Selasa, 19 Agustus 2014

RUU Kebudayaan Penting untuk Ditolak

OLEH Nasrul Azwar
Tinggal di Padang

Hasil keputusaan Panitia Kerja (Panja) Komisi X DPR RI yang dirilis pada Januari 2014 terhadap Rancangan Undang-Undang Kebudayaan (RUU Kebudayaan) tak banyak perubahan substantif.
Pasal-pasal yang dinilai kontroversial, masih bertengger. Seperti Pasal 59 sampai dengan Pasal 62 tentang Pranata Kebudayaan dan SDM Kebudayaan, pasal 74 sampai dengan pasal 82 tentang pengendalian kebudayaan, dan Pasal 91 yang menyinggung soal pembentukan komisi perlindungan kebudayaan.

RUU Kebudayaan ini muncul atas inisiatif dan usulan Komisi X DPR RI namun hingga kini untuk mencapai penetapan sebagai undang-undang masih jauh. Selain itu, perjalanan RUU inipun masih penuh pro-kontra di tengah masyarakat.
Dari penelusuran yang dilakukan, perjalanan RUU ini masih panjang. Saat ini RUU baru memasuki tahap usulan dan belum dibahas di tingkat Rapat Komisi, Rapat Badan Legislasi, Rapat Badan Anggaran atau Panitia Khusus.
Banyak yang memperkirakan, RUU Kebudayaan ini akan berlanjut pada masa tugas anggota DPR RI periode 2014-2019. Jika ini terjadi, seperti biasanya, akan mengulang dari nol lagi. Dan kejaran semakin menjauh.
Selain itu, untuk persoalan nama juga belum “duduk”. Sebelumnya, pada tingkat  Prolegnas DPR namanya masih RUU Kebudayaan. Karena kebudayaan terlalu luas, maka menurut Tubagus Dedi S Gumelar alias Miing, salah satu anggota Panitia Kerja (Panja) Komisi X DPR, RUU diganti menjadi RUU Pengelolaan Kebudayaan.  "Kita analogikan saja begini, apakah ada Undang-Undang Politik? Nggak ada kan? Makanya kita usulkan untuk menggunakan nama Pengelolaan Kebudayaan, sebab terlalu luas jika kita gunakan nama RUU Kebudayaan," kata Miing.
Terlepas dari perubahan nama dan luasnya cakupan kebudayaan, yang jelas RUU Kebudayaan ini merupakan inisiatif dari Komisi X DPR RI, bukan dari pihak pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, RUU ini menuai kritikan keras dan malah penolakan, baik dari perorangan maupun lembaga.
Salah satu lembaga yang intensif mengikuti perkembangan di tingkat legislasi adalah Koalisi Seni Indonesia. Koalisi Seni Indonesia merupakan lembaga yang didirikan budayawan, praktisi seni, pengamat seni, dan lain sebagainya yang tujuannya melakukan pengkajian, pendidikan dan advokasi di bidang praktik seni dan budaya di Indonesia, telah mengumpulkan sejumlah dokumen mengenai RUU Kebudayaan tersebut, baik berupa naskah akademik maupun naskah RUU-nya sendiri.
Selain mengumpulkan dokumen yang sekaitan dengan itu juga digelar berbagai pertemuan, diskusi, dan focus group discussion (FGD). Koalisi Seni Indonesia menilai, RUU Kebudayaan mencampuradukkan persoalan masyarakat adat, cagar budaya dan persoalan tradisi sebagai hal yang diatur dalam RUU ini.
Sementara itu, menurut Koalisi Seni Indonesia, kompleksnya persoalan kebudayaan tidak akan terselesaikan dengan adanya regulasi khusus untuk bidang ini, apalagi jika itu berarti pembengkakan birokrasi dengan akan dibentuknya kementerian khusus kebudayaan, meskipun memang saat ini wewenang mengenai kebudayaan selalu tumpang tindih antara Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Intinya, jelas Koalisi Seni Indonesia dalam situsnya, RUU Kebudayaan yang akan segera disahkan tersebut memiliki banyak hal yang bisa menimbulkan kontoversi ketika ia aplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mengingat persoalan kebudayaan adalah persoalan yang sangat kompleks dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Lebih jauh lagi, RUU ini tidak berisi materi dan konsep yang jelas dan kokoh mengenai strategi kebudayaan.
Sementara itu, dalam blog Marco Kusumawijaya, ia menuliskan secara kritis tentang RUU kebudayaan ini. Marco mengatakan suatu Undang-Undang Kebudayaan selayaknya dipandang sebagai strategi dan wahana untuk menyiapkan satu bangsa Indonesia dengan banyak budayanya yang jamak memanfaatkan apa yang akan muncul dalam proses masa depan sebagai kesempatan. Memanfaatkan sesuatu sebagai kesempatan dengan sendirinya mengalahkan kemungkinannya sebagai ancaman.
UU Kebudayaan hanya dapat memperkuat kemampuan kita mengolah kesempatan-kesempatan yang akan muncul di masa depan, yang sebagian tentu saja karena kehendak dan tindakan kita sendiri, jika ia membebaskan dan mendorong berkembangnya semua kebudayaan-kebudayaan yang ada melalui pergaulan antara mereka secara lancar, damai dan sangat.
Menurut Marco, Indonesia tidak memulai proses ini dengan kosong. Ia telah memiliki kekayaan keragaman budaya yang sangat besar, yang semuanya perlu direvitalisasi dengan menyingkirkan cara pandang yang statis, hirarkis, fasistis dan ketakutan.
“Sebagian dari kebudayaan-kebudayaan yang pernah ada di wilayah RI telah hilang, mati suri atau tertekan. Semuanya harus diupayakan tumbuh kembang kembali secara aseli, tidak dibuat-buat, melalui penghormatan, penggalian dan pendukungan. Bahkan unsur-unsur kebudayaan yang tidak dapat dihidupkan kembali, karena misalnya kehabisan komunitas pemeluknya, perlu disimpan dan terbuka untuk dimaknai dan dipelajari kembali. Yang pernah tertekan perlu diberi kesempatan tampil dan tumbuh kembali,” kata mantan ketua DKJ ini.
Namun, jelasnya, kekayaan yang hidup kembali tidak akan bertahan kalau tidak terus menerus memperbaharui diri melalui pergaulan antar-budaya. Karena itu, selain menggali, mengakui, merawat dan mengembangkan masing-masing kebudayaan, perlu upaya-upaya mendorong dan memudahkan pergaulan antar berbagai budaya. Ini memerlukan penciptaan keadaan yang menyuburkan dan memudahkan, dan diwadahi saran dan prasarana yang tepat guna.
Tujuan-tujuan pragmatis memanfaatkan budaya melalui “industri-budaya” (kulturindustri) mungkin tidak dapat dihindari, tetapi pengembangan budaya tidak boleh dikendalikan oleh tujuan-tujuan itu. Pemanfaatan harus mampu mengambil apa yang dapat diraup sebagai konsekuensi.

Kurang Perbincangan

Sepanjang pelancakan yang dilakukan terhadap perbincangan RUU Kebudayaan ini, memang harus dikatakan tak seheboh RUU Pilpres dibahas. Dan ketika penyampaian visi dan misi dua pasang capres dan cawapres dalam pilpres lalu, kebudayaan bukan jadi bahan gunjing yang enak. Kebudayaan hanya sesamping jauh dari hiruk-pikuk soal tol laut dan kebocoran anggaran. Kebudayaan malah tak masuk dalam program-program pokok para capres.

Memang, saya tak sedang membincangkan soal keprihatinan kebudayaan itu, tetapi realitas yang terpapar, kebudayaan bukan yang seksi lagi untuk dikisahkan di antara kelas menengah yang menghabiskan miliaran rupiah dalam satu jam, yang terus bertambah secara drastis di negeri ini.

Kendati begitu, kita tetap optimis bahwa kebudayaan dengan makna yang mahaluas itu, akan jadi sangat penting ketika ia tak diatur dengan sebuah komisi yang dibentuk dengan alasan amanah Undang-Undang Kebudayaan.

Komisi Pelindungan Kebudayaan yang kelak bisa jadi disingkat dengan KPK dan tentu akan menjadi ambigu dengan Komisi Pemberantasan Korupsi yang juga disingkat jadi KPK, memang diatur dalam satu pasal dalam RUU Kebudayaan.

Saat itulah kebudayaan di Indonesia, jika RUU ini disahkan menjadi UU, seperti barang sakit yang membutuhkan semacam badan/lembaga yang akan melindunginya. Ini jelas sangat tidak enak.

Dalam sebuah diskusi publik bertema ‘RUU Kebudayaan: Menjamin atau Menyandera’ di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada tanggal 3 Juni 2014 lalu, Hilmar Farid sejarahwan dari UI menyebutkan, RUU Kebudayaan akan menciptakan polisi kebudayaan seperti yang pernah terjadi di zaman Orde Baru maupun zaman kolonial Belanda.
“Komisi Perlindungan Kebudayaan ini keinginan untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif. Siapa yang menentukan bahwa kebudayaan itu berdampak negatif? Di dalam masyarakat plural seperti ini sulit sekali membuat patokan-patokan mengenai sisi negatif di dalam kebudayaan,” kata Hilmar Farid.
Peran Negara Dominan
Membaca lebih detil isi dan pasal demi pasal RUU Kebudayaan, tak bisa kita pungkiri, kebudayaan bagi pembuat RUU ini sebuah ranah yang introvet, terkunci, dan statis. Dan ini sangat kontradiktif dengan kebudayaan yang dimaknai dinamis, berubah, dan terus berkembang.
Selain kebudayan yang diartikan introvet dan tertutup, RUU juga dipenuhi dengan pembatasan-pembatasan yang sangat normatif dan terkesan defensif terhadap keadaan yang dipengaruhi oleh globalisasi dan budaya kontemporer.
Maka, ketakutan membayangi jika RUU ini diaplikasikan, besarnya dominasi negara mengatur kehidupan kebudayaan berpotensi melumpuhkan inisiatif mandiri dari masyarakat. Kebebasan ekspresi dan dinamika kreativitas kebudayaan akan tumpul dan bisa jadi akan memunculkan pola penyeragaman, yang pernah jadi momok pada masa Orde Baru.
Luasnya dominasi dan pengaturan negara terhadap kebudayaan tampaknya tak elok jika dikaitkan dengan kebudayaan yang sifatnya sangat dinamis dan kreatif. Negara/pemerintah lebih disarankan dan diharapkan berinvestasi pada infrastruktur kebudayaan itu sendiri ketimbang mencampuri subtansinya.  Selain itu, peningkatan sumber daya manusia di sektor-sektor yang berkaitan dengan kebudayaan, akan lebih besar manfaatnya untuk pengembangan kebudayaan daripada mendirikan KPK.   
Kebudayaan dengan segenap elemen-elemen yang mencakup di dalamnya, jelas sangat membutuhkan gedung pertunjukan kesenian yang representatif di setiap provinsi, kabupaten, dan kota.
Negara akan terlihat dan terasa kerjanya—lewat kementerian terkait (Kemenparekraf dan Kemendikbud)—jika bersama-sama merevitalisasi taman-taman budaya yang sudah ada di setiap provinsi di Indonesia. Lebih ada gunanya jika pemerintah mendorong hadirnya festival-festival seni dengan tema-tema lokalitas dan globalisasi ketimbang membuat standarisasi bagi seniman. Negara akan sangat dihormati jika memberikan insentif terhadap komunitas/sanggar seni yang jumlahya sangat banyak, tapi kini keberadaannya sangat memprihatinkan daripada ngotot membahas RUU Kebudayaan itu.
Beberapa waktu lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggelar Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK). Program ini merupakan media komunikasi, kerja sama, evaluasi, dan solusi bagi tantangan yang dihadapi baik dalam bidang pendidikan maupun kebudayaan.
Dalam RNPK itu, khusus bidang kebudayaan, beberapa poin penting dan strategis ditelurkan untuk ditindaklanjuti antara lain; pentingnya pemanfaatan taman budaya untuk melayani sekolah dalam pelaksanaan Kurikulum 2013, rencana aksi Registrasi Nasional Cagar Budaya, pencatatan dan penetapan warisan budaya tak benda dengan daerah, UPT, komunitas, dan perguruan tinggi, perlunya SOP mitigasi bencana terhadap cagar budaya dan kesiapsiagaan bencana baik untuk pengunjung dan cagar budaya, termasuk pembahasan revitalisasi museum di kabupaten/kota yang kondisi fisiknya memprihatinkan.
Selain itu juga dibahas tindak lanjut World Culture Forum (WCF) merekomendasikan untuk lebih menyosialisikan hasil WCF 2013 ke berbagai negara serta melibatkan daerah, komunitas, perguruan tinggi, dan budayawan dalam persiapan dan pelaksanaan WCF 2015.

Tentu saja, soal yang terpapar di atas bukan masalah berapa sering seorang Presiden blusukan, tetapi ini menyangkut masa depan anak bangsa yang jangkauan jauh ke masa depan dengan tetap meyakini kebesaran kebudayaannya sendiri. ***  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...