Bagian 5 (Habis)
OLEH H Kamardi Rais Datuak Panjang Simulie
Pemuka adat dan wartawan
Kabinet
Djuanda yang bersidang malam itu dengan KSAD Nasution sebagai bintangnya dalam
statemennya tanggal 11 Februari menolak tuntutan Padang tersebut. KSAD memecat
Ahmad Husein dan Simbolon, Djambek, Sumual serta pimpinan militer lainnya yang
membangkang.
Bebas dari Wajib Taat
Setelah
waktu tenggang 5 x 24 jam habis, maka Ketua Dewan Perjuangan Letkol Ahmad
Husein mengundang lagi para politisi dan tokoh-tokoh militer yang ada di
Padang, seperti Moh. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap dan
lain-lain. Kemudian Dahlan Djambek serta para Pamen dan anggota Dewan Banteng
lainnya.
Sebuah
kabinet tandingan dipersiapkan dan wajib taat kepada Bung Karno habis. Ahmad
Husein mengumunkan lahirnya PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia)
pada tanggal 15 Februari 1958 itu.
Kabinet
PRRI terdiri dari : Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri
merangkap Menteri Keuangan. Menteri Dalam Negeri (Dahlan Djambek), kemudian
diserahkan kepada Mr. Assaat Dt. Mudo, Menlu (Maluddin Simbolon), Menteri Perhubungan
dan Pelayaran (Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo), Menteri PPK dan Kesehatan
(Moh. Syafei), Menteri Pembangunan (J.F Warrow), Pertanian dan Perburuhan
(Saladin Sarumpaet), Menteri Agama (Muchtar Lintang), Menteri Penerangan (Saleh
Lahade), Menteri Sosial (Ayah Gani Usman) dan Menteri Pos dan Telekomunikasi
(Dahlan Djambek) setelah Mr. Assaat sampai di Padang.
Kepala
Staf Angkatan Perang PRRI diangkat Kolonel Alex Kawilarang (Mantan Atase
Militer di Washington yang meninggalkan posnya dan memihak kepada PRRI).
Permesta
di Sulawesi Utara segera mengeluarkan pernyataan mendukung penuh Proklamasi
PRRI di Padang tersebut.
Tanggal
16 Februari 1958 Presiden Soekarno pulang tetirah dari luar negeri.
Di
Bandar Udara Halim Perdana Kusuma Presiden memberikan pernyataan keras terhadap
“Peristiwa Padang” tersebut. “Kita akan hadapi dengan tegas. Kita akan gunakan
kekuatan yang ada pada kita untuk menumpas segala bentuk penyelewengan,” ucapnya
kepada pers.
Koran-koran
terompet PKI Harian Rakyat, Bintang Timur dan Media yang anti Dewan Banteng,
Dewan Gajah, Dewan Garuda, Permesta, dan lain-lain mengulas berita itu dengan
gencar. Tumpas gerombolan Ahmad Husein cs sampai ke akar-akarnya. Dalangnya
sudah jelas orang-orang Masjumi dan PSI serta para perwira TNI yang nakal
seperti Zulkifli Lubis, Dahlan Djambek, Husein, Simbolon, Barlian, Sumual, dan
lain-lain.
Tokoh-tokoh
Permesta di Ujung Pandang seperti Menteri Penerangan PRRI Saleh Lahade dan
Muchtar Lintang, Menteri Agama PRRI ditangkap.
Sementara
itu, Mr. St. Moh. Rasjid, Dubes RI di Italia di kabarkan meninggalkan posnya di
Roma lalu menyatakan diri sebagai Dubes keliling PRRI di Eropa. Rasjid adalah
salah seorang pejuang kemerdekaan pernah jadi Residen Sumatera Barat dan
Gubernur Militer Sumatera Tengah di zaman
PDRI (1948 – 1949).
Pantow
dan Walandow di Philipina dan Hong Kong serta Des Alwi merupakan tokoh-tokoh
PRRI di luar negeri.
Bagaimana Kita Menilai PRRI?
Semua
tokohnya adalah para pejuang kemerdekaan, pendiri dan pembela NKRI. Sebagaimana
ditegaskan oleh Ahmad Husein dalam rapat Penguasa Militer di Istana Negara
April 1957. Landasan perjuangan daerah tetap Republik Proklamasi dan
berkewajiban untuk menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
tercinta.
Sebutlah
para tokoh nasional Moh. Natsir yang sejak mudanya berjuang untuk kemerdekaan
bangsanya dan berjasa besar menjadikan kembali NKRI dengan mosi integralnya.
Sjahrir, siapa yang tak kenal padanya sebagai seorang pejuang yang tangguh.
Burhanuddin Harahap, Prof. Soemitro, Sjafruddin Prawiranegara, Ketua PDRI yang
beristana di hutan Sumatera, Mr. Assaat, mantan Ketua KNIP, acting Presiden RI
dalam negara RIS. Begitu juga tokoh-tokoh militernya.
Pada
dasarnya PRRI/Permesta bukanlah “pemberontak” dengan pengertian hendak
menghancurkan negara yang telah dibangun dengan harta, jiwa dan raga para
pejuang bangsa. Tapi sungguh-sungguh hendak menyelamatkan negara yang kita
cintai ini.
Tapi apa
yang terjadi? Tanggal 21 Februari 1958 enam hari setelah Proklamasi PRRI, kota
Painan di Pessel dan sebuah jembatan di Muara Mahat di bombardir.
Gerakan
koreksian atau gerakan penyelamat negara yang tumbuh di daerah ini dipukul
habis oleh Pusat “di hajar” sedemikian rupa dengan pengerahan pasukan darat,
laut dan udara ke Sumatera Tengah dan Sulawesi Utara.
Dewan-Dewan
di daerah dengan pasukan kecil walau ada tambahan dari Tentara Pelajar yang
sukarela, tidak terlatih bukan prajurit
profesional sebagaimana pasukan yang digunakan dalam operasi militer
menundukkan PRRI, maka sebagai harga diri tentu saja melawan. Semut pun kalau
diinjak akan melawan. Entah berapa korban tewas, cacat, harta benda yang habis
kikis lindang akibat “dihajar” Pusat. Sampai sekarang tak ada datanya selama
tiga setengah tahun (1958 – 1961) .
Komandan
operasi 17 Agustus, Kolonel A. Yani begitu sampai di Padang 17 April 1958
berucap : “They can only talk” (mereka hanya pandai bicara). Memang bicara
itulah yang dipakai untuk menegakkan kebenaran menegakkan Republik Proklamasi.
Itulah PRRI/Permesta. Tapi kenapa kok dihajar?. Jelas para pemimpin di Pusat
negara yang jadi tumpuan harapan dari daerah-daerah bergolak kurang arif dan
kurang bijak!
Sekarang
dalam rangka memperingati HUT Proklamasi ke-61, 17 Agustus 2006, sudah
seharusnya kita meluruskan sejarah perjuangan bangsa kita dengan sebuah renungan
bahwa PRRI/Permesta bukanlah “pemberontak”, tapi gerakan koreksian terhadap penyimpangan
yang terjadi atau tegasnya suatu gerakan penyelamat negara Kesatuan RI yang
kini sudah berusia 61 tahun.
Dirgahayulah
Republik Proklamsi 17 Agustus 1945, tegak dengan adil, sejahtera, aman dan
makmur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar