OLEH Nasrul Azwar
Tinggal di Padang
Hasil keputusaan Panitia Kerja (Panja) Komisi X DPR RI yang dirilis pada
Januari 2014 terhadap Rancangan Undang-Undang Kebudayaan (RUU Kebudayaan) tak
banyak perubahan substantif.
Pasal-pasal yang dinilai kontroversial, masih bertengger. Seperti Pasal
59 sampai dengan Pasal 62 tentang Pranata Kebudayaan dan SDM Kebudayaan, pasal 74 sampai dengan pasal 82
tentang pengendalian kebudayaan, dan Pasal 91 yang menyinggung soal pembentukan
komisi perlindungan kebudayaan.
RUU Kebudayaan ini muncul atas inisiatif dan usulan Komisi X DPR RI
namun hingga kini untuk mencapai penetapan sebagai undang-undang masih jauh. Selain
itu, perjalanan RUU inipun masih penuh pro-kontra di tengah masyarakat.
Dari penelusuran yang dilakukan, perjalanan RUU ini masih panjang. Saat ini RUU
baru memasuki tahap usulan dan belum dibahas di tingkat Rapat Komisi, Rapat
Badan Legislasi, Rapat Badan Anggaran atau Panitia Khusus.
Banyak yang memperkirakan, RUU Kebudayaan ini akan berlanjut pada masa
tugas anggota DPR RI periode 2014-2019. Jika ini terjadi, seperti biasanya,
akan mengulang dari nol lagi. Dan kejaran semakin menjauh.
Selain itu, untuk persoalan nama juga belum “duduk”. Sebelumnya, pada
tingkat Prolegnas DPR namanya masih RUU
Kebudayaan. Karena kebudayaan terlalu luas,
maka menurut Tubagus
Dedi S Gumelar alias Miing, salah satu anggota Panitia Kerja (Panja) Komisi X
DPR, RUU diganti menjadi RUU Pengelolaan Kebudayaan. "Kita analogikan saja begini, apakah ada
Undang-Undang Politik? Nggak ada kan? Makanya kita usulkan untuk menggunakan
nama Pengelolaan Kebudayaan, sebab terlalu luas jika kita gunakan nama RUU
Kebudayaan," kata Miing.
Terlepas dari perubahan nama dan luasnya
cakupan kebudayaan, yang jelas RUU Kebudayaan ini merupakan inisiatif dari
Komisi X DPR RI, bukan dari pihak pemerintah dalam hal ini Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, RUU ini menuai kritikan keras dan malah penolakan,
baik dari perorangan maupun lembaga.
Salah satu lembaga yang intensif
mengikuti perkembangan di tingkat legislasi adalah Koalisi Seni Indonesia. Koalisi
Seni Indonesia merupakan lembaga yang didirikan budayawan, praktisi seni,
pengamat seni, dan lain sebagainya yang tujuannya melakukan pengkajian,
pendidikan dan advokasi di bidang praktik seni dan budaya di Indonesia, telah
mengumpulkan sejumlah dokumen mengenai RUU Kebudayaan tersebut, baik berupa
naskah akademik maupun naskah RUU-nya sendiri.
Selain mengumpulkan dokumen yang sekaitan
dengan itu juga digelar berbagai pertemuan, diskusi, dan focus group discussion
(FGD). Koalisi Seni Indonesia menilai, RUU Kebudayaan mencampuradukkan
persoalan masyarakat adat, cagar budaya dan persoalan tradisi sebagai hal yang
diatur dalam RUU ini.
Sementara itu, menurut Koalisi Seni
Indonesia, kompleksnya persoalan kebudayaan tidak akan terselesaikan dengan
adanya regulasi khusus untuk bidang ini, apalagi jika itu berarti pembengkakan
birokrasi dengan akan dibentuknya kementerian khusus kebudayaan, meskipun
memang saat ini wewenang mengenai kebudayaan selalu tumpang tindih antara Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Intinya, jelas Koalisi Seni Indonesia
dalam situsnya, RUU Kebudayaan yang akan segera disahkan tersebut memiliki
banyak hal yang bisa menimbulkan kontoversi ketika ia aplikasikan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, mengingat persoalan kebudayaan adalah
persoalan yang sangat kompleks dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Lebih
jauh lagi, RUU ini tidak berisi materi dan konsep yang jelas dan kokoh mengenai
strategi kebudayaan.
Sementara itu, dalam blog Marco Kusumawijaya, ia menuliskan secara kritis tentang RUU
kebudayaan ini. Marco mengatakan suatu Undang-Undang Kebudayaan selayaknya
dipandang sebagai strategi dan wahana untuk menyiapkan satu bangsa Indonesia
dengan banyak budayanya yang jamak memanfaatkan apa yang akan muncul dalam
proses masa depan sebagai kesempatan. Memanfaatkan sesuatu sebagai kesempatan
dengan sendirinya mengalahkan kemungkinannya sebagai ancaman.
UU Kebudayaan hanya dapat memperkuat
kemampuan kita mengolah kesempatan-kesempatan yang akan muncul di masa depan,
yang sebagian tentu saja karena kehendak dan tindakan kita sendiri, jika ia
membebaskan dan mendorong berkembangnya semua kebudayaan-kebudayaan yang ada
melalui pergaulan antara mereka secara lancar, damai dan sangat.
Menurut Marco, Indonesia tidak memulai
proses ini dengan kosong. Ia telah memiliki kekayaan keragaman budaya yang
sangat besar, yang semuanya perlu direvitalisasi dengan menyingkirkan cara
pandang yang statis, hirarkis, fasistis dan ketakutan.
“Sebagian dari kebudayaan-kebudayaan yang
pernah ada di wilayah RI telah hilang, mati suri atau tertekan. Semuanya harus
diupayakan tumbuh kembang kembali secara aseli, tidak dibuat-buat, melalui
penghormatan, penggalian dan pendukungan. Bahkan unsur-unsur kebudayaan yang
tidak dapat dihidupkan kembali, karena misalnya kehabisan komunitas pemeluknya,
perlu disimpan dan terbuka untuk dimaknai dan dipelajari kembali. Yang pernah
tertekan perlu diberi kesempatan tampil dan tumbuh kembali,” kata mantan ketua
DKJ ini.
Namun, jelasnya, kekayaan yang hidup
kembali tidak akan bertahan kalau tidak terus menerus memperbaharui diri
melalui pergaulan antar-budaya. Karena itu, selain menggali, mengakui, merawat
dan mengembangkan masing-masing kebudayaan, perlu upaya-upaya mendorong dan
memudahkan pergaulan antar berbagai budaya. Ini memerlukan penciptaan keadaan
yang menyuburkan dan memudahkan, dan diwadahi saran dan prasarana yang tepat
guna.
Tujuan-tujuan pragmatis memanfaatkan
budaya melalui “industri-budaya” (kulturindustri) mungkin tidak dapat
dihindari, tetapi pengembangan budaya tidak boleh dikendalikan oleh
tujuan-tujuan itu. Pemanfaatan harus mampu mengambil apa yang dapat diraup
sebagai konsekuensi.
Kurang Perbincangan
Sepanjang pelancakan yang dilakukan terhadap
perbincangan RUU Kebudayaan ini, memang harus dikatakan tak seheboh RUU Pilpres
dibahas. Dan ketika penyampaian visi dan misi dua pasang capres dan cawapres
dalam pilpres lalu, kebudayaan bukan jadi bahan gunjing yang enak. Kebudayaan
hanya sesamping jauh dari hiruk-pikuk soal tol laut dan kebocoran anggaran.
Kebudayaan malah tak masuk dalam program-program pokok para capres.
Memang, saya tak sedang membincangkan soal
keprihatinan kebudayaan itu, tetapi realitas yang terpapar, kebudayaan bukan
yang seksi lagi untuk dikisahkan di antara kelas menengah yang menghabiskan
miliaran rupiah dalam satu jam, yang terus bertambah secara drastis di negeri
ini.
Kendati begitu, kita tetap optimis bahwa kebudayaan
dengan makna yang mahaluas itu, akan jadi sangat penting ketika ia tak diatur
dengan sebuah komisi yang dibentuk dengan alasan amanah Undang-Undang
Kebudayaan.
Komisi Pelindungan
Kebudayaan yang kelak bisa jadi disingkat dengan KPK dan tentu akan menjadi ambigu
dengan Komisi Pemberantasan Korupsi yang juga disingkat jadi KPK, memang diatur
dalam satu pasal dalam RUU Kebudayaan.
Saat itulah kebudayaan di
Indonesia, jika RUU ini disahkan menjadi UU, seperti barang sakit yang
membutuhkan semacam badan/lembaga yang akan melindunginya. Ini jelas sangat
tidak enak.
Dalam sebuah diskusi publik bertema ‘RUU
Kebudayaan: Menjamin atau Menyandera’ di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki
(TIM) Jakarta pada tanggal 3 Juni 2014 lalu, Hilmar Farid sejarahwan dari UI menyebutkan,
RUU Kebudayaan akan menciptakan polisi kebudayaan seperti yang pernah terjadi
di zaman Orde Baru maupun zaman kolonial Belanda.
“Komisi Perlindungan Kebudayaan ini
keinginan untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif. Siapa yang
menentukan bahwa kebudayaan itu berdampak negatif? Di dalam masyarakat plural
seperti ini sulit sekali membuat patokan-patokan mengenai sisi negatif di dalam
kebudayaan,” kata Hilmar Farid.
Peran Negara
Dominan
Membaca lebih detil isi dan pasal demi
pasal RUU Kebudayaan, tak bisa kita pungkiri, kebudayaan bagi pembuat RUU ini
sebuah ranah yang introvet, terkunci, dan statis. Dan ini sangat kontradiktif
dengan kebudayaan yang dimaknai dinamis, berubah, dan terus berkembang.
Selain kebudayan yang diartikan introvet
dan tertutup, RUU juga dipenuhi dengan pembatasan-pembatasan yang sangat
normatif dan terkesan defensif terhadap keadaan yang dipengaruhi oleh
globalisasi dan budaya kontemporer.
Maka, ketakutan membayangi jika RUU ini
diaplikasikan, besarnya dominasi negara mengatur kehidupan kebudayaan berpotensi
melumpuhkan inisiatif mandiri dari masyarakat. Kebebasan ekspresi dan dinamika
kreativitas kebudayaan akan tumpul dan bisa jadi akan memunculkan pola
penyeragaman, yang pernah jadi momok pada masa Orde Baru.
Luasnya dominasi dan pengaturan negara
terhadap kebudayaan tampaknya tak elok jika dikaitkan dengan kebudayaan yang
sifatnya sangat dinamis dan kreatif. Negara/pemerintah lebih disarankan dan
diharapkan berinvestasi pada infrastruktur kebudayaan itu sendiri ketimbang
mencampuri subtansinya. Selain itu,
peningkatan sumber daya manusia di sektor-sektor yang berkaitan dengan
kebudayaan, akan lebih besar manfaatnya untuk pengembangan kebudayaan daripada
mendirikan KPK.
Kebudayaan dengan segenap elemen-elemen
yang mencakup di dalamnya, jelas sangat membutuhkan gedung pertunjukan kesenian
yang representatif di setiap provinsi, kabupaten, dan kota.
Negara akan terlihat dan terasa
kerjanya—lewat kementerian terkait (Kemenparekraf dan Kemendikbud)—jika
bersama-sama merevitalisasi taman-taman budaya yang sudah ada di setiap
provinsi di Indonesia. Lebih ada gunanya jika pemerintah mendorong hadirnya
festival-festival seni dengan tema-tema lokalitas dan globalisasi ketimbang
membuat standarisasi bagi seniman. Negara akan sangat dihormati jika memberikan
insentif terhadap komunitas/sanggar seni yang jumlahya sangat banyak, tapi kini
keberadaannya sangat memprihatinkan daripada ngotot membahas RUU Kebudayaan
itu.
Beberapa waktu lalu, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan menggelar Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan
(RNPK). Program ini merupakan media komunikasi, kerja sama, evaluasi, dan
solusi bagi tantangan yang dihadapi baik dalam bidang pendidikan maupun
kebudayaan.
Dalam RNPK itu, khusus bidang kebudayaan,
beberapa poin penting dan strategis ditelurkan untuk ditindaklanjuti antara
lain; pentingnya pemanfaatan taman budaya untuk melayani sekolah dalam
pelaksanaan Kurikulum 2013, rencana aksi Registrasi Nasional Cagar Budaya, pencatatan
dan penetapan warisan budaya tak benda dengan daerah, UPT, komunitas, dan
perguruan tinggi, perlunya SOP mitigasi bencana terhadap cagar budaya dan
kesiapsiagaan bencana baik untuk pengunjung dan cagar budaya, termasuk
pembahasan revitalisasi museum di kabupaten/kota yang kondisi fisiknya
memprihatinkan.
Selain itu juga dibahas tindak lanjut
World Culture Forum (WCF) merekomendasikan untuk lebih menyosialisikan hasil
WCF 2013 ke berbagai negara serta melibatkan daerah, komunitas, perguruan
tinggi, dan budayawan dalam persiapan dan pelaksanaan WCF 2015.
Tentu saja, soal yang terpapar di atas
bukan masalah berapa sering seorang Presiden blusukan, tetapi ini menyangkut
masa depan anak bangsa yang jangkauan jauh ke masa depan dengan tetap meyakini
kebesaran kebudayaannya sendiri. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar