslimkan oleh Syekh Abdurrauf sekalian kitab yang lebih-lebih
kepada Syekh Burhanudin. Orang Acas ahli al-Quran dan ahli Ushul saja hanya
lagi. Tiada tinggal kitab melainkan Syekh Burhanudin jadi khalifah Syekh
Abdurrauf.
Sekalian kitab terbawa oleh Syekh Burhanudin serta yang berempat tahakik
(sempat) tinggal pada Syekh Burhanudin.
Jadi dicoba oleh Syekh Abdurrauf Syekh Burhanudin. Disuruh berjalan sepanjang koto. Di belakang itu pergi Syekh Abdurrauf ke
seberang air gadang. Habis orang beliau bawa semuanya ke seberang.
Beliau bertinggal kata:
"Jikalau datang Syekh Burhanudin, suruh turuti aku ke
seberang"!
Kemudian datang Syekh Burhanudin, disampaikan orang kata Syekh
Abdurrauf.
Beliau pergi berjalan di atas air.
Maka berkata Syekh Abdurrauf kepada Syekh Burhanudin:
"Betapa engkau lalu di air gadang?"
Kata Syekh Burhanudin:
"Saya berjalan kaki saja" kata beliau.
Adapun Syekh Burhanudin tatkala di Acas diuji oleh Syekh Abdurrauf. (Ia)
dibawa pulang maunikan (menunggu)
anak beliau berdua perempuan. Sebab itu bergerak-gerak syahwat beliau. Jadi
beliau tapuang (hantam) syahwat
beliau dengan batu. Jadi mati beliau
sebentar. Sebab itulah tiada beliau
berputra. Insya Allah Taala, sebab beliau yakin itu.
Jadi (ada) orang Ulakan berdua. Kedua orang itu tidak baputo (berputra).
Jadi (mereka) bernazar kepada beliau.
Berkat nazar itu, jadi dua orang laki-laki. Nan tuo bernama Syekh Jalaludin, nan seorang bernama Abdurrahman.
Jadi diberikan keduanya oleh ibu-bapanya kepada beliau.
Adapun kedhahiran keramat beliau tiada terhisap.
Maka kembalilah Syekh Burhanudin ke negeri Ulakan. Maka berlayarlah
beliau. Maka berlabuhlah beliau di pulau dalam laut.
Maka mufakatlah orang dalam negeri Ulakan. Maka diperbualah nasi kunyit,
gulai ayam. Dijaga makanan itu.
Setelah dibawa sekalian hidangan barang yang ada, makanlah beliau. Terselat di gigi lauk ayam itu, beliau
menganga.
Apalah serupa laut saja dalam mulut beliau.
Beliau mintakan maaf, ayam itu karena ayam bercekau saja !
Kemudian dibawa beliau ke darat. Beliau suruh himpunkanlah kanak-kanak.
Amuhlah orang Ulakan.
Telah sampai ke darat, diantarlah sekalian kanak-kanak kepada beliau.
Beliau ajarilah mengaji.
Sambal rendang kandiak (babi) bagai dibawa untuk beliau. Sambal rendang
mancik (tikus) bagai dibawa untuk beliau. Beliau tiada rajan (suka). "Makanlah oleh kalian"! kata beliau.
Ketika akan berbalik pulang ibu-bapanya masing-masing, beliau
berpetaruh:
"Apa-apa tidak elok kata anak,
hentikan malah"!
Itulah petaruh beliau. Amuhlah orang Ulakan. Jadi Islamlah orang Ulakan.
Maka berbuat suraulah Syekh Burhanudin di Ulakan di Tanjung Medan
namanya tempat, seratus banyak surau.
Kemudian berpikirlah Tuanku Nan Barampek dalam hati:
"Kito balun Islam lai. Lai
kapia juo kito. Kito mangulang kapado nagari Acas"! (Kita belum Islam
lagi. Masih kafir juga kita. Kita mengulang ke negeri Aceh).
Maka lalu orang berempat itu tiba di Acas.
Apa kata Syekh Abdurrauf:
"Kitab lah habis ke Ulakan kepada Syekh Burhanudin. Tiada hamba mengajar lagi. Tiada kitab tinggal
di hamba lagi".
Jadi telah berbalik orang yang berempat itu. Jadilah berguru kepada
Syekh Burhanudin.
Kemudian maka berbaliklah orang yang berempat dari Ulakan kepada negeri
masing-masing.
Adapun menjawat Khalifah (setelah) Syekh Burhanudin, Syekh Abdurrahman.
Dan yang menjawat Syekh Abdurrahman (ialah) Syekh Khairudin, (setelah
itu) Syekh Jalaludin.
Nan menjawat
Syekh Jalaludin (ialah) Syekh Idris. Nan menjawat Syekh
Idris (ialah) Syekh Abdul Mukhsin. Nan menjawat Syekh Abdul Mukhsin
(ialah) Syekh Habibullah. Nan menjawat
Syekh Habibullah (ialah)
Syekh Sulthan al Kusyai.
Nan menjawat Syekh Sulthan al-Kusyai (ialah) Fakir yang dhaif ini
adanya.-
Jakarta, Januari 1992
Tidak ada komentar:
Posting Komentar